Bersama dua lembar kain ihram yang kukenakan, ada getar yang turut bergelayut. Betapa bahagianya kala menyadari bahwa diri ini telah benar-benar menjejakkan kaki diTanah Haram, Mekkah Almukarramah. Kakbah menyambut megah. Inilah anugerah terbesar di sepanjang hidup, akhirnya kudapat bertamu di rumahMU, Ya Allah.
Setelah pintu King Fahd di Masjidil Haram kulintasi, langkah kaki yang tak sabar ini terus menapaki punggung marmer yang begitu sejuk. Dari kejauhan, bangunan kubus berselimut kiswah hitam tampak berdiri kokoh. Kakbah, ia tengah diputari ribuan jemaah. Lalu, anak tangga menuju mataf pun mengantar raga ini untuk ikut memulai tawaf. Kami bergerak, melawan arah jarum jam. Berzikir, memuji keagungan Tuhan.
Asyik masyuk bertawaf menjadikan tujuh kali putaran terasa cepat. Setelahnya, kami menghadap lurus ke kiblat Muslim sedunia itu dengan jarak hanya 20 meter. Salat sunah didirikan. Dipungkasi dengan tegukan air Zamzam, air yang pernah menolong Nabi Ismail dari kehausan.
Dari pelataran kakbah, kami beranjak menuju bukit Shafa dan Marwa untuk memulai napak tilas mengenang ikhtiar Siti Hajar mencarikan air untuk Ismail. Kami berlari kecil di antara dua bukit yang berjarak 405 meter itu. Seusai hitungan ketujuh, kami akhiri dengan tahallul, menggunting tiga helai rambut dan rampung sudah umrah qudum (pembukaan) ini.
Alur waktu kenikmatan ini masih panjang. Prosesi haji masih banyak yang belum tertunaikan. Kami begitu rindu, jika saatnya nanti memasuki jadwal untuk merenung diri di Arafah, niscaya rasa syukur ini tak akan henti kupanjatkan.
“Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syariika laka labbaik…Innalhamda wanni’mata laka wal mulk…Laa syariika lak.”