Serumah dengan Saudara Ipar, Mungkinkah?

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

 

Saya Marzuki 30 tahun. Sudah dua tahun saya menikah. Komitmen awal kami, membangun rumah tangga secara mandiri. Saya dan istri sama-sama kerja. Sekarang, saya dan istri tinggal dirumah yang kami beli sendiri dan berpisah dari keluarga besar. Kami belum dikaruniai anak.Sejak sekolah dan kuliah, istri memang sudah mandiri. Saya memiliki seorang adik laki-laki yang tinggal di sebuah rumah kontrakan. Saat ini, masa kontrak rumah adik saya akan habis. Dia mau menumpang di tempat kami. Istri saya keberatan. Selain itu katanya dia merasa tidak leluasa/nyaman bila ada adik ipar laki-laki serumah. Saya sudah menyampaikan permohonan itu kepadanya. Tapi dia bertahan dengan pendapatnya. Sedangkan Ibu saya seperti tidak peduli dengan keberatan istri saya, walaupun sudah diterangkan. Menurutnya saya tidak mau menjaga adik sendiri. Saya menjadi serba salah. Adik juga belum mampu untuk kontrak sendiri karena kerjanya serabutan.Ibu menyuruh istri saya menganggap adik ipar seperti adik sendiri. Itulah yang menjadi sebab kebingungan saya. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mohon saran danjalan keluarnya.

Wassalamu’alaikum

Marzuki Jakarta

 

Jawaban

 

Waalaikumsalam Warahmatullahiwabarakatuh

Bapak Marzuki yang baik, saya memahami kesulitan Anda.  Sebagai orang yang lebih tua, tentunya Anda harus menyayanginya adik.  Pada saat yang sama, pendapat istri dengan hadirnya saudara ipar laki-laki juga benar. Posisi Anda tidak bisa mengabaikan keduanya,  apalagi mengabaikan pernyataan ibunda Anda.

Hal utama yang harus Anda ketahui saat ini, adalah tentang kedudukan saudara ipar dalam keluarga dan dalam Islam.

Bapak Marzuki, Ipar bukanlah mahram. Maka kedudukan ipar sama halnya dengan kaum muslimin dan muslimat lainnya, oleh karena itulah Nabi memperingatkan bahayanya :

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Berhati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat Anda dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

Istri Anda tidak diperbolehkan untuk memperlakukan iparnya seperti mahram; iparnya bukanlah mahram bagi istri Anda, ipar istri anda tidak jauh beda dengan seorang asing/tamu sehingga aturan untuk mengenakan hijab/jilbab dan menjaga diri tetap berlaku.

Makna Ipar adalah maut dalam hadis di atas, kata Al-ImamAn-Nawawirahimahullahu, bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Dalam Kitab Al-Minhaj)

Untuk menjaga bahaya yang terjadi lebih besar, Nabi melarangnya secara umum untuk berkhalwat (berduaan) dengan Ipar, sebagaimana sabda beliau :

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما.

“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan adalah orang yang ketiga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Pemahaman hadits diatas pun tentu saja berlaku bagi wanita pula.Maka ada beberapa hal yang sebaiknya kita perhatikan dalam bergaul dengan Ipar :

  1. Memisahkan ipar dari tempat tinggal suami dan istri.
  2. Jika memang terpaksa satu rumah, maka ini sebuah perkara yang berat, suami/istri harus benar benar menjaga diri dan memberikan pengertian pula pada iparnya, sehingga mereka benar benar bisa saling menjaga pandangan, menjaga aurat, menjaga diri dan hati masing-masing, dan ini sangat berat.
  3. Menjaga pergaulan, sehingga memperlakukan ipar sebagaimana muslim/muslimah lainnya yang bukan mahramnya, artinya tidak halal memboncengnya, tidak halal menyentuh kulitnya, tidak halal memperlihatkan auratnya dan lain-lainnya.

Saran saya. Pertama, berbicaralah dengan baik-baik dan santun kepada keluarga, terutama ibunda dan adik, tentang kedudukan adik bila serumah dengan Anda. Kedua, musyawarah keluarga. Utarakan bahwa masalah ini bukan tanggung jawab Anda sendiri.  Jika memungkinkan, carikan untuk adik Anda rumah kontrakan yang ditanggung pembiayaannya bersama-sama sehingga tidak perlu menumpang pada keluarga yang kemungkinan terjadi fitnah. Ketiga, carikan cara agar adik Anda dapat mandiri memenuhi kebutuhan ekonominya. Tentu saja hal ini tergantung pada keterampilan yang dapat diupayakan oleh adik Anda.

Saya menyarankan agar Anda dan istri memiliki satu pemahaman yang sama tentang masalah ini. Jangan sampai Anda mengorbankan keutuhan keluarga Anda. Semoga Anda sukses dan bijaksana dalam memutuskan masalah ini.Wallahua’lam.*

Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

Ustad Endang Abdurrahman

 

HIDAYATULLAH

Istri Wajib Melindungi Suami dari Keburukan

AYAT 187 surah Al-Baqarah yang merupakan ayat terakhir dari rangkaian lima ayat shiyam, mengemukakan secara jelas salah satu ketetapan bagi orang yang sedang puasa, yaitu tidak boleh melakukan hubungan suami isteri.

Tentu saja larangan ini berlaku hanya pada saat yang ditetapkan bagi aktivitas puasa yaitu antara shubuh dengan maghrib. Di luar itu, Allah berfirman pada ayat ini: Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa, bercampur dengan isterimu.

Pernyataan ini kemudian dirangkai dengan kalimat yang sangat menarik: Mereka adalah pakaian bagimu (sekalian), dan kamu (sekaliannya) adalah pakaian bagi mereka.

Pakaian adalah sesuatu yang menutupi tubuh untuk menjaganya dari sengatan cuaca, melindungi dari sesuatu yang menggores menimbulkan luka, dan sekaligus memperindah pemakainya. Maka dengan ungkapan tadi Allah menandaskan kewajiban isteri untuk melindungi suaminya dari segala hal buruk yang mengganggu penampilannya di hadapan Allah maupun sesama manusia. Kewajiban yang sama juga meski diltunaikan oleh suami terhadap isterinya.

Ada dua gangguan yang berpotensi menerpa suami maupun isteri. Fitrah suami yang jujur dapat diganggu oleh nafsu serakah, sikap sederhana dapat disisihkan oleh keinginan bermegah mewah yang ditiupkan syaithan kepadanya.

Maka isteri harus memposisikan diri sebagai pengingat dan pelurus, dengan kata-kata maupun sikap yang maruf pantas menurut etika masyarakat. Begitu pula bila isteri cenderung kepada hal-hal yang tidak baik menurut Allah dan tidak pantas menurut lingkungan sosialnya, suami harus menjadi penjaganya dari bisikan-bisikan syaithan itu. Apa lagi suami ditetapkan Allah sebagai pemimpin rumah tangganya (QS 4:34).

Hakekat pemimpin adalah penanggung jawab; maka segala masalah yang terjadi dalam rumah tangga, suamilah yang pertama-tama akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Swt.

Sungguh indah sekali Al-Quran ini. Ketika menyampaikan ketetapan hukum tentang puasa, diselipkan di dalamnya akhlak karimah dalam rumah tangga.

Sama halnya dengan ayat-ayat shiyam lainnya yang kita bicarakan beberapa hari terakhir ini. Dalam ayat 185 disampaikan fungsi Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan atas petunjuk itu, dan pemisah antara yang benar dengan yang salah.

Pada ayat 186 dikemukakan betapa dekat Allah Swt kepada orang-orang yang beriman, yang berarti dekat pula perlindungan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya yang tidak berbatas. Sungguh kami bersyukur kepada-Mu ya Allah, atas limpahan segala Kasih-Mu.[Sakib Machmud]

 

MOZAIK