Haji ketika Usia Dua Bulan, Sahkah?

Sempat menjadi suatu pembahasan yang sangat menggelitik di negeri kita tercinta. Suatu statement yang sempat menimbulkan polemik, pro, dan kontra di sebagian besar kalangan orang-orang yang berkecimpung di sosial media. Terucap dari sebuah statement itu suatu kalimat, “Haji ketika usia dua bulan.”

Mengingat dalam kalimat tersebut terucap kata “Haji”, maka tentunya hal ini masuk ke dalam pembahasan syariat Islam. Karena haji sendiri termasuk dalam rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Tentunya, karena statement ini sarat akan faedah, maka perlu untuk diketahui tentang hukum haji ketika usia dua bulan, bagaimana menurut syariat dan hukum fikihnya.

Syarat sah haji

Sebelum membahas tentang hukum haji bagi anak kecil, perlu dibahas terlebih dahulu tentang syarat-syarat haji. Para ulama menyebutkan syarat haji ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka, dan mampu.

Kelima syarat di atas, terbagi menjadi tiga bagian [1]:

Pertama: Dua syarat yang menjadi sebuah keabsahan.

Kedua syarat tersebut adalah Islam dan berakal. Maka, tidak sah jika orang kafir dan orang gila melaksanakan haji.

Kedua: Dua syarat yang menjadi sebuah kewajiban dan keabsahan.

Kedua syarat ini adalah balig dan merdeka. Jika anak kecil yang belum balig atau budak melaksanakan haji, maka hajinya sah, namun perlu mengulang haji Islamnya.

Ketiga: Satu syarat yang menjadi sebuah kewajiban.

Yaitu, mampu. Mampu secara perbekalan, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka, haji tidak wajib bagi seorang yang tidak mampu.

Para ulama telah sepakat akan kelima syarat ini. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

لاَ نَعْلَم فِي هَذَا كُله اِخْتِلاَفاً

Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada kelima syarat di atas.” [2]

Kendati sebagian para ulama menambahkan syarat keenam bagi wanita, yaitu adanya mahram. Dan sebagian lagi berpendapat adanya mahram masuk ke dalam syarat yang kelima, yaitu istitha’ah (mampu) [3]. Dari hal ini, dapat diketahui bahwa jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ia tidak masuk dalam kategori orang yang wajib haji.

Berangkat dari kelima syarat yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat haji adalah balig, artinya seorang anak telah mencapai usia balig baik dengan mimpi basah atau yang lain sebagainya.

Hukum haji bagi anak kecil yang belum balig

Ketika mendengar kalimat yang viral, “Haji ketika usia dua bulan”, mungkin yang pertama kali terbetik adalah bagaimana hukum hajinya? Apakah hajinya sah atau tidak? Apakah perlu mengulang hajinya tatkala sudah balig?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya telah dibahas di dalam agama ini dan juga telah dibahas oleh para ulama. Terkait dengan hukum hajinya, maka hukumnya sah. Simaklah hadis berikut,

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَها، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seorang wanita mengangkat anak bayi miliknya di hadapan Nabi, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah haji anak ini sah?’ Beliau menjawab, ‘Iya dan bagimu pahala.’” (HR. Muslim no. 1336)

Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa haji anak kecil atau anak yang belum berusia balig, maka hajinya sah. Sah hajinya anak kecil laki-laki atau perempuan, baik yang belum ataupun yang sudah memasuki usia tamyiz [4].

Namun, apakah haji ini dapat menggugurkan kewajiban haji yang ada pada rukun Islam? Jawabnya adalah belum menggugurkan kewajiban tersebut. Artinya, haji anak kecil yang belum balig tidak dapat menggugurkan kewajiban haji yang terdapat pada rukun Islam, kendati hajinya sah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, 

مَنْ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى وَ مَنْ حَجَّ وَهُوَ صَغِيْرٌ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى

“Siapa yang berhaji kemudian ia dimerdekakan oleh tuannya, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi. Dan barangsiapa yang berhaji di usia kanak-kanak kemudian ia balig, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji lagi.” (Hadis disahihkan oeh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4: 59)

Tatkala usia seorang anak berusia balig, maka ia tetap diharuskan untuk berhaji lagi. Mengingat hajinya tatkala sebelum balig tidak menggugurkan haji Islamnya.

Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan,

“Para ahli ilmu telah bersepakat, bahwasanya anak kecil ketika melaksanakan haji di masa kecilnya, atau budak ketika berhaji ketika masih berstatus budak, kemudian anak kecil tersebut balig dan budak tersebut dimerdekakan, maka wajib bagi keduanya untuk mengulangi haji Islamnya.” [5]

Kemudian terbesit sebuah pertanyaan,

Bagaimana jika anak kecil menjadi balig ketika sedang berhaji?

Terdapat pembahasan di antara para ulama tentang hal ini, bagaimana jika ada seorang anak kecil yang mimpi basah ketika sedang berhaji? Apakah hajinya  perlu diulang kembali?

Andaikata seorang anak menjadi balig atau mengalami mimpi basah dan seorang budak dimerdekakan oleh tuannya sebelum wukuf di Arafah atau ketika wukuf, maka hajinya sah dan tidak perlu mengulang kembali haji Islamnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحَجُّ عَرَفَةٌ

“Haji adalah Arafah.” (Hadis sahih, lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1064)

Yakni, haji tidaklah dikatakan haji, kecuali ketika wukuf di Arafah. Karena inti dari haji adalah Arafah. Oleh karenanya, para ulama menyatakan bahwa haji anak kecil yang menjadi balig atau budak yang dimerdekakan ketika sebelum wukuf di Arafah itu sah dan tidak perlu diulang kembali.

Tata cara haji anak kecil yang belum balig

Secara umum, tata cara haji anak kecil yang belum balig sama dengan haji orang dewasa. Dari segi ihram, tawaf, wukuf, melempar jamrah, dan lain sebagainya. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang sudah mumayyiz dan yang belum masuk usia mumayyiz. Maka, hendaknya wali dari anak kecil memperhatikan beberapa poin di bawah ini [7],

Pertama: Jika anak kecil belum masuk usia tamyiz, maka diniatkan ihram oleh kedua orang tuanya. Boleh ayah atau ibunya. Tidak dikhususkan untuk ayah saja. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan di atas.

Kedua: Orang tuanya yang memandikannya ketika berniat ingin ihram, memakaikan kain ihramnya, dan menjauhinya dari larangan-larangan ihram. Seperti, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki, memakai pakaian berjahit, dan lain sebagainya. Jika anak tersebut wanita, maka dilarang untuk memakai sarung tangan dan niqab.

Ketiga: Jika anak kecil sudah memasuki usia tamyiz, maka orang tuanya memerintahkan anak tersebut untuk ihram. Dan ihram anak yang sudah memasuki usia tamyiz itu tidak sah, kecuali dengan izin kedua orang tuanya.

Keempat: Jika anak kecil sudah memasuk usia tamyiz, maka ia wajib untuk bersuci dari hadats dan najis ketika hendak melaksanakan tawaf. Jika belum memasuki usia tamyiz, maka kedua orang tuanyalah yang menyucikan anak tersebut dari najis dan sebagainya.

Kelima: Apa saja yang ada dari ibadah haji, yang mampu dikerjakan oleh anak kecil, maka anak tersebut yang mengerjakannya sendiri. Jika tidak mampu, maka boleh dikerjakan oleh orang tuanya. Seperti melempar jamrah, misalnya.

Keenam: Jika anak kecil yang dibawa untuk tawaf sudah berusia tamyiz, maka anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri dan orang tua yang membawa anak tersebut berniat untuk dirinya sendiri. Artinya, niatnya masing-masing. Jika anak tersebut belum berusia tamyiz, maka orang tuanyalah yang berniat untuk tawaf.

Demikianlah hukum-hukum yang berkaitan dengan hajinya anak kecil, kendati terdapat banyak perincian-perincian lainnya tentang masalah ini. Silahkan untuk merujuk ke kitab-kitab fikih dari para ulama.

Kesimpulan

Anak kecil yang belum balig, boleh untuk melaksanakan haji dan hajinya sah. Namun, haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban haji Islamnya. Sehingga, di lain kesempatan, ia harus melaksanakan haji kembali. Adapun terkait ahkam dibedakan antara anak kecil yang sudah memasuki usia tamyiz dan yang belum memasuk usia tamyiz. Sebagaimana yang telah diterangkan pada poin-poin di atas.

Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.

***

Depok, 15 Muharam 1446 H / 20 Juli 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Sumber: https://muslim.or.id/96634-haji-ketika-usia-dua-bulan-sahkah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hukum Sholat Pasien Berkateter Urin, Sahkah?

Bagaimana hukum sholat pasien berkateter urin, apakah sah? Kateter merupakan alat yang digunakan untuk mengosongkan kandung kemih yang berupa tabung yang dimasukkan melalui alat kelamin bagi penderita penyakit seperti retensi urin atau ketidakmampuan kandung kemih untuk mengeluarkan seluruh urin.

Ini disebabkan beberapa faktor, seperti pembesaran prostat, dan prosedural medis sebagaimana dilansir dari alodokter.com. Lantas bagaimana hukum sholat pasien seorang muslim yang terkena prosedural medis harus berkateter urin mengingat pemasangan kateter tidak bisa dibongkar pasang?
Untuk persoalan ini, LBM MWC NU Tanggulangin membahas problem ini pada tanggal 13 Oktober 2023 karena tuntutan masyarakat untuk pencerahan hukum terkait problem diatas.

Status Wudhu Pasien Berkateter

Pada dasarnya pembahasan sholat tidak bisa dilepaskan dari pembahasan bersuci khsusnya wudhu, karena syarat sah shalat yang sangat mengikat adalah suci dari hadats baik besar atau kecil dan suci dari najis baik yang ada di tubuh, baju, dan tempat.

Dalam problem kateter tentunya pasiennya tidak sebagaimana pasien normal, urin yang berada di tampungan kandung kemih akan langsung keluar melalui saluran tabung kateter menuju keplastik penanpung urin, dan tentunya hal ini tidak bisa dikendalikan oleh pasien sebagaimana mengendalikan hasrat ingin buang air kecil.

Mempertimbangkan kondisi demikian, maka status pasien berkateter termasuk dalam kategori da’im al-Hadats atau orang yang selalu berada dalam keadaan berhadats sebagaimana wanita mustahadzah, dan penderita penyakit beser kencing atau cepirit.

Terdapat tata cara tersendiri dalam wudhu da’imu al-Hadats sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Bakri dalam I’anatu al-Thalibin juz 1 halaman 47 sebagai berikut :

وحاصل ما يجب عليه – سواء كان مستحاضة أو سلسا – أن يغسل فرجه أولا عما فيه من النجاسة، ثم يحشوه بنحو قطنة – إلا إذا تأذى به أو كان صائما – وأن يعصبه بعد الحشو بخرقة إن لم يكفه الحشو لكثرة الدم، ثم يتوضأ أو يتيمم.

“Yang wajib dilakukan oleh penderita da’imu al-Hadats adalah pertama membersihkan kemaluannya dari najis, kemudian menyumpal dengan sesuatu seperti kapas -kecuali dia merasa sakit atau sedang berpuasa- kemudian ditutup dengan sesuatu seperti kain jika menyumpal dengan kapas tidak mencukupi karena terlalu banyak najis yang keluar, kemudian barulah berwudhu atau bertayammum (jika ada halangan untuk menggunakan air).”

Kasus kateter tentunya tidak sama dengan mustahadzah dan juga penderita beser, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mencopot kateter kemudian memasangnya kembali bisa menimbulkan bahaya yang nyata bagi pasien.

Tentunya catatan merasa kesakitan ketika menyumpal alat kelamin dengan kapas memberikan kefahaman bahwan hal ini tidak butuh dilakukan dalam kasus kateter, karena tidak memungkinkan untuk disumpal dengan kapas dan ditutup sebagaimana kasus beser dan istihadzah.

Untuk itu maka yang harus dilakukan adalah langsung berwudhu sebagaimana biasa dan tentunya harus melihat dulu bahwa tidak ada urin yang mengalir dari kandung kemih kepada saluran kateter menuju penampungannya

Hukum Sholat Pasien Berkateter Urin

Pada dasarnya kewajiban shalat tidak bisa terhalangi oleh sakit selama masih sadar dan bisa melakukan dalam keadaan yang memungkinkan, maka dari itu pasien berkateter tentunya masih diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu lima waktu setiap harinya dalam keadaan sebisa mungkin dan dengan sarana yang ada.

Pada dasarnya, sudah disinggung di atas tentang syarat keabsahan shalat harus suci juga dari najis yang menempel di tubuh, pakaian, dan tempat, dalam kasus pasien berkateter masih belum bisa menghadapi syarat ini dengan benar.

Pasien berkateter tentunya tidak bisa dikatakan suci dari najis karena kateternya sendiri menampung najis berupa urin yang mengalir dari kandung kemih  yang menempel dan bersambung dengan tubuh pasien, dan hal ini merupakan salah satu yang membatalkan shalat yakni bersambung dengan benda najis.  

Sebagaimana dalam Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah juz 2 halaman 14 sebagai berikut:

وَلَا يَجُوزُ لِنَحْوِ السَّلِسِ تَعْلِيقُ نَحْوِ قَارُورَةٍ لِيَقْطُرَ فِيهَا بَوْلُهُ مَثَلًا وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ بَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِهِ

“Tidak diperbolehkan bagi penderita beser untuk menggantungkan botol sebagai penampung urin yang keluar dari alat kelaminnya sedangkan dia dalam keadaan shalat, bahkan bisa membatalkan shalatnya”.

Memang problem ini sangat dilematis disatu sisi shalat fardhu masih dihukumi wajib, di sisi yang lain shalatnya jelas tidak sah karena ketersambungan tubuh dengan benda najis. Ketika terjado dilematika demikian, tentunya terdapat konsekuensi hukum tertentu terkait shalat tersebut dan tentunya sangat tidak bisa membatalkan kewajiban seseorang untuk shalat.

Namun, syariah memberikan kelonggaran dengan tatanan sholat li hurmatil waqti yakni shalat sebagaimana memungkinkan hanya untuk melakukan perintah agar tidak terkesan meninggalkan kewajiban shalat, dan tentunya akan di ulangi kembali shalat yang dilakukan pada masa berkateter dikemudian hari ketika sudah dinyatakan sembuh oleh dokter dan boleh untuk melepaskan kateter dari tubuhnya.  

Sebagaimana menurut al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz 3 halaman 136 sebagai berikut:

أما حكم المسألة فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب ان يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث ابي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ” وإذا أمرتكم بشئ فاتوا منه ما استطتم ” رواه البخاري ومسلم

“Adapun hukum permasalahan ketika terdapat suatu najis yang tidak dimaafkan di tubuh seseorang dan dia kesulitan untuk menghilangkannya, maka dia wajib melakukan shalat dengan keadaan tersebut untuk menghormati waktu shalat yang masuk, sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda dan jika kalian diperintahkan untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim”.

Demikian jawaban terkait hukum sholat pasien berkateter urin, sahkah?  Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Anak Kecil Menjadi Imam Shalat, Sahkah?

Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani

Kitab Shalat

فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ

Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam

Hadits #411

Imam Anak Kecil Belum Baligh

عَنْ عَمْرو بْنِ سَلِمَةَ قَالَ: قَالَ أَبِي: جِئْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقّاً،قَالَ: «فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآناً»، قَالَ: فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآناً مِنِّي، فَقَدَّمُونِي، وَأَنَا ابْنُ سِتِّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ.

Dari ‘Amr bin Salimah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa bapaknya berkata, “Aku sampaikan sesuatu yang benar-benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bila waktu shalat telah datang, maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan hendaknya orang yang paling banyak menghafal Al-Qur’an di antara kalian menjadi imam.” Amr berkata, “Lalu mereka memeriksa dan tidak ada seorang pun yang lebih banyak menghafal Al-Qur’an melebihi diriku. Kemudian mereka menyarankan padaku untuk maju menjadi imam, padahal usiaku masih enam atau tujuh tahun.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan An-Nasai) [HR. Bukhari, no. 4302; Abu Daud, no. 585; An-Nasai, 2:80].

Faedah hadits

  1. Hadits ini menjadi dalil bahwa yang lebih banyak hafalan Al-Qur’an lebih didahulukan menjadi imam. Aqra’ dalam hadits lainnya yang dimaksudkan adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Namun, Imam Syafii rahimahullah mengatakan al-aqra’ dari kalangan sahabat adalah yang paling fakih.
  2. Urutan yang menjadi imam dalam madzhab Syafii: (1) yang paling fakih, (2) yang paling banyak hafalan, (3) yang paling wara’, (4) yang paling tua, (5) yang paling baik nasabnya, (6) yang paling bagus penyebutannya, (7) yang paling bersih bajunya, (8) yang paling bagus suaranya, (9) yang paling bagus akhlaknya, (10) yang paling bagus wajahnya. Namun, jika di masjid ada imam tetap, maka ia lebih didahulukan. Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 107.
  3. Anak kecil sah menjadi imam dalam shalat fardhu jika memang ia pandai membaca Al-Qur’an, ia memahami Al-Qur’an, dan sudah tamyiz.
  4. Anak kecil boleh mengimami orang dewasa dan yang berusia tua. Namun, imam anak kecil yang memimpin kaum baligh/ dewasa itu khilaful awla (menyelisihi hal yang utama).
  5. Menjadi imam lebih utama daripada menjadi muazin. Karena muazin tidak diberikan syarat tertentu.

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:397-400.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:27-28.
  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. Hlm. 107.



Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/37564-hukum-anak-kecil-menjadi-imam-shalat-sahkah.html

Shalat Gerhana Bulan Sendirian, Sahkah?

Gerhana Bulanakan terjadi pada tanggal 08 November 2022. Menurut fiqih Islam, ketika terjadi gerhana bulan, maka sunah hukumnya melaksanakan shalat sunah gerhana. Nah, lantas muncul persoalan, shalat gerhana bulan secara sendirian (tidak berjamaah), apakah shalatnya sah?

Menurut Imam Syihabuddin al-Nafrawi  al Azhari al Maliki, dalam kitab al-Fawakih al-Dawani mengatakan bahwa shalat sunah gerhana bulan tidak dikerjakan secara berjamaah— dilaksanakan secara sendirian (munfarid)—, dan lebih istimewa dikerjakan di rumah. Beliau berkata:

وليس في صلاة خسوف القمر جماعة، وليصل الناس عند ذلك أفذاذا لأنها مستحبة على المعتمد، ففعلها في البيوت أفضل

Artinya: Tidak dianjurkan shalat gerhana bulan itu dilaksanakan secara berjamaah. Untuk itu, umat Islam hendaknya melaksanakan shalat gerhana bulan itu secara sendiri-sendiri. Shalat gerhana bulan secara munfarid/ sendiri hukumya sunah, menurut pendapat yang muktamad . Di samping itu, melaksanakan shalat gerhana bulan di rumah itu lebih diutamakan.

Pada sisi lain, Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al- Kaff secara terperincidalam kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidahbahwa melaksanakan shalat sunah gerhana bulan sunah hukumnya. Dan bisa dilaksanakan secara munfarid/sendirian, dan hukumnya masih sunah.

Habib Syekh Al-Kaff mengatakan pada halaman 347;

و حكمها سنة مؤكدة, ولو لمنفرد, و يكره تركها

Artinya: Hukum shalat gerhana bulan itu sunah, meskipun dikerjakan secara sendiri, dan makruh hukumnya meninggalkan shalat gerhana bulan.

Sementara itu, Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas‟ud Al-Kasani al-Hanafi, mengatakan bahwa dalam mazhab Hanafi, shalat sunah gerhana bulan, tidak dikerjakan dengan cara Jamaah— tetapi dikerjakan secara sendiri-sendiri—, sedangkan yang menyebutkan hukum shalat sunah gerhana bulan Jamaah itu , dari kalangan mazhab Syafi’i. Imam Al-Kasani menerangkan itu dalam kitab Bada’i al-Shonai’.

وَأَمَّا خُسُوفُ الْقَمَرِ فَالصَّلَاةُ فِيهَا حَسَنَةٌ لِمَا رَوَيْنَا عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «إذَا رَأَيْتُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَفْزَاعِ شَيْئًا فَافْزَعُوا إلَى الصَّلَاةِ» وَهِيَ لَا تُصَلَّى بِجَمَاعَةٍ عِنْدَنَا، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ تُصَلَّى بِجَمَاعَةٍ

Artinya: Shalat gerhana bulan yang dilaksanakan di dalam rumah itu sangat bai. Pasalnya ada riwayat yang kami dapatkan dari Nabi, yang  menyebutkan bahwa Nabi bersabda, “Tatkala kalian menyaksikan fenomena  yang mengagetkan ini, maka segeralah laksanakan shalat.”

Ada pun  menurut Mazhab Hanafi shalat gerhana bulan  itu tidak dikerjakan secara berjamaah,sedangkan dalam pandangan  mazhab Syafi’i, sunah hukumnya dilaksanakan shalat gerhana bulan secara berjamaah.

Terkait khutbah shalat gerhana bulan yang dikerjakan secara sendiri-sendiri, Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni as-Syafi’i dalam kitab Kifayatu al Akhyar menjeskan bahwa barang siapa yang mengerjakan shalat gerhana secara sendirian/munfarid, maka tidak pakai khutbah. Artinya, shalat gerhana yang dikerjakan sendirian, tidak perlu memakai khutbah. Pasalnya, khutbah dalam shalat gerhana bulan hukumnya sunah. Jadi shalat tetap sah.

Syekh Taqiyuddin al Hishni berkata;

فِي كسوف الْقَمَر) وَمن صلى مُنْفَردا لم يخْطب وَيسْتَحب الْجَهْر بِالْقِرَاءَةِ فِي خُسُوف الْقَمَر)

Artinya; pada shalat gerhana bulan, barang siapa yang mengerjakannya secara sendiri-sendiri, maka tidak perlu khutb, akan tetapi disunahkan menyaringkan bacaan tatkala shalat gerhana bulan.

Imam Nawawi secara tegas menyebutkan bahwa bagi yang shalat sendirian tak perlu pakai khutbah, cukup mengerjakan shalat gerhana bulan saja. Dalam al Majmu’ Syarah al Muhadzab, dijelaskan bahwa khutbah itu hukumnya sunah, dan bukan menjadi syarat sah shalat gerhana bulan.

Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab, berkata ;

اتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى اسْتِحْبَابِ خُطْبَتَيْنِ بَعْدَ صَلَاةِ الْكُسُوفِ وَهُمَا سُنَّةٌ لَيْسَا شَرْطًا لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ, وَلَا يَخْطُبُ مَنْ صَلَّاهَا مُنْفَرِدًا

 Artinya: Telah sepakat Imam as-Syafii dan para pengikutnya atas kesunnahan dua khutbah setelah shalat gerhana. Dua khutbah itu hukumnya hanyalah sunnah, dan bukan menjadi syarat sahnya shalat gerhana. Dan tak membaca khutbah bagi orang yang shalat sendiri.

Demikian penjelasan terkait shalat sunah gerhana bulan sendirian, sahkah shalatnya? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Wudhu Gunakan Botol Spray, Sahkah?

Wudhu merupakan salah satu cara untuk menyucikan anggota tubuh menggunakan air.Setiap Muslim diwajibkan bersuci sebelum akan melaksanakan ibadah shalat.

Adapun teknis penyucian anggota wudhu ini dibagi menjadi dua macam, yaitu membasuh (al-ghuslu) dan mengusap (al-mashu).

Allah SWT telah berfirman dalam QS al-Ma’idah ayat 6, Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.

Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Lantas, bagaimana jika seseorang berwudhu dengan menggunakan botol spray?

Dalam kitab At-Tashil fi `Ulumit Tanzil telah dibedakan antara al-ghoslu dan al-mashu. Al-mashu adalah membasahi tubuh dengan usapan tangan yang terbasahi air, sementara al-ghoslu menurut Imam Malik adalah mengalirkan air dengan bantuan tangan dan menurut Imam Syafi’i berarti mengalirkan air (tanpa harus dengan bantuan tangan).

Saat berusaha berwudhu dengan menggunakan spray atau semprotan botol yang harus diperhatikan ada pada kegiatan membasuhnya.Dengan minimnya air yang ada, dikhawatirkan ada kekeliruan, yang harusnya dibasuh malah diusap.

Anggota tubuh yang saat wudhu wajib dibasuh, antara lain wajah, tangan sampai siku, serta kaki sampai ke mata kaki. Sementara, anggota tubuh yang wajib diusap adalah kepala, termasuk juga telinga.Selain empat bagian di atas, membasuh maupun mengusapnya hukumnya sunnah, menurut mayoritas ulama (jumhur).

Karena itu, perlu diingat anggota wudhu yang wajib dibasuh maka harus dibasuh, dengan cara mengalirkan air pada anggota badan tersebut. Jika kemudian diperlukan bantuan tangan untuk menjangkau bagian yang sulit dijangkau oleh aliran air, hal itu harus dilakukan.

Membasuh berarti tidak cukup sekadar semprotan tipis yang hanya membasahi dan tidak sampai mengalirkan air. Karena yang seperti ini disebutnya al-mashu atau mengusap, yang hanya berlaku pada bagian kepala.

Hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi siapa pun yang ingin berwudhu atau menyucikan diri dengan menggunakan semprotan botol.Peng gunaan spray tersebut diperbolehkan, asalkan kedua teknis pensucian anggota wudhu ini diperhatikan. Karena jika hal ini sampai salah, akan berdampak pada ketidak absahan wudhu yang dilakukan. 

Imam al-Jasshos dalam kitab Ahkamul Qur’an menyebut, “Anggota wudhu yang diperintahkan Allah dibasuh, tidak sah hanya dengan dengan diusap. Karena membasuh maknanya mengalirkan air pada tubuh. Ketika seorang tidak melakukan ini, maka tidak disebut membasuh. Adapun mengusap tidak mengharuskan hal tersebut.Mengusap cukup dengan membasahi anggota tubuh dengan air, tanpa harus mengalirkan air padanya.” 

IHRAM