Kebolehan Tidak Shalat Jumat Selama Penyebaran Covid-19 Masih Parah: Kata Quraish Shihab, Mufti Singapura, dan MUI

Prof. Quraish Shihab, mufasir kondang Indonesia ikut memberikan pandangannya terkait Corona dan anjuran melaksanakan shalat jumat serta shalat berjamaah di rumah terlebih dahulu. Kita tahu, beberapa hari belakangan, sejak jumlah pengidap virus yang disebut Covid-19 ini semakin bertambah, di berbagai belahan dunia para pemuka agama telah memutuskan untuk menganjurkan untuk menghentikan sementara shalat jumat agar penularan tidak makin parah. Diantara negara yang melakukan hal ini lebih dahulu adalah Singapura. Sementara, Arab Saudi sudah hampir satu bulan menutup kedatangan jamaah umrah dan membatasi kegiatan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Terakhir, Arab Saudi ikut melakukan lockdown (penutupan jalur keluar masuk wilayah) negara sementara waktu. Begitu juga di Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Dewan Fatwa Mesir juga telah menfatwakan anjuran untuk melaksanakan shalat jumat di rumah bahkan larangan bagi yang sudah positif terinfeksi untuk datang ke tempat-tempat umum.

Prof. Quraish Shihab, selaku mufasir ternama di Indonesia ikut bersuara soal kebolehan tidak shalat jumat dalam kondisi seperti ini. Pernyataan sepanjang 1 menit ini disampaikan beliau dalam wawancara dengan putri beliau, Najwa Shihab yang diunggah di akun Instagram pribadinya. Najwa Shihab yang juga founder Narasi.tv menyebutkan dalam caption kalau video selengkapnya akan diunggah juga.

“Nah, sekarang virus Corona. Semua sepakat menyatakan bahwa ia membahayakan jiwa manusia. Maka, ulama-ulama berfatwa tidak dianjurkan untuk mendatangi shalat-shalat jamaah bahkan shalat jumat. Dulu, pada zaman sahabat-sahabat Nabi Saw. pernah terjadi hujan lebat sehingga jalanan menjadi becek. Azan ketika itu dirubah redaksinya, pada kalimat “Hayya ‘ala as-Shalah”, kemudian diganti menjadi “shalatlah di rumah-rumah kalian” (Shollu fii Rihaalikum). Itu tidak berkaitan dengan berbahaya, tapi berkaitan dengan kesehatan dan kemudahan. Itu pandangan agama.”

Sementara itu, ketua MUI Jakarta K.H. Munahar Muchtar ikut menyampaikan pendapat yang senada. « Menangguhkan shalat jumat sementara selama dua minggu sudah sesuai dengan Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 ». Disampaikan bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyampaikan bahwa semua kegiatan rumah peribadatan ditunda selama dua pekan. Konsekuensinya bagi umat Islam, shalat Jumat ditiadakan selama dua pekan dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah masing-masing. Keputusan ini diambil bersama dnegan Forkopimda dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Langkah ini diambil sebagai langkah bersama melindungi saudara sebangsa dengan meminimalisir semua kemungkinan penularan.

K.H. Munahar Muchtar menyampaikan, “atas nama MUI DKI Jakarta, pada umat Islam, pada para tokoh, para ulama agar supaya menunda setiap kegiatan yang sifatnya berjamaah baik di masjid, majlis taklim, dan tempat-tempat lainnya dalam rangka melindungi warga Jakarta”.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) DKI Jakarta H. Makmum Al-Ayyubi di tempat yang sama meminta agar seluruh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid untuk merujuk fatwa MUI tersebut dengan menunda dulu semua kegiatan yang bersifat berjamaah di masjid, majlis taklim dan tempat-tempat lainnya.

Mufti Singapura Kritik Muslim yang Bilang “Hanya Takut Allah, Tidak Perlu Takut Virus”

Di Singapura, Mufti Singapura Dr. Naziruddin Mohd Nasir menyampaikan pesan yang mengkritik pandangan sebagian muslim yang mengatakan tidak perlu takut dengan adanya Covid-19, sehingga tidak masalah kita tetap mengadakan kegiatan keagamaan. Ia mengatakan seperti disampaikan di unggahan akun Instagram resmi Kantor Kemuftian Singapura,

I hear that some foreign religion organisers say that fear God more than viruses and therefore they continue with gatherings. This is not the time to be senseless and irresponsible. I would like to be absolutely clear. We fear Gof by being responsible human beings. We fear God by not causing harm to others. We do not fear God by being reckless and by ignoring safety precautions.

“Saya mendengar beberapa pemuka agama di luar negeri ada yang bilang kalau takut kepada Tuhan lebih utama dibanding takut kepada virus, dan selanjutnya mereka tetap meneruskan acara keagamaannya. Ini bukan saatnya jadi tidak peka dan tidak bertanggung jawab. Saya harus bersikap yang tegas soal ini. Kami takut Allah dengan menjadi manusia yang bertanggung jawab. Kami takut Allah dengan tidak membahayakan orang lain. Kami jadi tidak takut Allah ketika tidak berpikir panjang dan malah tidak berjaga-jaga dari dampak buruk.”

Seminggu sebelumnya, Singapura telah lebih dahulu memutuskan untuk menghentikan shalat jumat sementara dua minggu kedepan. Ini merupakan respon atas munculnya dua pasien positif Corona yang sempat mengikuti kegiatan Jamaah Tabligh di Malaysia. beberapa hari sebelumnya.

BINCANG SYARIAH

MUI Bahas Pola Ibadah Masa Pemberlakuan New Normal

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah membahas pola penyelenggaraan ibadah maupun aktivitas keagamaan di era new normal nanti.

MUI juga melakukan evaluasi terhadap efektivitas aturan pemerintah di masa pandemi selama ini. Setelah itu MUI akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. “Kita tidak mau terburu-buru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, KH Sholahuddin Al Aiyub, di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurut dia, keselamatan jiwa masyarakat harus diutamakan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, bahkan kepentingan masalah keagamaan sekalipun. Ia juga mengingatkan, dalam hal masalah keagamaan itu ada alternatif lain yaitu alternatif rukhsoh.

“Sementara kalau untuk menjaga jiwa masyarakat atau umat Islam itu tidak ada alternatif lain. Maka dalam hal ini, MUI ingin mendahulukan itu (perlindungan jiwa masyarakat). Kesimpulan seperti apa, saat ini masih digodok,” katanya.

Menurut Sholahuddin, perlu pendekatan yang lebih mikro dan bukan secara nasional untuk memastikan apakah suatu daerah bisa melaksanakan aktivitas keagamaan di rumah ibadah pada era new normal nanti. “Kondisi daerahnya seperti apa, tingkat penyebarannya seperti apa, karena ini variabel yang penting,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia mengaku heran dengan kurva kasus Covid-19 yang masih menunjukkan tingginya penularan. Padahal menurutnya tingkat kepatuhan dan pemahaman masyarakat terhadap protokol medis sudah cukup bagus.

Contohnya pada saat melaksanakan sholat Idul Fitri akhir pekan lalu. “Kita mendapat laporan, aspek protokol kesehatan menjadi pertimbangan utama para jamaah untuk melakukan sholat Id,” ujar dia.

Sholahuddin menjelaskan, banyak kalangan Muslim saat itu yang tidak menggelar sholat Id dalam kapasitas yang besar. Mereka menggelar shalat Id di lingkup yang kecil seperti di area perumahan dengan membagi per blok atau klaster.

Dalam kondisi demikian, Sholahuddin mengakui, memang seharusnya ada dampak terhadap kurva kasus Covid-19. Tetapi nyatanya, masih belum berdampak pada penurunan grafik penularan Covid-19. Bahkan masih tinggi. Karena itu dia mengatakan, MUI ingin mengkajinya secara mendalam.

Menurut dia, variabel kepatuhan protokol medis sudah bagus tetapi kok penularan masih tinggi, ini sebenarnya karena apa. Informasi-informasi ini akan menjadi pertimbangan yang penting untuk merumuskan rekomendasi MUI kepada pemerintah. (Azhar/ Nashih)

MAJELIS ULAMA INDONESIA