Sujud Tilawah

Sujud tilawah disunahkan pada orang yang membaca dan mendengarkan ayat sajdah atau orang  orang yang sengaja memperhatikan isi bacaannya

DALAM A-Quran terdapat ayat-ayat dimana orang yang membaca atau mendengarnya  (ayat tersebut) disunahkan untuk melakukan sujud. Sujud ketika  membaca atau mendengar ayat-ayat tersebut disebut dengan Sujud tilawah atau sajdah tilawah, yang jumlahnya hanya sekali sujud saja.

Tempat ayat-ayat tersebut ada dalam Surat al-A’raaf, Ar-Ra’d, An-Nahl, Al-Israa’, Surat Maryam, Al-Hajj, Al-Furqaan, An-Naml, As-Sajdah, Shaad, Hamim, An-Najm, Al-Insyiqaaq, dan Surat al’ Alaq.

Pensyari’atan sujud tilawah

Sujud tilawah disunahkan kepada orang yang membaca dan mendengarkan ayat tersebut; yaitu orang yang sengaja untuk mendengarkan dan memperhatikan isi bacaannya. Adapun orang yang hanya sekadar mendengarnya tidak memperhatikan isinya, dan tidak hendak mendengarkannya, maka menurut Madzhab Hanbali dan orang-orang yang sependapat dengannya, tidak perlu melakukan sujud tilawah.

Menurut Madzhab Syafi’i, “Sujud tilawah dianjurkan kepadanya, tetapi tidak ditekankan seperti orang yang mendengarkan dan memper hatikannya.”

Sesungguhnya, orang yang mendengarkan dan memperhatikan bacaan Al-Quran baik orang yang membacanya sedang shalat atau tidak, baik orang yang membacanya melakukan sujud atau tidak, dia dianjurkan untuk melakukan sujud tilawah.

Sementara Madzhab Hanafi mengatakan, “Sujud tilawah adalah wajib,

namun kewajibannya tidak harus dilakukan dengan segera atau serta merta, kecuali jika sujud ini bersamaan dengan shalat. Ketika itu, dia harus melakukan sujud secara langsung, atau begitu bacaan ayat yang mengharuskan sujud itu selesai.”

Syarat-syarat sujud tilawah

Syarat-syarat yang berlaku bagi shalat sunah juga dipersyaratkan untuk melakukan sujud tilawah. Misalnya suci dari hadats, kotoran, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Begitulah pendapat yang dikemakakan oleh jumhur fuqaha.

Akan tetapi, Madzhab Zhahiyah mengatakan bahwa sujud tilawah boleh dilakukan tanpa wudhu dan bersuci karena sujud tilawah menurut pandangan mereka bukanlah shalat sehingga untuk melakukannya harus memenuhi syarat-syarat melaksanaan shalat.

Madahab Hanbali dan Maliki mengatakan bahwa orang yang membaca ayat sajdah, yang mengharuskan pendengarnya bersujud, haruslah orang yang layak untuk menjadi imam bagi orang yang mendengamya, sehingga orang yang mendengarnya disunahkan mela kukan sujud karenanya.

Di samping itu, mereka mempersyaratkan bahwa orang yang membaca juga harus sujud sehingga orang yang mendengar nya disunahkan untuk melakukan sujud.

Madzhab Syafi’i mengatakan, “Dianjurkan bagi orang yang mendengarkannya untuk melakukan sujud, walaupun pembacanya bukan orang yang layak untuk menjadi imam bagi pendengarmya atau orang yang membacanya tidak melakukan sujud.

Cara melakukan sujud tilawah

Kalau orang yang membaca ayat sajdah tadi sedang dalam keadaan shalat, maka dia dianjurkan melakukan sujud dengan takbir dan bangun dari sujud dengan takbir lalu meneruskan shalatnya. Dan kalau ayat sajdah tersebut adalah akhir surat yang dia baca, maka dianjurkan mendahulukan sujudnya, lalu membaca beberapa ayat dari surat selanjutnya, kemudian ruku’.

Namun kalau dia bangun dari sujudnya dan tidak membaca apa-apa, maka boleh-boleh saja. Akan tetapi kalau dia berpindah dari sujud tilawah itu kepada ruku’ secara langsung (atau idak bangun kemudian ruku) maka amalan ini tidak diperbolehkan.

Kalau pembaca ayat sajdah ini tidak sedang shalat, maka dianjur kan bertakbir, dan lebih afdhal kalau dia mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Begitulah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i karena takbir ini menurut mereka adalah takbir iftitah, seperti halnya takbiratal ihram kemudian dia bertakbir lagi untuk sujud.

Sedangkan Madzhab Hanbali dan Maliki mengatakan, “Sebaiknya dia bertakbir satu kali saja untuk sujud dan tidak bertakbir untuk iftitah lalu sujud dan mengucapkan bacaan yang biasa diucapkan dalam sujud ketika melakukan shalat-shalat biasa.

Kemudian mengangkat kepala dari sujudnya sambil bertakbir, lalu mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Dan kalau dia mencukupkan diri melakukan satu kali salam ke kanan juga boleh. Sujud ilawah boleh dilakukan ketika kita sedang dalam perjalanan, yaitu melakukan sujud dengan isyarat.*

HIDAYATULLAH

Dua Jenis Tilawah Al-Qur’an

Allah memerintahkan kepada kita untuk tilawah (membaca) Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَلِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang selalu tilawah (membaca) membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri .“ (Al Fathiir : 29-30)

Tilawah Al Qur’an ada dua jenis, yaitu   tilawah lafdziyyah dan tilawah hukmiyyah

Tilawah Pertama : Tilawah Lafdziyyah

Yang dimaksud tilawah lafdziyyah adalah tilawah secara lafaz, yaitu dengan membacanya. Terdapat banyak dalil yang mneyebutkan tentang keutamaan membaca Al Qur’an , baik secara keseluruhan atapun untuk beberapa ayat dan surat tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَه

Artinya:

Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

Artinya:

“Orang yang lancar membaca Al-Qur’an akan bersama malaikat utusan yang mulia lagi berbakti, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan tersendat-sendat lagi berat, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Muslim)

Masih banyak dalil-dalil lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan membaca Al-Qur’an.  Khususnya di Bulan Ramadan ini, marilah kita memperbanyak tilawah jenis pertama ini. Dahulu para salafusshalih sangat bersemangat untuk memperbanyak bacaan Al-Qur’an baik di dalam ataupun di luar shalat

Tilawah Kedua : Tilawah Hukmiyyah

Yang dimaksud tilawah hukmiyyah yaitu membenarkan berita-berita yang ada di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ini adalah merupakan tujuan terpenting diturunkannya Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfiman :

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

Artinya:

“  Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran “ (Shaad:29)

Para shalafusshalih menjalani berbagai tahapan dalam berinteraksi dengan Al Qur’an. Mereka mempelajari, membenarkan, dan merealisasikan hukumnya secara nyata. Semua itu lahir dari akidah yang kokoh dan keyakinan yang benar terhadap Al-Qur’an.

Abu ‘ Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, “ Kami diberitahu oleh orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Usman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan yang lainnya bahwa jika mereka mempelajari Al-Qur’an dari Nabi sebanyak sepuluh ayat, maka mereka tidak melewatinya sampai mereka mempelajari kandungannya berupa ilmu dan amal. Mereka berkata :

فتعلم القرآن  و العلم و العمل جميعًا

Artinya:

Mempelajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal bersamaan secara keseluruhan. “

Inilah bentuk tilawah yang padanya berkisar antara  kebahagiaan atau kesengsaran. Allah Ta’ala berfirman :

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعاً بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

Artinya:

Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan“. (Thaaha : 123-127)

Di dalam ayat yang mulia di atas, Allah menjelaskan ganjaran bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya yang diwahyukan kepada para rasul, dan wahyu yang terbesar adalah Al-Qur’an. Allah juga menjelaskan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya. Adapun ganjaran bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya adalah mereka tidak akan tersesat dan sengsara. Ditiadakannya kesesatan dan kesengsaraan ini mengandung kesempurnaan petunjuk dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara balasan bagi orang-orang yang berpaling dan sombong dari petunjuk-Nya adalah kesengsaraan dan kesesatan di dunia dan di akhirat. Dia akan mengalami kehidupan yang sempit. Di dunia dia akan merasakan kesedihan, kegundahan, dan jiwa yang hampa dari aqidah yang benar dan amal yang saleh.  Allah menyifati mereka melalui firman-Nya,

أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Artinya:

“ Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. “ (Al A’raf:79).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

Artinya:

Al-Qur’an itu bisa menjadi pembelamu atau musuh bagimu.” (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “ Al-Qur’an adalah pemberi syafaat yang diizinkan oleh Allah untuk memberi syafaat. Barangsiapa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuknya, maka ia akan menuntunnya menuju surga. Sebaliknya barangsiapa yang meletakkannya di belakang punggungnya dan tidak mau mengikutinya, maka ia akan menggiringnya menuju neraka. “

Kedua jenis tilawah di atas harus kita amalkan dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan kita. Ya Allah, berilah anugerah kepada kami untuk dapat melakukan tilawah kitab-Mu dengan sebenar-benarnya, dan jadikanlah kami mendapat kemenangan dan kebahagiaan dengannya.

Demikian, semoga bermanfaat. Walllahu waliyyu at-taufiq.

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Apa dan Mengapa Harus Bersujud Tilawah?

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Quran Al Karim.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka. (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyariatkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu Umar, Nabi shallalahu alaihi wa sallam pernah membaca Al Quran yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafii, Al Auzai, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu Abbas, Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyariatkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyariatkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafiiyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafii dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: Subhaana robbiyal alaa [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)

Dari Aisyah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa ketika ruku dan sujud: Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy. [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)

Dari Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika sujud membaca: Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo samahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin. [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan doa adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal alaa (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo samahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin, sebagaimana terdapat dalam hadits Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu alam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi, dia berkata bahwa dia shalat Isya (shalat atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca idzas samaaunsyaqqot, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi bertanya pada Abu Hurairah, Apa ini? Abu Hurairah pun menjawab, Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut. Abu Rofi mengatakan, Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini. (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Quran

1. Al Arof ayat 206

2. Ar Rodu ayat 15

3. An Nahl ayat 49-50

4. Al Isro ayat 107-109

5. Maryam ayat 58

6. Al Hajj ayat 18

7. Al Hajj ayat 77

8. Al Furqon ayat 60

9. An Naml ayat 25-26

10. As Sajdah ayat 15

11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)

12. Shaad ayat 24

13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)

14. Al Insyiqaq ayat 20-21

15. Al Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

INILAH MOZAIK

Sujud Tilawah

Sujud tilawah (Arab, سجود التلاوة) adalah gerakan sujud yang dilakukan ketika membaca ayat sajadah dalam Quran. Sujud tilawah terdiri dari sekali sujud. Sujud tilawah dapat dilakukan di saat sedang melakukan shalat atau di luar shalat. Sujud tilawah adalah ibadah yang disyariatkan oleh Rasulullah berdasarkan pada hadits-hadits sahih. Hukumnya sunnah muakkad menurut madzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki dan wajib menurut madzhab Hanafi.

DAFTAR ISI

  1. Pengertian Sujud Tilawah
  2. Dalil Dasar Sujud Tilawah
  3. Hukum Sujud Tilawah: Sunnah Dan Wajib
  4. Syarat Sujud Tilawah
  5. Bacaan Sujud Tilawah
  6. Cara Sujud Tilawah Di Luar Shalat
  7. Cara Sujud Tilawah Saat Shalat
  8. Ayat-Ayat Sajadah Dalam Quran
  9. Waktu Makruh Melakukan Sujud Tilawah

PENGERTIAN

Secara etimologis (lughawi) ia adalah masdar (verbal noun) dari fi’il madhi sa-ja-da. Asal dari sujud adalah merendahkan diri pada Allah. Dalam terma syariah sujud berarti meletakkan dahi atau sebagiannya pada bumi atau sesuatu yang berhubungan dengannya.

Sedangkan sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan karena membaca salah satu ayat Quran yang mengandung sajadah. Sujud tilawah tidak diawali dengan takbirotul ihrom dan tidak diakhiri dengan salam.

DALIL DASAR SUJUD TILAWAH

– Hadits riwayat Bukhari
كَانَ النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّورَةَ فِيهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ

Artinya: Rasulullah SAW membacakan kami suatu surat, kemudian beliau bersujud dan kami pun bersujud

– Hadits riwayat Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ ، اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ : يَا وَيْلَهُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ يَا وَيْلِي أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ

Artinya: Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.

– Hadits riwayat Bukhari
عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِي اللَّه عَنْه – قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ ، وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِي اللَّه عَنْهم

Artinya: Dari Umar bin Khattab dia pada hari Jum’at membaca di atas mimbar surat an-Nahl, hingga bila sampai pada ayat sajdah beliau turun lalu sujud sehingga orang-orang pun sujud. Saat Jum’at berikutnya, beliau membaca lagi surat tersebut hingga sampai pada ayat sajdah, beliau berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah. Barang siapa bersujud sungguh ia telah benar, dan barang siapa tidak bersujud maka tiada dosa baginya.’ Dan Umar sendiri tidak bersujud.

– Hadits riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Malik
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَهُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَجْدَةً فِي الْقُرْآنِ ، مِنْهَا ثَلَاثٌ فِي الْمُفَصَّلِ وَفِي سُورَةِ الْحَجِّ سَجْدَتَانِ

Artinya: Rasulullah saw telah mengajarkan kepadanya akan lima belas ayat sajdah dalam Al-Qur’an diantaranya, tiga ayat pada surat yang pendek dan dalam surat Al-Hajj ada dua sajdah.

– Hadits riwayat Muslim
… وإذا سَجَدَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Artinya: Dan ketika sujud Nabi berdoa: Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta]

– Hadits riwayat Muslim
عَنْ أَبِي رَافِعٍ – رضي الله عنه – قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – صَلَاةَ الْعَتَمَةِ فَقَرَأَ إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ، فَسَجَدَ فِيهَا فَقُلْتُ لَهُ : مَا هَذِهِ السَّجْدَةُ ، فَقَالَ : سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَا أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

Artinya: Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.

HUKUM SUJUD TILAWAH: SUNNAH DAN WAJIB

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa sujud tilawah itu mashruiyah (berdasarkan syariah) berdasarkan pada dalil Quran dan hadits. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam soal sifatnya apakah sunnah atau wajib.

Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa sujud tilawah adalah sunnah muakkad, tidak wajib. Madzhab Maliki menyatakan sunnah. Mereka mendasarkan pada dalil dari QS Al-Isra’ 17:107-109; dan hadits dari Abdullah bin Umar yang berkata: Rasulullah pernah membaca surat yang ada ayat sajadah-nya, lalu beliau sujud dan kami ikut sujud.

Sujud tilawah menurut ketiga madzhab di atas tidak wajib karena ada hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah terkadang tidak melakukannya. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ia berkata: Aku pernah membaca Quran Surah An-Najm di depan Nabi, tapi Nabi tidak bersujud tilawah (H.R. Bukhari Muslim).

Adapun yang menganggap sujud tilawah wajib adalah madzhab Hanafi. Wajib bagi pembaca dan pendengar berdasarkan pada hadits: Sujud tilawah wajib bagi orang yang mendengar dan membacanya.

SYARAT SUJUD TILAWAH

Dalam pelaksanaan sujud tilawah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Suci dari hadats kecil dan besar pada badan, pakaian dan tempat. Karena sujud tilawah itu seperti shalat atau bagian dari shalat maka disyaratkan seperti syaratnya shalat. Dalam sebuah hadits dikatakan: Shalat tidak diterima tanpa dalam keadaan suci.

2. Menutup aurat, menghadap kiblat, niat melaksanakan sujud tilawah.
3. Masuknya waktu sujud. Yaitu setelah selesainya atau sempurnanya membaca ayat yang mengandung sajadah. Jadi, kalau melakukan sujud sebelum ayat sajadah selesai dibaca, maka tidak sah.

BACAAN SUJUD TILAWAH

– Boleh membaca bacaan yang biasa dibaca saat sujud shalat yaitu (سبحان ربي الأعلى) Subhana Robbiyal A’la sebanyak 3x.

– Dapat juga ditambah dengan bacaan berikut (berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi):
سجد وجهي للذي خلقه وشق بصره وسمعه بحوله وقوته ، فتبارك الله أحسن الخالقين

– Juga disunnahkan membaca bacaan berikut (berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi):
اللهم اكتب لي بها عندك أجراً ، وضع عني بها وزراً ، وتقبَّلها مني كما تقبَّلتها من عبدك داود عليه السلام

CARA SUJUD TILAWAH DI LUAR SHALAT

Sujud tilawah dapat dilakukan saat sedang shalat atau di luar shalat. Adapun cara sujud tilawah di luar shalat adalah sebagai berikut:

1. Niat dan Membaca takbir dan mengangkat kedua tangan untuk melaksanakan sujud sebagaimana cara mengangkat tangan saat sujud takbirotul ihrom (takbir pertama) saat shalat.

2. Lalu sujud tanpa mengangkat tangan saat turun hendak sujud.
3. Sujud hanya satu kali dan sunnah membaca “سبحان ربي الأعلى” tiga kali dan membaca doa berikut [سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ]
4. Lalu mengangkat kepala dari sujud dengan membaca takbir.
5. Duduk tanpa membaca tahiyat (tasyahud) dan
6. Diakhiri dengan mengucapkan salam.

CARA SUJUD TILAWAH SAAT SHALAT

Kalau sujud tilawah dilakukan saat sedang shalat karena membaca ayat Quran yang mengandung sajadah, maka tatacaranya sedikit berbeda yakni tanpa diakhiri dengan salam. Detailnya sebagai berikut:

1. Niat dan Mengucapkan takbir untuk sujud
2. Saat sujud mengucapkan “سبحان ربي الأعلى” tiga kali. Jumlah sujud hanya sekali.
3. Mengucapkan takbir saat bangun dari sujud.
4. Selesai sujud berdiri tegak kembali dan meneruskan bacaan shalat kalau masih ada ayat yang hendak dibaca. Kalau tidak ada lagi ayat yang ingin dibaca, maka ia dapat melakukan rukuk shalat.

AYAT-AYAT SAJADAH DALAM QURAN

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa ayat sajadah terdapat dalam 10 ayat dalam Al-Quran. Berikut ayat-ayat sajadah yang sunnah melakukan sujud tilawah setelah selesai membaca ayat tersebut.

1. Quran Surat Al-A’raf ayat 206
2. QS Ar-Ra’d ayat 15
3. QS An-Nahl ayat 49
4. QS Al-Isra ayat 107
5. QS Maryam ayat 58
6. QS Al-Haj ayat 18
7. QS An-Naml ayat 25
8. QS As-Sajadah ayat 15
9. QS Al-Furqan ayat 60
10. QS Fussilat ayat 38
11. QS Al-Haj ayat 77
12. QS An-Najm ayat 62
13. QS Al-Insyiqaq ayat 21
14. QS Al-Alaq ayat 19
15. QS Shad ayat 28

WAKTU MAKRUH MELAKUKAN SUJUD TILAWAH

Sujud tilawah makruh dilakukan pada waktu-waktu yang makruh melakukan shalat sunnah yaitu:

1. Setelah shalat subuh sampai terbit matahari.
2. Saat terbit matahari sampai naik setinggi panah atau sekitar 25 detik.
3. Saat matahari tepat berada di atas yakni sekitar 3 detik.sebelum masuk waktu dhuhur.
4. Sepertiga jam sebelum terbenam matahari.
5. Ketika terbenam matahari

ALKHOIROT


Beberapa Hukum Seputar Sujud Tilawah dalam Shalat

Sujud Tilâwah merupakan salah satu sujud yang disyariatkan dalam Islam bagi yang membaca ayat-ayat sajdah dan yang mendengarkannya. Kalau kita melihat keadaan orang yang membaca dan mendengar ayat-ayat sajdah maka tidak lepas dari dua keadaan; membaca atau mendengarnya dalam shalat atau diluar shalat.

Ada beberapa permasalahan terkait sujud tilawah dalam shalat, diantaranya:

HUKUM IMAM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT JAHRIYAH
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pertama : Pendapat yang menyatakan disyariatkan dan dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat nâfilah (sunnah) agar melakukan sujud tilâwah. Ini pendapat mayoritas Ulama, diantaranya madzhab Hanafiyah (lihat Fathul Qadîr 2/14), Syâfi’iyyah (lihat al-Majmû’ 4/58), Hanabilah (lihat al-Mughni 2/371), Zhâhiriyah (lihat al-Muhalla 5/157) dan riwayat Abdullah bin Wahb dari Mâlik (lihat al-Muntaqâ 1/350).

Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya:

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at saat shalat Shubuh membaca surat Sajdah dan al-Insân [HR. Al-Bukhâri no. 891]

2. Hadits Abu Raafi’ beliau berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

Aku shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “idzas samâ’un syaqqat”, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud. Lalu Abu Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Apa ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qâsim (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidak pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat itu.” [HR. Al-Bukhâri no. 768 dan Muslim no. 578]

3. Amalan ini sudah ada dari sejumlah ahli fikih dari kalangan Shahabat seperti Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka.

Kedua: Dimakruhkan membaca ayat-ayat sajadah dalam shalat fardhu, sedangkan dalam shalat nâfilah tidak dimakruhkan. Ini merupakan pendapat imam Mâlik dalam satu riwayat yang menjadi pendapat madzhab Mâlikiyah.

Pendapat ini berargumen dengan dua alasan :
1. Apabila tidak sujud maka masuk dalam ancaman yang diisyaratkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ ۩

Dan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud, [Al-Insyiqâq/84:21]

Apabila sujud berarti menambah jumlah sujudnya. [Lihat Hasyiyah ad-Dûsuqi, 1/310]

2. Hal ini mengakibatkan orang yang dibelakang imam bingung dan salah, karena hal ini perkara yang tidak biasa dalam shalat [Lihat al-Muntaqa 1/350]

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama karena hadits-hadits yang shahih menunjukkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat sajadah dalam shalat dan melakukan sujud tilâwah dalam shalat. Wallâhu a’lam.

HUKUM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT SIRRIYAH SEPERTI SHALAT ZHUHUR DAN SHALAT ASHAR
Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah. Dalam masalah ini para Ulama fikih berbeda pendapat dalam beberapa pendapat:

Pertama: Dimakruhkan.
Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah namun dianggap sebagai pendapat madzhab serta pendapat sebagian Ulama madzhab Mâlikiyah.

Mereka beralasan dengan dua alasan:
1. Apabila tidak sujud berarti meninggalkan sunnah dan kalau sujud akan menimbulkan kesalahfahaman pada makmum. Karena bisa jadi mereka menyangka sang imam salah, karena mendahulukan sujud daripada ruku’. [Lihat al-Muntaqa, 1/350 dan al-Mughni, 2/371]

Alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa meninggalkan amalan sunnah tidak menjadikan membaca ayat sajdah dalam masalah ini dimakruhkan; karena meninggalkan amalan sunnah tidak makruh. Sebab kalau meninggalkan amalan sunnah dihukumi makruh maka kita berpendapat shalat tidak menggunakan sandal hukumnya makruh dan tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihrâm hukumnya makruh serta tidak mengucapkannya secara jahr pada shalat jahriyah adalah makruh [Lihat asy-Syarhu al-Mumti’ 4/148].

2. Apabila sujud berarti menambah jumlah sujud dalam shalat.
Alasan ini terbantahkan. Memang benar ada penambahan sujud, namun penambahan seperti itu tidak apa-apa, sebab terbukti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam shalat.

Kedua: Dimakruhkan dalam shalat fardhu, namun tidak dimakruhkan pada shalat nâfilah (sunnah). Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah.
Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan pendapat yang pertama dalam shalat fardhu dan mengecualikan shalat nâfilah dengan dasar yaitu sujud itu bersifat sunnah dan shalat nafilah itu juga bersifat sunnah sehingga sujud tersebut tidak menjadi ibadah tambahan dalam shalat nâfilah. [Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi 1/310].

Ketiga: Tidak dimakruhkan secara mutlak. inilah pendapat madzhab Syafi’iyah (lihat al-Majmû’ 2/95) dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah (lihat al-Mughni 2/371) serta pendapat Ibnu Hazm [Lihat al-Muhalla 5/157].

Mereka berdalil dengan hadits Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ فَرَأَوْا أَنَّهُ قَرَأَ تَنْزِيلَ السَّجْدَةَ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dalam shalat Zhuhur kemudian bangkit lalu ruku’ lalu para Shahabat melihat Beliau membaca surat as-sajdah [HR. Abu Dawud dan didhaifkan al-Albani dalam al-Misykah no. 1031].

Mereka juga berdalil dengan tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh.

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang ketiga ini, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh, sementara dasar atau alasan pendapat lain dalam menetapkan hukum makruhnya itu lemah. Karena tugas makmum hanya mengikuti imam. Jadi, jika imam melakukan sujud tilâwah, maka makmum hanya ikut saja dan ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Begitu pula apabila seorang makmum tatkala berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam. Pendapat inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudâmah. [Lihat al-Mughni, 3/104].

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat yang membolehkannya dengan menyatakan, “Diperbolehkan imam membaca ayat sajdah dalam shalat siriyah dan sujud sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Syarhu Mumti’ 4/103].

CARA SUJUD TILAWAH.
Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud.
2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan salam setelahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” [Majmû’ al-Fatâwa, 23/165]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat. [Syarhu Mumti’ 4/100]

4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Umumnya pada Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]

Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah yang menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah dan beliau t menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar. [Lihat al-Majmu’ 4/63].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat, yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu [Syarhu Mumti’ 4/100].

5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut.
Dalam masalah disyari’atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Tidak Disyariatkan Mengangkat Tangan.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah (lihat al-Banâyah 2/734), madzhab Mâlikiyah (lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569), madzhab Syâfiiyah (lihat Mughnil Muhtâj 1/217) dan satu riwayat dari imam Ahmad dan dirajihkan sebagian ulama Hanabilah [Lihat al-Mughni 2/361].

Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata: Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujud. [HR al-Bukhari no.735].

Disini dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah Beliau lakukan dalam shalat.

Hal ini didukung dengan qiyâs (analogi) kepada sujud dalam shalat yang tanpa mengangkat kedua tangannya. [Lihat Mughnil Muhtâj 1/217].

Pendapat Kedua: Disunnahkan Mengangkat Tangan.
Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya. [Lihat al-Mughni 2/361]

Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujur Radhiyallahu anhu :

«أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ

Beliau shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan dan kekiri.” [HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya 1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh al-Albani dalam al-Irwâ’ no. 641]

Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan: Ini (sujud tilawah) masuk dalam ini semua. [Lihat al-Mughni 2/361].

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah menunjukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam sujud.

6. Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya:

1. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti :

a). Membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,

Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].

Juga karena hadits Uqbah bin ‘Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkata:

فَلَمَّا نَزَلَتْ: {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى: 1] قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ”

Ketika turun firman Allâh surat al-A’la ayat ke-1 maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: Jadikanlah ini dalam sujud-sujud kalian. [HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah [Syarhu mumti’ ].

b). Membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil:

Pertama: Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 : 15].

Kedua: Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Maha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484][Syarhu Mumti’].

2. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali :

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ

Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]

3. Bacaan yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu , beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca :

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Ya Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]

4. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma . Beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:

اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ،

Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Daud

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun berkata: Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut sampaikan dari perkataan pohon itu. [HR. Tirmidzi no. 576 dan dihasankan al-Albani rahimahullah].

Demikian beberapa masalah berkenaan dengan sujud tilawah dalam sholat. Semoga bermanfaat.

Wabillahittaufiq

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Read more https://almanhaj.or.id/4237-beberapa-hukum-seputar-sujud-tilawah-dalam-shalat.html

Baca Ayat Sajdah Sunahnya Sujud, Bagaimana Cara dan Doanya?

Sujud tilawah dilakukaan saat membaca ayat sajdah dalam Alquran.

Sujud tilawah di dalam shalat dilakukan tatkala imam membaca ayat-ayat sajdah. Jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum pun harus mengikuti. Sedangkan jika imam tidak sujud, maka makmum tidak boleh sujud sendiri.

Sedangkan sujud tilawah di luar shalat hanya disunahkan jika orang yang membaca ayat sajdah itu sujud. Apabila orang yang membaca ayat sajdah tidak sedang shalat, sementara yang mendengar sedang shalat, maka yang mendengarkan tidak dituntut untuk melakukan sujud tilawah. 

Hal demikian menurut pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Sementara Hanafi berpendapat, hendaknya bersujud tilawah apabila shalatnya selesai.  

Mengutip buku panduan “Shalat Lengkap dan Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah SAW” karya Abdul Kadir, disebutkan hadis dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda “Apabila manusia membaca ayat sajdah, kemudian dia sujud, menghindarlah setan dan dia menangis seraya berkata, ‘Hai celaka! Anak Adam disuruh sujud, lantas dia sujud maka baginya surga, dan saya disuruh sujud juga tetapi saya enggan, maka bagi saya neraka.” (HR Muslim).

Sementara itu, diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, ”Sesungguhnya, Nabi SAW pernah membaca Al-Quran di depan kami. Ketika bacaanya sampai pada ayat sajdah, beliau bertakbir, lalu sujud, maka kami pun sujud Bersama-sama beliau.” (HR Tirmidzi).

Oleh sebab itu ada beberapa kondisi yang biasa dilakukan untuk membaca ayat-ayat sajdah, yaitu di dalam shalat dan di luar shalat. 

Masih dari buku yang sama, disebut bahwa tata cara pembacaan dalam shalat, ayat-ayat sajdah dibaca setelah pembacaan surah al-Fatihah, dan langsung bersujud tanpa melakukan ruku ataupun i’tidal terlebih dahulu, hingga akhirnya melanjutkan ke posisi berdiri dan melanjutkan bacaan dan shalat sebagaimana mestinya hingga selesai.

Sementara di luar shalat, ketika mendengar ayat-ayat sajdah dalam bacaan Alquran, kita bisa bersujud langsung dengan posisi sebagaimana sujudnya dalam shalat. 

Hal serupa juga disebutkan dalam buku “Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Quran Kepada Para Sahabat” karangan Abdusallam Muqbil. 

Bila Rasulullah membaca ayat sajdah, dan beliau sedang mengajarkan Alquran pada para sahabat, beliau akan sujud tilawah.

Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar RA berkata, “Rasulullah SAW mengajarkan kami Alquran. Bila beliau membaca ayat sajdah, beliau sujud dan kami pun sujud Bersama beliau.” (HR Ahmad).  

Namun demikian, ada riwayat dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, “Aku membaca Alquran surah an-Najm di hadapan Nabi SAW, beliau tidak sujud pada ayat sajdah.” (HR al-Bukhari).

Oleh sebab itu, disebutkan bahwa tidak sujud tilawah pada saat mengajarkan Alquran, dikarenakan menyusahkan para pelajar dan juga gurunya karena banyaknya siswa.  

Lebih jauh, mengutip buku Fasholatan Lengkap: Tuntunan Shalat Lengkap, menyebutkan tata cara sujud tilawah ketika ayat sajdah dibacakan, di mana jika ayat telah dibaca kemudian bisa langsung sujud dengan baca takbir tanpa mengangkat kedua tangan.

Setelah sujud dan selesai membaca bacaan tilawah, gerakan kembali bangun disertai takbir dengan tangan yang tetap tak diangkat.

Secara umum, sujud tilawah sama dengan sujud wajib atau lainnya. Namun demikian, jumlah satu kali sujud tilawah tidak sama dengan sujud lainnya.

Sedangkan cara sujud tilawah di luar shalat, sama saja dengan syarat pada shalat, di mana harus suci dari hadast kecil ataupun besar, menutup aurat, menghadap kiblat dan jika telah masuk waktunya membaca ayat-ayat sajdah.

Lebih lanjut, jika surah yang dibaca terkandung ayat sajdah, maka sebaiknya melakukan sujud tilawah dengan membaca:

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِفَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Sajada wajhiya lilladzi khalaqahu washawwarahu wasyaqqa sam’ahu wabasharahu bihaulihi waquwwatihi fatabarakallahu ahsanul khaliqin. (Telah sujud wajhku kepada Dzat yang menciptakannya, yang menancapkan pendengaran dan penglihatan dengan daya dan kekuatannya. Mahasuci Allah sebaik-sebaik Pencipta.”

Seteleh melakukan sujud tilawah, bisa kembali meneruskan bacaan surah yang sedang dibaca. Secara umum, hukum sujud tilawah itu sunah dilakukan laki-laki maupun perempuan, baik yang mendengarkan ataupun yang membaca sendiri pada ayat sajdah, sekalipun tidak dalam posisi shalat.

KHAZANAH REPUBLIKA


Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca Muslim.Or.Id sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Jumadats Tsaniyyah 1436 H di sore hari ba’da Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc (Pengasuh Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html

Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html