Setiap bangsa dan agama pasti memiliki budaya dan peradabannya tersendiri. Budaya dan peradaban yang dibanggakan oleh setiap individunya dan dikenalkan secara turun temurun kepada anak cucunya. Setiap peradaban juga memiliki sejarahnya masing-masing. Sejarah yang mengisahkan tentang bagaimana peradaban itu bermula, menjelaskan juga peristiwa-peristiwa penting yang telah dilaluinya, dan membedakan hari-hari besarnya dengan peradaban lain atau budaya lain.
Di dalam agama Islam, kita mengenal salah satu warisan budaya dan peradaban Islam yang sangat fenomenal, yaitu sistem penanggalan Hijriah. Sebuah kalender penanggalan yang berpatokan dengan bulan untuk menentukan jumlah harinya. Sebuah penanggalan yang menjadi amat penting untuk diketahui oleh setiap muslim. Karena dengannya, ia dapat mengetahui hari-hari penting terkait sejarah Islam dan dengannya pula, ia dapat menentukan hari-hari kapan ia akan berpuasa dan berlebaran serta menentukan kapan ia harus membayar zakat dan lain sebagainya.
Sayang seribu sayang, jika kita bertanya kepada mayoritas umat Islam yang hidup di masa sekarang, kebanyakan dari mereka tidak hafal dan tidak terbiasa dengan sistem penanggalan Hijriah ini. Sebaliknya, mereka sangat hafal dan paham dengan sistem penanggalan Masehi. Yang sayangnya, jika kita runut kembali, sistem penanggalan ini bersumber dari agama yang berasaskan kemusyrikan dan kekufuran kepada Allah Ta’ala.
Saudaraku, berikut ini kami paparkan beberapa alasan kuat yang mengharuskan kita untuk kembali menggunakan kalender Hijriah serta membiasakan anak dan kerabat kita untuk menggunakannya.
Pertama: Kalender Hijriah adalah kalender yang diakui oleh Allah Ta’alaAllah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)Sistem penanggalan umat Islam yang digunakan untuk menandai berbagai macam waktu ibadah mereka adalah penanggalan yang berpatokan dengan peredaran bulan. Dan permulaan setiap bulannya ditandai dengan permulaan bulan baru, tidak sebagaimana penanggalan orang-orang Romawi dan Persia. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menekankan
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 189)Kedua: Ibadah-ibadah tahunan dalam Islam patokannya adalah kalender HijriahTidak seperti salat lima waktu yang penentuan waktunya berpatokan dengan peredaran matahari, ibadah-ibadah yang bersifat tahunan, penentuan waktunya berkaitan erat dengan peredaran bulan. Contohnya adalah ibadah puasa. Di dalam menentukan waktu mulainya puasa Ramadan, maka yang kita gunakan sebagai patokan adalah terbitnya hilal (bulan baru). Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah: 185)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan perihal tata cara mengetahui ‘bulan itu’ di dalam hadisnya yang berbunyi,
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (awal bulan baru). Dan jangan pula kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu melihat hilal. Bila hilal tertutup awan (mendung), maka perkirakanlah (jumlah harinya).” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)Kalender Hijriah juga menjadi patokan kapan dimulainya bulan-bulan haji. Allah Ta’ala berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah: 197)Yaitu, bulan Syawal, Zulkaidah, dan sepuluh awal bulan Zulhijah. Kesemuanya itu adalah nama-nama bulan dalam kalender Hijriah dan bukan yang lainnya.
Ketiga: Ibadah yang memiliki waktu dan durasi tertentu tidak diatur, kecuali dengan menggunakan penanggalan bulan HijriahBanyak sekali hukum-hukum fikih yang berkaitan erat dengan penanggalan dan kalender hijriah. Masa iddah (masa tunggu) perempuan yang tidak haid dan mereka yang sudah menopause adalah tiga bulan. Bulan apakah yang dimaksudkan? Tentu saja hitungan bulan dengan penanggalan Hijriah.Begitu pula dengan iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka jangka waktunya adalah empat bulan sepuluh hari. Iddah ini pun juga berdasarkan penanggalan Hijriah. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا ۚ
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 239)Dalam permasalahan zakat, apabila harta yang wajib dizakati tersebut telah melewati ‘satu tahun’, maka wajib untuk dikeluarkan. Lalu, ‘satu tahun’ apa yang dimaksudkan dalam permasalahan ini? Tentu saja maksudnya adalah satu tahun dengan perhitungan kalender Hijriah.Mereka yang menghitung masa tunggu (haul) dalam bab zakat dengan kalender Masehi, maka ia telah melakukan kezaliman karena telah memakan harta orang-orang yang berhak menerima zakat sebanyak dua puluh satu hari. Kenapa? Karena jumlah hari dalam kalender Masehi lebih banyak, sedangkan kalender yang disetujui penggunaannya oleh Allah Ta’ala untuk menghitung periode zakat adalah kalender Hijriah.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa bagaimana mungkin seorang muslim mengamalkan dengan tepat hukum-hukum fikih, kecuali jika dirinya benar-benar paham dengan sistem penanggalan Hijriah.Keempat: Menggunakan kalender Hijriah sama dengan mengakui identitas agama IslamKalender Hijriah merupakan salah satu identitas Islam yang Allah Ta’ala tentukan dengannya tanggal-tanggal penting umat ini. Sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tatkala ingin menentukan titik permulaan kalender Hijriah, maka beliau memilih tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai permulaannya, karena hijrah merupakan peristiwa penting yang dialami oleh kaum muslimin di masa tersebut. Pada tahun itu, kaum muslimin berpindah secara bertahap dari kota Makkah menuju Madinah, sebagai bentuk perlindungan mereka terhadap agama Islam.
Saat menentukan bulan permulaannya, Umar radhiyallahu ‘anhu lebih memilih bulan Muharam sebagai bulan pertamanya ketimbang bulan di mana Rasulullah berhijrah di dalamnya. Hal itu semata-mata karena beliau melihat bahwa bulan Muharam merupakan waktu pulangnya jemaah haji setelah melaksanakan salah satu ibadah yang paling utama. Sebuah ibadah yang memberikan ‘permulaan baru’ bagi setiap pelakunya. Mereka yang pulang dari haji, maka kondisinya layaknya bayi yang baru lahir, bersih dan suci tanpa adanya dosa sekecil apapun.Sungguh, penanggalan Hijriah benar-benar menjadi identitas kuat bagi umat Islam ini. Karena dengannya, kita menandakan dan mengingat kembali momen-momen besar yang telah dilalui oleh agama Islam sepanjang zaman.Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2023 muslim.or.idSumber: https://muslim.or.id/86014-seorang-muslim-harus-terbiasa-dengan-penanggalan-hijriah.html