Pengertian Tauhid, Urgensi dan Keutamaannya

Sebagaimana kita bahas dalam pengertian aqidah, salah satu sinonim dari aqidah adalah tauhid. Jika aqidah merupakan istilah baru, tauhid adalah istilah yang telah digunakan sejak masa awal Islam. Berikut ini pengertian tauhid, urgensi dan keutamaannya.

Pengertian Tauhid

Tauhid berasal dari kata وحد  – يوحد  – توحيدا , yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Secara istilah, tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meyakini keesaan-Nya tanpa menyekutukan-Nya dalam rububiyah-Nya, uluhiyah dan ibadah kepada-Nya serta nama-nama dan sifat-Nya.

Jika istilah aqidah merupakan istilah baru yang kita tidak menjumpainya dalam Al Qur’an, istilah tauhid telah ada sejak awal Islam. Dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan menjumpai istilah ini. Di antaranya sabda beliau kepada Muadz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ– وَفِيْ رِوَايَةٍ – : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ – فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang engkau sampaikan kepada mereka pertama kali adalah syahadat La ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah -dalam riwayat lain disebutkan, ‘Sampai mereka mentauhidkan Allâh.’-

Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaati hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir.

Dan jika mereka telah mentaati hal itu, maka jauhkanlah dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka. Dan lindungilah dirimu dari doa orang yang teraniaya karena sesungguhnya tidak satu penghalang pun antara doanya dan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Urgensi dan Keutamaan Tauhid

Tauhid memiliki urgensi yang sangat besar dalam Islam. Sebab dialah pondasi. Dialah yang paling utama membedakan orang mukmin dan orang kafir. Berikut ini delapan urgensi dan keutamaannya.

1. Tujuan penciptaan manusia

Tauhid merupakan tujuan penciptaan manusia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56)

2. Hakikat dakwah para Rasul

Semua nabi dan rasul, mereka berdakwah kepada manusia sesuai zamannya. Dalam syariat termasuk ritual ibadah, bisa jadi tiap rasul berbeda. Misalnya puasa Puasa Nabi Adam tiga hari setiap bulan yang kini kita kenal sebagai puasa ayyamul bidh. Puasa Nabi Daud dan umatnya, sehari puasa sehari tidak. Yang kini kita kenal sebagai Puasa Daud. Keduanya kini menjadi sunnah. Sedangkan yang wajib bagi umat Nabi Muhammad adalah Puasa Ramadhan.

Demikian pula shalat. Umat terdahulu shalatnya bukan lima waktu seperti sekarang. Bahkan Nabi Isa dan umatnya hanya boleh shalat di mihrab. Tidak seperti sekarang yang mudah bisa kita lakukan di mana pun, khususnya ketika sedang safar.

Meskipun kadang syariatnya berbeda, tetapi inti dakwah semua Nabi dan Rasul sama. Yakni mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut” (QS. An Nahl: 36)

3. Intisari ajaran Islam

Ajaran Islam sangat luas. Ia mencakup segala segi kehidupan. Tidak ada satu pun bidang kecuali Islam punya aturannya. Mulai dari pribadi, keluarga, pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan hukum. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi.

Islam adalah din yang komprehensif dan sempurna. Dan intisari ajarannya adalah tauhid. Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam rububiyah, uluhiyah maupun asma wa shifat.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya’: 25)

4. Kunci keselamatan

Tauhid adalah kunci keselamatan hidup, terutama kehidupan di akhirat. Tanpa bertauhid, seseorang akan celaka, kekal abadi di neraka.

عَنْ مُعَاذٍ – رضى الله عنه – قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ ، فَقَالَ يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ . قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَفَلاَ أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ia berkata, aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas seekor keledai yang dinamakan Ufair. Maka beliau bersabda, “Wahai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi hamba-Nya dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau pun bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah, bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Beliau menjawab, “Janganlah engkau menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, yang karenanya mereka akan menyandarkan diri (tak mau berbuat lebih).” (HR. Bukhari dan Muslim)

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas, semata mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Kunci keamanan dan petunjuk

Tauhid adalah kunci keamanan dan petunjuk. Seseorang yang mentauhidkan Allah, di dunia mereka merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki dan di akhirat mereka aman dari siksa yang pedih. Dengan bertauhid, seseorang akan mendapat petunjuk Allah untuk melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya yang tidak didapatkan orang-orang yang menyekutukan-Nya.

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.  (QS. Al Anbiya’: 25)

6. Kunci masuk surga

Tauhid adalah kunci masuk surga. Tanpa tauhid, seseorang tak bisa memasukinya. Sebaliknya, sebanyak apa pun dosa seseorang, jika ia bertauhid kepada Allah, niscaya ia akan masuk surga meskipun terlebih dahulu harus mempertanggungjawabkan doa-dosa yang belum mendapat ampunan. Ketika dosanya Allah ampuni, ia akan masuk surga dan abadi di sana.

أَتَانِى جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَقَالَ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Jibril ‘alaihis salam datang kepadaku dan mengatakan, “barangsiapa mati dari kalangan umatmu sedangkan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia masuk surga.” (HR. Bukhari)

7. Kunci ampunan Allah

Seseorang yang meninggal dalam kondisi bertauhid tanpa menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dosa-dosanya akan Allah ampuni. Meskipun dosa itu sebesar langit dan bumi.

قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah berfirman, “Hai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan ketika engkau bertemu denganku berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi juga.” (HR. Tirmidzi)

8. Keutamaan besar

Kalimat tauhid laa ilaaha illallah memiliki keutamaan yang sangat besar. Di hadapan Allah, kalimat thayyibah ini lebih berat timbangannya daripada tujuh langit dan bumi.

قَالَ مُوسَى : يَا رَبِّ ، عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوكَ بِهِ ، قَالَ : قُلْ يَا مُوسَى : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ : كُلُّ عِبَادِكَ يَقُولُ هَذَا ، قَالَ : قُلْ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، قَالَ : لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ ، إِنَّمَا أُرِيدُ شَيْئًا تَخُصَّنِي بِهِ ، قَالَ : يَا مُوسَى ، لَوْ أَنَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعَ وَعَامِرَهُنَّ غَيْرِي وَالأَرَضِينَ السَّبْعَ فِي كِفَّةٍ ، وَلا إِلَهَ إِلا اللَّهُ فِي كِفَّةٍ مَالَتْ بِهِنَّ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ

Musa berkata, “Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu.” Allah berfirman, “Katakan hai Musa, Laa ilaaha illallah.” Musa berkata lagi, “Semua hamba-Mu mengucapkan ini.” Allah berfirman, “Katakan hai Musa, Laa ilaaha illallah.” Musa berkata lagi, “Laa ilaaha illa anta. Aku hanya ingin sesuatu yang istimewa untukku.” 

Allah berfirman, “Hai Musa, seandainya ketujuh langit dan penghuninya selain Aku serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang Laa ilaaha illallah diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka Laa ilaaha illallah niscaya lebih berat timbangannya.”(HR. Tirmidzi)

Kalimat tahlil laa ilaaha illallah juga merupakan dzikir paling utama. Rasulullah menganjurkan untuk memperbarui keimanan dengan kalimat thayyibah ini.

Demikian pengertian tauhid, urgensi dan keutamannya. Semoga Allah mengokohkan kita dalam tauhid dan istiqamah memegangnya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH


Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (4)

Memulai dari Perbaikan Tauhid, atau Perbaikan Politik, Sosial, dan Ekonomi?

Kalaulah kita mau meneliti sejenak dakwah para Rasul, maka kita akan mendapati bahwa para Rasul semuanya memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Padahal, kondisi umat para Rasul tersebut berbeda-beda satu sama lain.

Di antara para Rasul tersebut ada yang menghadapi problem ekonomi sebagaimana yang dialami Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam. Salah satu problematika yang terjadi pada umat Nabi Syu’aib adalah masalah di bidang ekonomi. Karena umat beliau suka berbuat curang dalam jual beli dengan mengurangi takaran timbangan. Meskipun demikian, Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah tauhid sebelum memperbaiki kecurangan tersebut. AllahTa’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-A’raf [7]: 85).

Di antara para Rasul juga ada yang mengahadapi problematika kebobrokan moral, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam tergolong masyarakat yang moralnya sangat rusak. Mereka mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelum atau semasa mereka. Kaum laki-laki menggauli kaum laki-laki dan kaum perempuan menggauli kaum perempuan (kaum gay dan lesbian). Meskipun demikian, Nabi Luth ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah menuju perbaikan aqidah umatnya tersebut.

Demikian pula, seluruh Rasul menghadapi problem politik dan hukum karena umat mereka semua tentu tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Yusuf ‘alaihis salaam. Di antara kerusakan kaum beliau adalah menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadah dan berhukum sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Dalam kondisi tersebut, beliau ‘alaihis salaam tetap berdakwah kepada tauhid terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf,

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (40)

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 39-40).

Demikianlah kondisi para Rasul. Meskipun umat-umat mereka berbeda dan berbeda pula problematika yang mereka hadapi, namun dakwah dan seruan kepada tauhid tetap menjadi prioritas utama.

Sekarang, marilah kita berfikir sejenak. Taruhlah kita menghadapi kerusakan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan hukum, di samping juga menghadapi kerusakan di bidang aqidah pada masyarakat kita sekarang ini. Pertanyaannya, apakah sama timbangannya di sisi Allah kemudian para Rasul-Nya antara kerusakan yang paling parah di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum dengan kerusakan di bidang aqidah? Atau apakah di antara keduanya ada yang lebih berbahaya, lebih membinasakan, dan lebih parah akibatnya?

Di dalam timbangan Allah Ta’ala dan timbangan para Nabi, tentu kerusakan yang lebih berat bahayanya adalah kerusakan di bidang aqidah berupa kesyirikan dengan segala macam bentuknya. Kalau kita tidak meyakini hal ini, dan tetap meyakini bahwa kerusakan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum itu lebih penting untuk diatasi, maka konsekuensinya kita menganggap bahwa seluruh Nabi dan Rasul adalah kumpulan orang-orang bodoh karena mereka tidak mengetahui prioritas dalam berdakwah dengan mendahulukan perbaikan aqidah sebelum perbaikan politik, ekonomi, sosial, dan hukum! [1,2] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 105.

[2] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

___

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (3)

Rasulullah Menolak untuk Menjadi Raja dan Tetap Konsisten Memegang Dakwah Tauhid

Setiap orang yang hendak meneliti jejak dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa Rasulullah tidak pernah menjadikan kekuasaan atau mendirikan negara sebagai sarana atau bahkan sebagai tujuan utama dakwahnya. Buktinya, ketika ditawarkan kepada beliau untuk memegang kekuasaan sebagai seorang Raja, beliau tetap menolaknya. Beliau tetap konsisten memegang teguh metode dakwah yang telah ditempuh oleh seluruh Rasul yang pernah diutus, yaitu memulai dari aqidah tauhid serta memerangi berbagai bentuk kesyirikan. Berikut ini penulis sampaikan beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut.

Hadits pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »

Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”[1]

Hadits ke dua, ketika dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,

يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ

Wahai keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.

Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ

Wahai Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka terserah padamu.” [2]

Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ، وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ

Aku tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]

Kesimpulan dan faidah yang bisa kita ambil dari kisah-kisah ini adalah para Nabi tidaklah diutus untuk menghancurkan sebuah negara kemudian mendirikan negara yang baru, tidak pula untuk meminta kekuasaan, atau mendirikan partai-partai untuk meraih kekuasaan tersebut. Akan tetapi, mereka datang untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kesyirikan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan juga memberikan peringatan kepada mereka dengan janji Allah Ta’ala.

Meskipun ditawarkan kepada mereka tahta kerajaan, sungguh mereka pasti menolaknya. Mereka tetap konsisten menempuh metode dakwah mereka. Kaum kafir Quraisy telah menawarkan tahta sebagai raja kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tetap menolaknya. Bahkan, ketika Allah Ta’ala sendiri yang menawarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat-Nya, apakah memilih menjadi seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul, maka beliau lebih memilih menjadi seorang hamba sekaligus seorang Rasul. [4]

Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.

Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah benar pemikiran dan logika mereka itu, maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan lebih memilih menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja daripada seorang Rasul namun statusnya hanya sebagai seorang hamba biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Kalau merebut kekuasaan dan mendirikan negara merupakan suatu jalan yang mulia dan berfaidah, niscaya beliau akan menempuhnya tanpa terlambat sedetik pun.

Beliau akan menerima tawaran dari Allah Ta’ala untuk menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja. Karena logikanya, dengan menjadi seorang raja sekaligus Rasul, tentu dakwah akan menjadi lebih mudah dan akan lebih cepat mendatangkan hasil yang diinginkan. Tentu tidak akan ada orang kafir Quraisy yang berani menyakiti dan merintangi dakwah beliau, karena beliau adalah seorang Raja yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Tentu dengan menjadi seorang Raja, beliau lebih mudah menjalankan misi-misi kerasulan untuk menghancurkan berhala-berhala sejak awal periode kerasulan beliau di Mekah, serta lebih mudah pula untuk memaksa orang Quraisy agar beragama tauhid. Beliau pun dapat melindungi sahabatnya dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Dan beliau pun tidak perlu diliputi ketakutan sehingga harus repot-repot berhijrah ke Madinah. Akan tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya. [5]

[Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal. 96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.sehingga kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 114.

[4] Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 115.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Makna Tauhid

auhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

Pentingnya mempelajari tauhid

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ketika turun ayat,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (al-An’aam: 82). 

Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, 

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ

“Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ ( لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) بِشِرْكٍ ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لاِبْنِهِ ( يَا بُنَىَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ )

“Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, 

“Asal makna zalim dalam bahasa Arab adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Siapa saja yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya maka dia dikatakan telah berbuat zalim dalam bahasa Arab. Dan sebesar-besar bentuk kezaliman -dalam artian meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya- adalah meletakkan ibadah kepada selain Yang menciptakan. Maka barangsiapa yang meletakkan ibadah kepada selain Dzat yang menciptakan langit dan bumi itu artinya dia telah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya … ” (Lihat al-‘Adzbu an-Namiir min Majalis asy-Syinqithi fit Tafsir, 1/82)

Oleh sebab itulah, di dalam al-Qur’an Allah sering menyebut perbuatan syirik sebagai bentuk kezaliman. Di antaranya adalah firman Allah,

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyeru/beribadah kepada selain Allah sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadamu. Apabila kamu tetap melakukannya maka dengan begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus : 106)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, 

“Semakin bertambah nilai tauhid pada diri seorang hamba, maka akan terhapuslah dosa-dosa sebanding dengan kadar keagungan tauhid itu. Dan semakin bertambah tauhid pada seorang hamba maka dia akan meraih keamanan di dunia dan di akhirat sesuai dengan kadar keagungan tauhid itu di dalam dirinya … ” (Lihat at-Tam-hid, hal. 23) 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, 

“Apabila seorang mukmin terbebas dari syirik besar dan kecil serta perbuatan zalim kepada sesama maka dia akan memperoleh hidayah dan keamanan yang sempurna di dunia dan di akhirat. Adapun, apabila dia terbebas dari syirik akbar namun tidak bersih dari syirik kecil atau sebagian dosa yang lain maka hidayah yang diperolehnya tidak sempurna. Keamanan yang dirasakannya pun tidak sempurna. Bahkan, bisa jadi dia harus masuk ke dalam neraka akibat kemaksiatan yang dia lakukan dan dia belum bertaubat darinya.” (Lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 19-20, lihat juga at-Tam-hid, hal. 25)

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلىَ مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ

“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Konsekuensi dari syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran. (Lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/190)

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan, 

“Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

“Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (al-Furqan : 23).” (Lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 

“Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik, bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah, pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). 

Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Iman juga tidak cukup hanya dengan amalan hati. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” 

Oleh sebab itu, orang yang benar-benar beriman adalah yang mengucapkan keimanan dengan lisan (bersyahadat), menyakininya di dalam hati, dan beramal dengan anggota badan. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran hati tanpa melakukan amalan maka dia bukanlah pemilik keimanan yang benar (Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 145)

Dengan demikian ayat yang sering kita dengar ketika khutbah Jum’at,

وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali ‘Imran : 102); mengandung perintah untuk beriman secara lahir dan batin. Karena syarat untuk masuk surga adalah beriman secara lahir dan batin. Oleh sebab itu Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah ‘janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan beriman’ (Lihat tafsir al-Baghawi yang berjudul Ma’alim at-Tanzil, hal. 229)   

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, 

“Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah tauhid merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka. Yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid, meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati, maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan (tidak masuk neraka sama sekali).” (Lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 

“Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah Ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)    

Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. (Lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang bernilai ibadah -secara lahir maupun batin- seperti halnya shalat, puasa, zakat, haji, menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap, tawakal, roghbah, rohbah, doa, dan lain sebagainya yang telah disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, tauhid ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia termasuk golongan orang kafir dan musyrik (Lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَتَانِي جِبْرِيلُ فَبَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى قَالَ وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى

“Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa di antara umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Beliau menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, 

“ … Apabila dia -orang yang bertauhid- itu adalah seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan terus-menerus bergelimang dengannya (belum bertaubat dari dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah (terserah Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak, maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari neraka dan dikekalkan di dalam surga … ” (Lihat Syarh Muslim [2/168])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, 

“Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh dipastikan masuk ke dalam neraka. Dan apabila ternyata mereka diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di dalam surga … ” (Lihat Syarh Muslim [2/168])

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu

“Dahulu saya pernah membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Ketika itu beliau berkata kepadaku, 

يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟

“Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apakah hak Allah atas hamba dan apa hak hamba kepada Allah?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” 

Beliau bersabda, 

فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba kepada Allah ialah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya kabarkan berita gembira ini kepada manusia?” 

Beliau menjawab, 

لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Jangan kabarkan berita gembira ini kepada mereka karena itu akan membuat mereka bersandar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang yang bertauhid tempat kembali mereka adalah surga, walaupun sebagian diantara mereka harus diazab terlebih dulu di dalam neraka -karena dosanya- sebab tauhid itulah yang menjadi sebab keselamatan dirinya. Adapun orang-orang kafir, musyrik, dan munafik -nifak akbar- maka tempat tinggal mereka di akhirat adalah neraka. Mereka kekal di dalamnya dan tidak bisa masuk surga (Lihat I’anatul Mustafid, 1/64)

Demikian sedikit kumpulan catatan, semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. 

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. 

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Nauzubillah, Lisan Ngaku Beriman, Kelakuan Kafir

BANYAK yang tahu bahwa Allah itu ada, tak banyak yang yakin bahwa Allah itu ada. Buktinya adalah begitu banyak yang tetap tanpa malu berani melakukan hal terlarang seakan bebas dari pantauan Allah.

Banyak yang tahu bahwa Allah menetapkan dan membagi rezeki makhluk-Nya, tak banyak yang yakin bahwa Allah telah menetapkan dan membagi rezeki makhluk-Nya. Buktinya adalah begitu banyak yang pontang panting mengumpulkan rezeki sendiri tanpa memperhatikan halal dan haram. Bahkan hak dan harta orang lain pun diambilnya dengan berbagai dalih dan kebohongan seakan-akan Allah tak mengetahuinya.

Banyak yang tahu bahwa semua amal pasti diketahui Allah dengan pengetahuan sempurna dan pasti dibalas dengan balasan yang setimpal. Kebaikan dengan pahala, kejahatan dengan siksa. Tapi sayang bayak orang yang tidak yakini iti. Buktinya adalah begitu banyak yang berani membuat orang lain menderita karena ulahnya yang tak menepati janji, sedih karena menunggu harapan palsu yang diperpanjang masa berlakunya dari waktu ke waktu.

Waktunya untuk memantapkan tauhid. Jangan sampai ajal datang sebelum tobat dilakukan. Lunaskan kewajiban kita kepada Allah, tunaikan janji dan utang kita pada hamba-hamba Allah.

Yakinlah Allah akan anugerahkan rezeki dari jalan yang tak disangka. Jangan biarkan diri kita ditipu setan yang membisikkan kekayaan dengan menyimpan harta orang lain di kantong kita. Lunaskan, tunaikan, sekarang juga. Salam, AIM []

INILAH MOZAIK

Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj

Istilah aqidah, tauhid dan manhaj sangat sering kita dengar terutama di kalangan penuntut ilmu. Istilah-istilah ini memiliki pengertian yang berbeda apabila dirinci. Hendaknya penuntut ilmu berusaha memahami hal ini, yang menujukkan ia berusaha paham dasar agama. Belajar agama dari dasar merupakan cara beragama yang baik dan mengantarkan kepada kebahagiaan. Kita tidak berharap tidak ada penuntut ilmu yang gemar berdebat kusir padahal membedakan definisi dasar ini saja tidak paham.

Manhaj Lebih Luas daripada Aqidah

Secara umum, manhaj lebih luas dari pada aqidah karena manhaj adalah metodologi beragama yang meliputi aqidah, akhlak, muamalah dan lain-lainnya. Aqidah lebih luas daripada tauhid, karena aqidah mencakup aqidah terkait apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan kepada kita meliputi aqidah terkait dengan mengesakan Allah (tauhid), aqidah terhadap rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, takdir dan lain-lain.

Syaikh Shalih Fauzan menjelasakn bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah, beliau berkata:

ج / المنهج أعم من العقيدة ، المنهج يكون في العقيدة وفي السلوك والأخلاق والمعاملات وفي كل حياة المسلم ، كل الخطة التي يسير عليها المسلم تسمى المنهج .
أما العقيدة فيراد بها أصل الأيمان ، ومعنى الشهادتين ومقتضاهما هذا هي العقيدة

“Manhaj lebih umum daripada aqidah. Manhaj meliputi aqidah, perilaku, akhlak, muamalah dan setiap hidup seorang muslim. Setiap langkah (metodologi) yang di mana seorang muslim berjalan disebut dengan manhaj. Adapun aqidah maksudnya adalah dasar iman, makna syahadat dan konsekuensinya.” [Al-Ajwibatul Mufidah hal. 75]

Aqidah Lebih Luas daripada Tauhid

Aqidah lebih luas daripada tauhid, syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa aqidah itu mencakup tauhid, jadi aqidah lebih luas, beliau berkata:

والعقيدة: هي ما يعتقده الإنسان بقلبه ويراه عقيدة يدين الله بها ويتعبده بها، فيدخل فيها كل ما يعتقده من توحيد الله والإيمان بأنه الخلاق الرزاق وبأنه له الأسماء الحسنى والصفات العلى

“Aqidah adalah apa yang menjadi keyakinan kuat seseorang di hatinya dan ia beranggapan dengan aqidah itu ia beragama dan menyembah Allah. Termasuk di dalam cakupan aqidah adalah tauhid kepada Allah dan beriman bahwa Allah Paha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki dan Allah memiliki asmaul husna dan sifat yang tinggi.” [Majmu’ Fatawa syaikh Bin Baz 6/277]

Catatan Penting

  1. Sebagian ulama tidak membedakan antara aqidah dan manhaj

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata,

أنا سمعت الشيخ ابن باز لا يفرّق بين العقيدة والمنهج ويقول: كلّها شيء واحد، والشيخ الألباني يفرّق، وأنا أفرّق، أرى أنّ المنهج أشمل من العقيدة، فالمنهج يشمل العقيدة ويشمل العبادات ويشمل كيف تتفقّه ويشمل كيف تنتقد، ويشمل كيف تواجه أهل البدع 

“Aku mendengar syaikh bin Baz tidak membedakan antara aqidah dan manhaj, kedua hal ini sama. Syaikh Al-Albani membedakan dan aku juga membedaan. Aku berpendapat bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah. Manhaj mencakup aqidah, mencakup ibadah dan mencakup cara berfikih, mencakup metode mengkritik/menyangah dan menghadapi (menyanggah) ahli bid’ah.” [sumber: http://www.rabee.net/ar/questions.php?cat=31&id=318]

  1. Sebagian ulama menyamakan antara aqidah dan iman

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,

العقيدة هى الإيمان وهو ما يعتقده القلب ويؤمن به، فالعقيدة والإيمان شئٌ واحد، وهما من أعمال القلوب

“Aqidah adalah iman yaitu apa yang menjadi keyakinan hati seseorang dan beriman dengannya. Aqidah dan iman adalah sama. Keduanya merupakan amalan hati.” [sumber : https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/15448]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52250-perbedaan-antara-aqidah-tauhid-dan-manhaj.html

Saat Anakku Bilang “Aku Nggak Mau Jadi Orang Islam”

“Ayah, aku nggak mau jadi orang Islam.” Rasanya bagai disambar geledek saat aku mendengar kalimat itu keluar dari lisan anakku. Tapi aku menahan diri untuk tidak berkomentar dulu. Aku tak mau menanggapinya dengan emosi.

“Ayah sedang nyetir, Sayang. Nanti saja ya kita bicara lagi,” istriku berusaha mengambil alih. Agar ada jeda. Kami memang sudah punya kesepakatan, jika kami belum siap memberikan jawaban atau tanggapan atas pertanyaan anak-anak, lebih kami kami tidak berkomentar dulu. Sampai kami siap dengan jawabannya.

“Nanti malam ya, Sayang,” pintaku.

“Nggak mau. Jam 4 sore saja.”

“Kalau jam 4 sore, mungkin kita baru nyampai rumah. Malam saja ya Sayang,” istriku menjelaskan.

“Ya udah, nanti malam.”

Sesampainya di rumah, anakku minta waktunya dimajukan. “Aku maunya habis Maghrib. Kita kan tibanya lebih awal.”

Segera aku dan istri masuk kamar. Kami mendiskusikan jawaban apa yang terbaik. Semua kemungkinan pertanyaan kami siapkan jawabannya. Jika nanti terkait tauhid, bagaimana jawabannya. Meskipun sejak kecil kami telah membiasakan pendidikan tauhid, bisa saja muncul pertanyaan itu. Mungkin karena ia pernah mendengar sesuatu dari teman, membaca dari buku atau tontonan yang kurang bijak.

Jika nanti ia ‘protes’ terkait shalat, puasa atau ibadah lainnya, kami juga menyiapkan jawabannya. Bahkan bagaimana argumentasinya untuk anak seusia dia. Pun jika nanti ia ‘protes’ terkait ajaran Islam yang lain, kami berusaha memprediksi semua pertanyaan dan menyiapkan jawabannya.

Ba’da Maghrib, sepulang dari masjid, aku dan istri menemuinya. Bismillah, kami siap.

“Nak, silakan sekarang kita bicara. Kita lanjutkan ngobrol di mobil tadi.”

“Aku nggak mau jadi orang Islam.” Kalimat yang sama. Persis. Masih agak kaget, tapi aku berusaha lebih tenang. Toh kami sudah menyiapkan penjelasannya jika ada ajaran Islam yang ia persoalkan.

“Mengapa kamu nggak mau jadi orang Islam?” Kami nggak mau menghakimi, bahkan menyimpulkan, sebelum tahu alasannya.

“Soalnya aku nggak boleh makan Kinder Joy.” Kinder Joy? Ya Allah… kami sudah menyiapkan demikian banyak jawaban untuk sekian banyak kemungkinan, ternyata alasannya hanya Kinder Joy. Mungkin ini karena standar orang dewasa terlalu serius, sementara anak-anak punya standarnya sendiri.

“Kenapa dengan Kinder Joy?”

“Kan Kinder Joy nggak ada label halalnya. Sedangkan orang Islam nggak boleh makan yang nggak halal,” jawabnya polos.

Ya Allah… ternyata sesederhana itu. Jawaban itu juga membuat aku bersyukur, selama ini value dalam keluarga kami demikian menancap di hati. Kami memang mengajarkan, kalau beli makanan kemasan, harus diperiksa ada label halal atau tidak. Sebab sebagai pemeluk Islam, harus memastikan makanan yang dimakannya halal. Sementara Kinder Joy waktu itu belum ada label halalnya.

Kini kami berpikir, bagaimana mengatasi masalah sederhana ini.

“Adik mau Kinder Joy, suka mainannya atau mau makan coklatnya?” tanya istriku.

“Aku kepingin mainannya. Tapi kalau coklatnya boleh dimakan, aku juga mau.”

“Baiklah. Kalau begitu, nanti Ayah belikan mainan seperti Kinder Joy.”

“Memang ada, Ayah?”

“Ada. Di pasar Kapasan.”

Besoknya, saat mendapat KinderJoyKinderJoy-an itu, ia memamerkan kepada teman-temannya. “Nih, aku juga punya. Harganya jauh lebih murah.”

Beberapa pekan kemudian, sepulang sekolah, wajahnya tampak sumringah.

“Ayaahh… ada kabar gembira!”

“Kabar gembira apa?”

“Sekarang Kinder Joy sudah ada label halalnya.” Aduh. Ini persoalan baru. Bukan soal lain, tapi soal harganya.

***

Kisah ini diadaptasi dari kisah nyata yang dialami Ayah Adri Suyanto, motivator yang dikenal dengan seminar Ngguyu Oleh Ilmu.

Tidak sedikit orang tua yang kadang lupa, bahwa anak memiliki standarnya sendiri. Yang perlu dilakukan orang tua bukan mematikan daya kritis anak, tetapi bagaimana mendampinginya dan mengarahkan pada jalur yang benar.

Biasakan anak mendapatkan jawaban logis dan latih mereka untuk berpendapat. Jangan menghakimi, namun tanyakan mengapa ketika anak bersikap atau berkata yang tidak sesuai harapan kita. Insya Allah, anak akan tumbuh menjadi anak yang taat. Yang selalu mentaati Allah kemudian mentaati aturan yang telah disepakati bersama.

[BersamaDakwah]


Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidak akan Bernilai

Tauhid Cabang Keimanan Paling Tinggi

Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ 

“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,

وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)

Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid

Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul AlQawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,

فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة

”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” 

Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu,  ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)

Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)

Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”

Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51538-tanpa-tauhid-amal-ibadah-tidak-akan-bernilai.html

Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 1)

Perintah pertama adalah tauhid

Ketika kita mulai membuka lembaran Al Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, maka kita akan menjumpai perintah pertama yang Allah Ta’ala serukan kepada hamba-Nya adalah perintah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat ini, 

”Ini adalah perintah yang bersifat umum bagi setiap manusia, yaitu beribadah yang mencakup mentaati perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan membenarkan berita-Nya. Maka (dalam ayat ini, pen.) Allah Ta’ala memerintahkan mereka dengan sesuatu yang merupakan tujuan dari penciptaan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

‘Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56). (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 45)

Perintah Allah Ta’ala yang pertama ini seolah-olah menjadi isyarat bagi kita bahwa tauhid merupakan landasan dan fondasi sebelum kita mengerjakan perintah Allah Ta’ala yang lainnya. Oleh karena itu, para ulama membuat permisalan bahwa status dan kedudukan tauhid ini bagaikan fondasi dalam sebuah bangunan. Seorang yang pandai tentu saja memfokuskan perhatiannya pada pembenahan asas atau fondasi. Sedangkan orang yang bodoh, dia akan terus meninggikan bangunannya namun tanpa memiliki fondasi yang kuat. Maka dengan segera pula bangunannya akan roboh dan hancur. 

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, ”Siapa saja yang hendak meninggikan bangunannya, ia berkewajiban untuk mengokohkan, memantapkan, dan sungguh-sungguh mencurahkan segala perhatiannya kepada fondasinya. Karena ketinggian sebuah bangunan sangatlah bergantung pada kekuatan dan ketangguhan fondasinya. Amal-amal kebaikan dan tingkatan-tingkatannya ibarat badan bangunan, sedangkan keimanan adalah asas dan fondasinya.” (Al-Fawaaid, hal. 189-190)

Setelah Allah Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya, maka perintah pertama tersebut segera dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang berisi tentang larangan pertama dalam Al Qur’an. Yaitu larangan untuk berbuat syirik dengan menjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)

Kedua rangkaian ayat ini memberikan suatu faidah yang sangat berharga, karena Allah Ta’ala tidak hanya memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya saja, namun Allah Ta’ala juga melarang kita dari hal-hal yang dapat membatalkannya, yaitu beribadah kepada selain-Nya. (Lihat Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, hal. 15)

Kesyirikan merupakan keharaman pertama yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabb-mu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. Al-An’am [6]: 151)

Oleh karena itulah, pelajaran pertama yang diberikan oleh seorang hamba yang shalih, yaitu Luqman, kepada anaknya adalah,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

Selaras dengan ayat-ayat tersebut, maka siapa pun yang berusaha untuk meneliti jejak dakwah para Rasul, maka dia akan menjumpai bahwa materi dakwah para Rasul yang pertama kali diserukan kepada umatnya adalah tauhid. Karena tauhid inilah yang merupakan tempat pijakan pertama untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menceritakan tentang Rasul-Nya, Nuh ‘alaihis salaam,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)’.” (QS. Al-A’raf [7]: 59)

Allah Ta’ala juga menceritakan kisah Rasul-Nya, Hud ‘alaihis salaam, 

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya.’ Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A’raf [7]: 65)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menceritakan kisah Rasul-Nya, Shalih ‘alaihis salaam dengan firman-Nya,

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya’.” (QS. Al-A’raf [7]: 73) 

Kemudian tentang Rasul-Nya Syu’aib ‘alaihis salaam, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya’.” (QS. Al-A’raf [7]: 85) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam rangka menjelaskan misi dakwahnya kepada manusia,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ 

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138) 

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menekankan kepada para da’i (juru dakwah) agar senantiasa mencurahkan perhatian mereka kepada tauhid dan mengawali dakwahnya dengan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk berdakwah ke negeri Yaman,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 

“Sesungguhnya Engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali Engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah kepada Allah.” (HR. Muslim no. 132)

Dalam riwayat yang lain berbunyi,

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى 

“Maka hendaklah yang pertama kali Engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari no. 7372)

Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana para Rasul yang lain- memulai dakwahnya dengan memerintahkan manusia untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Ini adalah pembuka dakwah para Rasul. Karena hal ini adalah asas yang menjadi landasan masalah yang lain. Jika asas tersebut rusak, maka tidak ada faidahnya masalah yang lain. Tidak ada faidahnya shalat, puasa, haji, sedekah, dan seluruh ibadah yang lain, jika asas tersebut rusak atau tauhidnya tidak ada. Amalan-amalan yang lain tersebut tidak ada faidahnya, karena kesyirikan akan merusaknya dan membatalkannya.” (Syarh Masail Jahiliyyah, hal. 19-20) 

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50982-perintah-pertama-dan-wasiat-terakhir-bag-1.html