Ucapan Selamat Natal, Ulama Dahulu dan Sekarang

Coba kita lihat hari ini, banyak yang disebut ustadz/ustadzah di TV ucapin selamat natal dan katakan ini khilaf, ada perselisihan di antara para ulama.

Coba bandingkan saja keilmuan dan kewara’an ulama dahulu dan ulama saat ini. Yang disebut ulama di masa kini, mereka berkata bahwa dalam ucapan selamat natal bagi musim terdapat khilaf (ada beda pendapat). Namun ulama di masa silam katakan tidak ada beda pendapat sama sekali atau itu adalah Ijma’ (kesepakatan ulama).

Coba lihat saja perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah,

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”

Bahkan jauh-jauh hari saja para sahabat Nabi sudah katakan jauhilah perayaan non-muslim, bukan malah dekati.

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Yang disebut ulama saat ini malah ada yang turut masuk gereja untuk merayakan natal dan ucapkan selamat natal.

Kami lebih tentram dengan pendapat ulama masa silam. Mereka berpendapat di atas ilmu, di atas kewara’an dan bukan ingin cari simpati orang. Kalau mau bandingkan ilmunya pun bagaikan langit dan …. .

Tapi itulah musibah di akhir zaman, banyak muncul ustadz-ustadz selebriti yang asal berfatwa.

Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, ” Mengapa ucapan ulama salaf lebih berkesan dibanding ucapan kita?” Jawabnya,

لأنهم تكلموالعز الإسلام ونجاة النفوس ورضا الرحمن ، ونحن نتكلم لعزالنفوس وطلب الدنيا ورضا الخلق

“Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa manusia dan keridhaan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan keridhaan manusia.” (Shifatush Shafwah, 4: 122)

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

إنما الفقيه من يخشى الله

“Orang yang faqih (berilmu) adalah yang takut pada Allah.” Dinukil dari Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi. Cukup nasehat ini menjadi isyarat bagi kita manakah orang yang berilmu dan manakah orang yang cuma cari kemasyhuran dan ketenaran.

Wallahu waliyyut taufiq.

Disusun di pagi di Panggang, Gunungkidul, 22 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/19376-ucapan-selamat-natal-ulama-dahulu-dan-sekarang.html

Surat Maryam Ayat 33 Apakah Dalil Bolehnya Ucapan Selamat Natal?

Mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani adalah sebuah kesalahan dan merupakan perbuatan yang terlarang dengan kata sepakat dari para ulama. Karena hari Natal dan juga keyakinan-keyakinan yang terkait dengannya, yaitu bahwa Isa ‘alaihissalam adalah anak Tuhan, bahwa ia adalah salah satu tiga Tuhan, bahwa ia disalib selama dua hari dua malam, dan sebagainya adalah hal-hal yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Maka bagaimana mungkin kita ucapkan selamat atas hal itu?

Namun sebagian orang yang dengan hawa nafsunya berpendapat bahwa boleh mengucapkan selamat Natal, mereka beralasan dengan satu ayat dalam surat Maryam. Yaitu ayat:

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam: 33).

Sehingga mereka mengatakan boleh mengucapkan selamat Natal asalkan ucapan selamat tersebut diniatkan untuk Nabi Isa, atau ucapan semisal. Benarkah alasan ini?

Tafsiran para ulama

Mari kita lihat pemahaman para ahli tafsir mengenai ayat ini:

  • Imam Ath Thabari menjelaskan: “Maksud salam dalam ayat ini adalah keamanan dari Allah terhadap gangguan setan dan tentaranya pada hari beliau (Nabi Isa) dilahirkan yang hal ini tidak didapatkan orang lain selain beliau. Juga keselamatan dari celaan terhadapnya selama hidupnya. Juga keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Juga keselamatan dari kepanikan dan kebingungan ketika dibangkitkan pada hari kiamat sementara orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu” (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 18/193).
  • Al Qurthubi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku] maksudnya keselamatan dari Allah kepadaku -Isa-. [pada hari aku dilahirkan] yaitu ketika di dunia (dari gangguan setan, ini pendapat sebagian ulama, sebagaimana di surat Al Imran). [pada hari aku meninggal] maksudnya di alam kubur. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] maksudnya di akhirat. karena beliau pasti akan melewati tiga fase ini, yaitu hidup di dunia, mati di alam kubur, lalu dibangkitkan lagi menuju akhirat. Dan Allah memberikan keselamatan kepada beliau di semua fase ini, demikian yang dikemukakan oleh Al Kalbi” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an, 11/105).
  • Dalam Tafsir Al Jalalain (1/399) disebutkan: “[Dan keselamatan] dari Allah [semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali]”.
  • Al Baghawi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan] maksudnya keselamatan dari gangguan setan ketika beliau lahir. [pada hari aku meninggal] maksudnya keselamatan dari syirik ketika beliau wafat. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] yaitu keselamatan dari rasa panik” (Ma’alimut Tanzil Fi Tafsiril Qur’an, 5/231).
  • As Sa’di menjelaskan: “Maksudnya, atas karunia dan kemuliaan Rabb-nya, beliau dilimpahkan keselamatan pada hari dilahirkan, pada hari diwafatkan, pada hari dibangkitkan dari kejelekan, dari gangguan setan dan dari dosa. Ini berkonsekuensi beliau juga selamat dari kepanikan menghadapi kematian, selamat dari sumber kemaksiatan, dan beliau termasuk dalam daarus salam. Ini adalah mu’jizat yang agung dan bukti yang jelas bahwa beliau adalah Rasul Allah, hamba Allah yang sejati” (Taisir Kariimirrahman, 1/492).

Dan yang paling istimewa adalah penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini. Beliau menjelaskan: “Dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5-230).

Demikianlah penjelasan para ahli tafsir, yang semuanya menjelaskan makna yang sama garis besarnya. Tidak ada dari mereka yang memahami ayat ini sebagai dari bolehnya mengucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani apalagi memahami bahwa ayat ini dalil disyariatkannya memperingati hari lahir Nabi Isa ‘alaihis salam.

Sanggahan

Oleh karena itu, kepada orang yang mengatakan bolehnya ucapan selamat natal atau bolehnya natalan dengan ayat ini, kita katakan:

Pertama: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menerima ayat ini dari Allah tidak pernah memahami bahwa ayat ini membolehkan ucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani atau bolehnya merayakan hari lahir Nabi Isa ‘alahissalam. Dan beliau juga tidak pernah melakukannya, padahal ada kaum Nasrani yang hidup di masa beliau. Namun tidak pernah diriwayatkan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengucapkan atau mengirim ucapan selamat natal kepada mereka.

Kedua: para sahabat Nabi ridwanullah ‘alaihim, generasi terbaik umat Islam, yang ada ketika Nabi menerima ayat ini dari Allah, mereka memahami isi dan penerapan ayat ini, pun tidak pernah mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Bahkan Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengatakan:

أَعْدَاءَ اللَّهِ ؛ الْيَهُودَ , وَالنَّصَارَى ، فِي عِيدِهِمْ يَوْمَ جَمْعِهِمْ , فَإِنَّ السَّخَطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ , فَأَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ

“jauhilah perayaan-perayaan kaum musuh Allah yaitu Yahudi dan Nasrani. Karena kemurkaan Allah turun atas mereka ketika itu, maka aku khawatir kemurkaan tersebut akan menimpa kalian” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya hasan).

Ketiga: Ayat ini bukti penetapan ubudiyah Isa ‘alaihis salam kepada Allah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Karena beliau hidup sebagaimana manusia biasa, bisa mati, dan akan dibangkitkan pula di hari kiamat sebagaimana makhluk yang lain. Dan beliau mengharap serta mendapat keselamatan semata-mata hanya dari Allah Ta’ala. Ini semua bukti bahwa beliau adalah hamba Allah, tidak berhak disembah. Sehingga ayat ini justru bertentangan dengan esensi ucapan selamat natal dan ritual natalan itu sendiri, yang merupakan ritual penghambaan dan penyembahan terhadap Isa ‘alaihissalam. Jadi tidak mungkin ayat ini menjadi dalil ucapan selamat natal atau natalan.

Keempat: ulama menafsirkan السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ‘keselamatan dari Allah‘, bukan ucapan selamat. Andai kita terima bahwa السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ucapan selamat, lalu kepada siapa ucapan selamatnya? Ayat menyebutkan السَّلامُ عَلَيَّ ‘as salaam alayya (kepadaku)’, berarti ucapan selamat seharusnya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Bukan kepada orang Nasrani. Dan andai kita ingin mendoakan keselamatan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, maka waktunya luas, bisa kapan saja dan di mana saja tanpa harus dikhususkan pada perayaan Natal dan di depan orang Nasrani.

Kelima: jika ada yang mengatakan “biarlah mereka memahami bahwa kita mengucapkan selamat Natal kepada mereka, namun niat kita di dalam hati ingin mendoakan Nabi Isa“. Maka kita katakan:

  1. Ini adalah tauriyah. Tauriyah adalah seseorang meniatkan perkataannya berbeda dengan ucapan zahirnya. Kata para ulama tauriyah itu termasuk dusta, dibolehkan jika ada kebutuhan dan tidak mengandung kezaliman. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada kebutuhan bagi seorang Muslim untuk mengucapkan selamat Natal dan juga terdapat kezaliman di dalamnya. Karena kezaliman yang terbesar adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya.
  2. Dengan melakukan tauriyah demikian, maka di dalam anggapan orang Nasrani, Muslim yang mengucapkan selamat natal telah menyetujui esensi dari perayaan natal dan akidah-akidah yang batil di dalamnya.

Keenam: andai kita terima “tafsiran” mereka bahwa dari ayat ini dibolehkan mengucapkan selamat natal pada hari lahir Nabi Isa. Maka pertanyaannya adalah, mana bukti otentik bahwa Nabi Isa lahir tanggal 25 Desember?? Para ahli perbandingan agama menyatakan tidak ada bukti otentik dan dalil landasan bahwa perayaan hari lahir Isa ‘alaihissalam adalah tanggal 25 Desember.

Andrew McGowan, seorang pendeta Nasrani dekan di Yale Divinity School, dalam tulisan ilmiah berjudul “How December 25 Became Christmas” mengatakan: “Celebrations of Jesus’ Nativity are not mentioned in the Gospels or Acts; the date is not given, not even the time of year. The biblical reference to shepherds tending their flocks at night when they hear the news of Jesus’ birth (Luke 2:8) might suggest the spring lambing season; in the cold month of December … The extrabiblical evidence from the first and second century is equally spare: There is no mention of birth celebrations in the writings of early Christian writers such as Irenaeus (c. 130–200) or Tertullian (c. 160–225)

Artinya: “Perayaan kelahiran Yesus tidak disebutkan di dalam kitab Gospel dan kitab Acts. Tidak ada tanggal yang disebutkan di situ, bahkan tahun lahir saja tidak ada. Referensi yang ada adalah mengenai pengembala yang mengembalakan ternak mereka di malam hari ketika mereka mendengar Yesus lahir (Luke 2:8), ini mungkin menjadi ide awal dimunculkannya sangkaan waktu musim semi masa-masa beternak kambing di bulan Desember… Dan bukti-bukti di luar injil di abad pertama dan kedua menyimpulkan hal yang serupa: bahwa tidak disebutkan mengenai perayaan kelahiran dari tulisan-tulisan para penulis kristen terdahulu seperti Irenaus (130-220M) atau Tertullian (160-225M)”

Beliau juga mengatakan sebagai kesimpulan tulisannya: “In the end we are left with a question: How did December 25 become Christmas? We cannot be entirely sure. Elements of the festival that developed from the fourth century until modern times may well derive from pagan traditions. Yet the actual date might really derive more from Judaism“.

Artinya: “Akhir kata, kita masih meninggalkan pertanyaan: mengapa tanggal 25 Desember bisa menjadi hati perayaan natal? Kita belum yakin secara pasti. Elemen dari festival yang berkembang mulai dari abad ke 4 hingga sekarang bisa jadi merupakan turunan dari tradisi kaum pagan. Bahkan yang ada pada masa ini bisa jadi merupakan turunan dari tradisi Judaisme (Yahudi)” [1. Dari web http://www.biblicalarchaeology.org/daily/biblical-topics/new-testament/how-december-25-became-christmas/].

Jadi perayaan ini sebenarnya tidak ada asalnya! Nabi Isa ‘alaihissalam pun ternyata tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengadakan ritual demikian. Mengapa sebagian kaum muslimin malah membela bahwa ritual natalan itu ada dalilnya dari Al Qur’an, dengan pendalilan yang terlalu memaksakan diri?

Penutup

Pembahasan ini semata-mata dalam rangka nasehat kepada saudara sesama muslim. Kami meyakini sebagai muslim harus berakhlak mulia bahkan kepada non-muslim. Dan untuk berakhlak yang baik itu tidak harus dengan ikut-ikut mengucapkan selamat natal atau selamat pada hari raya mereka yang lain. Akhlak yang baik dengan berkata yang baik, lemah lembut, tidak menzhalimi mereka, tidak mengganggu mereka, menunaikan hak-hak tetangga jika mereka jadi tetangga kita, bermuamalah dengan profesional dalam pekerjaan, dll. Karena harapan kita, mereka mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam. Dengan ikut mengucapkan selamat natal, justru membuat mereka bangga dan nyaman akan agama mereka karena kita pun jadi dianggap ridha dan fine-fine saja terhadap agama dan keyakinan kufur mereka.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/29156-surat-maryam-ayat-33-apakah-dalil-bolehnya-ucapan-selamat-natal.html

Kenapa Mengucapkan Selamat Natal selalu Menjadi Polemik Akhir Tahun?

Bulan Desember adalah bulan datangnya debat hukum Selamat Natal bagi umat Islam. Seakan tidak pernah ada kata putus untuk berhenti mempersoalkan itu. Postingan tulisan, gambar dan video dimarakkan untuk menyemarakkan pro kontra ucapan Selamat Natal. Seolah memang negeri ini belum siap serratus persen untuk menghadapi perbedaan yang sesungguhnya.

Beberapa waktu yang lalu heboh Surat Edaran yang dikeluarkan Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan tentang Pemasangan Spanduk Ucapan Natal dan Tahun Baru. Beberapa kalangan meminta Menteri untuk mencopot pejabat yang bersangkutan. Namun, sebagian lain mendukungnya karena Kementerian Agama bukan Kementerian Islam, tetapi sebagai representasi negara yang mengurusi dan melayani semua agama.

Jika negara representasi negara seperti kementerian dan Lembaga tertentu mengucapkan selamat natal dan tahun baru di mana letak persoalannya? Apalagi Kementerian Agama yang melayani semua agama di Indonesia, kenapa Surat Edaran yang bertujuan menjalin kerukunan dan persaudaraan lintas agama menjadi polemik? Betapa lucunya masyarakat negeri ini.

Persoalan mengucapkan Selamat Hari Natal menjadi polemik dan selalu menuai pro kontra karena memang tidak ada dalil tegas yang eksplisit yang membolehkan dan melarangnya. Semua produk hukum yang datang untuk menjustifikasi halal dan haram berangkat dari dalil umum yang melibatkan ijtihad ulama. Karena persoalan ijtihad, status hukum mengucapkan selamat hari natal adalah khilafiyah. Persoalan furu’ tidak boleh menggangu persoalan pokok yakni kerukunan antar agama.

Apa sebenarnya yang ditakutkan oleh kita untuk mengucapkan Selamat Hari Natal? Apakah tergadainya akidah atau seolah pembenaran terhadap akidah orang lain? Ucapan selamat adalah ekspresi berbagi rasa bahagia dan apreasiasi terhadap mereka yang merayakan, bukan persoalan akidah dan keyakinan. Mengucapkan juga menyerupai dan ingin sama dengan tradisi dan ajaran mereka. Betapa tipisnya iman kita untuk khawatir tertukar iman.

Karena persoalan khilafiyah, ulama pun berbeda pendapat yang terbagi dari dua kutub. Ulama yang mengharamkan selamat Natal adalah Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibrahim bin Ja’far, Syaikh Ja’far al Thalhawi, dan beberapa ulama yang lain. Ikutilah pendapat ini bagi anda yang takut tertukar iman Ketika mengucapkan selamat natal. Tetapi jangan pula menyalahkan apalagi menyesatkan bagi yang mengucapkan.

Ulama yang membolehkan mengucapkan selamat Natal diantaranya adalah Syaikh Yusuf al Qardhawi, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Musthafa Zarqa, Syaikh Nasr Farid Washil, Syaikh Abdullah bin Bayyah, Syaikh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Mesir, Majelis Fatwa Eropa dan sebagainya. Ikutilah pendapat ulama ini bagi anda yang merasa tidak akan tertukar iman dan mempunyai tujuan merawat persaudaraan dan kerukunan. Tetapi tanpa pula menghina mereka yang melarang ucapan selamat natal.

Indonesia dengan masyarakat yang beragam sudah terbiasa dengan perbedaan. Fakta empiris di lapangan di kampung yang penuh dengan keragaman, tidak hanya persoalan mengucapkan selamat natal, tetapi umat Islam membantu umat lain yang sedang merayakan hari besarnya. Begitu pula agama lain, memberikan bantuan kepada umat Islam yang merayakan hari besar yang kerap bisa 2 kali dalam setahun belum ditambah pengajian rutin.

Sejatinya, praktek di tengah masyarakat tidak pernah ada persoalan. Masyarakat yang beragam sudah terbiasa mengucapkan dan saling berpartisipasi untuk menyukseskan satu sama yang lain. Kadang pula dalam satu keluarga ada yang berbeda agama. Tidak ada persoalan sama sekali.

Yang menjadi persoalan adalah wilayah ruang virtual kita yang memang ingin seragam. Masyarakat di ruang maya ternyata belum dewasa melihat perbedaan. Dan yang penting viral hal yang lazim harus menjadi kontroversial. Apa yang dipersoalkan adalah sebenarnya lumrah dipraktekkan di tengah keluarga, antar tetangga dan antar teman yang biasa dilakukan. Dan lazimnya pergaulan, mereka tidak pernah tertukar imannya dengan urusan mengucapkan atau tidak mengucapkan Selamat Hari Natal.

Karena secara pribadi saya merasa tidak akan tertukar iman atau tergadai keyakinan saya, dengan mengikuti ijtihad para ulama yang membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal, tentu itu tidak menjadi persoalan. Namun, sekali lagi saya tidak akan mempersoalkan mereka yang mengharamkan karena itu bagian dari mereka mengikuti ijtihad para ulama yang lain.

Tentu kembali pada persoalan Surat Edaran Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan, Saya sepenuhnya adalah bagian orang yang sangat rindu negara hadir untuk semua golongan. Termasuk Kemenag harus hadir menjadi representasi negara bagi semua agama.

Semoga Indonesia tetap damai dan Selamat Hari Natal bagi umat Kristiani yang akan memperingatinya.

ISKAM KAFFAH