Utsman bin Affan adalah sosok khalifah yang berintegritas
Utsman bin Affan merupakan seorang khalifah ketiga, setelah Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khattab. Utsman juga termasuk kelompok Assabiqunal Awwalun (orang-orang pertama masuk Islam).
Utsman lahir dari keluarga kaya dan terhormat, tetapi hal itu tidak menjadikan sahabat Rasulullah SAW itu menjadi pribadi yang sombong dan angkuh. Utsman justru terkenal dengan sikapnya yang rendah hati, sederhana dan dermawan.
Hal ini terbukti dalam suatu kisah yang terdapat dalam buku The Great Figure of Utsman bin Affan, Kisah Teladan Sang Ahli Sedekah yang Menjalani Sifat Zuhud, karya Shohibul Ulum.
Utsman bin Affan bersama istrinya, Ruqayah, hijrah ke Madinah al-Munawwarah bersama kaum Muslimin. Pascahijrah ke Madinah, Rasulullah SAW bersama para sahabat memulai babak baru perjuangan meninggikan panji-panji Islam.
Kini, Rasulullah SAW beserta kaum Muhajirin berada di Madinah. Tidak berselang lama, Madinah dilanda musim paceklik. Masyarakatnya sulit mendapatkan air bersih, baik untuk minum maupun berwudhu.
Keadaan ini tentu saja sangat menyulitkan kaum Muhajirin, termasuk Utsman dan para sahabat lainnya. Karena mereka terbiasa hidup dengan air zam-zam melimpah di Kota Makkah. Di Madinah, mereka tidak mendapati air yang jernih dan segar.
Tak jauh dari Masjid Nabawi, tinggallah seorang Yahudi yang terkenal dengan sifat culasnya. Dia memiliki sumur yang cukup besar, dengan air yang segar dan jernih. Namun, dia tidak mau berbagi air tersebut kepada penduduk Madinah meskipun hanya setetes. Dia menjadikan sumurnya sebagai ladang bisnis, dengan menjual air pada orang-orang Madinah.
Mata air (sumur) tersebut diberi nama Bi’r Rumah (sumur Rumah). Orang Yahudi tersebut menjual satu ember dengan harga satu mudd (setengah gantang) biji padi. Tentunya, harga itu cukup memberatkan kaum Muslimin.
Namun, kaum Muslimin dan penduduk Madinah tak punya pilihan lain. Mereka terpaksa harus antre dan membeli air bersih dari Yahudi. Akhirnya, para sahabat kemudian menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW.
Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah SAW mengharapkan di antara para sahabatnya ada yang bersedia membeli mata air itu, hingga airnya dapat dialirkan kepada Muslimin tanpa memungut biaya.
“Wahai sahabatku, siapa saja di antara kalian yang membeli sumur Rumah, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka kelak dia di surga,” Rasulullah SAW menyerukan tawaran.
Mendengar itu, berdirilah Utsman. Tampillah Utsman untuk memenuhi harapan Rasulullah itu. Utsman bergegas ingin mendapatkan surga. Maka, dia segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan memberikan penawaran untuk membeli Sumur Rumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun, Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya.
“Seandainya sumur ini aku jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari,” ujar Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.
Utsman bin Affan yang ingin sekali mendapatkan balasan pahala berupa surga Allah SWT tidak kehilangan cara mengatasi penolakan Yahudi ini. “Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu,” kata Utsman, melancarkan negosiasinya.
“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.
“Begini, jika engkau setuju, kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu, kemudian lusa menjadi milikku lagi, demikian selanjutnya berganti satu-satu hari. Bagaimana?” kata Utsman menawarkan.
Yahudi itu pun berpikir cepat. “Aku mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa harus kehilangan sumur milikku,” katanya membatin.
Akhirnya Yahudi itu setuju menerima tawaran Utsman tadi dan disepakati pula hari ini Sumur Rumah adalah milik Utsman bin Affan. Utsman membeli separuh dari mata air itu dengan harga 12 ribu dirham.
Kemudian, cara pemanfaatannya ialah dengan bergiliran. Untuk Yahudi satu hari dan untuk Utsman satu hari. Jatah Utsman bin Affan disedekahkan kepada orang-orang Muslim.
Utsman pun segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Rumah, silakan mengambil air untuk kebutuhan mereka gratis (tidak dipungut biaya), karena hari ini sumur Rumah adalah miliknya. Seraya dia mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk dua hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.
Keesokan hari, Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persediaan air di rumah. Yahudi merasa terpukul karena dengan demikian dia kehilangan pendapatannya.
Setelah itu, Yahudi itu pun mendatangi utsman dan berkata, “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin.”
Utsman setuju, lalu dibelilah setengah bagian sumur itu olehnya dengan harga 8.000 dirham, maka sumur Rumah pun menjadi milik Utsman secara penuh. Kemudian, Utsman bin Affan mewakafkan sumur Rumah.
Sejak itu sumur Rumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya. Dia membebaskan siapa saja untuk memanfaatkan air itu, baik yang kaya, miskin, maupun orang yang sedang menempuh perjalanan.