5 Wasiat Nabi Sebelum Wafat

ISYARAT dekatnya ajal Rasulullah ﷺ dimulai dengan beliau beritikaf selama dua puluh hari di bulan Ramadhan tahun 10 H. Jibril mengecek bacaan Qur’an Rasulullah ﷺ berbeda dari biasanya. Biasanya satu tahun sekali tetapi untuk kali ini dua kali. Ada beberapa wasiat Nabi sebelum wafat. Apa saja?

Kemudian di Padang Arafah pada saat haji Wada’ Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak tahu pasti. Barangkali setelah tahunku ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat wukuf ini untuk selamanya.”

Rasulullah ﷺ kembali dari haji wada’ setelah Allah SWT menurunkan firman-Nya,

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3).

Wasiat Nabi Sebelum Wafat, Saat Haji Wada

Setelah itu, Rasulullah ﷺ mulai mengucapkan kalimat dan melakukan sesuatu yang menyiratkan perpisahan. Beliau ﷺ bersabda pada haji wada’:

لتأخذوا عني مناسككم لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا

“Pelajarilah dariku tata cara haji kalian, bisa jadi aku tidak berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini.” (HR. al-Bukhari, 4430).

Kemudian di Madinah, beliau berziarah ke makam baqi’, mendoakan keluarganya. Juga menziarahi dan mendoakan syuhada Perang Uhud. Beliau juga berkhutbah di hadapan para sahabatnya, berucap pesan seorang yang hendak wafat kepada yang hidup.

Pada akhir bulan Shafar tahun 11 H, Nabi ﷺ mulai mengeluhkan sakit kepala. Beliau merasakan sakit yang berat. Sepanjang hari-hari sakitnya beliau banyak berwasiat, di antaranya:

Wasiat Nabi Sebelum Wafat yang Pertama, Beliau ﷺ mewasiatkan agar orang-orang musyrik dikeluarkan dari Jazirah Arab (HR. al-Bukhari, Fathul Bari, 8/132 No. 4431).

Wasiat Nabi Sebelum Wafat yang Kedua, berpesan untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an.

Wasiat Nabi Sebelum Wafat yang Ketiga:, pasukan Usamah bin Zaid hendaknya tetap diberangkatkan memerangi Romawi.

Wasiat Nabi Sebelum Wafat yang Keempat, berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar.

Wasiat Nabi Sebelum Wafat yang Kelima, berwasiat agar menjaga shalat dan berbuat baik kepada para budak.

Beliau ﷺ mengecam dan melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Lalu beliau melarang kubur beliau dijadikan berhala yang disembah.

Di antara pesan beliau ﷺ adalah agar orang-orang Yahudi dikeluarkan dari Jazirah Arab. Sebagaimana termaktub dalam Musnad Imam Ahmad, 1/195.

Wasiat Nabi Sebelum Wafat, tentang Dunia dan Adab terhadap Istri

Beliau ﷺ berpesan kepada umatnya tentang dunia. Janganlah berlomba-lomba mengejar dunia. Agar dunia tidak membuat umatnya binasa sebagaimana umat-umat sebelumnya binasa karena dunia.

Dalam keadaan sakit berat, beliau tetap menjaga adab terhadap istri-istrinya, dan adil terhadap mereka. Nabi ﷺ meminta izin pada istri-istrinya untuk dirawat di rumah Aisyah. Mereka pun mengizinkannya.

Karena sakit yang kian terasa berat, Nabi ﷺ memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami masyarakat. Abu Bakar pun menjadi imam shalat selama beberapa hari di masa hidup Rasulullah ﷺ.

Sehari sebelum wafat, beliau bersedekah beberapa dinar. Lalu bersabda,

لا نورث، ما تركناه صدقة

“Kami (para nabi) tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.” (HR. al-Bukhari dalam Fathul Bari, 12/8 No. 6730).

Pada hari senin, bulan Rabiul Awal tahun 11 H, Nabi SAW wafat. Hari itu adalah waktu dhuha yang penuh kesedihan. Wafatnya manusia sayyid anaknya Adam. Bumi kehilangan orang yang paling mulia yang pernah menginjakkan kaki di atasnya.

Aisyah bercerita, “Ketika kepala beliau terbaring, tidur di atas pahaku, beliau pingsan. Kemudian (saat tersadar) mengarahkan pandangannya ke atas, seraya berucap, ‘Allahumma ar-rafiq al-a’la’.” (HR. al-Bukhari dalam Fathul Bari, 8/150 No. 4463).

Beliau memilih perjumpaan dengan Allah SWT di akhirat. Beliau ﷺ wafat setelah menyempurnakan risalah dan menyampaikan amanah.

Berita di pagi duka itu menyebar di antara para sahabat. Dunia terasa gelap bagi mereka. mereka bersedih karena berpisah dengan al-Kholil al-Musthafa. Hati mereka bergoncang.

Tak percaya bahwa kekasih mereka telah tiada. Hingga di antara mereka menyanggahnya. Umar angkat bicara, “Rasulullah ﷺ tidak wafat. Beliau tidak akan pergi hingga Allah memerangi orang-orang munafik.” (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 8/146).

Abu Bakar hadir, “Duduklah Umar”, perintah Abu Bakar pada Umar. Namun Umar menolak duduk. Orang-orang mulai mengalihkan diri dari Umar menuju Abu Bakar. Kata Abu Bakar, “Amma ba’du… siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad ﷺ , maka Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan wafat. Kemudian ia membacakan firman Allah,

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144).

BACA JUGA:

Mendengar ayat yang dibacakan Abu Bakar, orang-orang seakan merasakan ayat itu baru turun hari itu. Mereka begitu larut dalam kesedihan.

Mereka merasakan kosong. Bagaimana tidak, mereka ditinggal orang yang paling mereka cintai. Orang yang mereka rindu untuk berjumpa setiap hari. Orang yang lebih mereka cintai dari ayah, ibu, anak, dan semua manusia. Mereka lupa akan ayat itu. Dan mereka diingatkan oleh Abu Bakar, seorang yang paling kuat hatinya di antara mereka.

Penutup

Para ulama sepakat bahwa Nabi ﷺ wafat pada hari sendin tahun 11 H. Namun berbeda pendapat tentang tanggal wafatnya Nabi ﷺ. Mayoritasnya berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagian menyatakan tanggal 12 tidak tepat, karena haji wada’ terjadi pada hari Jumat. Melihat urut hari sejak itu, maka tanggal 12 Rabiul Awal tidak tepat jika dikatakan hari senin.

Perbedaan pendapat ulama juga terjadi pada tanggal kelahiran beliau ﷺ. Bahkan perbedaannya lebih banyak: antara tanggal 2 Rabi’ul Awal, tanggal 8, 10, 12, 17 Rabiul Awal, dan 8 hari sebelum habisnya bulan Rabi’ul Awal.

Berdasarkan penelitian ulama ahli sejarah Muhammad Sulaiman Al Mansurfury dan ahli astronomi Mahmud Basya disimpulkan bahwa hari senin pagi yang bertepatan dengan permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan gajah dan 40 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan atau bertepatan dengan 20 atau 22 april tahun 571, hari senin tersebut bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awal. Wallahu alam. []

SUMBER: KISAHMUSLIM | – az-Zaid, Zaid bin Abdulkarim. 1424. Fiqh as-Sirah. Riyadh: Dar at-Tadmuriyah

ISLAMPOS

Wasiat 7: Tidak Meminta-minta

MEMINTA-MINTA adalah sikap yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Demikian juga para nabi dan rasul sebelum beliau, tidak ada yang mengajarkan untuk meminta-minta kepada manusia. Para utusan Allah Swt justru memberikan keteladanan berupa kemandirian.

Sejak belia, Nabi Muhammad Saw sudah bekerja sebagai penggembala. Saat beranjak dewasa, beliau bekerja sebagai pedagang. Bagaimana dengan nabi-nabi sebelumnya? Nabi Nuh AS. adalah seorang tukang kayu, Nabi Musa AS adalah penggembala, dan Nabi Daud AS adalah seorang pandai besi. Ini adalah sebagian keteladanan yang dicontohkan oleh para utusan Allah Swt dimana mereka mengajarkan kepada kita untuk tidak hidup dari meminta-minta kepada manusia.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya”.[HR. Bukhari]

Saudaraku yang dirahmati Allah, sesungguhnya meminta-minta itu bukanlah perbuatan yang diajarkan dalam Islam. Bahkan, hukum asalnya pun adalah haram. Meminta-minta hanya dibolehkan untuk keperluan yang berkenaan dengan kepentingan umum umat Islam, seperti untuk pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, bantuan untuk fakir-miskin dan anak-anak yatim.

Namun, untuk kepentingan seperti tersebut di atas pun, tetap harus diperhatikan cara melakukannya. Yaitu, dengan cara mendatangi orang-orang yang memiliki kelebihan harta kekayaan kemudian membicarakan keperluan-keperluan itu dengan baik. Atau dengan mengumumkan keperluan-keperluan itu di masjid, atau cara lain yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Fenomena meminta-minta yang seringkali kita temukan saat ini di mana banyak sekali bagian dari umat ini yang meminta-minta di jalanan, itu bukanlah hal yang patut dilakukan. Karena, selain tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw, tata cara seperti itu juga bisa menimbulkan citra yang kurang baik bagi Islam dan kaum muslimin.

Namun, apakah umat Islam dilarang secara total dari perbuatan meminta-minta atau adakah golongan yang dikecualikan? Salah seorang sahabat Rasulullah Saw yaitu Qabishah bin Mukhariq al Hilali RA meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya,

“Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung utang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan “Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan,” ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[HR. Muslim]

Betapa tidak terhormatnya sikap meminta-minta ini hingga Rasulullah Saw bersabda, “Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada hari Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.[HR. Bukhari]

Dalam hadits ini Rasulullah Saw bermaksud untuk menegaskan betapa buruknya perilaku kebiasaan meminta-minta kepada manusia. Dengan hadits tersebut di atas, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa di akhirat kelak, wajah orang-orang yang terbiasa meminta-minta kepada manusia selama hidup di dunia, tidak akan terdapat daging pada wajahnya, yang nampak hanyalah bagian tengkoraknya saja.

Kondisi ini adalah hukuman bagi orang-orang yang enggan melepaskan diri dari kebiasan untuk meminta-minta tanpa sedikitpun ada rasa malu di dalam dirinya.

Islam mensyariatkan kepada para pemeluknya dari sikap mental peminta-minta. Maksud sikap meminta-minta ini adalah ketika seseorang terbiasa hidup dari meminta-minta kepada orang lain, baik uang ataupun hal-hal lainnya, meski sebenarnya hal-hal yang dia pinta itu bukanlah sesuatu yang ia butuhkan secara mendesak.

Di dalam Al Quran Allah Swt. berfirman: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 273).

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir menerangkan bahwa di dalam ayat ini Allah Swt. berkehendak agar umat-Nya tidak memelas dalam meminta-minta kepada manusia dan juga supaya mereka tidak meminta dengan memaksa kepada manusia, meminta sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Karena, orang yang meminta-minta padahal sebenarnya dia memiliki sesuatu yang bisa mencegahnya dari meminta-minta, maka sungguh orang itu termasuk yang meminta-minta kepada manusia secara paksa.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA, Rasululah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta-minta harta orang lain untuk dikumpulkannya maka sungguh dia telah meminta barak api jahannam, maka hendaklah dia mempersedikitkannya atau memperbanyakannya”. [HR. Muslim]

Untuk memperkuat penjelasan tentang jeleknya sikap meminta-minta, mari kita simak ulasan Abu Hamid Al Ghazali.Ia memaparkan, “Pada dasarnya meminta-minta itu adalah haram, namun dibolehkan karena adanya tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang mengarah kepada tuntutan, sebab meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan di dalamnya terkandung makna remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamabaNya dan itulah keluhan yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung makna bahwa peminta-minta menghinakan dirinya kepada selain Allah Taala dan biasanya dia tidak akan terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia diberikan oleh orang lain karena faktor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang yang mengambilnya”.

Dari Samuroh bin Jundub RA. bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta itu sama seperti seseorang menggores wajahnya sendiri kecuali jika dia meminta kepada penguasa atau meminta karena darurat”. [HR. At Tirmidzi]

Di dalam kehidupan kita saat ini, kita menemukan bahwa meminta-minta tidak lagi hanya didasarkan karena keterpaksaan belaka. Ada orang-orang yang menjadikan cara meminta-minta kepada manusia sebagai cara mereka memperoleh penghidupan. Mereka meminta-minta dalam keadaan yang tidak terpaksa karena sebenarnya mereka tidak sedang benar-benar membutuhkan apa yang mereka pinta. Bahkan, ada juga yang menjadi peminta-minta padahal kehidupannya tidak terkategori sebagai orang yang kekurangan.

Dalam salah satu haditsnya, Nabi Muhammad Saw. telah menjelaskan standar kaya yang mengharamkan seseorang untuk meminta-minta. Hadits ini diriwayatkan oleh Sahl bin Hanzhalah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Barangiapa yang meminta-minta padahal dia memiliki apa yang membuatnya berkecukupan maka sesungguhnya dia memperbanyak meminta neraka jahannam. Para sahabat bertanya, “Apakah ukuran yang menjadikan seseorang dikatakan berkecukupan?” Rasulullah Saw. menjawab, “Apa yang bisa membuat dia makan dan menyambung hidupnya”.

Sahabatku yang mulia, sesungguhnya panutan kita, Muhammad Saw sangat menghargai dan menyukai pekerjaan seseorang meskipun hanya menghasilkan upah yang sedikit, ketimbang orang yang hanya menengadahkan tangannya kepada orang lain. Meskipun pekerjaan seseorang itu hanya pedagang asongan, buruh bangunan, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menurut sebahagian pandangan masyarakat kita dinilai sebagai pekerjaan yang remeh, itu adalah sebuah kebaikan yang teramat besar dibandingkan orang yang hanya mengandalkan hidupnya dari meminta-minta kepada orang lain.

Dalam sebuah keterangan dari Zubair bin Awwam RA. Disebutkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Seandainya salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggungnya, sehingga dengannya ia dapat bersedekah dan mencukupi kebutuhannya (sehingga tidak meminta kepada) orang lain, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia memberinya atau menolak permintaannya. Karena tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah. Dan mulailah (nafkahmu dengan) orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu.” [HR. Muttafaqun alaih].

Saudara-saudaraku yang dicintai Allah, demikianlah ketujuh wasiat yang disampaikan oleh suri teladan kita Muhammad Saw kepada sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA. Meskipun wasiat atau nasehat ini ditujukan kepada Abu Dzar RA, akan tetapi yang dimaksud Rasulullah Saw adalah seluruh umatnya hingga masa kini dan masa nanti. Termasuk kita, termasuk anda, termasuk saya.

Segala yang diwasiatkan Rasulullah Saw tiada lain dan tiada bukan adalah sebagai pedoman bagi kita untuk bisa meraih kebahagiaan hidup baik di dunia dan di akhirat. Tak ada satupun wasiat yang beliau sampaikan dengan tanpa tujuan apalagi dengan kesia-siaan. Semoga kita bisa mengamalkan ke-tujuh wasiat Rasulullah Saw. ini sehingga kita menjadi bagian dari golongan orang-orang yang oleh Allah Swt. diberi kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. [smstauhiid/habis]

 

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

Wasiat 6: Tidak Takut Celaan Ketika Berdakwah di Jalan Allah

SAUDARAKU yang dimuliakan Allah, tentu kita masih tahu bagaimana tantangan dan rintangan yang menimpa Muhammad Saw ketika beliau melakukan dakwahnya. Rintangan dakwah seperti tidak hanya dihadapi oleh Rasulullah Saw, melainkan juga oleh para nabi dan rasul sebelum beliau.

Sejatinya, dakwah memang selalu menemui rintangan dan tantangan, bagaimanapun bentuknya, dari mulai cibiran, gunjingan, hinaan, celaan hingga rintangan-rintangan yang bersifat fisik. Rintangan dan tantangan itu terutama datang dari mereka yang tidak berkenan melihat dakwah Islam berlangsung dengan baik dan lancar.

Meski begitu, Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk tetap bersikap berani menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah. Keberanian ini beliai contohkan dengan sikap tidak pantang mundur dalam melakukan dakwahnya yang beliau jalani dengan dakwah secara rahasia kemudian dilanjutkan dengan dakwah secara terbuka.

Di dalam Al Qur`n, Allah Swt menyinggung tentang orang-orang yang menyampaikan risalah Allah tanpa ada rasa takut di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan“. (QS. Al Ahzaab [33]: 39].

Allah Swt juga menyampaikan bahwa orang-orang yang tidak takut dicela hanya karena mengutarakan suatu kebenaran dari ajaran-Nya, merupakan orang yang dicintai oleh-Nya. Allah Swt. berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [QS. Al Midah [5]: 54].

Apabila celaan-celaan menyerang kita karena aktifitas dakwah yang kita lakukan, maka Allah Swt sudah secara lugas memberikan petunjuk-Nya supaya kita bisa menghadapi situasi seperti ini. Allah Swt berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125). [smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Wasiat 5: Berani Berkata Benar Meskipun Pahit

SAUDARAKU yang dirahmati Allah, seringkali manusia, bahkan mungkin termasuk kita sendiri, bertemu dengan situasi di mana sulit sekali untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu kebenaran dan ini adalah suatu kesalahan. Latar belakangnya bisa macam-macam. Bisa karena ada rasa sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang kita hormati atau jabatan atau kedudukannya berada di atas kita.

Padahal semestinya, sepahit apapun kebenaran, ia tetap haruslah diungkap baik ditujukan kepada diri sediri maupun orang lain.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa. Banyak sekali terjadi di sekitar kita, di mana seseorang, bahkan sekali lagi mungkin termasuk diri kita sendiri, yang tiba-tiba seolah bisu ketika harus menyatakan kebenaran kepada atasan atau pemimpin kita. Padahal Rasulullah Saw di dalam salah satu haditsnya bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim”. [HR. Ahmad].

Lantas, bagaimanakah cara menyampaikan suatu kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa? Caranya adalah dengan mengunjungi mereka dan memberi nasehat kepada mereka dengan cara yang baik. Jika cara ini tidak bisa dilakukan, maka dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka. Bila cara ini bisa dilakukan, maka tidak perlu menyampaikannya dengan mengadakan orasi, provokasi dan demonstrasi. Apalagi, penyampaian masukan secara persuasif biasanya jauh lebih efektif dibandingkan menyampaikannya dengan cara berteriak-teriak di jalanan.

Islam adalah agama yang paripurna, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana aturan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Termasuk di dalamnya petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasehat kepada seorang pemimpin, atasan atau penguasa.

Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad].[smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Wasiat 4: Perbanyak La Haula Walaa Quwwata Illa Billah

SAUDARAKU yang berbahagia, mengapakah dalam wasiat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar RA ini beliau menyebutkan kalimat La haula wa la quwwata illa billah? Hal ini tiada lain adalah untuk mengingatkan kita bahwasanya sudah semestinya kita meyakini bahwa apa yang kita lakukan semata-mata terjadi adalah karena kehendak Allah Swt.

Tiada hal apapun juga, besar ataupun kecil, yang terjadi di alam raya ini tanpa kehendak-Nya. Sehingga sungguh tiadalah pantas bagi siapapun untuk merasa sombong dan tinggi hati atas apa yang telah dilakukannya.

Kalimat ini juga untuk meneguhkan kepada kita semua bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang Maha Kuasa memberikan pertolongan kepada seluruh makhluk-Nya. Inilah makna kalimat yang kita ucapan setiap kali melakukan shalat, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan“. [QS. Al Ftihah [1]: 5].

Tanpa kehendak dan pertolongan Allah Swt tentulah kita tidak akan pernah bisa mencapai segala apa yang kita rencanakan dan kita upayakan. Bahkan, suatu upaya yang kita lakukan pun sesungguhnya terjadi berkat pertolongan-Nya. Seorang penuntut ilmu tidak akan bisa mencapai dan duduk di suatu majelis keilmuan jika tidak ada pertolongan Allah Swt yang menyampaikannya ke tempat itu. Demikian pula dengan seorang guru atau pendidik, ia tidak akan bisa memainkan perannya secara baik jika tanpa adanya pertolongan dari Allah Swt.

Oleh karena itu, apapun peran dan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manusia, tidak selayaknya ia merasa sombong. Tidak seharusnya ia merasa bahwa apa yang berhasil diraihnya semata-mata adalah murni hasil kerja keras dan jerih payahnya. Sesungguhnya selalu ada Allah Swt. di balik setiap peristiwa yang terjadi pada diri manusia.

Artinya, ketika seseorang mengucapkan kalimat, “La Haula Walaa Quwwata Illa Billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),” dengan sepenuh hati, maka sesungguhnya ia telah mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan dirinya di hadapan Allah Swt.. Selain itu, ia juga menunjukkan bahwa sesungguhnya dirinya adalah benar-benar senantiasa membutuhkan pertolongan dari Allah Swt. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Wasiat 3: Menyambung Tali Silaturahmi

SILATURAHMI adalah ibadah yang teramat agung, mulia lagi mudah dan memberikan banyak berkah bagi yang melakukannya. Kita hendaknya tidak melalaikan ibadah yang satu ini. Apalagi kita merupakan makhluk yang senantiasa tidak bisa luput dari keterikatan dengan manusia lainnya.

Di dalam Al Quran, Allah Swt berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa [4]: 1).

Selain itu, Rasulullah Saw bersabda di dalam salah satu haditsnya, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, memberi orang makan, sambungkanlah silaturahim, solatlah ketika manusia sedang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.” [HR. At Tirmidzi].

Saudaraku, silaturahmi merupakan fitrah manusia. Karena silaturahmi dapat menyempurnakan kebutuhan manusia akan interaksi sosial di antara sesama mereka. Bahkan, sebagaimana hadits di atas, silaturahmi itu memiliki banyak sekali manfaat bagi orang yang melakukannya, salah satunya dapat mengantarkan orang yang melakukannya menuju surga dengan selamat.

Terlebih lagi kita hidup di tengah zaman yang sudah sedemikian canggih dan maju. Berbagai moda transportasi sudah ditemukan dan semakin dikembangkan. Demikian halnya dengan alat-alat komunikasi yang kian hari kian canggih saja. Berbagai moda transportasi dan alat-alat komunikasi sebenarnya bisa semakin memberi kemudahan untuk kita menjalin silaturahmi dengan teman, sahabat, saudara dan karib kerabat tanpa terhalang jarak dan waktu.

Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi ini benar-benar sudah membantah kesulitan kita untuk menyambung jalinan tali silaturahmi. Sudah semestinya, kita justru semakin giat menjalin dan memperkuat silaturahmi kita dengan saudara-saudara kita. Apalagi Allah Swt menjanjikan ganjaran kebaikan yang besar bagi kita yang melakukannya.

Lebih jauh, Allah Swt memperingatkan orang yang memutuskan silaturahmi dan mengancam orang seperti ini dengan laknat dan adzab-Nya. Tentang peringatan dan ancaman ini Allah Swt. berfirman,

Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 22-23).

Sahabatku yang dimuliakan Allah, masih tentang manfaat dari silaturahim, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.” [HR. Bukhari].

Barangkali kita sempat bertanya-tanya, bagaimana mungkin ajal bisa diakhirkan, atau bagaimana mungkin umur seseorang bisa ditambahkan. Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firman-Nya, “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al Araf [7]: 34).

Para ulama memberikan penjelasan tentang masalah ini. Di antaranya,

Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.

Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahmi ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Taala , “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS. Ar Rad [13]: 39).

Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan atau penambahan usia.

Dan, yang ketiga. Maksudnya bahwa namanya akan tetap diingat dan disanjung. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dhaif (lemah) atau bathil. Wallahu alam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathiatiha (16/114)].

Namun, di luar penjelasan tersebut di atas, Ibnu Hajar RA. memberikan tanggapannya tentang permasalahan ini, “Berkata Ibnu Tin, Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman Allah, “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al Araf [7]: 34).

Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut di atas, dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, tambahan umur yang dimaksud merupakan kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat untuk di akhirat kelak, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan.

Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan, sehingga nama orang yang melakukan silaturahim itu akan tetap dikenang dengan mulia. Seolah-olah orang itu tidak pernah mati.

Kedua, tambahan itu secara hakiki atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Taala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturahim, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.

Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturahmi, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman Allah Swt, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS. Ar Rad [13]: 39).

Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, keberkahan. Pendapat kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama setelah meninggalnya.

Akhirnya, hal terpenting yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perbedaan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majazi (kiasan) ini, yaitu memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.

Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam dalam banyak hadits. Di antaranya ialah: Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah RA., beliau bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahim.” (HR. Mutafaq alaihi).

Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Taala . Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Allah menciptakan makhluk-Nya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata, “Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,”Ya, wahai Rabb.” (HR. Mutafaqun alaihi).

Ibnu Abi Jamrah berkata,”Kata Allah menyambung, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”

Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau, “Para ulama berkata, hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata Allah menyambung adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329].

Ketiga. Silaturahim adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahualaihi Wasallam menjawab, “Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim.” [Diriwayatkan oleh Jamaah].

silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Taala, serta tanda ketundukkan seorang hamba kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Taala, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Ar Rad [13]: 21).

Demikianlah sebagian keutamaan silaturahmi. Setelah mengetahui berbagai macam keutamaannya dan juga ancaman Allah Swt. terhadap orang yang memutuskan silaturahim, sungguh tak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak menggiatkan diri menyambungkan tali silaturahmi.[smstauhiid/bersambung]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

 

INILAH MOZAIK

Wasiat 2: Melihat Orang yang Lebih Rendah dalam Hal Materi

WASIAT kedua dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar Al Ghifari RA adalah melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita agar senantiasa melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu adalah supaya kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu” . [HR. Bukhari].

Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya untuk tidak menengadahkan pandangan kepada mereka yang kehidupannya berada pada tempat lebih tinggi dalam segi keduniawian. Orang-orang yang dimaksud ini adalah orang-orang yang hidup di dalam gelimang harta kekayaan yang melimpah, posisi atau kedudukan atau jabatan yang tinggi, dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, kita seringkali lupa untuk mengikuti perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini. Kita seringkali melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Padahal ini merupakan salah satu jebakan syaitan yang bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kerugian. Bagaimana hal itu terjadi? Yaitu ketika kita silau melihat mereka yang hidupnya menurut kita jauh lebih enak, nyaman dan tentram, sehingga kita pun lupa untuk mensyukuri segala karunia Allah Swt yang sudah kita miliki.

Ketika kita tinggal di rumah kontrakan dan terpukau melihat mereka yang tinggal di rumah sendiri yang megah nan mewah, maka ingatlah selalu bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup tidak lebih baik dari kita. Yaitu, mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan dan di emperan pertokoan.

Atau, ketika kita melihat orang lain yang memiliki penghasilan lebih besar daripada kita kemudian timbul rasa iri hati pada diri kita, maka ingatlah bahwa di luar sana masih begitu banyak orang-orang yang bekerja serabutan, orang-orang tidak memiliki pekerjaan, dan orang-orang yang tidak tahu darimana dan bagaimana ia dapat uang esok hari.

Akan tetapi lain halnya apabila kita berbicara dalam urusan agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah Swt. Dalam urusan ini sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, para sahabat, para syuhada, dan orang-orang shaleh. Mengapa? Supaya kita termotivasi untuk meneladani kesungguhan dan kegigihan mereka dalam meningkatkan kualitas ibadah terhadap Allah Swt. Bahkan, sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman, “Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba“. (QS. Al Muthaffifn [83]: 26).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia. Hal ini dimaksudkan agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dan qanaah. Yaitu, orang yang senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tanpa perasaan iri dan dengki terhadap manusia.

Abu Dzar RA adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya. Adapun untuk keesokan harinya beliau akan mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah Swt. meridhai beliau. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAHMOZAIK

Wasiat 1: Mencintai Orang Miskin

DI DALAM Al Quran Allah Swt berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al Maauun [107] : 1-3).

Tentang penjelasan ayat-ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan: “Bila keimanan seseorang benar-benar meresap kuat dalam dada, ia tidak akan menghardik anak yatim, dan tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan. Masalah keimanan bukanlah hanya semboyan dan ucapan, melainkan perubahan dalam hati yang melahirkan kebaikan dalam hidup bersama dengan manusia yang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Allah tidak ingin keimanan hamba-Nya hanya kalimat yang diucapkan, melainkan harus diterjemahkan dalam perbuatan nyata. Bila tidak, keimanan itu menjadi sekedar buih yang tidak bermakna dan tidak berpengaruh apa-apa.” (Fi dzilalil Quran, vol.6, hal. 3985).

Wasiat yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tujukan kepada Abu Dzar ini hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau ini tertuju kepada kita semua.

Orang-orang miskin yang dimaksud adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”

Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka, masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Taala. Lalu turunlah ayat:

Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya“. (QS. Al-Anm [6]: 52).

Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekadar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita bagi dan kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Taala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Dalam haditsnya yang diriwayatkan Abi Hurairah RA, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Semasa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berkumpul berdampingan dengan orang-orang miskin. Bahkan beliau memohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan tawadhu, yang beliau ucapkan dengan kata “miskin”. Sebagaimana hadits sabda beliau,

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin”. [HR. Ibnu Majah].

Ini adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Allah Taala memberinya sifat tawadhu` dan kerendahan hati, serta agar beliau tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim apalagi menjadi termasuk kalangan orang-orang kaya yang melampaui batas. Hadits ini tidaklah bermakna bahwa beliau meminta untuk dijadikan manusia yang miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir RA., bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas bermakna tawadhu (An Nihyah f Gharbil Hadts (II/385), Imam Ibnul-Atsir RA).

Hal ini diperkuat dengan hadits lain di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah Swt dari kefakiran.

Permohonan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini bukanlah tanpa alasan. Sesungguhnya beliau telah mengetahui bahwa terdapat perbedaan jarak waktu antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin ketika memasuki surga. Di mana orang-orang miskin akan setengah hari lebih cepat memasuki surga dibandingkan orang-orang kaya. Kadar waktu setengah hari ini adalah lima ratus tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun”. [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Mengapa bisa seperti ini, dan orang-orang miskin seperti apakah yang akan masuk surga dengan lebih cepat itu? Hal ini terjadi karena orang-orang kaya akan terlebih dahulu menghadapi perhitungan dan pertanggungjawaban tentang bagaimanakah harta kekayaan mereka itu dipergunakan, dimanakah harta kekayaan mereka itu dibelanjakan. Apakah mereka mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah Swt., ataukah untuk bermaksiat terhadap-Nya.

Adapun orang-orang miskin yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang senantiasa berupaya dengan segenap kemampuan untuk melakukan amal perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt. Mereka adalah orang-orang miskin yang meskipun dengan keadaan mereka yang serba kekurangan, akan tetapi kekurangan mereka itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berpegang kepada Sunnah dan menghindari perbuatan-perbuatan bidah. Keterbatasan mereka tidak lantas membuat mereka terjerumus kepada perbuatan munkar. Mereka tetap berkomitmen menunaikan perbuatan maruf.

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. agar beliau dijadikan orang yang mencintai orang-orang miskin. Beliau bersabda,

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu”. [HR. Ahmad].

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menginformaskan kepada kita semua bahwasanya Allah Swt akan melimpahkan rezeki-Nya kepada kita apabila kita memberikan pertolongan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah Saw bersabda, “Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian”. (HR. Bukhari).

Bahkan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa betapa besar peran yang diberikan oleh orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, terhadap umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”. (HR. An Nasai)

Sepanjang usianya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak pernah luput untuk berempati kepada kaum miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam teramat mencintai mereka. Maka tak heran apabila beliau senantiasa berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang kekurangan secara ekonomi. Wasiat Rasulullah Saw. itu sebagaimana yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar RA, salah seorang sahabatnya.

Besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kaum papa ini menginspirasi Ibn Majah untuk membuat bab khusus yang membahas keutamaan orang-orang miskin, yaitu bab Fadlul Faqr (keutamaan kefakiran), bab Manzilatul Fuqara (derajat orang-orang miskin), dan bab Mujalasatul Fuqara (bergaul dengan orang-orang miskin) di dalam kitab karyanya.

Dalam suatu riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa pada suatu ketika sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang miskin dari kalangan kaum muhajirin menceritakan betapa beruntungnya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk melakukan kebajikan sehingga bisa memperoleh pahala lebih banyak dibandingkan mereka.

Mendengar hal itu, Rasulullah Saw langsung bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj [22] : 47).

Lantas, bagaimanakah dengan kehidupan Rasulullah Saw. sendiri. Apakah beliau termasuk orang-orang yang hidup di dalam kemiskinan ataukah bergelimang harta kekayaan? Rasulullah Saw hidup di dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan, isteri beliau yaitu Aisyah RA pernah menceritakan bahwa di rumah mereka pernah tidak mengepul asap (tidak memasak) selama satu bulan lamanya. Aisyah RA menceritakan bahwa ketika itu ia dan sang suami tercinta hanya meminum air dan makan beberapa butir kurma.

Ada salah satu doa Rasulullah Saw yang berbunyi, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah). Maksud dari “miskin” dalam hadits ini bukanlah keadaan tidak memiliki apa-apa, melarat, sengsara atau maksud lainnya yang dipahami sebagian orang terhadap kata “miskin”. Miskin dalam hadits ini seperti yang dijelaskan Imam Baihaqi bahwa maksudnya adalah khusyu dan tawadlu.

Jadi, dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. supaya beliau dijadikan sebagai orang yang senantiasa hidup di dalam keadaan yang menjadikan diri beliau sebagai orang yang khusyu dan tawadlu.

Kepada sahabat-sahabatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta yang jumlahnya mencapai satu Sha (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau hanya mempunyai harta sebanyak satu Mud (938 gram) makanan (Sunan Ibnu Majah:4147-8).

Mencintai orang-orang miskin adalah bukti dari keimanan kita kepada Sang Khaliq. Apabila ajaran mulia dari Rasulullah Saw. ini sudah benar-benar dipahami dan diamalkan oleh kita semua, tentulah kita tidak akan menyaksikan bayi yang ditahan rumah sakit hanya karena orang tuanya tidak bisa menebus biaya persalinan. Tentulah juga kita tidak akan menyaksikan orang-orang miskin yang akhirnya meregang nyawa karena ditolak berobat oleh rumah sakit sebab kendala biaya.

Mari kita perhatikan, ternyata fenomena-fenomena sosial tersebut hampir setiap hari kita temukan baik di hadapan mata kita secara langsung, maupun informasi melalui media-media. Semoga kita termasuk umat Rasulullah Saw. yang senantiasa meneladani beliau dalam mencintai orang-orang miskin dan kaum lemah. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

Tujuh Wasiat Rasulullah

SEGALA puji hanya milik Allah Swt yang telah mengirimkan utusan-Nya bernama Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai suri teladan untuk seluruh umat manusia. Seorang insan yang telah memberikan contoh berperikehidupan mulia bagi seluruh alam.

Saudaraku, melalui ribuan haditsnya, Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabadikan wasiat tentang nilai-nilai kebajikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya dan juga bagi seluruh manusia. Salah satunya adalah wasiat yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA.

Dari Abu Dzar RA, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:

1. Supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,

2. Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,

3. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,

4. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan l haul wal quwwata ill billh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),

5. Aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,

6. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan

7. Beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.

Hadits ini diriwayatkan oleh imam-imam ahli hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Ath Thabrani, Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Nuaim, dan Imam Al Baihaqi.

InsyaAllah pembahasan satu-persatu 7 wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan dilanjutkan pada posting berikutnya. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Wasiat Rasulullah yang Harus Disegerakan

RASULULLAH shallallahu alaihi wasallam mewasiatkan tiga hal yang harus disegerakan. Tidak boleh ditunda-tunda. Namun, di zaman sekarang sering kali orang malah menunda hal-hal tersebut.

Rasulullah shallallahu alaihu wasallam bersabda:

“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni salat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan)

Meskipun dalam hadis ini Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu, para ulama menjelaskan bahwa hadis ini berlaku umum untuk seluruh umatnya.

Jangan tunda salat jika telah tiba waktunya

Rasulullah mengajarkan umatnya untuk salat tepat waktu. Bagi laki-laki, berjemaah di masjid. Namun apa yang terjadi sekarang? Suara azan seperti tak dihiraukan banyak orang. Hanya beberapa orang yang bergegas ke masjid. Hanya satu dua shaf yang terisi.

Banyak orang yang menunda-nunda salat. Malas ke masjid, malas salat berjemaah. Padahal salat berjemaah pahalanya berlipat 27 derajat. Sebagian ulama berpendapat salat jemaah hukumnya wajib bagi muslim laki-laki. Sebagian ulama sisanya berpendapat salat jemaah hukumnya sunah muakkad.

Yang lebih parah, banyak pula yang menunda salat hingga waktunya hampir habis. Salatnya di detik-detik terakhir yang kadang langsung digabungkan dengan salat berikutnya. Hanya terpisah zikir dan doa yang tak begitu lama.

Yang lebih parah lagi, tidak sedikit mereka yang mengaku muslim namun meninggalkan salat. Padahal pembatas antara seorang muslim dan seorang kafir adalah salat.

Jangan tunda memakamkan jenazah

Jenazah perlu diperlakukan dengan segera. Jangan ditunda-tunda. Segera dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan. Dalam salah satu hadis disebutkan mengapa harus mempercepat pemakaman jenazah; jika ia orang yang taat berarti kita mempercepat ia bertemu nikmatNya, sedangkan jika ia pendosa berarti kita mempercepat berlepas dari fitnahnya.

Di zaman sekarang, kadang jenazah ditunda-tunda. Ada yang beralasan agar seluruh kerabatnya datang dulu melihat wajahnya. Ada pula yang karena alasan ia pejabat atau orang terkenal sehingga ditunda berhari-hari pemakamannya.

Jangan tunda menikahkan wanita yang telah datang jodohnya

Rasulullah menganjurkan para orangtua agar segera menikahkan putrinya jika telah ada pria sekufu yang melamarnya. Menurut banyak ulama, kufu itu dalam urusan agama. Senada dengan hadis lain yang menjelaskan bahwa jika ada pria saleh yang datang melamar hendaklah diterima atau akan ada fitnah dan kerusakan yang terjadi di muka bumi.

Terkadang juga ada gadisnya sendiri yang pilih-pilih sehingga akhirnya pernikahannya selalu tertunda. Bermaksud mencari pria yang sempurna, ternyata malah tidak ada lagi pria yang datang melamarnya. [bersamadakwah]

 

INILAH MOZAIK