Tak Kemaruk Maka Bahagia

SAAT saya tinggal di rumah salah satu tokoh muslim Auckland New Zealand. Kemarin dhuhur saya dijemput di bandara dan langsung dibawa ke rumah ini untuk kemudian menjalankan “tugas dinas harian.”

Kesan pertama akan kota bisnis ini adalah damai dan asri. Tatanan rumah tak ada yang tinggi, setiap rumah dipenuhi rumput dan tanaman. Cuaca sejuk mendukung, jalanan bersih tanpa sampah, pohon-pohon rapi berdiri sepanjang jalan.

Pak Hanhan yang menjemput saya, yang sudah puluhan tahun tinggal di sini, bercerita bahwa masyarakat asli Auckland ini adalah sederhana. Bahasa ringannya adalah “yang penting hidup, yang penting sehat.” Rumahnya rata-rata sama tak bermodel gaya rumah orang kaya Indonesia. Kalau ada rumah besar mewah, bisa dipastikan itu milik pendatang atau imigran. Inilah jenis tamu yang menyaingi tuan rumah. Karena kesederhanaan inilah maka kedamaian dan kebahagiaan hidup menjadi terasa.

Namun bagi sebagian orang, kesederhanaan hidup secukupnya dan apa adanya seperti ini dianggap kurang menantang, kurang kompetitif, dan kurang dinamis. Lalu muncullah persaingan, lahirlah kompetisi yang tak begitu sehat. Dengan tanpa sadar, kerakusan, ketamakan atau sikap kemaruk mulai tumbuh. Lahirlah premanisme dengan berbagai bentuknya. Ini mulai ada di Auckland bagian selatan.

Kaidah sederhana itu mendamaikan sungguh menemukan bukti di daerah ini. Tadi malam saat saya ceramah di sebuah gedung pemerintah, Mt Eden Memorial Hall, terlihat sekali wajah damai itu, wajah tanpa ketergesa-gesaan, wajah tanpa kerutan kening, wajah yang selalu berhiaskan senyuman dan sapaan. Ingin damai bahagia? Jangan tamak, jangan kemaruk. Syukuri apa yang ada. Salam, AIM. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2384702/tak-kemaruk-maka-bahagia#sthash.DjYUfhsk.dpuf