vaksin covid19

Tetap Bersandar kepada Allah setelah Divaksinasi

Indonesia mulai melakukan vaksinasi Covid-19 pada tanggal 13 Januari 2021 kemarin. Vaksinasi akan dilakukan secara bertahap dan beberapa daerah sudah mulai melakukan vaksinasi sebagai usaha dalam menghadapi pandemi. Vaksinasi ini sebagai salah satu bentuk usaha seseorang dalam menghadapi penyakit Covid-19. Seseorang yang divaksinasi berarti dia mengambil sebab untuk membentengi dan menjaga tubuh dari penyakit. Oleh karena itu, membahas tentang hal ini tidak lepas dari pembahasan terkait hukum pengambilan sebab.

Sebuah bukti kesempurnaan Islam adalah adanya aturan bagaimana seharusnya seorang muslim melakukan pengambilan sebab dalam berbagai kasus. Mengetahui hukum pengambilan sebab menjadi sangat penting karena seseorang yang tidak mengenal tentang hukum pengambilan sebab bisa terjatuh ke dalam maksiat, bid’ah, dan bahkan kesyirikan.

Prinsip mendasar dalam pengambilan sebab

Ada tiga prinsip mendasar dalam pengambilan sebab, yaitu:

Pertama, tidak menjadikan sesuatu yang tidak terbukti secara syar’i atau qodari sebagai sebab. Syarat tambahan yang harus dipenuhi adalah sebab tersebut tidak boleh berupa sesuatu yang dilarang syariat.

Kedua, tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Ta’ala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin.

Ketiga, sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Ta’ala.

(Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah)

Baca Juga: Fatwa Dewan Fatwa Internasional Mengenai Vaksin

Prinsip pertama

Tidak menjadikan sesauatu yang tidak terbukti secara syari atau qodari sebagai sebab. Syarat dibolehkannya sesuatu dijadikan sebab adalah sesuatu tersebut telah terbukti secara syar’i atau qodari. Terbukti secara syar’i adalah adanya dalil dari Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut bisa dijadikan sebagai suatu sebab. Contohnya adalah ruqyah, madu, dan habbatus saudaa’. (Syarhu Muyassar li Kitaabit Tauhid, hal. 57, Abdul Malik Al-Qosim)

Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

Sedangkan terbukti secara qodari maksudnya adalah terbukti secara ilmiah dan/atau berdasarkan pengalaman yang jelas bahwa sebab tersebut menyebabkan suatu akibat terjadi. Contoh, berbagai macam pengobatan dalam bidang kedokteran yang telah terbukti secara ilmiah menimbulkan kesembuhan. (At-Tamhiid, hal. 94, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)

Melakukan sebab yang terbukti secara qodari bisa dihukumi halal atau haram. Apabila sebab yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak dilarang dalam syariat, maka mengambil sebab itu dihukumi halal. Misalnya, berdagang dengan cara yang diperbolehkan untuk mendapatkan penghasilan. Namun apabila sebab yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang dilarang syariat, maka hukumnya haram. Misalnya, mencuri untuk mendapatkan uang.

Dapat disimpulkan bahwa hukum seseorang yang tidak memenuhi prinsip pertama dari tiga prinsip mendasar dalam permasalahan pengambilan sebab ini dibagi menjadi 2, yaitu:

Pertama, syirik asghar (syirik kecil)

Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang tidak terbukti secara syar’i maupun qodari. Namun, orang tersebut masih meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Ta’ala. (At-Tamhiid, hal. 94, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)

Kedua, maksiat dan tidak sampai tingkat kesyirikan

Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang terbukti secara qodari, akan tetapi haram dilakukan, dan orang tersebut meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Ta’ala.

Dalam kasus vaksinasi, apabila vaksin tersebut sudah terbukti secara ilmiah, maka termasuk ke dalam sebab qodari. Terkait hukum vaksinasi bisa dibaca selengkapnya di artikel berikutnya.

Prinsip kedua

Tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Ta’ala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Sebab yang ada hanyalah perantara karena pada hakikatnya Allah Ta’ala yang menjadikan sebab itu berpengaruh. Oleh karena itu, seseorang harus menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala dan tidak boleh menyandarkan kepada sebab. Di samping penyandaran hati kepada Allah Ta’ala semata, seseorang wajib untuk melakukan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز

“Bersemangatlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

Seseorang yang tidak memenuhi prinsip kedua ini, dia bisa terjatuh ke dalam syirik akbar apabila menyandarkan hati kepada sebab, bukan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa sebab tersebut yang berkehendak. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh bertawakkal atau menyandarkan hatinya kepada vaksinasi dan tidak boleh meyakini bahwa vaksin tersebut menyembuhkan atau mencegah penyakit dengan sendirinya, dan bukan atas kehendak dari Allah Ta’ala. Karena pada dasarnya, vaksin tersebut hanyalah sebab yang kita usahakan. Adapun yang menjaga kita adalah Allah Ta’ala. Kita tidak boleh bertawakkal kepada makhluk.

Prinsip ketiga

Sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mampu untuk menjadikan suatu sebab yang terbukti secara syar’i maupun qadari berpengaruh agar seseorang mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya. Allah Ta’ala juga mampu untuk menjadikan sebab tersebut tidak berpengaruh agar hati seseorang tidak bergantung kepada sebab dan agar seseorang tersebut mengetahui kesempurnaan kekuasaan dan kehendak-Nya. (Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105-106, Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di)

Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa sebab qodari tidak selamanya menyebabkan pengaruh adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Beliau ‘alaihis salaam tidak terbakar oleh api walaupun secara qodari, api itu terbukti bisa membakar dan menghanguskan. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَۙ .وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ .قَالُوا ابْنُوْا لَه بُنْيَانًا فَاَلْقُوْهُ فِى الْجَحِيْمِ .فَاَرَادُوْا بِه كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَسْفَلِيْنَ.

“Ibrahim berkata, “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Mereka berkata, “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim, lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.” Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.” (QS. Ash-Shaffat: 95-98)

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ .وَاَرَادُوْا بِه كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ ۚ

“Kami berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. Al-Anbiya’: 69-70)

Oleh karena itu, sehebat apapun sebab yang kita usahakan, kita harus tetap meyakini bahwa berhasil atau tidaknya sebab tersebut Allah Ta’ala  yang menentukan. Tugas kita adalah berusaha (mengambil sebab), adapun hasil diserahkan kepada Allah Ta’ala. Begitu pula dalam kasus vaksinasi ini, keberhasilan vaksinasi tetap berada di bawah kehendak Allah Ta’ala.

Begitu indahnya Islam. Dalam Islam diajarkan, kita harus semangat berusaha seoptimal mungkin untuk mendapatkan kebaikan untuk tubuh dan hati kita. Termasuk dengan mengikuti program vaksinasi Covid-19 yang sudah terbukti secara ilmiah. Namun setelah melakukan berbagai usaha sebagai sebab tersebut, kita wajib tetap menyerahkan semua kepada Allah Ta’ala.

Wallahu a’lam bish shawab.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Penulis: apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id