DARI Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu Anhu, katanya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu salatsambil menggendong Umamah -putri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Abul Ash bin Rabiah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya.” (HR. Bukhari No. 516, Muslim No. 543)
Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang salat sedangkan Umamah anak putri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga putri dari Abu Al Ash bin Ar Rabi bin Abdul Uzza – berada di pundaknya. Jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya.” (HR. Ahmad No. 22589, An Nasai No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 827. Syaikh Syuaib Al Arnauth juga mensahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika salat subuh)
Keterangan Amru bin Sulaim ini menganulir pendapat Imam Malik yang membolehkan hanya pada salat sunah. Apa hikmahnya? Berkata Al Fakihani, “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di salatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)
Riwayat lainnya, Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar untuk salat bersama kami untuk salat siang (zuhur atau asar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein). Lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk salat, maka dia salat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata, “Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasai No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 1141)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
Hadis ini menjadi dalil bagi mazhab Syafii dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya salat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik salat fardu atau sunah, baik jadi imam atau makmum. Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk salatsunah, tidak dalam salat fardu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada salat fardu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada salat subuh.
Sebagian kalangan Maliki menganggap hadis ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bagi Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara.
Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begitu pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut.
Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Sahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.”
Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyuan sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadis itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu Alam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi Ruh Al Islam)
Wallahu A’lam. [Ustaz Farid Numan Hasan]
sumber:Mozaik.Inilah.com