Apakah Iktikaf itu?

Secara bahasa, iktikaf berasal dari kata ‘akafa-ya’kufu-ukufan’ yang berarti tetap pada sesuatu. Menurut Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam Fadhilah Ramadhan, iktikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan niat Iktikaf.

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, iktikaf menetap di suatu tempat dan berdiam diri tanpa meninggalkan tempat itu, baik untuk melakukan amal baik dan jahat. Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada kaumnya dan bapaknya, “patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?” (QS Al-Anbiya [21]:52).

Sayyid Sabiq menjelaskan, maksud dari ayat diatas, mereka menetap di tempat itudengan tujuan beribadah kepada patung-patung itu. Namun kata dia, iktikaf yang dimaksud dalam ajaran islam adalah menetap dan tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sedangkan menurut Al-Kubaisi, secara bahasa iktikaf bermakna menetap, mengurung diri, atau terhalangi, Allah SWT berfirman: “… tetapi janganlah kamu campuri mereka itu (istri-istri), sedang kamu menetap di masjid (ber-iktikaf)…” (Al-Baqarah [2]:187)

Al-Marghaini mendefinisikan Iktikaf dengan menetap dalam masjid disertai puasa dan niat Iktikaf. Menurut Muhammad bin Famaruz, Iktikaf adalah menetapnya seorang laki-laki dalam masjid, sendirian atau berjamaah, atau menetapnya seorang perempuan dalam rumahnya (ruangan khusus) dengan niat iktikaf.

 

sumber: Republika Online

Sejarah Iktikaf dan Teladan Rasulullah

Sebelum diangkat menjadi rasul Allah SWT, Nabi Muhammad memiliki kecintaan untuk mengasingkan diri, dengan tujuan untuk beribadah. Menurut Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad mengasingkan diri dari kaumnya yang jahiliyah di Gua Hira yang terletak di Bukit Jabal Nur. Posisi gua itu berada di tempat yang lebih tinggi dari Ka’bah.

Ibnu Abi Jamrah menuturkan, selama menyendiri di Gua Hira, Nabi Muhammad melakukan tiga bentuk ibadah sekaligus: menyepi, beribadah, dan melihat Baitullah. Rasulullah menyendiri di gua yang sempit itu untuk beberapa malam, kemudian kembali kepada keluarganya, dan kembali lagi untuk menyepi.

Kebiasaan itu berlangsung hingga turunya wahyu dan diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Utusan Allah. Dalam Fathu Bari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW diangkat sebagai nabi pada usia 40 tahun. Imam Baihaqi berkata, “Turun kepada beliau kenabian itu pada usia 40 tahun.”

Ketika sudah diangkat menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk berdakwah dan mengamalkan syariat Islam secara sempurna. Sejak itu, masjid menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah. “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka kamu jangan menyembah seseorang pun yang ada didalamnya selain (menyembah) Allah.” (QS Al Jinn: 18).

Menurut Dr Ahmad Abdurazzaq Al-Kubaisi dalam Al-I’tikafu Ahkamuhu wa Ahammiyatuhu fi Hayati Muslim, Nabi Muhammad senantiasa menjalani kegiatan rutinya dengan Rabb-nya. “Beliau tak pernah meninggalkan kegiatan rutinya, termasuk amalan berkala tahunan,” ujar Al-Kubaisi.

Salah satu amalan berkala yang dilakukan Rasulullah adalah menyendiri dan memutuskan hubungan dengan berbagai kegiatan keluarga dan masyarakat. Menurut Al-Kubaisi, Nabi Muhammad SAW menjauhi tempat tidurnya, mengencangkan ikat pinggangnya, lalu pergi menyendiri ke masjid untukndan sujud guna beribadah kepada Rabb-nya dengan khusyuk.

Amalan yang tak pernah terlewatkan. Bila sakit dan ada alasan lainnya, Rasulullah SAW tak pernah lupa mengqadhanya. “Ketahuilah, kegiatan tahunan itu adalah iktikaf, yang biasa yang biasa dilakukan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,” papar Al-Kubaisi. Lalu mengapa Rasulullah SAW tak pernah melewatkan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan?

Menurut Al-Kubaisi, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan kesempatan terbaik yang dipilihkan Allah SWT bagi Rasulullah SAW dan umatnya pada kesepuluh terakhir Ramadhan itulah, Nabi Muhammad SAW menyendiri dan ber-khalwat dengan Sang Khalik.

Rasulullah bermunajat untuk yang dicintainya, yakni Allah SWT. Iktikaf merupakan kesempatan untuk mengungkapkan kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Rabb-nya.

 

sumber: Republika Online

Ini Dalil dan Dasar Iktikaf

Iktikaf telah disepakati umat Islam sebagai ibadah dan cara yang paling utama untuk ber-taqarub kepada Allah SWT. Dalil disyariatkannya Iktikaf adalah firman Allah: “…Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang Thawaf, iktikaf dan yang sujud.” (QS Al-Baqarah [2]:125). Lihat juga QS Al-Baqarah [2]: 187.

 

Selain dalil Alquran, anjuran ber-iktikaf juga disebutkan dalam berbagai hadis. Yang paling populer adalah hadis dari Aisyah RA; “Adalah Nabi SAW melakukan Iktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan oleh Allah SWT, lalu hal tersebut dilanjutkan oleh istrinya setelah wafatnya.” (HR Bukhari, Fathul Bari).

Berikut ini adalah hadis tentang iktikaf :

•    Hadis riwayat Ibnu Umar RA: Bahwa Rasulullah selalu Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. (Shahih Muslim No 2002).

•    Hadis riwayat Aisyah RA, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Beliau menghidupkan malam (untuk beribadah) dan membangunkan istri-istrinya, bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri. (Shahih Muslim No 2008).

•    Hadis riwayat Aisyah RA, ia berkata: “adalah Rasulullah SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidak seperti hari-hari lainnya”. (Shahih Muslim No 2009).

•    Aisyah RA berkata, “Sungguh Rasulullah memasukan kepala beliau kepada ku ketika beliau sedang ber-Itikaf di masjid, lalu saya menyisirnya. Apabila beliau beriktikaf, tidak masuk kerumah kecuali ada keperluan.” (HR Bukhari).

•    Ibnu Umar RA mengatakan bahwa kenapa Nabi SAW (dalam satu riwayat dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab bahwa dia) berkata, “(Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliah dulu saya bernazar untuk beriktikaf semalam di masjidil haram.” Beliau bersabda, “Penuhilah nazarmu.” (Lalu Umar beriktikaf semalam). (HR Bukhari).

•    Abu Hurairah RA berkata, “Nabi biasa beriktikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Kemudian setelah datangnya tahun yang pada tahun itu beliau dicabut ruhnya (yakni wafat) beliau Iktikaf selama dua puluh hari.

Mengapa Ada Mihrab di Masjid?

Mihrab di Masjid,mihrabMihrab kini hampir selalu hadir dalam arsitektur masjid. Keberadaannya sudah diterima oleh umum menjadi bagian dari masjid, yakni sebagai penanda arah kiblat. Karena itu, letak mihrab menjorok ke dalam di bagian depan ruangan masjid.

Mihrab menjadi tempat imam dalam memimpin dalam shalat berjamaah. Dalam bahasa Arab, kata mihrab berarti melawan atau berperang. Beberapa sejarawan menganggap, istilah ini lebih berasal dari Persia. Yaitu, lubang yang tidak tembus atau cekungan (niche) pada kuil Mithraistik.

Secara harfiah, menurut Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), kata mihrab berarti gedung yang tinggi. Sebagian ulama berpendapat, mihrab sebagai tempat memerangi setan dan hawa nafsu. Menurut mereka, mihrab berakar dari kata ‘al-hurba’ yang berarti peperangan.

Ada pula yang menyatakan, ceruk atau ruangan dalam masjid itu dinamakan mihrab. Karena, dalam tempat itu kebenaran manusia dapat ditempa dalam upaya menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Namun, Dr Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr Muhammad Muhsin Khan punya definisi tentang kata mihrab.

Dalam cetakan Alquran King Fahd Complex, Saudi Arabia, keduanya mendefinisikan mihrab sebagai tempat shalat kecil atau ruang privasi, bukan arah atau penunjuk tempat shalat, apalagi tempat imam memimpin shalat.

Selain memiliki beragam pengertian, kehadiran bagian interior masjid itu pun tak seutuhnya disepakati umat Islam. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarang kehadiran mihrab di dalam masjid karena tak pernah dicontohkan Rasulullah SAW.

Dalam Alquran, kata mihrab disebut sebanyak tiga kali. Berikut salah satu petikan ayat: ”Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS Ali Imran (3): 37).

Kata mihrab juga terdapat pada hadis yang diriwayatkan HR Baihaqi. Para ulama Hanafiah menjadikan hadis ini sebagai dasar mengapa ada mihrab dalam masjid. Mereka membolehkan mengadakan mihrab dalam bentuk apa pun, baik berupa cekungan, lubang yang tidak tembus (misykat), atau ruang imam.

Beberapa ulama memiliki interpretasi lain pada hadis tersebut, karena memang pada zaman Rasulullah SAW tidak terdapat mihrab, tetapi sutrah (tanda atau dinding kiblat). Mereka lebih mengartikan kata mihrab dalam hadis ini semata-mata sama dengan kata mushala (tempat shalat), seperti istilah mihrab dalam Alquran daripada sebagai ruang imam atau tanda untuk arah kiblat (Mashalihul Mursalah).

 

 

sumber: Republika Online

Salat Sambil Menggendong Anak Kecil

DARI Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu Anhu, katanya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu salatsambil menggendong Umamah -putri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Abul Ash bin Rabiah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya.” (HR. Bukhari No. 516, Muslim No. 543)

Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang salat sedangkan Umamah anak putri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga putri dari Abu Al Ash bin Ar Rabi bin Abdul Uzza – berada di pundaknya. Jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya.” (HR. Ahmad No. 22589, An Nasai No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 827. Syaikh Syuaib Al Arnauth juga mensahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika salat subuh)

Keterangan Amru bin Sulaim ini menganulir pendapat Imam Malik yang membolehkan hanya pada salat sunah. Apa hikmahnya? Berkata Al Fakihani, “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di salatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)

Riwayat lainnya, Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar untuk salat bersama kami untuk salat siang (zuhur atau asar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein). Lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk salat, maka dia salat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata, “Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasai No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

Hadis ini menjadi dalil bagi mazhab Syafii dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya salat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik salat fardu atau sunah, baik jadi imam atau makmum. Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk salatsunah, tidak dalam salat fardu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada salat fardu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada salat subuh.

Sebagian kalangan Maliki menganggap hadis ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bagi Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara.

Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begitu pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut.

Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Sahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.”

Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyuan sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadis itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu Alam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi Ruh Al Islam)

Wallahu A’lam. [Ustaz Farid Numan Hasan]

 

sumber:Mozaik.Inilah.com

Iran Diduga Bantu Houthi Tembakan Rudal Balistik ke Makkah

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH — Ahli Militer Mesir, Hisham al-Halabi, mengungkapkan, jenis rudal yang dipakai Houthi untuk menyerang Makkah adalah rudal balistik Scud surface-to-surface. Rudal jenis ini banyak digunakan milter Rusia sebelum disita oleh Houthi.

Menurut Halabi, kendaraan yang digunakan untuk meluncurkan rudal itu memerlukan teknologi khusus yang tidak mungkin dimiliki oleh milisi Houthi. Penjelasan itu seolah menegaskan bahwa rudal benar diluncurkan oleh Militer Iran.

Rudal ini, tambah dia, memiliki jangkauan lebih dari 300 km. Namun, Arab Saudi memiliki sistem pertahanan antirudal yang tak kalah canggih sehingga rudal dapat dihancurkan sebelum mencapai target. “Presiden Irak Saddam Hussein juga menggunakan jenis rudal ini dalam perang melawan Iran di perang Teluk pertama,” jelasnya.

Negara-negara yang bergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) menyatakan kecaman atas serangan Houthi ke Makkah yang dianggap didukung oleh Iran. Serangan itu dianggap sebagai bukti penolakan Iran untuk mematuhi keputusan internasional.

“Rezim Iran mendukung kelompok teroris yang menembakkan rudal ke Makkah. Apakah mereka mengklaim sebagai rezim Islam?” ujar Sekretaris Jenderal GCC dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah Bin Zayed, dikutip dari Saudi Gazette, Sabtu (29/10).

Menurutnya, serangan tersebut telah melanggar kesucian dan melampaui batas. Serangan bisa memprovokasi 1,5 miliar umat Islam di dunia yang selama ini berkiblat ke Makkah. Sheik Abdullah juga menyerukan kepada negara-negara GCC untuk bersatu memerangi musuh yang mencoba menjadikan kota suci Islam sebagai target penghancuran rudal.

Pencarian “Al-Houthi menargetkan Ka’bah umat Muslim” masih menjadi tren di negara-negara mayoritas Muslim, seperti Pakistan, Malaysia, dan Albania. Pengamat politik asal Bahrain, Sawsan al-Shaer mengatakan, hal itu karena serangan tidak hanya mengancam Arab Saudi, tetapi juga mengancam seluruh umat Muslim.

“Arab Saudi pasti memperkirakan akan ada banyak serangan dari Houthi yang didukung Iran. Tapi menyerang kota suci milik umat Islam adalah hal baru yang mengejutkan, bahkan bagi penganut agama lain,” kata dia.

1,5 Miliar Muslim Tersinggung karena Makkah Jadi Target Rudal

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH — Sebanyak 1,5 miliar umat Islam di seluruh dunia akan tersinggung karena Makkah menjadi target rudal balistik. Pihak yang menargetkan Makkah pun mendapat kecaman dari banyak pimpinan umat Muslim di berbagai daerah di penjuru dunia.

Presiden dari Kepresidenan Urusan Dua Masjid Suci, Syeikh Abdurrahman Al Sudais mengatakan wilayah Makkah menjadi target rudal balistik militansi Houthi. Hal tersebut merupakan provokasi dan pelanggaran. Menurutnya, tindakan tersebut juga dinilai telah menyinggung perasaan 1,5 miliar umat Islam di seluruh dunia.

Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan pada Sabtu (29/10), Syeikh Sudais menegaskan pihak mana pun yang melakukan agresi terhadap Masjidil Haram akan menghadapi kehancuran. Selain itu, mereka juga akan mendapat hukuman dari Allah.

“Tindakan keji ini akan memperkuat keberanian prajurit kami yang akan melindungi agama dan bangsa,” kata Syeikh Sudais, dilansir dari Saudi Gazette, Ahad (30/10).

Ia berdoa kepada Allah untuk menjaga keamanan dan kedamaian di Makkah. Sebagai salah satu pimpinan Muslim, menurut dia, kata-katanya akan didengar ke seluruh penjuru dunia.

Kabah Akan Hancur Menjelang Kiamat

PADA suatu hari nanti Kabah akan dirobohkan oleh seorang manusia terkutuk bernama Dzussuwaiqatain dari Habasyah. (Dzussuwaiqatain adalah nama gelar yang berarti si pemilik dua betis yang kecil betisnya dikatakan kecil, karena pada umumnya betis orang Habasyah memang kecil-kecil).

Sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar dalam tafsir Ibnu Katsir, tentang bahasan firman Allah, “Sehingga, apabila telah dibukakan (pintu) Yajuj dan Majuj…” QS. Al-Anbiya : 96.

Bahwa munculnya Dzussuwaqatain bermula pada masa turunnya Nabi Isa Alaihis Salaam, yaitu setelah dibinasakannya Yajuj dan Majuj.

Ketika itu Nabi Isa Alaihis Salaam mengirim pasukannya untuk memerangi balatentara Dzussuwaiqatain. Mereka berkekuatan antara 700 sampai 800 orang. Namun ketika mereka berjalan, Allah mengirimkan angin sejuk dari arah negeri Yaman. Angin itu mencabut nyawa setiap orang yang beriman. Dan sisanya tinggal manusia-manusia jahat. Mereka bersetubuh bebas seperti binatang.

Kaab Al-Ahbar mengatakan, pada saat itu Kiamat sudah dekat.

Hadis-hadis yang berkaitan dengan Dzussuwaiqatain

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kabah ini akan dirobohkan oleh Dzussuwaiqatain dari Habasyah. Dia merampas perhiasannya dan melepaskan kiswahnya. Aku seakan-akan melihatnya, orangnya kecil botak dengan tulang-tulang persendian bengkok, sedang menghantam Kabah dengan sekop dan kapaknya”. isnad hadis ini Jayyid dan qawiy HR.Ahmad dalam musnadnya no.7053.

Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau bersabda, “Biarkan orang-orang Habasyah selagi mereka membiarkan kamu (tidak mengganggu kamu). Sesungguhnya tidak akan ada orang yang (berani) membongkar barang-barang simpanan dalam Kabahselain Dzussuwaiqatain dari Habasyah”.

Imam Ahmad meriwayatkan pula bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepada perawi hadis ini, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Seakan-akan aku melihatnya, orangnya hitam, dengan congkaknya dia merobohkannya (Kabah) batu demi batu”.

Dan menurut riwayat Imam Ahmad pula dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah bersabda, “Malam dan siang tak akan berhenti bergulir sebelum ada seorang lelaki dari kalangan kaum budak menjadi raja, dia bernama Jahjah”.

Yaumul Khalash (Hari Pembersihan)

Adapun kota Madinah, sebagaimana telah Salsa bahas dalam catatan terdahulu mengenai Dajjal, bahwa Dajjal tidak dapat memasuki kota Madinah dan Mekah. Di setiap sudut jalan di Madinah ada malaikat-malaikat yang menjaganya agar tidak dimasuki Dajjal.

Dalam sahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah bersabda, “Madinah tidak dapat dimasuki Dajjal maupun wabah penyakit”.

Telah dijelaskan pula bahwa Dajjal hanya bisa tinggal diluar kota, lalu terjadilah goncangan hebat tiga kali, yang mengakibatkan kaum munafik maupun orang-orang fasik, laki-laki dan perempuan, semuanya keluar dari dalam kota, dan tinggallah orang-orang mukmin dan muslim, laki-laki dan perempuan di dalam kota MAdinah. Dan hari itu disebut sebagai “Yaumul Khalash” (Hari Pembersihan).

Demikian sebagaimana pernah dinyatakan oleh Rasulullah, “Sesungguhnya kota ini (Madinah) adalah Thaibah (harum). Dia sendiri akan membuang kotorannya lalu semerbaklah keharumannya”.

Kota Madinah akan tetap ramai pada saat Dajjal beroperasi, dan ramai pada masa datangnya Rasulullah Isa bin Maryam Alaihis Salaam, sampai beliau wafat dan dikubur disana. Sesudah itu semua, barulah penduduk Madinah akan keluar meninggalkan kota. [resensiakhirzaman]

 

sumber: MozaikInilahcom

Ini Cara Cepat Belajar Membaca Alquran

Umumnya, belajar membaca Alquran membutuhkan waktu berbulan-bulan. Mulai dari belajar membaca buku Iqra satu sampai enam. Sehingga orang-orang yang sudah berusia setengah baya akan kesulitan membagi waktu mereka untuk belajar.

Sebuah metode baru cara cepat belajar membaca Alquran lahir dan dikembangkan Ustaz Achmad Farid Hasan. Dengan metode tersebut, seseorang hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk bisa membaca Alquran. Ia pun berharap, metodenya dapat membantu dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat.

Republika menjadi wadah bagi orang-orang yang ingin belajar membaca Alquran dengan cepat. Banyak peserta yang penasaran, tertarik sekaligus kaget dengan metode 30 Menit Bisa Baca Alquran.

Puluhan peserta pelatihan cara cepat bisa membaca Alquran dari berbagai daerah datang satu persatu ke Republika Sabtu (29/10) pagi. Mereka datang dari, Purwakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Jakarta dan sekitarnya.

Sambil menunggu kedatangan Ustaz Achmad, para peserta diselimuti rasa penasaran. Sikap dan raut wajah mereka pun memancarkan aura kesungguhan untuk menimba ilmu yang sangat berharga.

Salah seorang peserta pelatihan dari Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Ali Zaenal Abidin (30 tahun) menceritakan, awalnya langganan koran Republika. Di koran ada informasi tentang pelatihan 30 Menit Bisa Baca Alquran.

Saat membaca informasi tersebut langsung kaget sekaligus tertarik. “Kaget juga 30 menit bisa membaca Alquran, ini metode dari mana, kita kan penasaran,” kata Ali yang kesehariannya menjadi guru mengaji, Sabtu (29/10).

Tujuan mengikuti pelatihan cara cepat bisa membaca Alquran untuk menambah pengetahuan bagi diri sendiri. Dia berharap, metode yang dipelajarinya akan bisa diajarkan kepada istrinya.

Setelah itu, Ali juga berniat ingin menerapkan metode yang dipelajarinya untuk mengajari anak-anak mengaji di lingkungan tempat dia tinggal.

 

sumber: Republika Online