Rujuk Talak Tiga, Istri Harus Kawin Dulu?

PADA pengajian Jumat kemarin, pertanyaan yang relatif banyak diajukan kepada saya adalah masalah keluarga. Dua pertanyaan di antaranya saya share via forum ini: pertama, adakah cara lain untuk ruju’ (kembali) kepada isteri yang telah ditalak tiga selain sang mantan isteri itu dikawini lelaki lain?

Pertanyaan ini disampaikan via on-line kepada saya; kedua, bolehkah seorang suami melarang isterinya taat kepada kedua orang tua kandungnya? Pertanyaan ini disampaikan dalam diskusi setelah khutbah di masjid Nasional al-Akbar kemaren.

Terhadap pertanyaan pertama saya jawab bahwa talak tiga itu berbeda dengan sanksi melanggar sumpah atau melanggar puasa yang memiliki pilihan solusi hukum. Untuk talak tiga, kalau mantan suami itu akan ruju’ dengan mantan isteri maka solusinya cuma satu, sang mantan isteri harus telah menikah dengan lelaki lain dahulu.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa menyuruh seorang lelaki untuk mengawini mantan isterinya dalam jangka waktu tertentu adalah tidak boleh. Lelaki yang mengawini wanita yang ditalak tiga dengan niat hanya untuk menghalalkan ruju’ disebut muhallil, nikah seperti ini haram.

Saya bertanya pada lelaki itu mengapa mentalak tiga dan mengapa masih ingin kembali. Alasannya adalah karena isterinya tidak taat dan berbuat di luar kemauan suami serta senang bercerita aib keluarga kepada orang lain. Sementara alasan ingin ruju’ adalah hanya karena tak mampu melihat tetesan air mata tiga anaknya yang tak rela berpisah dengan sang Bapak.

Minggu ini masih akan datang ketemu saya untuk mendiskusikan lebih jauh. Jelas, Islam memiliki solusi terbaik. Jelas pula bahwa perceraian itu bukanlah aib jika memang satu-satunya pilihan menjadi lebih bahagia.

Untuk pertanyaan kedua saya jawab bahwa suami memang punya hak besar atas isteri. Isteri harus taat kepada suami lebih kepada kedua orang tuanya. Mengapa begitu? Panjang ceritanya. Hanya saja, suami yang baik adalah suami yang tak pernah melarang isterinya taat kepada orang tuanya.

Isteri yang baik adalah isteri yang ketaatan kepada orang tuanya adalah dengan tidak menyakiti hati suaminya. Susahnya sekarang adalah ketika si isteri yang melarang suami taat kepada kepada orang tuanya. Inilah yang tak punya dasar sama sekali.

Jawabannya masih panjang. Kita bisa diskusi darat. Yang jelas, jalani hidup yang sementara ini dengan baik. Ikuti syari’at, pasti bahagia. Salam, AIM, Pengasuh Ponpes Kota Alif Laam miim Surabaya. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2345211/rujuk-talak-tiga-istri-harus-kawin-dulu#sthash.iC3h5nvM.dpuf

Sejarah Penamaan (Nabi) Muhammad

TENTANG penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka.

Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,

“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahualaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahualaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis.

Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?” “Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan, “Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabiah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili, “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,

Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya

Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad). []
__

Referensi: Al Luluu Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Mamuun, karya Musa Rasyid Al Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Sumai, Riyadh.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2344771/sejarah-penamaan-nabi-muhammad#sthash.5P0wZ9eA.dpuf

Maulid Nabi Momentum Bangkitnya Cinta Kasih

Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH. Maman Imanulhaq menyatakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW bermakna besar bagi pembentukan pribadi serta keimanan seorang Muslim. Maulid Nabi juga menjadi momentum bangkitnya rasa saling mencintai dan mengasihi.

“Nabi Muhammad SAW diutus sebagai kasih sayang untuk semua umat manusia, rahmatan lil ‘alamin dalam menyebarkan nilai cinta kasih pada sesama,” kata Maman, Senin (12/12).

Ia menuturkan peringatan kelahiran Nabi atau maulid harus jadi momentum untuk saling mengasihi dan mencintai. Maman melanjutkan, bahwa saat merebaknya aksi kebencian dan kekerasan atas nama agama, Maulid Nabi harus jadi bahan refleksi diri bagi umat. “Untuk kembali menghadirkan nur Muhammad yang mencerdaskan dan menguatkan umat,” tuturnya.

Maman memaparkan sedikit sejarah Peringatan Maulid Nabi, dimana peringatan kelahiran Rasulullah SAW sejatinya bertepatan dengan 12 Rabiul Awal. Sementara dalam hitungan Masehi, Rasulullah terlahir tanggal 21 April 571 Masehi atau lebih dikenal dengan Tahun Gajah.

“Menurut Ibn Hajar Al-Asqalan, asal dari Maulid tidak ditemukan dari para salaf sejak kurun abad ketiga, tetapi ada kemungkinan merupakan aktivitas yang baik dan bermanfaat,” ujarnya.

Ia menambahkan Maulid Nabi seyogyanya mengukuhkan kesadaran umat untuk meneruskan perjuangan Nabi, yakni menyebarkan dakwah Islam yang mengajarkan prinsip keimanan serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Maman melanjutkan, hal itu mengilhami Raja Arballes Mosul Irak, Abu Sad Muzhaffar dan panglima perang Islam dalam Perang Salib, Salahuddin Al-Ayyub, untuk mengadakan seremonial Maulid.

Cara ini tutur Maman sebagai upaya membangkitkan ketahanan mental yang tinggi serta membangkitkan semangat perjuangan dakwah Islam yang bertujuan membebaskan manusia dari kezaliman menuju cahaya. “Dengan Maulid Nabi, marilah kita segarkan kembali spirit keagamaan kita sehingga keagungan dan keindahan Islam akan terus memancar bagi kehidupan dalam spektrum yang luas”, kata Maman.

Sumber : Antara/Republika Online

Ini Keistimewaan Senin 1212

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Ajie, mengungkapkan keistimewaan hari Senin 12 Desember 2016.

”Hari ini adalah hari Senin (12/12) yang sangat istimewa. Hari ini bertepatan dengan peringatan maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW,” ungkap kiai Mukri Ajie di hadapan jamaah Gerakan Subuh Berjamaah di Masjid Riyadlush Shalihin Parung, Bogor, Senin (12/12).

Menurut dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, belum tentu umat Muslim yang saat ini bisa melaksanakan ibadah shalat Subuh berjamaah di hari Senin bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, akan bisa bertemu lagi.

”Mungkin dibutuhkan waktu puluhan tahun, kita baru bisa melakanakan shalat Subuh di hari Senin, bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW,” ungkap ulama yang biasa mengisi pengajian Subuh di Masjid Riyadlush Shalihin Parung.

Kiai Mukri mengajak jamaah shalat Subuh, terutama para remaja masjid untuk gemar melaksanakan shalat Subuh berjamaah. ”Alhamdulillah, kita harus mensyukuri nikmat Allah SWT bisa bangun sebelum shalat Subuh, sehingga mampu menghirup udara segar yang menyehatkan tubuh,” jelas kiai Mukri.

Salah seorang jamaah, Cut Paryanto (60), karyawan sebuah peruasahaan milik BUMN, mengaku senang bisa mengikuti Gerakan Subuh Berjamaah yang dicanangkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) yang diselenggarakan pengurus Dewan Keluarga Masjid Riyadlush Shalihin Parung.

”Saya sangat bersyukur bisa mengikuti shalat Subuh berjamaah bertepangan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ini sebuah gerakan yang harus didukung umat Islam karena memberi semangat persaudaraan,” ungkap Cut Paryanto kepada Republika.co.id, Senin (12/12).

Hal senada diungkapkan Dadan Sumengkar. Guru SMKN 1 Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat yang kebetulan sedang berlibur di rumah orang tuanya di Parung, mengaku sangat senang bisa bersilaturahim dengan jamaah Masjid Riyadlush Shalihin melalui Gerakan Subuh Berjamaah.

”Gerakan Subuh Berjamaah ini sangat membantu kehidupan umat Muslim. Dengan bangun pagi, hidup lebih sehat. Tak hanya itu, insya Allah dengan bangun pagi, bisa lebih mudah untuk mendapatkan rizki dan keberkahan. Itu yang diajarkan banyak orang tua kepada anaknya,” jelas Dadan Sumengkar.

Gerakan Subuh Berjamaah di Masjid Riyadlush Shalihin Parung, tak hanya diikuti kaum bapak dan kaum ibu, juga banyak hadir dari kalangan remaja dan anak-anak. Ustaz Taufiqurrahman bertindak sebagai imam Shalat Subuh.

 

sumber: Republika Online

Maulid Nabi SAW dan Shalahuddin Al Ayyubi

Secara bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam).

Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di dunia sekarang ini. Bahkan tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di banyak negeri Muslim. Kapankan sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul dalam sejarah Islam?

Pada masa-masa sebelum ini kita sering mendengar bahwa peringatan maulid muncul pertama kali pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193). Shalahuddin dikatakan mengadakan kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam menghadapi tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini sama sekali tidak memiliki rujukan.

Tidak ada satu pun penulis sejarah Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman dengannya yang menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan maulid sebagai bagian dari perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada Secara bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan masa itu akan menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.

Syair Salib

Selain pendapat di atas, ada juga sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula beberapa sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber dari Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah.

Dinasti inilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan beberapa maulid keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu bersemangat mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib.”

Terlepas dari perbedaan dan permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah atau perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum Salib” merupakan tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.

Beberapa buku sejarah memang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri pada tahun 909 M di Tunisia, memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir, enam dekade kemudian, dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya Shalahuddin ke Mesir.

Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan terjadinya Perang Salib. Kedua sejarawan yang sama-sama memiliki nama Ahmad bin Ali itu dalah al-Qalqashandi (w. 1418) dan al-Makrizi (w. 1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya yang dibukukan, Muhammads Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini merujuk pada tulisan para sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Mamun (w. 1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).

Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-Asya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Dai al-Duat, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu.

Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah dalam sumber lain disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Quran dan diikuti dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun kembali ke rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah, maulid Hasan dan Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku Kaptein (1993: 9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab beliau) juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid itu diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada perayaan maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak tahun berapa perayaan ini mulai dilakukan.

Kaptein (1993: 28-9) berpendapat perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan kelanjutan dari perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin, perayaan maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin, sementara maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein ini lebih bersifat dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya bisa dijadikan pegangan.

Ada beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya. Pertama, sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.

Kedua, sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir). Ketiga, dalam perjalanan hajinya ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn Jubair (2001: 31-68) sama sekali tidak menyebutkan adanya kebiasaan maulid di Mesir.

Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti. [ ]

 

Oleh Alwi Alatas

*Penulis kandidat doktor bidang sejarah di IIUM Malaysia

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2262415/maulid-nabi-saw-dan-shalahuddin-al-ayyubi#sthash.dzhdTgPz.dpuf

Maulid Nabi dan Pesan Ukhuwwah Islamiyyah

Saat ini kita sudah berada dalam bulan Rabiul Awal 1438 H. Besok tanggal 12 Rabiul Awal 1438 H diperingati sebagai Maulid Nabi Muhammad Saw. Salah satu pesan peringatan Maulid Nabi yang perlu dihayati oleh seluruh umat Islam ialah pesan untuk membangun persatuan umat. Persatuan umat yang sesungguhnya tidak tercipta karena uang atau koalisi kekuasaan, tetapi persatuan umat lahir dari kekuatan ukhuwah yang dilandasi keimanan. Sedangkan kekuatan ukhuwah itu sendiri tergantung pada gerakan hati dan semangat yang sama dari umat Islam.

Nabi Muhammad adalah pembangun ukhuwah umat Islam yang pertama kali dan paling berhasil. Nabi Muhammad bukan hanya tokoh sejarah, akan tetapi juga adalah utusan Allah atau pembawa risalah yang ajaran-ajarannya, perkataan dan perbuatannya wajib diikuti oleh setiap muslim.

Menurut para ahli sejarah yang meneliti sirah nabawiyah, sekurang-kurangnya terdapat empat pilar kekuatan masyarakat dan negara yang dibangun dan diwariskan oleh Nabi lima belas abad yang lampau, yaitu:

Pertama, kekuatan akidah dan ibadah. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan akidah, ibadah, dan muamalah dalam masyarakat Islam dengan berbagai ragam latar belakang sosial budayanya.

Kedua, kekuatan ekonomi, yaitu dengan membangun etos kerja umat, menegakkan moral para pelaku ekonomi serta menggerakkan potensi zakat, infak, sedekah dan wakaf sebagai sistem jaminan sosial melalui peran negara dengan membentuk Baitul-maal.

Ketiga, kekuatan sosial. Dalam hal ini Nabi Muhammad membangun hubungan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah, membudayakan tolong-menolong di antara sesama muslim.

Keempat, kekuatan politik. Nabi Muhammad membentuk kontrak politik dengan semua unsur dan komponen masyarakat melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan piagam negara tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dilahirkan PBB pada tahun 1948.

Dalam Piagam Madinah, antara lain diatur politik pertahanan negara dan hubungan Muslim dengan nonmuslim. Dengan Piagam Madinah itu jelas sekali ajaran Islam dan umat-Nya menghargai pluralitas suku, golongan, dan agama. Ketika umat Islam berkuasa, tidak pernah terjadi gangguan terhadap umat lain ataupun pemaksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam Alquran dan Sunnah diingatkan kepada setiap muslim, apabila memegang kekuasaan harus melindungi dan mengayomi pemeluk agama lainnya dengan sewajarnya, sebagaimana umat beragama seyogianya pula menghormati identitas kaum Muslimin. Toleransi tidak bisa dibangun secara sepihak, tetapi toleransi beragama harus melibatkan semua pihak secara adil dan jujur.

Para sahabat nabi dan kaum Muslimin generasi awal menerima ajaran Islam itu tidak hanya dari ucapan dan pelajaran yang disampaikan Nabi, akan tetapi juga melihat langsung perbuatan Nabi sehari-hari dalam berbagai situasi. Oleh karena itu kita wajib menjadikan ajaran dan keteladanan yang memancar dari kehidupan, perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah untuk memperkokoh pembangunan umat dan bangsa.

Dalam perspektif Islam, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai umat dan rakyatnya secara ikhlas, yang mendahulukan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Nabi Muhammad mengajarkan bahwa setiap muslim adalah ikhwan(saudara) bagi muslim yang lain. Nabi lebih lanjut menggariskan kewajiban dan hak sesama muslim dalam kehidupan sosial, mulai dari kewajiban dan hak bertetangga, sampai kewajiban dan hak sesama manusia. Dalam salah satu ayat Alquran dinyatakan,“Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang besertanya bersikap tegas terhadap orang-orang yang engkar dan berkasih sayang terhadap sesama orang beriman…” (QS Al Fath [48]: 29).

Sementara itu menyangkut ibadah dalam arti luas Nabi Muhammad menegaskan sesuai dengan firman Allah, “Bukanlah kebajikan jika kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tapi (kebajikan itu) adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi-Nya, yang memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang meminta karena membutuhkan, dan memerdekakan budak, mendirikan shalat, menunaikan zakat, yang menepati janji apabila berjanji, sabar di saat kesulitan dan di dalam peperangan. Itulah orang-orang yang benar dan itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 177).

Nabi memberi permisalan kualitas hubungan seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagai satu bangunan, di mana antara satu bagian dengan bagian lainnya saling menopang dan memperkuat. Bukanlah termasuk umatku, siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, tegas Rasulullah.

Jika saat kita mengadakan peringatan hari lahir manusia yang paling mulia dan khataman nabiyyin walmursalin yaitu MuhammadRasulullah SAW, diharapkan peringatan ini menginspirasi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan syariah dan nilai-nilai Islam guna menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Umat Islam yang tercerai-berai karena kepentingan golongan, organisasi atau mazhab, apalagi dengan bangga menganggap golongan sendiri lebih hebat dan terbesar daripada golongan lain, niscaya akan sulit dipersatukan untuk mengusung visi keumatan dan kebangsaan.

Kita patut bersyukur melihat langkah kekompakan umat Islam di tanah air, seperti ditunjukkan dalam Aksi Bela Islam III di Jakarta tanggal 2 Desember 2016 lalu yang berlangsung tertib dan damai. Momentum langkah tersebut tidak seyogyanya dibiarkan berlalu dan redup begitu saja. Sementara tantangan yang dihadapi umat ke depan semakin berat, baik di bidang ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Kekompakan umat yang pada waktu ini berhasil dibangun, meski tidak melibatkan semuanya, selayaknya menjadi modal untuk memperkokoh persatuan umat dan membangun kemaslahatan yang lebih besar untuk kejayaan agama dan Tanah Air. Aksi unjuk rasa bukanlah tujuan kita, melainkan adalah jalan, bahkan satu dari banyak jalan untuk menuju tujuan tegaknya hukum, keadilan dan kebaikan negeri ini.

Akhirnya, ada baiknya kita renungkan bersama pesan perjuangan seorang tokoh bangsa dan pemimpin umat allahu yarham Dr. Mohammad Natsir yang menyatakan, “Dalam sejarah kita menyaksikan sendiri, bahwa umat Islam sekalipun menghadapi bermacam cobaan dan terkadang sampai bercerai-berai, tetap ada seruan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yang mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.”  Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

 

sumber:Republika Online

Tiga Pendapat Soal Kapan dan Siapa di Balik Peringatan Maulid

Maulid Nabi adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini jatuh pada 12 Rabiul Awal dalam sistem kalender Hijriyah. Maulid sendiri berasal dari kata Arab, yang berarti kelahiran. Beberapa negara Muslim memiliki istilah sendiri untuk menyebut perayaan ini.

Di Arab perayaan maulid Nabi dikenal dengan Eid al-Maulid an-Nabawi. Kaum Urdu menggunakan istilah Milad an-Nabi. Sedangkan di daerah Melayu Maulid Nabi juga dikenal dengan Maulidur Rasul.

Perayaan maulid Nabi SAW dalam sejarah Islam sudah berlangsung lama, sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut AM Waskito dalam Pro dan Kontra Maulid Nabi, setidaknya ada tiga teori tentang asal usul mula perayaan Maulid Nabi.

Pertama, perayaan Maulid pertama kali diadakan oleh kalangan Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang berhaluan Syiah Islamiliyah (Rafidhah). Mereka berkuasa di Mesir 362-567 Hijriyah atau sekitar abad ke-4 hingga ke-6 Hijriyah.

Mula-mula dirayakan di era kepemimpinan Abu Tamim yang bergelar al-Mu’iz li Dinillah. Perayaan maulid  oleh Dinasti Ubaid hanya salah satu bentuk perayaan saja. Selain itu mereka juga mengadakan perayaan hari Asyura, perayaan Maulid Ali, Maulid Hasan, Maulid Husain, Maulid Fathimah dan lainnya.

Kedua, perayaan Maulid di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) pertama kali diadakan oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri, gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau hidup pada 549-630 H.

Diceritakan saat perayaan Maulid diadakan, Muzhaffar Kukabri mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu dan seluruh rakyatnya. Mereka menjamu mereka dengan hidangan makanan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir miskin dan lainnya.

Ketiga, perayaan Maulid pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (567- 622 H), penguasa Dinasti Ayyubiyah.

Tujuan beliau untuk meningkatkan semangat jihad kaum Muslimin dalam rangka menghadapi  perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yerussalem dari tangan kerajaan Salibis.

Beberapa teori sejarah di atas dapat disatukan tanpa harus mempertentangkannya. Awalnya, perayaan Maulid Nabi diadakan oleh Dinasti Ubaid di Mesir.

Perayaan Maulid Nabi di sana hanya satu di antara sekian banyak perayaan yang mereka lakukan, untuk membangun pencitraan  dan mendapat dukungan dari rakyat Mesir. Hal itu terpaksa dilakukan karena sebelumnya Syiah Ubaidiyah telah dihancurkan oleh kaum Muslimin di Tunisia.

Datangnya Shalahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir menjadi berkah bagi kaum Muslimin. Beliau berjuang keras mengembalikan haluan akidah rakyat Mesir ke pangkuan Aswaja. Caranya, beliau melakukan pendekatan kultural, bukan dengan pedang dan pertumpahan darah. Untuk merintis perubahan ini,  beliau sisakan perayaan Maulid Nabi bagi rakyat Mesir.

Tampaknya perayaan Maulid Nabi di Mesir mengundang ketertarikan penguasa Muslim di wilayah lain, yaitu Muzhaffar Kukabri, gubernur Irbil di Irak. Beliau ini sebenarnya adalah sejawat Sultan Shalahuddin dalam jihad melawan pasukan Salibis di Eropa. Bahkan Sultan Shalahuddin menikahkan laki-laki dengan saudara perempuannya, Rabiah Khatun bin Ayyub.

Tidaklah aneh jika diantara keduanya terjalin hubungan saling mendukung satu sama lain. Dan kebutuhan pada peringan Maulid Nabi ini dirasakan mendesak, ketika kaum muslimin sedang mengalami kelemahan dan kelelahan akibat perang terus menerus menghadapi kaum Salibis Eropa. Saat itulah Shalahuddin memanfaatkan momen peringatan Maulid Nabi untuk mengingatkan kembali kaum Muslimin terhadap jejak-jekak sejarah Rasulullah.

Dengan demikian kita bisa mendapatkan kesimpulan tentang asal usul peringatan Maulid nabi dalam sejarah kaum muslimin sejak ribuan tahun lalu. Awalnya diinisiasi oleh Dinasti Syiah Ubaidiyah lalu diadaptasi ke dalam kultur Aswaja oleh Malik Mudzaffar dan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.

Di Mesir pada masa Dinasti Mamluk (abad ke-14 dan abad ke-15 M), peringatan Maulid diadakan dengan mewah dan megah. Dalam acara itu, Sultan membagikan pundi-pundi dan kue kepada para ulama.

Pada abad ke-19 M kerajaan Islam di Mesir mengadakan peringatan maulid di sebuah taman. Dalam kesempatan itu dibacakan syair berseloka yang mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad.

Pada era sekarang, maulid Nabi dirayakan hampir di semua negara Muslim, dan di negara-negara lain yang memiliki populasi Muslim signifikan, seperti India, Inggris, Nepal, Sri Lanka, Prancis, Jerman, Italia, Rusia dan Kanada.

 

sumber: Republika Online

Toleransi Bukan Berarti Mencampuradukkan Ajaran Agama

Islam telah mengajarkan secara tegas mengenai prinsip toleransi. Dalam Islam, toleransi bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama termasuk penggunakan atribut atau simbol agama lain.

Demikian ditegaskan Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Karenanya, dia melarang, umat Islam untuk berpakaian menyerupai dan menggunakan simbol-simbol ajaran agama lain. “Terkait dengan pemakaian simbol-simbol natal, pegawai Muslim sebaiknya tidak perlu menggunakannya,” ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).

Namun, pegawai Muslim di sebuah perusahaan harus tetap berkomunikasi dengan pimpinan perusahaan tersebut terkait komitmen agamanya. Ini merupakan hal penting untuk menghindari konflik. “Komunikasi dengan pimpinan kantor penting agar tidak terjadi ketegangan dan dugaan pemaksaan oleh pemeluk agama tertentu,” kata dia.

Sementara itu, MUI saat ini sedang membahas mengenai fatwa penggunaan atribut Natal. Fatwa tersebut rencananya akan selesai dalam waktu sepekan kedepan.

Sebelumnya, MUI dimasa kepemimpinan Buya Hamka telah mengeluarkan fatwa mengenai haram umat Muslim yang ikut serta dalam acara Natal. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 7 Maret 1981.

 

 

sumber: Republika Online

Ketika Jasad Telah Masuk ke Dalam Kubur

KEMATIAN adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup kita, karena itu sudah menjadi salah satu fase kehidupan.

Ketika jasad telah masuk ke dalam kubur, dan jasad kita telah tertutup rapih di dalam tanah, maka saat itulah kita mulai memasuki alam Barzah atau alam kubur. Di mana ketenangan atau pun kegelisahan kita di dalamnya itu tergantung amal kita saat ini.

Ketika amal tak cukup untuk menerangi alam kubur, di sanalah siksa kubur mulai terasa. Lalu, apa saja penyebab dari siksa kubur itu? Siksa kubur memiliki beberapa faktor penyebab, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Nabi pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya penghuni kubur sedang disiksa, keduanya tidak disiksa dalam masalah yang berat, salah satunya karena tidak menjaga dari air kencing, adapun yang kedua dia suka mengadu domba.”

Lalu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua dan menancapkan pada masing-masing kubur satu buah. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini?” Beliau menjawab, “Agar diringankan siksa keduanya selama belum kering.”

Dalam hadis tersebut menjelaskan kepada umatNya tentang sebagian faktor penyebab azab kubur yaitu meremehkan najisnya air kencing dan namimah.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Sebagian ulama menyebutkan rahasia di balik pengkhususan air kencing dan namimah sebagai faktor siksa kubur, yaitu karena alam kubur adalah rumah utama menuju kampung akhirat.”

Kemaksiatan yang akan diberi balasan besok pada hari kiamat ada dua macam: Hak Allah SWT dan hak hamba. Hak Allah SWT pertama kali yang diadili adalah shalat, sedang hak hamba adalah darah.

Ada pun Barzah adalah tempat untuk mengadili perantara dua hak tersebut. Perantara shalat adalah suci dari hadas dan najis, sedangkan perantara pertumpahan darah adalah namimah dan mencela kehormatan. Jadi, di alam Barzah dimulai untuk membalas kedua perantara tersebut. [ ]

Sumber: 1001 Siksa Alam Kubur, Karya: Ust. Asan Sani ar Rafif, Penerbit: Kunci Iman

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343696/ketika-jasad-telah-masuk-ke-dalam-kubur#sthash.iKqcl31T.dpuf

Istiqomahlah dan Jangan Melampaui Batas

ALLAH Taala berfirman:

“Maka istiqomahlah sesuai dengan apa yang diperintahkan dan orang orang yang bertobat bersamamu. Dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu lakukan.” (QS Hud: 112)

Perhatikanlah ayat ini. Allah menyuruh kita untuk istiqomah sesuai dengan apa yang diperintahkan.

Bukan sesuai selera dan kepuasan keinginan kita. Lalu Allah berfirman: “dan orang yang bertobat bersamamu.”

Karena ketika istiqomah terkadang kita jatuh kepada maksiat. Namun segera bertobat dan beristighfar. Lalu Allah berfirman: “Jangan melampaui batas.”

Peringatan agar istiqomah kita tidak berubah menjadi ghuluw atau berlebih lebihan. Melebihi batasan batasan syariat yang telah ditentukan melalui lisan RasulNya.

[Ust. Badrusalam LC]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2344448/istiqomahlah-dan-jangan-melampaui-batas#sthash.dRPO3X3m.dpuf