Keutamaan Puasa Dibanding Ibadah Lain (1)

Puasa adalah satu-satunya ibadah yang tidak dapat dimasuki riya, karena tiada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Adapun ibadah yang lain, umpamanya shalat, adakalanya dilakukan oleh seseorang, karena ingin dikatakan orang shaleh, banyak ibadahnya, dan lain sebagainya.

Demikian juga halnya dengan bersedekah karena ingin dikatakan dermawan, atau ia berjuang karena ingin suatu kedudukan, atau ingin gelar pahlawan dan sebagainya. Akan tetapi puasa, suci daripada itu semuanya.

Oleh sebab itulah Allah SWT mengakui keutamaan ibadah puasa, dan erat hubungannya dengan kesucian jiwa dan keikhlasan hati. Hal ini dijelaskan di dalam hadits kudsi.

Allah SWT telah berfirman, “Segala amal ibadah anak Adam adalah baginya, kecuali puasa adalah bagiku, dan Aku lah akan membalasnya.”

Hadits Qudsi tersebut menjelaskan bahwa, segala amal ibadah manusia dapat dilihat dan dinilai, oleh manusia itu sendiri, kecuali puasa tidak dapat dilihat, dan tidak dapat diketahui orang lain, kecuali Allah SWT.

Menurut Syekh Muhammad Ibrahim Al Khatib, bahwa puasa itu merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, tidak ada yang melihatnya kecuali Dia karena orang yang berpuasa, tidak seperti melakukan shalat, zakat dan haji, dapat dilakukan karena riya.

Tetapi orang yang melakukan puasa meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya karena Allah semata, tidak diketahui oleh seseorang, dan itulah ”Rahasia Puasa” sehingga khusus milik Allah SWT.

Dalam riwayat lain oleh Bukhari dan Abu Daud, dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Demi diri Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak wangi (kasturi).”

 

 

REPUBLIKA

Pengaruh Puasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

Ada sebuah penelitian yang dilakukan di perkampungan Afrika Barat untuk mengetahui pengaruh puasa bulan Ramadhan terhadap kinerja metabolisme di kalangan wanita hamil dan menyusui.

Tim peneliti menemukan bahwa semua ibu menyusui dan 90 % persen ibu hamil di desa tersebut menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Pengukuran kadar glukosa serum, asam lemak bebas,  zat-zat keton, alanin, insulin, glukagon, dan level hormon tiroksin (T3) pun dilakukan.

Sampel-sampel penelitian diambil pada pukul 07.00 dan 19.00 dari 22 ibu hamil, 10 ibu menyusui, serta 10 wanita lain yang tidak hamil dan tidak menyusui, sebagai pembanding. Hasilnya kemudian dikomparasikan dengan pengukuran komponen-komponen ini yang dilakukan pada hari di luar Ramadhan setelah para responden diinstruksikan untuk tida mengonsumsi makanan selama semalaman (layaknya Ramadhan).

Hasil akhirnya adalah sebagai berikut:

  1. Tidak ada perbedaan antara kadar komponen-komponen ini pada ibu menyusui dengan kadar serupa pada kelom­pok pembanding, wanita yang tidak menyusui maupun hamil, meskipun wanita menyusui harus memikul dua beban sekaligus, beban menyusui dan beban puasa yang rentang waktunya kadang bisa mencapai 19 jam (rata-rata lama puasa di kawasan Afrika Utara dan Barat, apalagi di musim panas memang jauh melebihi lama puasa di kawasan tropis, Indonesia misalnya.)
  2. Kadar glukosa pada fase-fase akhir kehamilan adalah 0,3+01 ml/liter. Ini adalah kadar yang terendah dibanding kadar glukosa serupa pada kelompok respon­den yang lain (ibu menyusui dan ibu yang tidak hamil maupun menyusui).
  3. Tingkat asam lemak bebas, zat-zat keton, dan beta hidrok­sida butirat pada wanita hamil selama bulan puasa adalah yang tertinggi. Sedangkan tingkat alaninnya pada masa- masa akhir kehamilan lebih rendah dibanding pada masa- masa pertama kehamilan.

Para peneliti pun berkesimpul­an, bahwa cepatnya proses metabolisme pada masa-masa akhir kehamilan hanya terjadi selama bulan Ramadhan. Sehingga muncullah beberapa efek starvasi. Mereka lantas menunjuk faktor rendahnya pendapat ekonomi yang menimpa penduduk di kawasan Afrika Barat ini sebagai biang keladi kekurangan gula darah (glukosa).

 

Sumber : Terapi Puasa, Oleh Dr. Abdul Jawwad Ash-Shawi

Puasa Baik untuk Ginjal Lho…

Pada 1986, Dr Fahim Abdurrahim dan beberapa ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar melakukan sebuah riset mengenai pengaruh puasa Ramadhan bagi kinerja ginjal pada orang-orang normal dan para pasien penderita sejumlah penyakit sistem buang air maupun panyakit kencing batu (renal calculi).

Riset ini dilakukan pada 10 orang yang menderita penyakit sistem urinari dan lima belas pengidap remi calculi, di samping lima belas orang sehat sebagai bahan komparasi. Selama fase puasa dan tidak puasa, sampel urine mereka diambil dan dianalisis untuk mengetahui kadar kalsium, sodium, potasium, urea, sel darah, dan zat asam urin.

Pengaruh puasa pada unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

Terjadi penurunan signifikan pada volume kencing dengan peningkatan kepadatan kualitatifnya pada masing-masing kelompok responden. Selain itu terjadi beberapa perubahan yang sangat kecil (insignifikan) pada keseluruhan komponen serum: kalsium, sodium, potasium, zat asam urin, sel darah, dan urea.

Peningkatan insignifikan pada kalsium dalam air kencing juga dialami oleh semua responden. Ditambah lagi dengan peningkatan yang tak berarti pada zat asam urin dan urea pada seluruh kelompok.

Perubahan yang sama pada sodium dan potasium dialami oleh sampel pembanding (orang-orang yang sehat), juga sel darah urine kelompok sampel yang sakit. Sebaliknya, kenaikan yang cukup tinggi terjadi pada kandungan sodium dan potasium di kalangan kelompok sampel yang sakit.

Dari data tersebut para peneliti pun berkesimpulan, bahwa puasa tidak membawa dampak negatif bagi semua penderita urinal yang menjadi sampel riset ini. Baik yang sakit karena faktor pembentukan batu ginjal atau karena gangguan sistem urinari (saluran kencing).

Pada tahun 1988, Qadir dan kawan-kawan melakukan penelitian serupa terhadap para penderita penyakit ginjal akut namun tetap menjalankan puasa selama bulan Ramadhan. Mereka menyatakan, bahwa tidak ada perubahan yang berarti pada volume urea, sel darah, sodium, bikarbonat, fosfor, dan kalsium.

Tetapi, ada peningkatan signifikan pada volume potasium dalam darah dan mereka menisbatkan penyebab kenaikan tersebut pada konsumsi minuman yang kaya potasium setelah berbuka.

Hal senada ditegaskan oleh Scott. Menurutnya, tidak ada perubahan berarti pada urea dan sel darah selama puasa.

Sumber : Terapi Puasa, Oleh Dr. Abdul Jawwad Ash-Shawi

Topik Ramadan: Banyak Jalan Menuju Hijrah

Arisakti Prihatwono, atau biasa dipanggil Nico, kadang masih tak percaya gerakan kecil yang ia buat bersama dua kawannya, Hadi Salim dan Iman Rivani, kini berdampak besar. Semua berawal dari kekhawatiran ketiganya melihat kondisi masjid atau musala yang kerap sepi pada waktu Subuh. Paling banyak, menurut Nico, masjid diisi bapak-bapak bahkan orang sepuh. “Mas Didot ini yang mengawali. Dia ajak kami buat memanggil orang untuk rutin melaksanakan salat subuh di masjid,” tutur Nico kala dijumpai di kawasan Cawang, Rabu, 7 Juni 2017 lalu.

Kegiatan yang digagas mereka bertiga adalah menantang para netizen untuk melakukan salat subuh berjemaah di masjid selama 40 hari berturut-turut lewat akun Twitter @PejuangSubuh. Didot–panggilan akrab Hadi Salim, menurut Nico, seorang mualaf. Meski sudah cukup lama memeluk Islam, Didot masih suka menikmati dunia gemerlap. Klub malam sering ia kunjungi. “Mas Didot dan Iman ini dulunya anak dugem,” Nico mengungkapkan. Belakangan keduanya lebih banyak beribadah.

Tiga orang ini ingin menularkan pengetahuan mengenai banyaknya manfaat yang bisa dipetik dari salat subuh berjemaah. Sayangnya, kata dia, masih banyak orang yang sulit melaksanakannya dengan berbagai alasan.

Orang-orang yang terpanggil ajakan @pejuangsubuh ini, Nico menjelaskan, bukan orang-orang yang paham ilmu agama. Kebanyakan mereka adalah orang yang ingin memperbaiki diri, bukan berasal dari kalangan santri yang ditempa ilmu agama. Ada mantan pengguna narkoba, ada yang pernah salah pergaulan dan nyaris berpindah agama, serta banyak kisah lainnya.

Program 40 hari salat subuh tanpa putus sekilas mudah, tapi sulit untuk diterapkan. Ada saja kendala yang bisa dihadapi setiap orang. “Perjuangan untuk konsisten penuh 40 hari itu susah, loh,” kata Nico. Dibentuk pada Agustus 2012, kini jumlah pengikut akun Twitter Pejuang Subuh sudah mencapai 208 ribu akun. Di daerah-daerah, gerakan ini lantas berbuah jadi gerakan nyata untuk saling mengingatkan di jalan kebaikan.

Gerakan tersebut punya misi bertahap. Pertama, mereka ingin bisa membangunkan orang yang belum salat subuh sebanyak mungkin. Lalu tahap berikutnya adalah menjaga mereka agar selama 40 hari tak terputus melaksanakan salat subuh. “Setelah salat tak terputus, kami menjaga dalam satu wadah agar perlahan bisa masuk ke dunia dakwah sesungguhnya.”

Jalan berhijrah tak hanya terbuka lewat merutinkan ibadah berjemaah. Cerita lain dialami Febrianti Almeera. Melalui blog pribadinya, alumnus Universitas Pendidikan Indonesia ini sempat menjalani berbagai profesi di dunia hiburan sejak usia belasan tahun. Ia pernah menjadi penyanyi kafe, penari, penyiar radio, dan tenaga pemasaran perusahaan pakaian indie. Dunianya dekat dengan kehidupan hura-hura. Memasuki tahun 2010, ia mulai berubah. Orang mengenalnya sebagai pencetus “muslimah hijrah”.

Menurut dia, “muslimah hijrah” adalah sebutan bagi para perempuan yang tidak terlahir langsung taat menjalani kegiatan agama, tapi menempuh jalan kehidupan yang berliku dan penuh pencarian, sampai menemukan satu titik balik untuk berubah memperbaiki diri. Setelah berhijrah, perempuan yang akrab dipanggil Pepew ini pun mendirikan komunitas Great Muslimah. Komunitas tersebut dibangun sebagai wadah pengembangan diri bagi para muslimah hijrah dengan mengusung tagline Syar’i Berprestasi Menginspirasi. Great Muslimah pun memanfaatkan berbagai media sosial, seperti Fans Page Facebook, Twitter, grup WhatsApp, dan Instagram untuk meluaskan informasi.

Menurut Anita Triani, President Committee Great Muslimah, komunitas tersebut bertujuan untuk menjadi sosok yang berusaha berpikir dan bertindak sesuai syariat. Menjadi perempuan berprestasi yang bisa mengoptimalkan potensi sesuai perintah agama serta menginspirasi dan bisa bermanfaat di banyak lini. “Ini wadah muslimah hijrah yang ingin mendapatkan lingkungan yang lebih positif untuk saling mengingatkan dan menguatkan dalam ketaatan,” ujar Anita.

Berada di dunia keartisan kerap membuat Meyda Sefira mendapat pertanyaan mengenai cara terjun ke dunia hiburan. Ia pun menuliskan memoar kehidupannya dalam sebuah buku berjudul Hujan Safir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Berlanjut dari buku itu, Meyda menggagas sebuah komunitas untuk mengakomodasi kebutuhan para perempuan yang ingin mengaktualisasikan diri mereka.

Dibentuk pada 2014, komunitas ini melakukan banyak kegiatan. Beberapa di antaranya mengadakan kajian ilmu membahas berbagai hal, dari pembahasan agama sampai sejarah, serta menggelar diskusi, seminar, dan kegiatan lainnya. Anggota komunitas ini terdiri atas berbagai latar belakang dan profesi.

Tujuan komunitas ini adalah menjadi wadah para perempuan agar bisa berkembang, menjadi perempuan independen, memiliki kehidupan yang bahagia, serta bermanfaat bagi umat. “Saya pun ingin kami bisa mencerminkan akhlak muslim yang baik. Sebab, Rasul diutus untuk memperbaiki akhlak,” tutur Meyda. ***

 

AISHA SHAIDRA/TEMPO

7 Nikmat Berpuasa yang Langsung Terasa

Ibadah puasa Ramadan selama sebulan penuh sudah dijalani oleh umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad. Puasa juga dijalani oleh umat manusia sebelum datangnya Islam pada 14 abad silam. Tentu saja dengan tata cara puasa yang berbeda-beda.

Puasa Ramadan yang merupakan ritual tahunan ini selalu disambut khusyuk oleh umat Islam dengan berbagai ibadah tambahan, seperti salat tarawih dan membaca Al-Quran, tanpa mengurangi aktivitas sehari-hari lainnya.

Sekalipun membuat orang menahan haus dan lapar, puasa ternyata memberikan kesehatan bagi tubuh. Intinya, puasa tidak membuat orang lemah dan sakit-sakitan, tapi sebaliknya menjadikan lebih sehat bagi siapa saja yang menjalankannya.

Dokter asal Amerika, Josh Axe, mengatakan setidaknya ada tujuh manfaat puasa. Berikut ini perinciannya.

1.Menurunkan Berat Badan

Puasa sangat baik untuk menurunkan berat badan. Dalam sebuah penelitian, pasien non-obesitas kehilangan rata-rata 4 persen dari total lemak saat mereka berpuasa secara bergantian selama 22 hari. Bukan hanya itu, tingkat insulin orang berpuasa juga menurun.

2.Mendorong Sekresi Hormon

Puasa mendorong sekresi hormon pertumbuhan manusia yang penting untuk membakar lemak. Puasa sebenarnya bisa mengubah tubuh manusia menjadi mesin pembakaran lemak yang efektif.

3.Menghilangkan Kelebihan Lemak

Puasa telah terbukti memiliki efek bagus terhadap massa tubuh serta menjadi penanda kesehatan lainnya bagi atlet profesional. Penyebabnya, puasa bisa secara efektif menghilangkan kelebihan lemak sekaligus mengoptimalkan pertumbuhan otot.

4.Menormalkan Insulin

Puasa sangat bagus untuk menormalkan sensitivitas insulin.

5.Menormalkan Kadar Ghrelin

Puasa dapat menormalkan kadar ghrelin atau hormon kelaparan yang bertanggung jawab untuk memberi tahu tubuh saat lapar. Saat berpuasa, kadar ghrelin di tubuh akan kembali normal.

6.Menurunkan Kadar Kolesterol Jahat

Puasa menurunkan kadar trigliserida. Puasa mampu menurunkan kadar kolesterol jahat dalam tubuh, yang berarti juga menurunkan pembentukan trigliserida.

7.Memperlambat Proses Penuaan

Puasa memperlambat proses penuaan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, puasa dapat menyebabkan tubuh menghasilkan lebih banyak hormon pertumbuhan manusia. Hormon itu sebenarnya berhubungan erat dengan proses penuaan.

 

TEMPO

Menu Buka Puasa Rasulullah Saw

Di antara amalan yang disunnahkan pada saat puasa ialah menyegerakan berbuka.  Anjuran buka puasa merupakan bentuk kemudahan dan keseimbangan agama Islam.  Hal ini sesuai dengan karakter Islam yang tidak suka beragama secara berlebih-lebihan. Islam sudah memberi rambu-rambu dalam beribadah. Tujuan pembuatan rambu-rambu tersebut agar manusia beribadah sesuai dengan kemampuannya. Karena Tuhan adalah pencipta manusia, otomatis Dia Maha Tahu apa yang pantas bagi ciptaan-Nya.

Selain menyegerakan berbuka, Nabi Saw menganjurkan pula untuk mengonsumsi menu tertentu pada saat buka puasa. Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi dikatakan:

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ

Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci. (HR: al-Tirmidzi)

Ada dua menu buka puasa yang dianjurkan Nabi Muhammad Saw, yaitu kurma dan air putih. Kedua menu ini juga biasa beliau konsumsi pada saat buka puasa. Dalam Mir’atul Mafatih, al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi ketika berbuka. Ia termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata, setelah puasa seharian. Demikian pula dengan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.

Penjelasan al-Mubarakfuri ini sejalan dengan penelitian kesehatan modern. Setelah diteliti, dzat yang paling dibutuhkan tubuh pada saat puasa ialah glukosa. Di antara makanan yang mengandung dzat ini adalah kurma. Makanya, kurma sangat baik dikonsumsi ketika berbuka. Bila tidak ada kurma, konsumsilah makanan lain yang juga mengandung glukosa atau cukup diawali dengan minum segelas air. Wallahu a’lam

 

ISLAM.co

Tata Cara dan Doa Shalat Witir

Shalat witir adalah shalat sunnah yang dilaksanakan pada malam hari tepatnya setelah shalat Isya’ dengan jumlah rakaat ganjil. Biasanya ketika ramadhan, shalat witir dilaksanakan setelah shalat tarawih.

Asal mula penamaan shalat witir diambil dari hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dalam Sahih Bukhari berikut ini:

قَالَ إِنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ صَلَاةُ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ

Ibnu Umar berkata, sungguh ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Saw terkait tata cara shalat malam. Kemudian Rasul menjawab, dua rakaat-dua rakaat, jika sudah mendekati subuh maka ganjilkan dengan shalat satu rakaat.

Disebut witir berasal dari kata Autara yang berarti menjadikan ganjil. Anjuran untuk menjadikan ganjil shalat malam dengan menambahkan satu rakaat inilah yang akhirnya menjadi sebutan shalat ini sebagai shalat witir.

Maka dari itu, Rasulullah Saw melarang kita untuk melaksanakan dua witir dalam satu malam. Karena secara otomatis, shalat yang kita laksanakan tidak menjadi ganjil, karena sudah ditambah satu rakaat lagi. Sehingga jika ditotal jumlahnya akan menjadi genap.

Maka dari itu diperbolehkan melakukan shalat witir kembali pada pertengahan malam setelah shalat witir yang kita lakukan setelah shalat tarawih. Akan tetapi dengan rakaat genap, seperti dua atau empat rakaat. Dengan demikian bisa menjaga keganjilan shalat witir tersebut.

Terkait rakaat shalat witir, Rasulullah menganjurkan untuk tiga rakaat. Boleh juga dilaksanakan dengan lima, tujuh, sembilan, bahkan sebelas rakaat. Sedangkan paling sedikit adalah satu rakaat.

Adapun tata cara pelaksanaanya adalah dengan melakukan shalat dua rakaat-dua rakaat sebanyak yang diinginkan (bisa sampai sepuluh rakaat) dan ditutup dengan satu rakaat. Dan jika sudah melaksanakan witir setelah tarawih dan ingin melaksanakan witir kembali di pertengahan malam, maka tinggal menambah dengan rakaat yang genap.

Jika shalat witir dilaksanakan dengan tiga rakaat maka boleh dilaksanakan dengan cara dua rakaat dalam satu salam kemudian ditambah satu rakaat dengan satu salam. Ulama juga memperbolehkan bagi yang ingin menggabungkan tiga rakaat shalat witir dengan satu salam, yakni sebagaimana shalat maghrib. Akan tetapi para ulama’ lebih mengutamakan witir yang dipisah. Yakni dengan dua rakaat satu salam dan satu rakaat satu salam.

Adapun niat melaksanakan shalat witir adalah sebagai berikut:

Jika yang dilaksanakan adalah witir dengan dua rakaat, maka niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّ سُنَّةً مِنَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ للهِ تَعَالَي

Usholli sunnatan minal witri rakaataini lillahi taala

Saya niat shalat sunnah witir dua rakaat karena Allah Taala

Dan jika satu rakaat maka niatnya dengan lafadz berikut:

أُصَلِّ سُنَّةً مِنَ الْوِتْرِ رَكْعَةً للهِ تَعَالَي

Usholli sunnatan minal witri rakaatan lillahi taala

Saya niat shalat sunnah witir satu rakaat karena Allah Taala

Terkait surat-surat yang dibaca ketika shalat witir, pada rakaat pertama setelah surat al-fatihah disunnahkan untuk membaca surat Sabbihisma. Kemudian rakaat kedua membaca surat Al-Kafirun. Sedangkan pada rakaat ketiga atau rakaat ganjilnya dianjurkan untuk membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas.

Setelah shalat witir, membaca doa berikut:

أَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْاَلُكَ إِيْمَانًا دَاِئمًا وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا وَنَسْأَلُكَ عَمَلًا صَالِحًا وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا وَنَسْأَلُكَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَا فِيَةَ وَنَسْأَلُكَ تَمَّامَ الْعَافِيَّةِ وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَّةِ وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ أَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلَاتَنَا وَصِيَا مَنَا وَقِيَا مَنَا وَتَخَشُعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا أَللهُ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Ya Allah, kami mohon pada-Mu, iman yang kontinyu, hati yang khusyu’, ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar,amal yang shalih, agama yang lurus, kebaikan yang banyak. Kami mohon kepada-Mu ampunan dan kesehatan, kesehatan yang sempurna, kami mohon kepada-Mu agar selalu bersyukur atas karunia kesehatan, kami mohon kepada-Mu kecukupan terhadap sesama manusia. Ya Allah, Tuhan kami terimalah shalat kami, puasa kami, ibadah kami, kekhusyu’an kami, rendah diri dan ibadah kami, dan sempurnakanlah segala kekurangan kami. Ya allah, Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih. Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad Saw, jugaserta keluarga dan semua sahabatnya. Serta segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.

Wallahu A’lam

 

ISLAM.CO

Cara Nabi Muhammad Memperlakukan “Musuh”

Dalam tulisan ini kata “musuh” sengaja menggunakan tanda petik, karena pada dasarnya Nabi Muhammad tidak pernah berharap memiliki atau berjumpa dengan musuh dalam arti “person/ orang” atau dalam bahasa Arab disebut “syakhsh”. Nabi membenci atau memusuhi seseorang bukan karena personnya, tapi karena tindakannya yang jahat atau zalim.

Nabi bermusuhan dengan orang-orang Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan yang lainnya bukan karena “Abu Jahal”, “Abu Lahab” atau “Abu Sufyannya”, tapi karena tindakannya yang memonopoli kekuasaan dan ekonomi Makkah, serta melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Ketika Nabi Muhammad dimusuhi, dicaci maki, diusir, bahkan hendak dibunuh oleh orang-orang Quraisy, sementara para sahabat atau pengikut Nabi sudah tidak sabar untuk mengambil tindakan dengan melakukan perlawanan dan perang, Nabi justru memerintahkan sebaliknya, yakni bersabar. Kepada para sahabatnya, Nabi bersabda: “Janganlah kalian berharap bertemu musuh, apabila kalian bertemu dengannya maka bersabarlah (Lâ tatamannau liqâ`a al-‘aduw, wa idzâ laqîtumûhum fa-shbirû).” (Abû Zahrah, Khâtam an-Nabiyyîn, 1425 H: II, 515).

Ketika kondisi sudah tidak bisa dikompromi, yakni para “musuh” melakukan penyerangan fisik terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya, Nabi menghadapinya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan tidak merendahkannya sama sekali. Hal ini tercermin dalam doa yang dipanjatkan Nabi ketika hendak berperang. Doa itu berbunyi:

اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّهُمْ نَحْنُ عِبَادُكَ وَهُمْ عِبَادُكَ وَنَوَاصِيْنَا وَنَوَاصِيْهِمْ بِيَدِكَ اِهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ

“Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan mereka (para musuh), kami adalah hamba-Mu dan mereka juga hamba-Mu, kemenangan kami dan kemenangan mereka ada di tangan-Mu. Kalahkanlah mereka dan berilah kami pertolongan untuk mengalahkan mereka.” (Ath-Thabrânî, Ad-Du’â` li ath-Thabrânî, 1413 H: 327).

Dari doa ini setidaknya ada dua kata penting yang mencerminkan laku bijak atau al-akhlâq al-karîmah Nabi Muhammad Saw.

Pertama; kata “Rabbahum (Tuhan mereka para musuh)”. Nabi menyebutkan bahwa orang-orang yang memusuhinya adalah orang-orang yang memiliki Tuhan sebagaimana Nabi sendiri. Bagi Nabi, semua orang yang berperilaku baik maupun buruk sama-sama memiliki Tuhan, dan Tuhannya pun sama, hanya pemahaman atas ketuhanannya yang berbeda. Di sini Nabi tidak mengatakan para musuhnya sebagai orang yang tak bertuhan atau sebutan lain yang bernada merendahkan agama lawan.

Kedua; kata “ibâduka (hamba-hamba-Mu)”. Nabi menyebut para musuhnya yang mencaci maki, mengusir, dan hendak membunuh dengan sebutan sebagaimana untuk dirinya sendiri dan para sahabatnya, yakni “hamba Tuhan” (Kami adalah “hamba-hamba-Mu” dan mereka juga “hamba-hamba-Mu”/ Nahnu ‘ibâduka wa hum ‘ibâduka). Nabi tidak menamai musuh-musuhnya dengan sebutan-sebutan yang menista seperti “hamba setan” atau istilah yang mengandung makna merendahkan lainnya.

Menamai “musuh” dengan sebutan sebagaimana untuk Nabi sendiri dan sahabatnya tidak hanya di dalam doa hendak perang, dalam doa yang dipanjatkan dalam shalat malam (tahajud) juga Nabi menyebutkan bahwa semua umat manusia adalah bersaudara. Doa itu berbunyi:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَنَّ الْعِبَادَ كُلَّهُمْ إِخْوَةٌ 

“Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bawa Engkau adalah Tuhan yang tiada Tuhan selain Engkau, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya semua hamba bersaudara.” (Huwaidi, Muwâthinûn Lâ Dzimmiyyûn, 1999: 84-85).

Doa ini disampaikan dari relung hati terdalam dengan penuh ketulusan dan kekhusyukan. Nabi bersaksi bahwa semua hamba, semua umat manusia dengan segenap perbedaan di dalamnya, baik perbedaan agama, suku, orang-orang yang memusuhi maupun yang mengikuti, semuanya adalah bersaudara.

Sikap Nabi terhadap “musuh-musuhnya” yang tidak pernah merendahkan bagian dari akhlaknya yang sangat terpuji sebagaimana sabdanya yang menyatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak (Innamâ bu’itstu li utammima makârima al-akhlâq). Sikap Nabi demikian diperintahkan oleh Allah dalam al-Quran supaya diteladani umatnya. Karena itu meski sejatinya manusia tidak boleh mengadakan permusuhan, namun jika terpaksa memiliki “musuh” maka tidak boleh diperlakukan secara kasar dengan menista martabatnya sebagai manusia seperti menyebutnya dengan “kotoran anjing” atau “kutil babi”.

 

Khoirul Anwar

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang

ISLAM.co

Orang Bertakwa Itu Hati-Hati

Pebincangan para sahabat adalah sebaik-baik perbincangan. Mereka tak memperbincangkan sesuatu kecuali kebaikan. Tak ada diskusi yang sia-sia, melainkan di dalamnya membicarakan amal. Jarang muncul perdebatan tentang sebuah perkara, melainkan banyak percakapan soal amal.

Seperti percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”

Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”

Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT.

Ia rela mengerem lajunya, memangkas egonya, menajamkan pandangan, menelisik sekitar, dan mencari celah jalan selamat. Semua fungsi tubuh ia maksimalkan agar ia tak celaka. Agar sebiji duri pun tak melukai kemudian mengucurkan darah dari kakinya. Takwa hakikatnya hati-hati.

Kita selalu diajarkan maka takwa. Takwa ialah menjalani perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Definisi yang sudah puluhan tahun kita hafal. Namun, bagaimanakah implementasinya? Apakah justru kita menjadi pribadi yang malas-malasan menjalankah perintah Allah SWT dan penasaran ingin mencoba apa yang dilarang Allah? Naudzubillah.

Hidup pada zaman yang serbaterbolak-balik ini, kita memerlukan tameng berupa akal sehat. Agar orang bertakwa tetap ‘waras’. Kita hidup pada saat oknum penegak hukum meruntuhkan hukum, oknum pemimpin rakyat mengakali rakyat. Suka sesama jenis dianggap normal, minuman keras dianggap barang investasi, diliput media karena bercerai adalah kerja membangun citra.

Saat nilai kebaikan seolah diputarbalikkan, orang bertakwa butuh kehati-hatian. Ia harus menelisik dengan keras apa yang ia makan benarkah halal? Ia harus berhati-hati. Manusia bertakwa harus memasang radar yang sensitif. Apa yang dianggap sebagian besar orang-orang hari ini belum tentu benar di mata Allah SWT. Nilai tertinggi yang harus kita yakini adalah nilai-nilai yang diturunkan Allah SWT. Keyakinan seperti itu tak akan berubah sampai kapan pun.

Orang bertakwa dan orang beriman tidak dapat dipisahkan. Sifat takwa melebur dalam keimanan. Begitu juga sebaliknya. Menjadi orang bertakwa adalah berusaha keras menggenapi apa saja prasyaratnya. Allah SWT berfirman, “Beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”  (QS al-Baqarah [2]: 177).

Ada banyak peluang amal yang menjadikan seseorang insan bertakwa. Termasuk, ibadah yang akan umat Islam lakukan saat Ramadhan. Shaum Ramadhan adalah salah satu jalan membentuk orang-orang yang bertakwa.

Puasa Ramadhan pun memerlukan kehati-hatian. Seseorang yang berpuasa harus berusaha keras menghindari apa-apa yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Kuncinya adalah berhati-hati.

Berhati-hati dalam implementasi takwa bahkan sampai pada taraf yang ketat. Seseorang rela meninggalkan hal-hal yang sejatinya boleh dilakukan karena takut terjerumus dalam kesia-siaan. Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sifat takwa senantiasa melekat pada seorang yang bertakwa selama ia meninggalkan banyak hal yang sebenarnya halal karena khawatir haram.”

Takwa yang bukan sebatas slogan akan membekas dalam jiwa seseorang. Ia akan menjadi filter. Ia ada zat asing masuk ke dalam hati, takwa akan menyaringnya. Jika ia buruk, ia akan memerintahkan tubuh untuk menjauhinya. Takwa yang sebenarnya akan menjadi karakter. Orang bertakwa secara otomatis mengerti mana saja jalan yang boleh ia tempuh maka yang ia harus hindari. Seperti kesimpulan Umar saat berbincang dengan Ubay. Umar RA menyimpulkan, “Takwa adalah berjalan di hutan dengan hati-hati.”

 

REPUBLIKA

Jadilah Mukmin yang Kuat dan Sehat

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bertanya padanya, “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu terjaga di malam hari?” Aku pun menjawab, “Benar ya Rasulullah.” Rasulullah lalu bersabda, “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasa dan berbukalah, terjaga dan tidurlah, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu.” (HR Bukhari).

Larangan Rasulullah sangat beralasan. Berlebih-lebihan dalam beribadah hingga mengesampingkan kondisi fisik akan berdam pak pada kesehatan dan selanjutnya akan memengaruhi kualitas hidup dan ibadah seseorang. Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga kesehatan. Bahkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas pemanfaatan nikmat tersebut.

Sebuah hadis riwayat Tirmidzi mengatakan, “Pertanyaan pertama yang diajukan kepada seorang hamba pada hari kiamat kelak me ngenai kenikmatan dunia adalah, ‘Bu kankah Aku telah memberimu badan yang sehat’?” (HR Tirmidzi).

Namun, menurut Rasulullah SAW (dalam HR Bukhari), kesehat an adalah satu dari dua kenik matan yang mampu memperdaya manusia. Satu kenikmatan lainnya adalah waktu luang. Karena itu, beliau tak sedikit memberikan contoh dan wejangan agar umatnya memperhatikan kesehatan, salah satunya dengan berolahraga.

Di antara ragam permainan yang ada, Rasulullah SAW menganjurkan renang dan memanah. Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ajari anak laki-laki berenang dan memanah, dan ajari menggunakan alat pemintal untuk wanita.” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’b al-Iman lil Baihaqi).

Dalam hadis lainnya dijelaskan, permainan adalah sesuatu yang tidak termasuk zikir. Namun, Rasulullah mengecualikan permainan berkuda, lari, dan berenang. Dari ‘Atho’ bin Abi Rabbah, beliau berkata, “Saya melihat Jabir bin ‘Abdurrahman dan Jabir bin ‘Amir al-Anshari sedang bermain panah. Maka salah satu di antara mereka merasa bosan kemudian duduk, kemudian temannya bertanya, ‘Apa kah kamu merasa malas?’ Ia (temannya) menjawab, ‘Ya.’ Lalu, salah satu di antara mereka berkata kepada temannya, ‘Aku pernah men dengar Rasullullah SAW ber sabda, ‘Setiap sesuatu yang bukan termasuk zikir kepada Allah adalah lahw dan la’b kecuali empat hal, yaitu bermainnya sang suami dengan istrinya, pengajaran sese orang terhadap kudanya, larinya seseorang di antara dua garis (start dan finis), dan seseorang yang mempelajari renang.” (HR Abu Nu’aim al- Ashbahani).

Istri Rasulullah, Aisyah ra, pu nya cerita tersendiri mengenai permainan lari. Suatu hari, ia sedang bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan saat sang Rasul berkata kepada para sahabatnya, “Silakan kalian berjalan duluan.” Lalu, setelah para sahabat cukup jauh me ninggalkan keduanya, Rasulullah ber kata, “Mari kita berlomba.” Aisyah menyambut ajakan itu dan berhasil mendahului Rasulullah dalam berlari.

Lama setelah itu, ketika tubuh Aisyah semakin gemuk, Rasulullah kembali mengajak Aisyah berlomba setelah meminta sahabat-sahabatnya berjalan lebih dulu. Aisyah ber kata, “Bagaimana aku dapat men dahului engkau, wahai Rasulullah, sedangkan keadaanku seperti ini (gemuk)? Beliau berkata, ‘Marilah kita mulai.’ Aku pun melayani ajakan itu dan ternyata beliau mendahului aku. Beliau tertawa seraya berkata, ‘Ini untuk menebus keka lahanku dalam lomba yang dulu’.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Begitulah, olahraga tak hanya dianjurkan, tetapi juga dicontohkan oleh teladan umat Islam, Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis lainnya (riwayat Muslim), beliau menegaskan pentingnya menjadi pribadi yang kuat. “Seorang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang Mukmin yang le mah dalam segala kebaikan.”

 

REPUBLIKA