Al-Qadar, 1-5 Menurut Tafsir Al-Azhar


“Sesungguhnya telah Kami turunkan dia pada malam Kemuliaan.” (ayat 1). Artinya ialah bahwa Kami yaitu Allah Tuhan sarwa sekalian alam telah menurunkan Al-Qur’an yang mula-mula sekali kepada Nabi-Nya pada malam Kemuliaan. Lailatul-Qadr,  kita artikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti qadr itu ialah kemuliaan. Dan boleh juga diartikan Lailatul-Qadr malam Penentuan, karena pada waktu itulah mulai ditentukan khittah atau langkah yang akan ditempuh Rasul-Nya di dalam memberi petunjuk bagi ummat manusia. Kedua arti ini boleh dipakai. Kalau dipakai arti Kemuliaan, maka mulai pada malam itulah Kemuliaan tertunggi dianugerahkan kepada Nabi SAW, karena itulah permulaan Malaikat Jibril menyatakan diri di hadapan beliau di dalam gua Hira’ sebagai yang telah kita tafsirkan pada Surat Al-‘Alaq yang telah lalu. Dan pada malam itu pulalah perikemanusiaan diberi Kemuliaan, dikeluarkan dari zhulumaat, kegelapan, kepada nur, cahaya petunjuk Allah yang gilang-gemilang. Dan jika diartikan penentuan, berartilah di malam itu dimulai menentukan garis pemisah di antara kufur dengan iman, jahiliyah dengan Islam, syirik dengan tauhid, tidak berkacau-balau lagi. Dan dengan kedua kesimpulan ini sudahlah nampak bahwa malam itu adalah malam yang istimewa dari segala malam. Malam mulai terang-benderang wahyu datang ke dunia kembali setelah terputus beberapa masa dengan habisnya tugas Nabi yang terdahulu. Dan Nabi yang kemudian ini, Muhammad SAW adalah penutup dari segala Nabi dan segala Rasul (Khatimul Anbiya’ wal mursalin).

“Dan sudahkah engkau tahu, apakah dia malam Kemuliaan itu?” (ayat 2). Ayat yang kedua ini tersusun sebagai suatu pertanyaan Allah kepada Nabi-Nya untuk memperkokoh perhatian kepada nilai tertinggi malam itu. Dan setelah pertanyaan timbul dalam hati Nabi SAW apakah makna yang terkandung dan rahasia yang tersembunyi dalam malam itu, maka Tuhan pun menukas wahyu-Nya: “Malam Kemuliaan itu lebih utama daripada 1000 bulan.” (ayat 3).

Dikatakan dalam ayat ketiga ini bahwa keutamaan malam Kemuliaan atau Malam Lailatul-Qadr itu sama dengan 1000 bulan, lebih daripada 80 tahun, selanjut usia seorang manusia. Lalu diterangkan pula sebabnya dalam ayat selanjutnya: “Turun Malaikat dan Roh pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka, membawa pokok-pokok dari tiap-tiap perintah.” (ayat 4).

Itulah sebab yang nyata dari kemuliaan malam itu. Laksana satu perutusan, atau satu delegasi, malaikat-malaikat turun ke muka bumi ini bersama-sama dengan malaikat yang di sini disebut ROH, yaitu kepala dari sekalian malaikat. Itulah Malaikat Jibril yang kadang-kadang disebut juga Ruhul-Amin dan kadang-kadang disebut juga Rahul-Quds, yang menghantarkan wahyu kepada Nabi yang telah terpilih buat menerimanya, (Mushthafa), Muhammad SAW dia dalam gua Hira’.

Nilai malam itu menjadi tinggi sekali, lebih utama dari 1000 bulan, setinggi-tinggi usia biasa yang dapat dicapai oleh manusia. Pada kali pertama dan utama itu Jibril memperlihatkan dirinya kepada Muhammad menurut keadaannya yang asli, sehingga Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa hanya dua kali dia dapat melihat Jibril itu dalam keadaannya yang sebenarnya, yaitu pada malam Lailatul-Qadr, atau malam Nuzulul-Qur’an itu di Gua Hira’, dan kedua di Sidratul Muntaha ketika beliau mi’raj. Pada kali yang lain beliau melihat Jibril hanyalah dalam penjelmaan sebagai manusia, sebagai pernah dia menyerupakan dirinya dengan sahabat Nabi yang bernama Dahiyyah Al-Kalbi.

Di dalam Surat 44, Ad-Dukhkhan ayat 3, malam itu disebut “lailatinmubaarakatin”, malam yang diberkati Tuhan.

Amat mulialah malam itu, sebab malaikat-malaikat dan Roh dapat menyatakan dirinya dan Muhammad SAW mulai berhubungan dengan Alam Malakut, dan akan terus-meneruslah hal itu selama 23 tahun; 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah, yaitu setelah lengkap wahyu itu diturunkan Tuhan. Di ujung ayat disebutkan bahwa kedatangan malaikat-malaikat dan Roh itu dengan izin Tuhan ialah karena akan menyampaikan pokok-pokok dari tiap-tiap perintah. Setiap perintah akan disampaikan kepada Rasul SAW, setiap itu pulalah malaikat dan Roh itu akan datang, sehingga lancarlah perhubungan di antara alam syahadah dengan Alam Ghaib.

“Sejahteralah dia sehingga terbit fajar.” (ayat 5). Dalam ayat ini bertambah jelas bahwa malam itu adalah malam SALAAM, malam sejahtera, malam damai dalam jiwa Rasul Allah. Sebab pada malam itulah beliau diberi pengertian mengapa sejak beberapa waktu sebelum itu dia mengalami beberapa pengalaman yang ganjil. Dia merasakan mimpi yang benar, dia mendengar suara di dekat telinganya sebagai gemuruh bunyi lonceng. Mulai pada malam itu terobat hati manusia utama itu, Muhammad SAW, yang sudah sekian lama merasa diri terpencil dalam kaumnya karena perasaannya yang murni sudah sejak kecilnya tidak menyetujui menyembah berhala dan tidak pernah beliau memuja patung-patung dari batu dan kayu itu sejak kecilnya. Dan sudah sejak mudanya hati kecilnya tidak menyetujui adat-adat buruk bangsanya. Pada malam itulah terjawab segala pertanyaan dalam hati, terbuka segala rahasia yang musykil selama ini. Itulah malam damai, malam salam, sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar hari esoknya. Di waktu itu, sebab pada malam itulah “dipisahkan segala urusan yang penuh hikmah.” (Surat 44 Ad-Dukhkhan ayat 4). “Yaitu urusan yang benar dari sisi Kami; Sesungguhnya Kami adalah mengutus Rasul.” (ayat 5). “Sebagai rahmat dari Tuhanmu; Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, lagi Mengetahui.” (ayat 6).

***

Dalam keterangan 3 ayat Lailatul-Qadr, ditambah 3 ayat pembuka dari Surat Ad-Dukhkhan teranglah bahwa Malam Lailatul-Qadr itu adalah malam mula turunya Al-Qur’an.

Bilakah masa Lailatul-Qadr itu? Al-Qur’an telah menjelaskannya lagi. Di dalam Surat 2, Al-Baqarah ayat 185 jelas bahwa “Bulan Ramadhan adalah bulan yang padanyalah diturunkan Al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi manusia, dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan pemisah, di antara yang hak dengan yang batil.

Tetapi menjadi perbincangan panjang lebar pula di antara ahli-ahli Hadis dan riwayat, bilakah, malam apakah yang tepat Lailatul-Qadr itu? Sehingga di dalam kitab Al-Fathul-Bari syarah Bukhari dari Ibnu Hajar Al-Usqallani yang terkenal itu, disalinkan beliau tidak kurang dari 45 qaul tentang malam terjadinya Lailatul-Qadr, masing-masing menurut pengalaman dengan catatan Ulama-ulama yang merawikannya, sejak dari malam 1 Ramadhan sampai 29 atau malam 30 Ramadhan ada saja tersebut Ulama yang merawikannya di dalam kita tersebut. Dan semuanya pun dinukilkan pula oleh Syaukani di dalam “Nailul-Authar”nya. Ada satu riwayat dalam Hadis Bukhari dirawikan dari Abu Said Al-Khudri bahwa tentang malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisikan penuh dengan ibadat. Tetapi terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Lailatul-Qadr itu ialah pada malam sepuluh akhir dari Ramadhan, artinya sejak malam 21. Karena sejak malam 21 itu Nabi SAW lebih memperkuat ibadatnya daripada malam-malam yang sebelumnya, sampai beliau bangunkan kaum keluarganya yang tertidur.

Abdullah bin Masud, dan Asy-Sya’bi dan Al-Hasan dan Qatadah berpendapat bahwa malam itu ialah malam 24 Ramadhan. Alasan mereka ialah karena ada Hadis dari Wastilah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada 24 Ramadhan.

Suatu riwayat lagi dari As-Sayuthi, yang kemudian sekali dikuatkan oleh Syaikh Khudhari, Guru Besar pada Fuad I University (1922), jatuhnya ialah pada 17 Ramadhan. Orang yang berpegang pada 17 Ramadhan ini mengambil istimbath daripada ayat 41 dari Surat 8, Al-Anfal karena di sana tersebut:

“… dan apa yang Kami turunkan kepada Hamba Kami pada Pemisahan, hari bertemu dua golongan.”

“Hari bertemu dua golongan” ialah dalam peperangan Badar, pada 17 Ramadhan, sedang “Hari Pemisahan” ialah hari turunnya Al-Qur’an yang pertama, yang disebut juga malam yang diberi berkat sebagai tersebut di dalam Surat 44 Ad-Dukhkhan di atas tadi. Maka oleh karena berhadapan dua golongan di Perang Badar itu, golongan Islam dan golongan musyrikin terjadi 17 Ramadhan, mereka menguatkan bahwa Lailatul-Qadr, mulai turunnya Al-qur’an di gua Hira’, ialah 17 Ramadhan pula, meskipun jarak waktunya adalah 15 tahun.

Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ini pun adalah hasil ijtihad, bukan suatu nash qath’i yang pasti dipegang teguh, sebab Nabi SAW menyuruh memperhebat ibadat setelah 10 yang akhir, bukan pada malam 17 Ramadhan.

Menurut keterangan Al-Hafiz Ibnu Hajar juga, di dalam Fathul-Bari, setengah Ulama berpendapat bahwa Malam Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanyalah satu kali saja, yaitu ketika Al-Qur’an mulai pertama turun itu. Adapun Lailatul-Qadr yang kita peringati dan memperbanyak ibadat pada tiap malam hari Bulan Ramadhan itu, ialah untuk memperteguh ingatan kita kepada turunnya Al-Qur’an itu. Sudah terang malam itu pasti terjadi dalam bulan Ramadhan. Kita hidupkan malam itu, mengambil berkat dan sempena dan memperbanyak syukur kepada Allah karena bertetapan dengan malam itulah Al-Qur’an mulai diturunkan Allah. Berdiri mengerjakan sembahyang yang disebut qiyamul-lail atau tarawih, di seluruh malam Ramadhan ataupun menambah ramainya di malam 10 yang akhir, pastilah salah satu bertetapan dengan malam turunnya Al-Qur’an.

Bukanlah ini saja hari-hari besar yang disuruh peringati di dalam Agama Islam. Kita pun disuruh mempuasakan 10 Muharram, atau ‘Asyura karena mengenangkan beberapa kejadian pada Nabi-nabi yang terdahulu pada tanggal tersebut. Nabi SAW pun menegakkan beberapa Sunnah dalam manasik haji guna mengenangkan kejadian zaman lampau; seumpama Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah mengenangkan betapa sulitnya Hajar mencari air untuk puteranya Ismail di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan itu. Kita pun disuruh melontar Jumratul ‘Aqabah bersama kedua Jumrah lagi, memperingati perdayaan syaitan kepada Nabi Ibrahim karena akan menyembelih puteranya atas perintah Tuhan. Namun Ibrahim tetap teguh hatinya dan tidak kena oleh perdayaan itu. Maka jika kita tilik memperingati Lailatul-Qadr, atau Malam Kemuliaan, atau Malam Penentuan, dapatlah semuanya kita pertautkan jadi satu, yaitu membesarkan syi’ar Allah untuk menambah Takwa hati.

Ada juga yang mengatakan bahwa Malam Lailatul-Qadr itu dapat disaksikan dengan kejadian yang ganjil-ganjil. Misalnya air berhenti mengalir, pohon kayu runduk ke bumi dan sebagainya. Semuanya itu adalah hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ilmu agama yang sebenarnya.

Heran dan kagumlah saya dengan orang tua saya, Syaikh Yusuf Amrullah yang wafat pada 11 Ramadhan 1392 (19 Oktober 1972), dalam usia 86 tahun, seketika saya menziarahi beliau pada 10 April 1972. Beliau menyatakan pendapatnya yang sesuai dengan pendapat Ulama yang disalinkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar tadi, bahwa Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanya sekali, yaitu ketika mula-mula Al-Qur’an diturunkan. Yang kita perkuat berbuat ibadat di dalam bulan puasa menunggu Lailatul-Qadr itu ialah memperingati dan memuliakan malam Al-Qur’an pertama turun itu. Kita kenangkan tiap tahun, agar kita bertambah teguh memegang segala yang dituntunkan Tuhan di dalam Al-Qur’an. Saya menjadi kagum, karena sudah lama mata beliau tidak dapat melihat kitab-kitab lagi.

Ada juga terdapat beberapa perkataan mengatakan bahwa Lailatin-Mubaarakatin, malam yang diberi berkat itu bukanlah Lailatul-Qadr, melainkan malam Nisfu Sya’ban. Tetapi dalam penyelidikan terhadap sumber agama yang sah, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis yang shahih, tidaklah bertemu sumbernya. Riwayat tentang Nisfu Sya’ban itu tidaklah dapat dipegang, sanad-sanad ambilannya kacau-balau, riwayatnya banyak yang dha’if, bahkan ada yang dusta. Oleh sebab itu tidaklah dapat dijadikan dasar untuk dijadikan akidah dan pegangan.

 

CAHCEPU

Tuntunan Salat Ketika Mudik Sesuai Fikih

SAFAR adalah keluar dari tempat tinggal yang jelas dan nyata bentuknya, untuk menempuh suatu jarak tertentu. Dan ini adalah hal yang disepakati ulama.

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan jarak safar. Sebagian ulama mengatakan: sekadar jarak antara Mekkah dan Mina. Karena Rasulullah menganggap penduduk Mekkah sebagai musafir, dan beliau mengqashar salat bersama mereka dan tidak memerintahkan untuk menyempurnakan rakaat salat. Dan perlu digarisbawahi bahwa Mina bukanlah tujuannya, karena tujuannya adalah Arafah. Dan jaraknya adalah sekitar 30 kilometer.

Sebagian ulama mengatakan: sejauh satu hari perjalanan (Al Istidzkkar, 2/233). Abu Umar bin Abdil Barr berkata, “Jarak safar adalah jarak perjalanan sehari semalam dengan perjalanan yang cepat, yaitu sekitar 4 barid”. Dan 1 barid itu sama dengan 4 farsakh, maka jaraknya adalah sekitar 16 farsakh. Satu farsakh sama dengan 3 mil. Sehingga jaraknya menjadi 48 mil atau 77,232 kilometer. Dan ini adalah jarak antara Jeddah dan Mekkah.

Terdapat riwayat:

“Abdullah bin Abbas pernah mengqashar salat dalam perjalanan yang semisal antara Mekkah ke Thaif, atau antara Mekkah ke Usfan, atau antara Mekkah ke Jeddah”.

Sebagian ulama mengatakan: batasannya kembali pada urf (kebiasaan setempat). Jarak yang dianggap oleh penduduk setempat sebagai safar, maka itulah batasan safar. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu dan dipegang oleh jumhur ulama, dan ini yang lebih adhbath (paling baik kaidahnya).

Orang yang safar tidak boleh mengqashar salat hingga ia meninggalkan rumah terakhir yang ada di daerah di mana ia menjadi penduduk di sana. Dan tidaklah ia menyempurnakan rakaat salat hingga ia menemui rumah pertama di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana.

Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di daerahnya sendiri atau di tempat ia bertempat tinggal di sana, ia bukanlah musafir.

Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di perjalanan safar, baik jauh ataupun dekat, atau berapapun jaraknya (selama masih termasuk jarak safar, pent.), maka ia musafir.

Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang Muslim yang telah sampai di tempat atau daerah tujuan, lalu ia bermaksud untuk menetap di sana dalam jangka waktu tertentu, apakah ia keluar dari batasan safar dari sejak ia sampai hingga selesai menetapnya?

Sebagian ulama mengatakan, ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Berapapun lamanya ia menetap di daerah tujuan.

Sebagian ulama mengatakan, ia berstatus musafir jika berencana tinggal selama 4 hari atau kurang dari itu. Dan ia berstatus sebagai muqim sejak sampai di daerah tujuan jika ia berencana tinggal lebih dari 4 hari.

Pendapat yang rajih menurut pandanganku adalah pendapat kedua, karena Rasulullah Shallallahualaihi wasallam ketika datang ke Mekkah untuk haji beliau tidak menetap di Mekkah kecuali selama 4 hari beliau mengqashar salat. Kemudian beliau keluar menuju Mina. Selain itu Rasulullah melarang kaum Muhajirin menetap di Mekkah lebih dari 3 hari agar hijrah mereka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa menetap lebih dari 4 hari mengeluarkan seorang Muslim dari batasan safar menjadi iqamah (menetap).

Jika seorang Muslim musafir sampai di daerah yang menjadi tujuannya, namun ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih bimbang dan belum tahu kapan akan pulang.

Sebagian ulama mengatakan, ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya.

Sebagian ulama mengatakan, ia berstatus musafir selama 19 hari, namun setelahnya ia berstatus muqim.

Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua. Terdapat hadis yang diriwayatkan Al Bukhari (1080), dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, ia berkata:

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menetap selama 19 hari dengan mengqashar salat. Dan kami jika menetap selama 19 hari kami mengqashar salat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan salat”

Mengqashar (meringkas rakaat) salat ketika safar hukumnya sunah muakadah (sangat ditekankan). Namun jika menyempurnakan rakaat, salatnya tetap sah.

Seorang musafir jika salat menjadi makmum dari imam yang berstatus muqim, maka musafir tersebut tidak boleh mengqashar.

Boleh menjamak (menggabungkan) salat ketika safar. Zhuhur dijamak dengan ashar, maghrib dengan isya. Salat subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan salat sebelumnya atau sesudahnya.

Menjamak salat dengan salat sebelumnya dinamakan jamak taqdim. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam pada hari Arafah ketika haji Wada, beliau menggabungkan salat ashar dengan zuhur.

Menjamak salat dengan salat sesudahnya dinamakan jamak takhir. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam di Muzdalifah pada malam hari, beliau menggabungkan salat Maghrib dan Isya.

Shalat maghrib tidak boleh diringkas menjadi 2 rakaat, demikian juga salat subuh tetap dikerjakan 2 rakaat. Yang bisa di-qashar adalah salat rubaiyyah, yaitu salat zuhur, salat ashar, dan salat isya.

Menjamak salat adalah rukhshah safar, baik perjalanannya terus-menerus atau tidak. Dan yang lebih utama adalah salat pada waktunya (tidak dijamak), kecuali jika perjalanannya terus-menerus.

Ketika menjamak salat, hendaknya azan sebelum salat yang pertama saja, dan iqamat pada setiap salat. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam.

Tidak ada kewajiban salat Jumat bagi musafir, yang dilakukan adalah salat zuhur. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahualaihi Wasallam dalam hajinya. Karena ketika itu bertepatan dengan hari Jumat, dan beliau tidak salat Jumat dan salat zuhur dijamak dengan salat ashar.

Jika seorang musafir salat Jumat, tidak boleh menjamaknya dengan salat ashar. Karena hal itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam.

Telah sahih dari Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam melakukan salat qabliyah subuh, salat witir, salat lail dan salat dhuha ketika safar. Dan ini semua adalah salat tathawwu.

Safar adalah kesulitan dan adzab. Maka ketika seorang Muslim sudah menunaikan hajatnya, segeralah ia kembali kepada keluarganya dan daerahnya.

Status safar tidak menghalangi keabsahan akad nikah dan akad jual-beli.

Waliyul amr tidak disyariatkan untuk menegakkan had dalam keadaan safar. Imam Ahmad mengeluarkan hadis dalam Musnad-nya (17626, 17627), dan Abu Daud (4408), dan At Tirmidzi (1450) dari Junadah bin Abi Umayyah, ia berkata:

“Kami pernah bersama Busr bin Abi Arthaah di laut, ia bersama seorang pencuri bernama Mishdar. Ia mencuri sebuah Bukhtiyyah. Busr berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: tidak dipotong tangan pencuri ketika safar. Andaikan bukan karena hadis ini, maka telah aku potong tangannya” (Dishahihkan Al Albani dan Al Arnaut)

Seorang Muslim dimakruhkan bersafar sendirian. Imam Malik meriwayatkan hadis dalam Al Muwatha dalam kitab Al Istidzan, bab Maa jaa bil wahdah fis safar, dan juga Abu Daud (2607), dan At Tirmidzi (1674), dari Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

“Orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka itulah orang yang berkendaraan yang benar”. Hadis ini hasan.

Jika seorang Muslim menjadi warga negara sebuah negara, kemudian ia meninggalkan negara tersebut dan menjadi warga negara dari negara lain. Kemudian ia kembali ke negara yang awal tanpa mengganti kewarganegaraannya. Maka ia berstatus safar dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebut pada poin sebelumnya. Kecuali jika ia memiliki rumah di sana. Jika demikian, maka ia tidak boleh mengqashar salat. Karena Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam ketika kembali ke Mekkah setelah Fathul Mekkah beliau tidak menyempurnakan rakaat salat, beliau mengqashar. Namun ketika beliau ditanya mengenai rumahnya, beliau menjawab: “apakah masih ada bagiku rumah walau hanya satu petak?”. Ini menunjukkan bahwa beliau dan kaum Muhajirin yang bersama beliau adalah musafir.

Jika seorang Muslim bertempat tinggal di suatu kota, sedangkan ia bekerja di kota lainnya, maka ia boleh meng-qashar shalat dalam safarnya antara dua kota tersebut. Namun ketika ia sudah masuk ke kota dimana rumahnya berada, maka tidak boleh mengqashar salat. []

 

MOZAIK

Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar dalam Kitab Irsyadul Ibad

Pada Bulan Ramadhan, Allah menurunkan malam penuh dengan fadhilah dan barakah yang berjuluk malam seribu bulan yaitu malam lailatul qadar. Malam ini merupakan malam dimana diturunkan Al-Qur’an dan para Malaikat Allah ke muka bumi.
“Kita sebagai ummat Nabi Muhammad SAW patut bersyukur karena malam spesial ini hanya diberikan kepada kita. Ummat sebelum Nabi Muhammad tidak memilikinya,” ujar Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Pringsewu KH Ridwan Syuaib saat menyampaikan materi Ngaji Ahad Sore (Jihad Sore), Ahad (26/6).
Berdasarkan beberapa Hadits yang termaktub pada Kitab Irsyadul Ibad, pada 10 hari terakhir di Bulan Ramadhan Nabi Muhammad meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya bersama keluarganya.
“Nabi selalu beribadah dengan sungguh-sungguh di 10 hari terakhir dan mengamalkan ibadah yang tidak dilakukan beliau pada bulan lainnya,” terangnya.
Lebih lanjut Abah Ridwan, begitu Ia biasa dipanggil, menjelaskan beberapa ciri datangnya lailatul qurban yang salah satunya adalah turun dimalam-malam ganjil pada 10 malam terakhir ramadhan.
“Rasul juga memberitahukan bahwa pada ciri lain Lailatu Qadar di antaranya suasana malam yang terang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada mendung, tidak hujan dan berangin dan tidak ada bintang berjalan,” rincinya. Pada siang harinya tambahnya, suasana cerah dan matahari bersinar namun tidak terasa panasnya.
Pada lailatul qadar, Abah Ridwan menghimbau seluruh ummat Islam untuk memburu malam yang hanya ada di Bulan Ramadhan. “Mari bersama-sama memburu, mengintai lailatul qadar dengan doa, shalat dan amalan-amalan ibadah lainnya,” ajaknya.
Secara pribadi, Abah Ridwan dan Jamaah dilingkungannya sudah melakukan Program Tahunan untuk mendapatkan lailatul qadar. “Kita beritikaf di Masjid pada malam-malam ganjil sampai dengan shubuh dengan melakukan rangkaian amalan Ibadah,” ujarnya.
Ibadah-ibadah tersebut meliputi Shalat Tahiyatul Masjid Shalat Sunnat Wudlu, Taubat, Hajat dan Tahajud. Setelah itu membaca Tasbih, Fatihah dan doa yang ditujukan untuk para Nabi, Guru, Orang Tua dan putera-puteri kita.
“Setelah membaca shalawat dan tahlil sebanyak 100 kali kegiatan ditutup dengan doa,” pungkasnya. (Muhammad Faizin/Fathoni)

Jangan Selewengkan Makna Lailatul Qadar

Lailatul Qadar merupakan malam lebih baik dari seribu bulan, malam diturunkannya wahyu, malam terindah Nabi dan sahabat mencapai puncak spiritualitas atau malam membentuk sikap reflektif terhadap makna hakiki teks kewahyuan yang disucikan Allah. Dalam sebuah hadits dapat disarikan, bahwa Lailatul Qadar pada 10 hari terakhir atau 7 hari sisanya (HR Bukhari 4/221 dan Muslim 1165).

Malam mulia ini telah memunculkan beberapa perspektif yang masih perlu dikaji. Masih banyak yang menggambarkan malam ini penuh imajinasi yang keluar dari makna Lailatul Qadar. Seolah malam mulia ini dipaksakan sesuai dengan perspektif hal-hal yang terkait dengan dunia. Karenanya, mereka yang mendapatkannya akan beruntung bebas meminta, apakah berupa harta, tahta, dan sejuta imajinasi yang di luar prediksi manusia.

Pemaknaan imajinatif tentang Lailatul Qadar secara hedonistik dan pragmatis ini bertentangan dengan apa yang menjadi kekhawatiran Nabi Muhammad terhadap perkembangan pesat umat Islam di akhir zaman. Misalnya, banyak umat Islam yang justru pada lebih memilih mencintai dunia dan takut akan kematian. Bukankah kisah Nabi melihat keindahan malam Lailatul Qadar dalam keadaan bersujud meski basah kehujanan, artinya pencapaian kesempurnaan keseimbangan psikis merupakan puncak pilihan manusia yang tidak tergantikan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Dasud ini, telah berbelok bersamaan ceramah keagamaan para “ustadz” yang membuat glamor pada acara tayangan TV. Hal yang sama, juga marak kegiatan keagamaan yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tema sedekah pun juga mengarah pada kapitalisasi sedekah dan komersialisasi dakwah keagamaan. Fenomena hedonistik dan pragmatis ini telah semarak, baik pada saat bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.

Oleh karena itu, banyak distorsi pemaknaan terhadap bulan suci Ramadhan. Misalnya, Ramadhan yang seharusnya meminimalkan konsumsi dan menghindari kebutuhan berlebihan memanfaatkan sumber daya alam, justru pada bulan ini seperti menjadi bulan bagi mereka para pengikut aliran konsumerisme, pragmatisme, dan hedonisme. Dalam kebutuhan sehari-hari, satu keluarga pada bulan Ramadhan bisa berkebutuhan tiga kali lipat dari kebutuhan hari biasa. Misalnya, kebutuhan satu orang dipenuhi dengan yang seharusnya bisa dua orang.

Aktivitas Ramadhan yang seharusnya sama seperti hari biasa, namun pada bulan Ramadhan banyak yang mengurangi jam pekerjaan dan menambah waktu tidur atau istirahat. Hal ini berbeda dengan semangat Ramadhan. Bulan Ramadhan lebih tepat disebut sebagai bulan riyadlah dan bulan perenungan tentang sebuah hakikat kehidupan. Hal ini harus dilalui dengan hidup sederhana, memenuhi makan dan minum yang tidak berlebihan yang harus disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan. Sehubungan dengan ibadah, pada bulan ini harus lebih ditingkatkan. Misalnya, bertahlil, bertasbih, bershalawat, beristighfar, dan selalu bertaqarrub kepada Allah.

Dalam bulan riyadlah ini, mereka yang dapat Lailatur Qadar, adalah mereka yang digambarkan dalam Surat al-Qadr, hari lebih baik dari seribu bulan, para malaikat dan malaikat Jibril turun dan dengan izin Allah, berdoa untuk keselamatan seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar. Siapakah orang yang beruntung memperoleh Lailatul Qadar? Mereka yang mencapai pengetahuan, kesadaran, pengertian, dan kesatuan hakiki bersama rahasia-rahasia Allah. Mereka ini sudah tidak terpisahkan lagi oleh perasaan dan hijab, antara dirinya dan Allah. Mereka ini sudah tidak bertanya lagi bagaimana dan di mana Allah Azza wa Jalla. Pencapaian pada puncak inilah yang merupakan kenikmatan hakiki.

Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, adalah pengetahuan yang membenarkan kebenaran. Sedangkan, Lailatul Qadar, adalah puncak kesadaran reflektif manusia membangun ketuhanan dan kemanusiaan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Ubaidillah Achmad, penulis buku Islam Geger Kendeng

NU.or.id

Bingung, Bayar Zakat Pakai Beras atau Uang?

SERING KALI pertanyaan itu ditujukan banyak orang kepada saya. Saya pribadi, selama ini selalu bayar dengan uang.

Mengapa? Ada banyak alasan saya.

Karena pendapat ini banyak disarankan oleh ulama-ulama kontemporer.

Karena uang lebih simpel dan gampang dalam proses pemberian dan penerimaan.

Karena uang lebih “maslahat” bagi fakir-miskin.

Karena sudah banyak yang keluarkan beras, sedangkan kebutuhan fakir-miskin tidak hanya beras.

Ini pendapat yang saya amalkan sejak dulu. Sudah bertahun-tahun. Tapi ternyata, setelah kembali membaca dan mendengarkan, mengkaji dan membahas, saya memutuskan sejak tahun kemarin (dan Insya Allah tahun ini juga) untuk membayar Zakat Fitri dengan beras.

Di sini saya sampaikan 10 alasan saja:

Pertama, seluruh nash hadis yang membicarakan tentang Zakat Fitri, ternyata tidak ada satu pun yang menyinggung kata nominal atau uang. Dalam konteks ibadah, berpegangan kepada nash adalah suatu hal yang sangat urgen, tanpa harus mempertanyakan kenapa begini kenapa begitu.

Kedua, pada zaman Rasul tentu saja sudah terdapat uang, orang miskin pada zaman itu juga banyak yang memiliki beragam kebutuhan dan bukan hanya makanan pokok saja. Akan tetapi para Sahabat tetap saja mengeluarkan makanan pokok dan bukan uang, jadi amalan penduduk Madinah ini merupakan dalil kedua setelah teks Hadis yang ada.

Ketiga, kata “fitrah” itu sendiri sebagian ada yang memaknainya dengan “penciptaan/makhluk” (oleh karena itu zakat fithri wajib bagi setiap individu), dan ada juga yg memaknainya “makan setelah puasa” (dengan demikian diwajibkan membayar makanan pokok). Selain itu, dalam sebuah Hadits telah disebutkan dengan jelas bahwa zakat fithri ini diwajibkan sebagai Pembersih dan Penyuci (Thuhrah) bagi orang yang berpuasa, serta Sebagai makanan (Thumah) bagi orang-orang miskin. Inilah esensi dari zakat fithri itu, yaitu makanan pokok.

Keempat, Zakat itu banyak jenisnya; ada zakat harta, binatang ternak, hasil tanaman, fithri, dan sebagainya. Dalam zakat harta, orang mengeluarkan uang. Dalam zakat binatang ternak, mengeluarkan binatang ternak, tidak boleh diganti, ditukar, dibolak-balik. Hal tersebut karena setiap zakat sudah memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga zakat fitrah, karakteristiknya adalah Makanan Pokok.

Kelima, saat membolehkan membayar zakat fitri dengan beras, sejatinya seorang faqih telah menggunakan qiyas yang menyamakan antara beras (yang tidak terdapat dalam Sunnah) dengan korma/gandum (yanhg terdapat dalam sunnah) dengan adanya persamaan illah (kausa hukum) antara keduanya, yaitu sama-sama makanan pokok. Sedangkan uang, illah-nya adalah tsamaniyah (currency) dan bukan thum (makanan pokok) jadi beda jenis.

Keenam, saat mengeluarkan beras, maka timbangannya adalah 1 Sha (sekitar 2,5 kg), Tapi saat mengeluarkan uang, mengapa dikonversi dulu ke harga beras? Sedangkan beras itu sendiri adalah perkara baru yang untuk mendapatkan hukumnya saja ia harus diqiyaskan dulu kepada korma/gandum. Dan jika konversi nominal yang mengacu kepada harga beras ini merupakan qiyas juga, maka ini adalah “qiyas bertikung” yang tidak memenuhi syarat sah qiyas.

Ketujuh, jika kita perhatikan bersama, sesungguhnya Syariat Islam itu sebuah sistem matang yang tertata rapi dan selalu memperhatikan keseimbangan.

Dalam masalah zakat, kita dapatkan berbagai macam jenis zakat berkaitan antara satu dengan yang lainnya, jika saja setiap Muslim patuh dan konsisten akan ketentuan ini, maka akan lahir keselarasan dalam tata sistem Syariat. Jadi, orang miskin akan mendapatkan makanan pokok dari zakat fithri, mendapat uang dari zakat maal, mendapat baju baru dari kafarat yamin, mendapat THR dari sedekah, dan seterusnya.

Kedelapan, argumen yang sering digunakan untuk membolehkan membayar zakat fithri dengan uang adalah; karena lebih Maslahat bagi mustahiq. Akan tetapi, apa itu maslahat? Ini pembahasan panjang, tapi intinya; “Setiap terdapat aturan Syariat, di situ pasti terdapat Maslahat. Dan belum tentu setiap hal yang Kita Anggap itu Maslahat, dapat semena-mena kita jadikan sebagai Syariat”. Hati-hati, poin ini sangat penting sekali!

Kesembilan, membayar zakat fitri dengan beras akan mempersempit kemungkinan penyelewengan barang zakat tersebut. Berbeda halnya dengan uang, orang akan mudah mengalihkannya kepada hal lain yang kurang substansial, seperti dibuat beli rokok atau beli tiket konser dangdut misalkan.

Kesepuluh, Jumhur ulama Malikiyyah, Syafiiyyah, Hanabilah dan mayoritas Fuqaha telah berpendapat bahwa Zakat Fitrah itu dikeluarkan dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti dengan uang. Jadi, selama mayoritas telah berkata, berarti pendapat ini lebih kuat secara Demokratis. Wallahu Alam Bis-Shawab.[Yusuf Al Amien/fimadina] –

See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2385807/bingung-bayar-zakat-pakai-beras-atau-uang#sthash.f0aC37J6.dpuf

Ramadan, Waktu yang Tepat Berhenti Merokok

SYAIKH Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah taala pernah ditanya: Sebagian orang yang berpuasa yang gemar merokok meyakini bahwa mengisap rokok di bulan Ramadan bukanlah pembatal puasa karena rokok bukan termasuk makan dan minum.

Bagaimana pendapat Syaikh yang mulia tentang masalah ini?Beliau rahimahullah menjawab:

Menurutku, ini adalah pernyataan yang tidak ada usulnya sama sekali. Bahkan sebenarnya rokok termasuk minum (syariba). (Dalam bahasa Arab) mengisap rokok disebut syariba ad dukhon. Jadi mengisap rokok disebut dengan minum (syariba).

Kemudian juga, asap rokok -tanpa diragukan lagi- masuk hingga dalam perut atau dalam tubuh. Dan segala sesuatu yang masuk dalam perut dan dalam tubuh termasuk pembatal puasa, baik yang masuk adalah sesuatu yang bermanfaat atau yang mendatangkan bahaya. Misalnya seseorang menelan manik-manik, besi atau selainnya (dengan sengaja), maka puasanya batal. Oleh karena itu, tidak disyaratkan sebagai pembatal puasa adalah memakan atau meminum sesuatu yang bermanfaat. Segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dianggap sebagai makanan dan minuman.

Mereka meyakini bahkan mengenal bahwa mengisap rokok itu disebut (dalam bahasa Arab) syariba (yang artinya = minum), namun mereka tidak menyatakan bahwa rokok adalah pembatal puasa. Sama saja kita katakan bahwa ini jumlahnya satu, namun dia menganggap mustahil ini jumlahnya satu. Jadi, orang ini ada kesombongan dalam dirinya.

Kemudian berkaitan dengan bulan Ramadan, ini adalah waktu yang tepat bagi orang yang memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan rokok yang jelek dan bisa mendatangkan bahaya. Waktu ini adalah kesempatan yang baik untuk meninggalkan rokok karena sepanjang siang seseorang harus menahan diri dari hal tersebut. Sedangkan di malam hari, dia bisa menghibur diri dengan hal-hal yang mubah seperti makan, minum, jalan-jalan ke masjid atau berkunjung ke majelis orang saleh. Untuk meninggalkan kebiasaan merokok, seseorang juga hendaknya menjauhkan diri dari para pencandu rokok yang bisa mempengaruhi dia untuk merokok lagi.

Apabila seorang pencandu rokok setelah sebulan penuh meninggalkan rokoknya (karena moment puasa yang dia lalui), ini bisa menjadi penolong terbesar baginya untuk meninggalkan kebiasaan rokok selamanya, dia bisa meninggalkan rokok tersebut di sisa umurnya. Bulan Ramadan inilah kesempatan yang baik. Waktu ini janganlah sampai dilewatkan oleh pecandu rokok untuk meninggalkan kebiasaan rokoknya selamanya.[]

Sumber : Majmu Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148 (Asy Syamilah)

– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2384704/ramadan-waktu-yang-tepat-berhenti-merokok#sthash.uXh96zOw.dpuf

MUI Imbau Waspada Daging Oplosan Babi Jelang Lebaran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam memilih daging. Pasalnya, dalam beberapa tahun belakangan, setiap menjelang Lebaran banyak daging oplosan babi yang beredar di pasaran.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim mengatakan bahwa untuk menyambut Lebaran tahun ini masyarakat harus lebih berhati-hati dengan produk-produk yang tidak halal. “Jadi yang pertama kami mengimbau kepada semua kosumen yang sedang dengan suka citanya, berbelanja terutama pruduk makanan untuk tetap memperhatikan kehalalannya,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (20/6).

Menurut dia, masyarakat tidak boleh terlalu tergiur dengan propaganda atau janji harga murah yang ditawarkan oleh produsen. Harga memang boleh menjadi pertimbangan, tapi menurutnya masyarakat harus tetap memperhatikan kehalalannya. “Karena memang selalu saja ada di dalam kesukaan cita kita ini yang memanfaatkan dengan tidak cara yang baik, misalnya ada daging oplosan. Masih sering terjadi adanya oplosan daging misalnya dengan daging celeng. Kan itu juga kita hindari,” ucapnya.

Ia mengatakan, beberapa tahun belakang pengoplosan daging babi tersebut memang sering terjadi. Karena itu, kata dia, pihaknya perlu mengimbau kepada masyarakat agar tetap berhati-hati memilih daging. Tidak hanya daging, MUI juga mengimbau agar masyarakat berhati-hati dengan produk yang tidak ada logo halal dari MUI.

Sementara, untuk produsen atau penjualnya, MUI juga mengimbau agar tidak hanya tergiur untuk mengambil keuntungan yang besar saja, sehingga rela melakukan penipuan, serta pembodohan terhadap masyarakat dengan menjual daging haram tersebut.

“Jadi sama-sama kita menjaga agar Idul Fitri ini menjadi kemenangan kita semua. Apakah itu yang pedagang atau pun konsumen, apakah itu yang muslim atau yang tidak muslim. Jadi ini imbaun kita kepada seluruh masyarakat,” kata Lukmanul Hakim.

 

REPUBLIKA