Month: March 2019
Doa di Hari Jumat
Sifat Qana’ah Hanya Dimiliki Orang yang Yakin dengan Hikmah Allah!
Seringkali manusia dengan kebodohannya terlalu cepat memvonis ketentuan Allah. Sadar atau tidak tiba-tiba ia berkata,
“Mengapa Allah menjadikan manusia sebagian kaya dan sebagian miskin?
Dimana letak keadilan Allah ketika orang lain bisa membeli semua yang ia inginkan sementara aku susah payah untuk sekedar mencari makan?”
Orang-orang yang berpikir semacam ini menganggap dirinya lebih tau dari Allah swt. Seakan ia berharap semua manusia diberi rezeki yang sama rata oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa keberlangsungan hidup di dunia ini adalah karena adanya perbedaan. Perbedaan dalam kemampuan, harta, cara berpikir dan lain sebagainya. Karena dengan perbedaan itulah manusia bisa saling melengkapi. Saling mengisi kekurangan yang lain.
Tanpa adanya perbedaan, kehidupan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Ingatlah bahwa kebahagiaan tidak melulu ditentukan oleh banyaknya harta. Kebahagiaan memiliki arti yang jauh lebih luas dari itu.
Berapa banyak orang miskin yang menikmati hidupnya?
Dan berapa banyak orang kaya yang begitu jauh dari kata bahagia? Hidupnya tak pernah mengenal ketentraman dan ketenangan.
Karena itu dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan rahasia dibalik hal ini. Mengapa Allah membeda-bedakan pembagian rezeki manusia?
Allah swt berfirman,
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Az-Zukhruf:32)
Hikmah dibalik perbedaan pembagian rezeki dari Allah adalah agar manusia saling membantu dan saling mengisi kekurangan orang lain. Orang miskin membutuhkan bantuan orang kaya, namun orang kaya juga tidak bisa hidup tanpa orang miskin. Semuanya saling bantu membantu demi kelestarian hidup.
Pada akhir ayat itu disebutkan bahwa rahmat Allah lebih baik dan lebih luas dari yang kita pahami. Jangan mengkerdilkan rahmat Allah hanya dalam urusan harta saja. Sunggug rahmat Allah lebih luas dari itu semua.
Karena itu belajarlah untuk menerima pembagian dari Allah swt, karena itu adalah yang terbaik untuk kita. Maka dengan hati yang pasrah dan menerima, kita akan mendapatkan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Semoga bermanfaat…
Memberatkan Timbangan dengan Ucapkan Alhamdulillah
DARI Abu Malik Al Harits bin ‘Ashim Al Asy’ariy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kesucian adalah sebagian dari iman, Alhamdulillah memberatkan timbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi.” (HR. Muslim No. 223)
Yaitu ucapan Alhamdulillah akan memenuhi dan menghasilkan berat timbangan kebaikan bagi yang mengucapkannya pada yaumul mizan nanti. Maksudnya menurut Imam An-Nawawi, begitu besar pahalanya. (Al-Minhaj, 3/101)
Begitu pula dikatakan Imam Al-Munawi Rahimahullah: “(dan Al Hamdulillah memberatkan timbangan) yaitu pahala ucapan itu akan memenuhinya dengan cara menjalankan kewajiban (perbuatan) jasmani.” (At-Taisir, 2/241)
Jadi, tidak cukup lisan saja, tetapi perbuatan jasmani juga mesti menunjukkan sikap bersyukur sebagaimana terkandung dalam maksud ucapan tahmid. Lalu, kenapa begitu besar pahalanya? Apa keistimewaan ucapan ini? Karena ucapan tahmid mengandung pengakuan dari hamba-Nya yang lemah bahwa semua pujian hanya bagi Allah Ta’ala, dan Dialah yang paling berhak menerimanya, bukan selain-Nya.
Berkata Syaikh Ismail Al-Anshari: “Sebab hal itu (besarnya pahala) adalah karena ucapan tahmid merupakan penetapan bahwa segala pujian adalah untuk Allah.” (At-Tuhfah, hadits No. 23)
Jika kita melihat keutamaan membaca Alhamdulillah, maka tidak mengherankan jika ucapan tersebut dapat memenuhi timbangan kebaikan bagi pengucapnya pada hari kiamat nanti. Keutamaan-keutamaan itu tertera di berbagai riwayat berikut ini.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaha Illallah dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi No.3383, katanya: hasan gharib. Ibnu Majah No. 3800, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra No. 10667. Syaikh Al-Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya, Shahih At-Targhib wat Tarhib No. 1526, Tahqiq Misykah Al-Mashabih No. 2306, dll)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sungguh rida terhadap hamba yang makan makanan lalu dia memuji-Nya atas makanan itu, atau dia minum sebuah minuman lalu dia memuji-Nya atas minuman itu.” (HR. Muslim No. 2734)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya seluruh dunia dengan sebagiannya berada di tangan seorang laki-laki di antara umatku, kemudian dia berkata Alhamdulillah, maka Alhamdulillah lebih utama dibandingkan hal itu.” (HR. Ad-Dailami No. 5083, Ibnu ‘Asakir, 16/54, Kanzul ‘Ummal No. 6406, Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 1/131)
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan: “Umar berkata: Kami telah mengetahui Subhanallah dan Laa Ilaha Illallah, namun apakah Alhamdulillah?” Ali menjawab: “Kalimat yang Allah ridai untuk diri-Nya dan Dia paling suka untuk disebutkan.” (Lihat Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 3956)
Demikian. Wallahu A’lam wal Hamdulillah. [Ustaz Farid Nu’man Hasan]
Ketika Pohon-pohon Tunduk/Patuhi Perintah Nabi
MUSLIM meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah R.A., dia berkata, “Kami pernah pergi bersama Rasulullah SAW hingga kami sampai di lembah yang luas, lalu Beliau pergi untuk buang hajat.
Saya mengikutinya dengan membawakan satu ember air. Beliau mencari sesuatu untuk berlindung, tetapi tidak mendapatkannya. Didapatinya dua pohon di tepi lembah, kemudian Beliau menunjuk ke salah satu pohon tersebut dan memegang dahannya sambil berkata, “Menunduklah kearahku dengan izin Allah” dahan itu pun menunduk seperti seekor unta yang di suruh menunduk oleh penuntunnya, hingga beliau menuju ke pohon lainnya dan memegang salah satu dahannya sambil berkata, “Menunduklah ke arah saya dengan izin Allah.
Dahan itu pun menunduk seperti seekor unta yang menunduk mengikuti perintah penuntunnya. Hingga ketika kedua dahan itu setengah menunduk, keduanya bertemu, Beliau berkata, “Bergabunglah kamu berdua melindungiku dengan izin Allah!” Maka keduanya pun bergabung.
Baihaqi meriwayatkan dari Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah dalam keadaan sedih saat orang-orang musyirikin menyakitinya, lalu Beliau bersabda, “Ya Allah, pada hari ini perlihatkanlah kepada saya suatu mukjizat yang setelah itu saya tidak akan memperdulikan lagi orang-orang yang mendustakan saya.” Umar berkata, “Maka Beliau memanggil sebuah pohon dari tempat yang tinggi di Madinah. Pohon itu membelah bumi berjalan hingga sampai kepadanya.” Umar berkata, “Kemudian Beliau menyuruhnya kembali ke tempatnya semula dan pohon itu melakukan seperti perintahnya.” Umar berkata, “Maka Beliau bersabda, “Setelah ini saya tidak lagi memperdulikan orang-orang dari kaumku yang mendustakanku.””
Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar R.A., dia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan, lalu ada seorang badui menuju kepadanya. Ketika sudah dekat Beliau bertanya kepadnya, “Hendak kemanakah kamu?”
Dia menjawab, “Hendak ke keluargaku.” Beliau bertanya: “Apakah hendak menuju kepada kebaikan?” Dia menjawab, “Apakah itu?” Beliau bersabda, “Kamu bersaksi bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah; tiada sekutu bagi-Nya, bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Dia bertanya, “Apakah ada yang bersaksi atas apa yang kamu katakan?” Beliau menjawab, “Pohon ini.” Lalu Rasulullah SAW memanggil pohon itu yang berada di pinggir lembah.
Pohon itu membelah bumi berjalan menghadap Beliau, lalu berdiri tepat di hadapannya. Beliau meminta agar ia bersaksi tiga kali, maka pohon itu pun bersaksi bahwa Beliau itu seperti apa yang dikatakannya. Kemudia pohon itu kembali ke tempat semula dan orang badui itu kembali kepada kaumnya; dia berkata, “Jika mereka mau mengikutiku aku akan datang kepadamu bersama mereka. Jika tidak, aku akan kembali kepadamu sendirian dan aku akan bersamamu.”
Ibnu Katsir mengatakan, “Isnad hadist ini adalah jayyid.”
Ibadah Umrah
Siapa yang Terakhir Menyentuh Jasad Mulia Nabi SAW?
Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah pada Senin tahun 11 Hijriah.
Rasulullah Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah pada Senin bulan Rabiul Awal, tahun ke-11 Hijriah. Meski harinya tidak diperdebatkan, tanggal pastinya masih dipenuhi perdebatan kalangan sejarawan.
Ada yang menyatakan tanggal 2 Rabiul Awal. Ada pula yang menyebut tanggalnya adalah 12 Rabiul Awal.
Yang pasti, jasad mulia Nabi SAW dikubur sehari setelah wafatnya. Prosesi penguburan berlangsung pada siang hari Selasa. Menurut kalender yang berlaku kala itu, usia beliau adalah 63 tahun.
Orang-orang memandikan jasad Nabi Muhammad SAW tanpa melepas pakaian dari jasad mulia beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Yang melakukan prosesi itu adalah keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Air yang dipakai berasal dari sumur Ghars yang terletak di Quba. Ali dibantu oleh al-‘Abbas dan putranya, al-Fadhl.
Setelah itu, prosesi kafan. Untuk itu, mereka melapisi jasad mulia Nabi SAW dengan tiga helai kain putih berbahan katun. Tidak dipakai baju kurung dan penutup kepala.
Usai itu, jenazah beliau kemudian diletakkan di atas ranjang di rumah Nabi SAW dan ‘Aisyah. Rumah itulah yang menjadi lokasi Rasulullah SAW menjemput ajalnya.
Sempat terjadi diskusi tentang di manakah jasad Rasulullah SAW akan dimakamkan. Ada yang menyarankan supaya jenazah beliau dikuburkan di Makkah. Bahkan, ada yang mengusulkan kota lain, yakni Baitul Makdis di Palestina.
Kemudian, Abu Bakar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada seorang nabi pun meninggal, kecuali dikubur di mana dia dicabut nyawanya.” Ali bin Abi Thalib lantas membenarkan pernyataan Abu Bakar itu.
Maka bersepakatlah semuanya, jasad Nabi SAW akan dikubur di tempat beliau menghembuskan nafas terakhir. Abu Thalhah Zaid bin Sahal al-Anshari menggali tanah di bawah tempat Rasulullah SAW wafat.
Ada empat orang yang memasukkan jasad mulia itu ke dalam tanah. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, al-‘Abbas, al-Fadhl, dan Qutsam bin ‘Abbas. Muawiyah bin Abu Sufyan yang menyaksikan prosesi itu teramat berduka hatinya.
Dia lantas diam-diam menjatuhkan cincinya ke atas jasad Nabi SAW. Maka ketika keempat orang itu hendak menimbun kuburan beliau dengan tanah, Muawiyah berkata, “Cincinku terjatuh ke dalam sana. Izinkan aku mengambilnya.”
Ali pun mengizinkannya.
Di dalam liang lahat, Muawiyah tidak hanya mengambil cincinnya, tetapi juga mencium kening Nabi SAW. Sesudah itu, dia naik lagi ke atas.
Hadir pula dalam prosesi pemakaman ini, Mughirah bin Syu’bah. Dia melihat apa yang dilakukan Muawiyah. Maka terbersit keinginan untuk mendapatkan kesempatan yang sama.
Mughirah lantas sengaja menjatuhkan cincinnya ke dalam liang lahat Rasulullah SAW. Maka dia pun meminta kepada Ali agar diizinkan mengambilnya.
Ali membolehkannya. Turunlah Mughirah ke dalam sana, menjumpai jasad Nabi SAW sekali lagi.
“Sungguh, aku ingin menjadi manusia terakhir yang menyentuh Rasulullah SAW,” kata Mughirah bin Syu’bah.
Sesudah selesai liang lahat itu ditimbun tanah, Bilal bin Rabah yang membawa bejana geriba kemudian memercikkan air ke atas kubur itu. Dari arah kepala, dia lantas menaburi kuburan Nabi SAW dengan batu-batu kerikil yang diperolehnya dari halaman rumah beliau. Terakhir, kubur beliau ditinggikan sedikit, sekira satu jengkal dari permukaan tanah.
Cara Murah Mendapatkan Pahala Haji dan Umrah
Ketika Rasulullah SAW Jadi Makmum Masbuk
Peristiwa ini terjadi ketika Makkah sudah dibebaskan dari kekuasaan musyrik (Fathu Makkah). Kabar kemenangan Rasulullah SAW dan umat Islam menggemparkan hingga ke luar Jazirah Arab. Di utara, penguasa Romawi sudah bersiap-siap menyerang Madinah.
Kabar itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Maka, beliau bertolak ke Tabuk (sekira perbatasan Arab-wilayah kekuasaan Romawi) dengan ditemani 40 ribu orang prajurit Muslimin.
Belum sampai di tempat tujuan, langit menunjukkan tanda-tanda masuk waktu subuh. Nabi Muhammad SAW pun menyuruh segenap kaum Muslimin yang menyertainya untuk singgah. Mereka pun bersiap melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Namun, Nabi SAW tiba-tiba berkeinginan buang hajat. Beliau pun pergi ke suatu tempat dengan didampingi al-Mughirah bin Syu’bah, yang bertugas membawa bejana berisi air. Sahabat ini lantas berdiri agak jauh dari tempat Rasulullah SAW buang hajat.
Setelah itu, Nabi SAW keluar. Al-Mughirah dengan sigap menuangkan lagi dengan bejana air untuk beliau berwudhu.
Para sahabat yang sudah bershaf-shaf tidak tahu bahwa Nabi SAW sedang buang hajat. Mereka pun menunggul dalam waktu yang cukup lama. Salah seorang dari mereka lantas menghampiri Abdurrahman bin ‘Auf, untuk memintanya menjadi imam shalat subuh.
Karena pertimbangan waktu subuh yang menuju hampir habis, Maka Ibnu Auf pun setuju. Dia lantas mengimami shalat subuh seluruh pasukan Muslimin.
Ketika itulah datang Nabi SAW bersama al-Mughirah. Beliau hanya mendapat satu rakaat dari shalat subuh berjamaah itu.
Begitu Abdurrahman bin mengucapkan salam, Rasulullah SAW pun bangkit–untuk meneruskan satu rakaat yang tersisa. Para sahabat yang melihat beliau terkejut bukan kepalang. Sebab, Nabi SAW ternyata menjadi makmum yang masbuk. Sambil menunggu beliau selesai shalat, mereka menggumamkan tasbih dan doa.
Usai shalat, Rasulullah SAW menghadap kepada para jamaah sekalian. “Benar apa yang dilakukan oleh kalian tadi,” kata beliau.
Maknanya, Nabi SAW memang menghendaki agar kaum Muslimin shalat jamaah di awal waktu, tidak mesti menanti kedatangan beliau SAW yang sedang ada hajat.
Rajab, Bulan Saat Nabi Nuh dan Kaumnya Berlayar
BULAN Rajab merupakan satu di antara empat bulan yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’la. Ini termaktub dalam firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu (lauhul mahfudz). Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS at-Taubah: 36)
Ayat di atas diturunkan sebelum fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), saat orang-orang dari Madinah takut berkunjung ke Makkah. Kemudian turunlah ayat di atas yang menjelaskan bahwa jumlah bulan dalam setahun ada 12 bulan. Empat di antaranya adalah haram (mulia). Sesuai konsensus ulama, tiga dari bulan tersebut berdampingan yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Sedangkan yang satu lagi berpisah sendiri, bulan Rajab.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, maksud sebagai bulan haram atau mulia di sini adalah dalam bulan tersebut, setiap perbuatan maksiat akan mendapat siksa lebih dahsyat, dan begitu pula sebaliknya, perilaku taat kepada Allah dilipatgandakan pahalanya.
:
Artinya: “Maksud dari haram adalah sesungguhnya kemaksiatan di bulan-bulan itu memperoleh siksa yang lebih berat dan ketaatan di bulan-bulan tersebut akan mendapat pahala yang lebih banyak. (Fakhruddir ar-Razi, Tafsir al-Fakhrir Razi, Drul Fikr, Beirut, cet 1, 1981, juz 16, halaman 53)
Menurut sejarah, Ibrahim an-Nakha’i mengisahkan, Rajab merupakan bulan saat Nabi Nuh berlayar bersama kaumnya yang taat. Ia berpuasa secara pribadi serta menyuruh orang yang bersamanya untuk berpuasa juga, kemudian Allah menyelamatkan mereka dari banjir bandang dan Allah melenyapkan kemusyrikan secara total dari muka bumi.
Terkait makna Rajab secara harfiyah, ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, rajab dari kata tarjb maknanya mengagungkan. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya al-Ghun-yah.
Terdapat makna lain yang cukup banyak pada kata Rajab. Dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diriwayatkan dari Abi Bakrah, Rajab itu Mudlar
Artinya: “Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana saat Allah menciptakan langit-langit dan bumi. Setahun terdapat 12 bulan. Di antaranya ada empat yang mulia. Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan Rajab Mudlar yang jatuh antara Jumadal Ula-Jumadal Akhirah dan Sya’ban.” (Sahih Bukhari: 4294)
Mudlar merupakan satu klan di Arab yang sangat mengagungkan bulan Rajab. Karena perilaku mereka ini, Rasulullah mengistilahkan keagungan Rajab dengan mengacu sebagaimana keagungan yang dilakukan oleh klan Mudlar.
Lalu mengapa ada perbedaan tingkat kemuliaan di antara bulan-bulan itu? Bukankah masing-masing dari Allah subhanahu wa ta’ala?
Iya, semua bulan mulia. Namun empat bulan tersebut kemuliannya lebih kuat dibandingkan bulan lainnya. Ia seperti kemulian Ka’bah dibandingkan dengan lokasi lain. Logikanya seperti hari Jumat lebih mulia dibanding 6 hari lain. Hari Arafah lebih mulia daripada hari-hari lain dalam setahun, Nabi Muhammad lebih mulia daripada nabi-nabi yang lain. Apakah Nabi Muhammad yang paling mulia di antara para nabi itu menjadikan nabi-nabi lain tidak mulia? Tidak. Nabi-nabi lain mulia, sedangkan Rasulullah Muhammad lebih mulia. Demikian pula bulan-bulan mulia dibanding bulan yang lain.
Dalam rangka menyambut bulan Rajab nan mulia itulah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w: 561) menuliskan doa ma’tsurat yang digoreskan dalam karyanya al-Ghun-yah. Doa ini juga dikutip ulang oleh Habib Muhammad Amin bin Abu Bakar bin Salim dalam kitab M Yuthlab f Rajab, serta Syekh Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Halabi dalam bukunya Nrul Anwr wa Kanzul Abrr:
.
.
Artinya: “Ya Tuhanku, pada malam ini orang-orang yang berpaling (dari rahmat-Mu) telah berpaling, orang-orang yang mempunyai tujuan telah datang (pada-Mu), dan para pencari telah mengharap anugerah dan kebaikan-Mu.
Pada malam ini, Engkau mempunyai tiupan rahmat, piagam-piagam penghargaan, aneka macam pemberian dan anugerah. Engkau berikan semua itu terhadap hamba-hamba-Mu yang Engkau kehendaki. Dan Engkau tidak memberikannya terhadap orang yang tidak memperoleh pertolongan dari-Mu.
Inilah aku, hamba-Mu yang sangat berharap pada-Mu, berharap anugerah dan kebaikan-Mu. Apabila Engkau, wahai Tuan kami, telah mengemukakan anugerah-Mu di malam ini terhadap seseorang dari makhluk-Mu, dan Engkau berikan kebaikan padanya dengan berbagai sambungan kelembutan-Mu, maka anugerahkan rahmat atas Nabi Muhammad shalallahu aliahi wasallam beserta keluarganya. Berikanlah atasku dengan kekayaan dan kebaikan-Mu. Wahai Tuhan seru sekalian alam.” (Syekh Abdul Qadir bin Shalih al-Jilani, al-Ghun-yah, Drul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1997, juz 1, halaman 328).
Demikian semoga kita menggunakan bulan mulia Rajab sebagaimana mestinya dan sebaik-baiknya. (Ahmad Mundzir/nuol)