Kiat Menjadi Haji Mabrur

Bagi yang Allah karuniai kecukupan rizki maka hendaklah dia menunaikan ibadah haji, karena haji merupakan kewajiban dan rukun Islam.

Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji menurut cara dan tuntunan yang disyariatkan, maka insya Allah dia termasuk dalam kandungan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbunyi:

العُمْرَةُ إِلىَ العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ

Umrah ke umrah adalah penghapus dosa diantara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga” (HR. Bukhari – Muslim).

Haji mabrur adalah haji yang sesuai dengan tuntunan syar’i, menyempurnakan hukum-hukumnya, mengerjakan dengan penuh kesempurnaan dan lepas dari dosa serta terhiasi dengan amalan shalih dan kebaikan.

Bila ada yang bertanya, bagaimanakah kriteria haji mabrur?

Pertama: Ikhlas, seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggan, atau agar dipanggil oleh masyarakatnya “pak haji” atau “bu haji”.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾

Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” (QS. Al-Bayyinah: 5)

KeduaIttiba’ (meneladani) kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dia berhaji sesuai tata cara haji yang diperaktekkan oleh Nabi dan menjauhi perkara-perkara bid’ah haji. Beliau sendiri bersabda:

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

Contolah cara manasik hajiku” (HR. Muslim).

Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ, لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim).

Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّـهُ ۗوَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾

Barangsiapa yang menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (kata-kata tak senonoh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada masa haji” (QS. Al-Baqarah: 197).

Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (22/39): “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal”.

Semoga Allah menganugerahkan kita haji mabrur.

***

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28607-kiat-menjadi-haji-mabrur.html

Mengenal Dua Miqat Jama’ah Haji Indonesia

Sebagaimana kita ketahui bahwa jama’ah haji Indonesia ada dua gelombang keberangkatan, gelombang pertama tiba di Madinah dahulu baru mereka berhaji berangkat dari Madinah, sedangkan gelombang kedua mereka langsung menuju Mekkah dari Indonesia. Berbeda tempat berangkat haji, maka miqat jama’ah haji Indonesia ada dua berdasarkan gelombang keberangkatan.

Gelombang haji pertama: Jama’ah menuju ke Madinah terlebih dahulu

Miqat mereka adalah miqat penduduk Madinah yaitu Dzul Hulai-fah Bi’r ‘Ali. Karena mereka berhenti dahulu di Madinah dan menetap sementara di sana sehingga mereka berihram dari miqat penduduk Madinah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan tempat-tempat miqat, beliau bersabda:

هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن يريد الحج أو العمرة

Miqat-miqat tersebut adalah untuk penduduknya dan orang-orang selain penduduknya yang datang melaluinya, dari orang-orang yang hendak berhaji atau berumrah” (HR. Al Bukhari- Muslim).

Gelombang kedua: Jamaah yang langsung terbang menuju Mekkah

Miqatnya adalah di Yalamlam, karena ini arah yang sejajar bagi penduduk Indonesia dari arah tanah air. Ketika melewati daerah miqat ini jama’ah haji masih berada di atas pesawat sehingga jamaah haji harus berihram di atas pesawat. Awak pesawat mengumumkannya satu jam atau setengah jam sebelum tiba di atas miqat atau di tempat yang sejajar dengan miqat, agar jama’ah haji bersiap-siap untuk berihram.

Miqat di atas pesawat, maka kita pilih yang sejajar dengan daerah tersebut. Ini sesuai hadits dengan arahan para ulama. Penduduk Kufah dan Bashrah mendatangi Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dan mereka berkata, “Wahai amirul mukminin sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Najed yaitu Qarnul Manazil, sesunggunya ia jauh dari Jalan kami”.

Maka Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Perhatikanlah daerah yang sejajar dengan jalan kalian (itulah miqat)”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Maka ini dalil bahwa jika manusia sudah sejajar dengan miqat, baik dengan jalan darat, laut atau udara maka wajib berihram ketika sejajar dengan miqat.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il syaikh Al-‘Utsaimin, 21/331)

Adapun berihram dari Jeddah, maka ini adalah kesalahan karena Jeddah bukan tempat Miqat. Jeddah adalah daerah terletak antara miqat dan Mekkah, sehingga penduduk jeddah berihram dari rumah mereka.

Berdasarkan hadits,

وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqat (antara miqat dan Mekkah), maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah (rumah mereka)” (HR. Al Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181).

Wallahu a’lam.

Catatan:

Berihram adalah niat masuk ke manasik haji, tidak mesti berpakaian ihram tepat sekali ketika pas di miqat, sehingga sebelum naik pesawat memakai pakaian ihram tidaklah menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika sudah melewati daerah miqat dan belum memakai pakaian ihram.

***

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28618-mengenal-dua-miqat-jamaah-haji-indonesia.html

Belajar Dahulu Fikih Haji, Semoga Dimudahkan Segera

Sebagian orang sangat ingin bisa segera naik haji, akan tetapi sebagian lagi berpikir “nanti saja” belajar fikh haji yaitu setelah sudah mendaftar haji atau menjelang keberangkatan haji saja. Hendaknya seorang muslim segera belajar fikh haji, tidak harus menunggu sudah mendaftar dulu haji dahulu atau menjelang keberangkatan. 

Haji dan umrah adalah salah satu dari rukun Islam yang mana seorang muslim harus mengetahuinya dan mempelajarinya. Ini termasuk ilmu yang hendaknya dipelajari sebagaimana hadits tentang menuntut ilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah]

Suatu fakta dan tidak sedikit kami temui bahwa orang yang belajar fikh haji terlebih dahulu dengan niat ikhlas menunaikan perintah Allah, lalu diberi kemudahan untuk bersegera naik haji atau umrah. Padahal secara logika saat itu, orang tersebut sulit untuk bisa segera menunaikan ibadah haji dan umrah baik dilihat dari sisi ekonomi, usia, kesehatan dan kesempatan waktu.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47771-belajar-dahulu-fikih-haji-semoga-dimudahkan-segera.html

Fatwa Ulama: Sahkah Haji Dan Muamalah Yang Menggunakan Harta Haram?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Seseorang semua hartanya haram, dan ia menikah dari harta tersebut, berhaji dari harta tersebut, dan juga melakukan jual beli dengan harta tersebut. Ia ingin bertaubat, apa yang semestinya ia lakukan?

Jawab:

Jika ia bertaubat, Allah akan memberikan taubat kepadanya. Adapun masalah hartanya, perlu ditinjau. Sebagian ulama memandang bahwa ia boleh memanfaatkannya. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala :

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah: 275).

Maka apabila mengambil dari harta tersebut sebatas yang jadi kebutuhan dan bersedekah dengannya insya Allah sudah cukup. Namun jika ia ingin mensucikan harta itu seluruhnya dan menyedekahkannya seluruhnya dengan cara yang baik dan memperbarui usahanya dengan baik maka ini lebih hati-hari dan lebih baik.

Tapi jika ia miskin ia boleh mengambil manfaat dari harta tersebut. Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman: “… maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu” dan ini mencakup orang-orang kafir yang mereka masuk Islam dan dulunya ia bermuamalah dengan riba, sedangkan riba itu haram dan mereka sudah meninggalkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata kepada mereka: “kembalikan harta ribamusetelah kalian taubat darinya dan masuk islam“.

Untuk muslim yang demikian dikatakan oleh sebagian ulama bahwa kasusunya sebagaimana orang kafir, bahkan tidak separah orang kafir. Maka ia lebih utama dari orang kafir jika taubat, Dan karena melarangnya memiliki hartanya terkadang membuatnya lari dari taubat juga.

Jika memang mudah baginya untuk mengeluarkan harta tersebut dan bersedekah dengannya maka ini lebih hati-hati, dalam rangka keluar dari perselisihan ulama. Sedangkan hajinya sah, karena haji adalah amalan badan, tidak ada hubungannya dengan harta.

***

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/1588

Penerjemah: Andi Ihsan

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26660-fatwa-ulama-sahkah-haji-dan-muamalah-yang-menggunakan-harta-haram.html

Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji

Tentu kita sering mendengar kalimat talbiyah yang diucapkan oleh jamaah haji dan umrah. Kalimat tersebut sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”. [HR. Muslim] 

Tahukah anda, bahwa dahulu orang kafir quraiys juga melakukan haji dan tawaf yang merupakan warisan dari ajaran nabi Ibrahim. Mereka juga dan mengucapkan talbiyah. Hanya saja ucapan talbiyah mereka ditambah dengan ucapan kesyirikan, padahal lafadz talbiyah yang mereka ucapkan menyatakan “Tidak ada sekutu bagi-Mu”. Namun, orang kafir quraiys menambahkan dengan lafadz “Kecuali sekutu yang Engkau miliki” yaitu berhala-berhala orang kafir Quraisy sembah sebagai sekutu bagi Allah.

Mendengar lafadz tersebut diucapkan oleh orang kafir Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ فَيَقُولُونَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; illaa syariikan huwa laka tamlikuhu wamaa malaka (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. [HR. Muslim no. 1185]

Berikut beberapa makna dari kalimat talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu.

Makna kalimat ini: Saya benar-benar adalah memenuhi panggilan-Mu wahai Allah

لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ

Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu

Makna kalimat ini: Adalah menyatakan tidak ada sekutu bagi Allah dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah

إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”

Makna kalimat ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim:

حمداً لله الذي هو من أحب ما يتقرب به العبد إلى الله

وعلى الاعتراف لله بالنعم كلها

“Pujian kepada Allah adalah yang paling bisa mendekatkan hamba kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah yang memberikan nikmat semuanya.” [Mukhtashar Tahdzib Sunan 2/335]

Makna yang sangat jelas dan dalam, karena dalam ibadah haji kita benar-benar mengorbankan banyak hal, di mulai dari harta, tenaga, pikiran dan meninggalkan keluarga di rumah cukup lama. Sangat disayangkan apabila tercampur dengan riya’ atau ditujukan bukan untuk selain Allah (menyekutukan Allah). Hendaknya kita mengakui besar nikmat Allah kita mampu naik haji dengan memuji Allah karena tidak semua orang diberikan nikmat ini.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47799-makna-tauhid-di-balik-kalimat-talbiyah-haji.html

Tadabbur Alquran, Cara Dahsyat Meningkatkan Iman

Penjelasan Tentang Iman

Membaca Al-Qur`an dan Mentadaburinya[1] adalah Cara Dahsyat untuk Meningkatkan Keimanan

Sobat, Anda Tahu kan bahwa Iman Itu Bisa Bertambah dan Berkurang?

Banyak terdapat keterangan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menjelaskan pasang surutnya keimanan. Di samping itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah juga menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat martabatnya, sebagian memiliki iman yang lebih tinggi daripada yang lain. Ada di antara mereka yang disebut assaabiq bil khairaat (terdepan dalam kebaikan), al-muqtashid (pertengahan) dan zhalim linafsihi (menzalimi diri sendiri). Ada juga al-muhsinal-mukmin, dan al-muslim. Semua itu menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam satu martabat. Ini menandakan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang.[2] Oleh karena itu, saat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah menjelaskan tentang keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah tentang iman, beliau mengatakan,

وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ, وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ, يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ, وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ

Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan (dan amal) hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.[3]

Siapa yang Gak Pengen Bertambah Imannya?

Sobat, perlu difahami bahwa menyukai perkara baik, mencintai ketaatan, pengen iman bertambah itu adalah dambaan setiap orang yang benar keimanannya. Di samping itu, menyukai keimanan merupakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk hamba yang disayangi-Nya.

Oleh karena itu, perbanyaklah  memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menghiasi keimanan dalam hati Anda, simaklah firman Allah Ta’ala berikut ini,

 وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al-Hujurat: 7).

Suka Iman Bertambah Saja? Tidaklah Cukup!

Sobat, cukupkah Anda suka makanan saja, tapi setiap hari tidak mau makan? Apakah cukup Anda suka uang saja, tapi tidak mau bekerja? Anda ingin sembuh, tapi gak mau berobat? Tentu tidak bukan? Dalam agama kita, orang  yang ingin berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya diperintahkan untuk beramal saleh.

Coba deh, simak Kalam Ilahi berikut ini,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya” (Q.S Al-Kahfi: 110).

Dengan demikian, tidak cukup seseorang hanya suka imannya bertambah, namun tidak mau berusaha menambah keimanannya?

Kalo mau bertakwa, ya laksanakan perintah Allah. Mau iman naik? Ya lakukan ketaatan kepada Rabb Anda!

Cara Dahsyat Meningkatkan Keimanan!

Syaikh Prof. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah di dalam kitabnya Asbab Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi menyebutkan tiga cara dahsyat dalam meningkatkan keimanan, yaitu:

  1. Mempelajari ilmu yang bermanfaat, di antaranya adalah membaca Al-Qur`an dan mentadaburinya, mempelajari nama dan sifat Allah Ta’ala, memperhatikan keindahan agama Islam, membaca sirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membaca kisah Salafush Shaleh.
  2. Memperhatikan ayat-ayat Allah yang kauniyyah.
  3. Bersungguh-sungguh dalam beramal saleh, baik dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh lahiriyah, termasuk berdakwah di jalan Allah Ta’ala dan menjauhi sebab-sebab yang mengurangi keimanan.

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29926-tadabbur-alquran-cara-dahsyat-meningkatkan-iman.html

10 Kiat Istiqomah (Bag.18)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (Bag.16)

(Lanjutan kaedah kesembilan)

Mengikuti syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak kekuatan hati!

Adapun induk penyakit yang merusak keimanan seorang hamba adalah mengikuti syahwat dan syubhat.

Allah Ta’ala mensucikan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua induk penyakit ini, Allah Ta’ala berfirman :

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ

(1) Demi bintang ketika terbenam.

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

(2) kawanmu (Nabi Muhammad) tidak sesat dan tidak pula menyimpang. [Q.S. An-Najm: 1-2].

Dua penyakit yang ditiadakan dari diri Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia tersebut adalah penyakit sesat (dholal) atau mengikuti syahwat dan menyimpang (ghoy) atau mengikuti syubhat.

Allah Ta’ala berfirman tentang adanya penyakit syubhat:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

(10) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. [Q.S. Al-Baqarah: 10].

Pakar Tafsir dikalangan tabi’in : Mujahid dan Qotadah rahimahumallah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut, yaitu : keraguan, dan ini termasuk penyakit syubhat.

Dan Allah Ta’ala pun berfirman tentang adanya penyakit mengikuti syahwat :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

(32) Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. [Q.S. Al-Ahzaab: 32].

Ikrimah rahimahullah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut yaitu : syahwat zina. Hal ini menunjukkan adanya penyakit syahwat yang merusak hati.                                                                                                    

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ighotsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan kembali menjelaskan :

جماع أمراض القلب هي: أمراض الشبهات وأمراض الشهوات، والقرآن شفاء للنوعين

“Induk penyakit hati adalah penyakit mengikuti syahwat dan penyakit mengikuti syubhat, sedangkan dalam Al-Qur`an terdapat obat bagi dua macam induk penyakit tersebut!” 

Beliau juga menerangkan :

والفتن التي تعرض على القلوب هي أسباب مرضها، وهي فتن الشهوات و فتن الشبهات، فتن الغي و الضلال، فتن المعاصي و البدع، فتن الظلم و الجهل.
فالأولى توجب فساد القصد و الإرادة، و الثانية توجب فساد العلم و الاعتقاد

“Fitnah yang terpampang kepada hati itulah yang merupakan sebab hati berpenyakit, yaitu : fitnah syahwat, dan fitnah syubhat, (yaitu) fitnah menyimpang (syubhat) dan sesat (syahwat), fitnah maksiat (syahwat) dan bid’ah (syubhat), fitnah kezholiman (syahwat) dan kebodohan (syubhat).

Fitnah pertama (fitnah syahwat) menjerumuskan kepada kerusakan tujuan dan kehendak, adapun fitnah yang kedua (fitnah syubhat) menjerumuskan kepada kerusakan ilmu dan keyakinan”

Penyakit mengikuti syahwat itu akan menjerumuskan seseorang kedalam kerusakan amal, sedangkan syubhat itu mengelincirkan seseorang dari jalan yang lurus dengan kerusakan ilmu yang ada dalam dirinya.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47675-10-kiat-istiqomah-bag-17.html

Tanda Kiamat: Banyak Orang Menginginkan Mati

Dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (7115)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ ، عَنِ الْأَعْرَجِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ ، فَيَقُولُ : يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ “

Ismail menuturkan kepadaku, Malik menuturkan kepadaku, dari Abu Zinad, dari Al A’raj, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “tidaklah terjadi kiamat hingga ketika seseorang melewati kuburan orang lain ia akan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’

hadits ini juga dikeluarkan oleh Muslim (157), Ahmad (2/530), Malik (1/239), Ibnu Hibban (6707) dan yang lainnya.

Derajat hadits

Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah, dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim.

Faidah hadits

  1. Tidak terjadi kiamat hingga banyak orang yang menginginkan kematian. Alim-laf pada kalimat يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ adalah alif-lam istighraqiyyah yang menunjukkan keumuman. Sehingga pada waktu itu umumnya orang-orang terbesit keinginan untuk mati.
  2. Betapa dahsyatnya cobaan di akhir zaman sampai-sampai orang-orang lebih mengidamkan mati daripada hidup merasakan beratnya cobaan
  3. Keinginan untuk mati yang dimaksud dalam hadits ini adalah ingin mati karena berat dan pedihnya cobaan terkait perkara duniawi ketika itu. Bukan menginginkan mati karena khawatir agamanya rusak atau karena rindu ingin bertemu dengan Allah.Hal ini ditunjukkan oleh ziyadat (tambahan) pada riwayat lain dari hadits ini. Dalam riwayat Ahmad,لا تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَمُرَّ الرجلُ بِقبرِ الرجلِ ، فيقولُ : يا لَيْتَنِي مكانَهُ ، ما بهِ حُبُّ لِقَاءِ اللهِ عزَّ وجلَّ“tidaklah terjadi kiamat hingga ketika seseorang melewati kuburan orang lain ia akan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’. ia mengatakan demikian bukan karena rindu ingin bertemu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla”Dalam riwayat Muslim,والَّذي نفسي بيدِهِ لا تذهَبُ الدُّنيا حتَّى يمرَّ الرَّجلُ علَى القبرِ فيتمرَّغُ عليهِ ويقولُ يا ليتَني كنتُ مَكانَ صاحبِ هذا القبرِ . وليسَ بهِ الدِّينُ إلَّا البلاءُ“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah hancur dunia hingga hingga ketika seseorang melewati kuburan ia pun meratap dan berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya penghuni kubur ini’. ia mengatakan demikian bukan karena agama, melainkan karena beratnya cobaan”Dalam riwayat Ath Thabrani,وَيَقُولُ : يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ ، مَا بِهِ شَوْقٌ إِلَى اللَّهِ ، وَلا عَمِلَ صَالِحًا قَدَّمَهُ ، إِلَّا مِمَّا يَنْزِلُ بِهِ مِنَ الْبَلاءِ“…seseorang itu berkata: ‘duh seandainya saya berada di tempatnya’. ia mengatakan demikian bukan karena rindu ingin bertemu dengan Allah, bukan juga karena telah mengamalkan amalan shalih, namun karena ia merasakan pedihnya cobaan
  4. Syaikh Al Albani menjelaskan: “makna hadits ini, orang tersebut menginginkan mati bukan karena agama dan bukan karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan karena rindu kepada-Nya. Ia mengatakan demikian karena merasakan cobaan dan ujian yang berat dalam perkara dunia” (Silsilah Ash Shahihah, 2/121)
  5. Bolehnya menginginkan mati, jika karena perkara agama, yaitu karena khawatir agamanya rusak, atau telah mengamalkan amalan shalih lalu khawatir tidak istiqamah sehingga batal pahala amalannya tersebut, atau karena cinta dan rindu ingin bertemu dengan Allah. Syaikh Al Albani menyatakan: “dalam hadits ini juga ada isyarat bolehnya menginginkan mati karena agama. dan tidak bertentangan dengan hadits:لا يَتمنَّينَّ أحدُكمُ الموتَ مِن ضُرٍّ أصابَهُ“janganlah salah seorang dari kalian menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya…”karena hadits ini khusus tentang menginginkan mati terkait perkara duniawi sebagaimana zhahir-nya” (Silsilah Ash Shahihah, 2/121)
  6. Bolehnya menginginkan mati karena perkara agama, juga ditunjukkan oleh hadits larangan menginginkan mati itu sendiri. Karena di dalamnya terdapat doa kepada Allah agar mematikan orang yang berdoa jika itu baik bagi keselamatan agamanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:لا يَتمنَّينَّ أحدُكمُ الموتَ مِن ضُرٍّ أصابَهُ ، فإن كانَ لا بدَّ فاعِلًا ، فليقُلْ اللَّهُمَّ أحيِني ما كانتِ الحياةُ خَيرًا لي ، وتوفَّني إذا كانتِ الوفاةُ خَيرًا لي“janganlah kalian menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya. Jika memang ia benar-benar ingin melakukannya, maka katakanlah: ‘Ya Allah hidupkan aku jika memang hidup itu lebih baik untukku. dan matikanlah aku jika memang mati itu baik untukku’” (HR. Al Bukhari 5671).
  7. menginginkan mati karena perkara agama adalah hal yang dilakukan sejumlah ulama salaf. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “pendapat bolehnya menginginkan mati jika khawatir akan rusaknya agama dikuatkan oleh sejumlah salaf. An Nawawi berkata: ‘hal tersebut sama sekali tidak dibenci, bahkan melakukannya termasuk mencontoh akhlak para salaf, diantaranya Umar bin Khathab..’” (dinukil dari Silsilah Ash Shahihah, 2/121).
  8. Tercelanya menginginkan mati karena perkara dunia atau terkait cobaan yang bersifat duniawi. Semisal karena sakit, karena kurangnya harta, kurangnya makanan, karena wanita, karena masalah keluarga, karena sulitnya mencari pekerjaan, dan semisalnya.
  9. Rindu ingin bertemu Allah adalah ciri hamba yang dicintai Allah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ومن كره لقاء الله كره الله لقاءه“Barangsiapa yang senang berjumpa dengan Allah, Allah pun senang berjumpa dengannya. Barangsiapa yang tidak suka bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya” (HR. Bukhari 6142)

Rujukan utama: As Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22475-tanda-kiamat-banyak-orang-menginginkan-mati.html

Rukun Iman: antara Lima atau Enam

Dalam masalah keimanan, yang dipahami secara luas oleh kaum muslimin adalah rukun iman yang enam. Hal ini dipahami dari salah satu hadits yang terkenal, yang disebut dengan hadits Jibril. Yaitu, ketika Jibril ‘alaihis salaam mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud manusia, untuk bertanya dalam rangka mengajarkan apa itu Islam, iman dan ihsan.

Ketika Jibril ‘alaihis salaam bertanya,

فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ

“Kabarkanlah kepadaku, apa itu iman?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)

Namun perlu diketahui, bahwa sebagian ulama menyebut rukun iman dengan rukun yang lima (al-ushuul al-khamsah atau al-ushuul al-iman al-khamsah). Artinya, sebagian ulama rahimahumullahu Ta’ala memahami rukun iman itu lima, bukan enam.

Di antara yang memiliki pemahaman demikian adalah Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Misalnya, di perkataan beliau ketika menyebutkan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَهُوَ انواع النَّوْع الاول علم اصول الايمان الْخَمْسَة الايمان بِاللَّه وَمَلَائِكَته وَكتبه وَرُسُله وَالْيَوْم الاخر فَإِن من لم يُؤمن بِهَذِهِ الْخَمْسَة لم يدْخل فِي بَاب الايمان ولايستحق اسْم الْمُؤمن

“Ada beberapa jenis ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Jenis pertama adalah ilmu tentang rukun iman yang lima, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab, (4) para Rasul, dan (5) iman kepada hari akhir. Karena siapa saja yang tidak beriman dengan lima perkara ini, dia belum masuk ke dalam pintu keimanan, dan tidak berhak mendapatkan status mukmin.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 156)

Demikian pula ketika beliau membahas tentang iman kepada malaikat, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

ولهذا كان الإيمان بالملائكة عليهم السلام أحد الأصول الخمس التى هى أركان الإيمان، وهى الأيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر

“Oleh karena itu, iman kepada malaikat ‘alaihimus salaam adalah salah satu dari lima pokok yang disebut dengan istilah “rukun iman”, yaitu (1) iman kepada Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab, (4) para Rasul, dan (5) iman kepada hari akhir.” (Ighaatstaul Lahafaan, 2: 131)

Ulama lainnya yang memiliki pemahaman demikian adalah Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullahu Ta’ala, pensyarah kitab matan ‘aqidah yang terkenal, yaitu Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah. Ketika beliau membahas perbedaan istilah iman dan Islam, beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَفَسَّرَ الْإِسْلَامَ بِالْأَعْمَالِ الظَّاهِرَة، وَالْإِيمَانَ بِالْإِيمَانِ بِالْأُصُولِ الْخَمْسَة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan Islam dengan amal-amal lahiriyah, dan (menafsirkan) iman dengan keimanan terhadap pokok yang lima.” (Tahdzhiib Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 145)

Perkataan-perkataan beliau bisa jadi membingungkan sebagian orang, mengapa sebagian ulama menyebut rukun iman hanya lima, bukan enam?

Dari rincian yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala di atas, kita pahami bahwa keimanan terhadap takdir tidak disebutkan dalam poin tersendiri. Karena beliau hanya menyebut: (1) iman kepada Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab, (4) para Rasul, dan (5) iman kepada hari akhir; tanpa menyebut iman terhadap takdir.

Hal ini karena menurut beliau dan juga para ulama yang memiliki pemahaman semisal dengan beliau, keimanan terhadap takdir itu termasuk dalam bagian iman kepada Allah Ta’ala. Termasuk dalam iman kepada Allah adalah iman terhadap perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala. Sedangkan di antara perbuatan Allah Ta’ala adalah menetapkan takdir untuk segala sesuatu.

Penjelasan lainnya adalah bahwa lima hal inilah yang disebutkan dalam satu rangkaian ayat dalam Al-Qur’an. Misalnya, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada (1) Allah, (2) malaikat-malaikat-Nya, (3) kitab-kitab-Nya, (4) rasul-rasul-Nya, dan (5) hari akhir, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 136)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut lima saja, tanpa menyebut takdir. Sedangkan Allah Ta’ala tidak pernah menyebut enam rukun iman sekaligus (ditambah iman terhadap takdir) dalam satu rangkaian ayat Al-Qur’an.

Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa bingung dengan perbedaan istilah semacam ini. Hal ini karena istilah “rukun iman” adalah istilah yang ditetapkan oleh para ulama, bukan istilah baku yang berasal dari syariat. Sehingga perbedaan semacam ini tidak menjadi masalah, karena hakikatnya sama. Karena para ulama yang mengatakan rukun iman itu lima, mereka memasukkan keimanan terhadap takdir dalam bagian iman kepada Allah Ta’ala, dan tidak dikeluarkan dalam satu poin tersendiri. Hal ini sebagaimana pembagian tauhid, sebagian ulama membagi menjadi tiga, sebagian membagi menjadi dua. Dan jika dilihat, dua pembagian tauhid ini hakikatnya sama saja. Wallahu Ta’ala a’lam.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47685-rukun-iman-antara-lima-atau-enam.html

Membunuh Semut yang Mengganggu, Padahal Semut Diharamkan untuk Dibunuh

Bolehkah membunuh semut yang mengganggu? Padahal semut itu diharamkan untuk dibunuh.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud, no. 5267; Ibnu Majah, no. 3224; Ahmad 1:332. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Ada soal yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kajian Liqaat Al-Bab Al-Maftuh, “Ada hadits tentang larangan membunuh empat hewan, yaitu semut, lebah, burung Hudhud, dan burung Shurad. Namun semut di rumah kadang mengganggu, kadang masuk ke kamar dan biasa bergerombol. Apakah boleh kami membunuh semut tadi dengan racun dan semisal itu?”

Jawab Syaikh rahimahullah:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan yaitu semut, lebah, burung Hudhud, dan burung Shurad.

Allah juga meralang membunuh seorang muslim. Namun jika ada muslim yang mengganggu seperti pelaku begal di jalanan atau pelaku semisal itu yang halal dibunuh, maka hukumnya boleh dibunuh.

Kalau ada seseorang yang menghalangimu lantas ingin merampas hartamu, maka janganlah berikan ia harta. Jika ia ingin membunuhmu, lawanlah dia. Engkau halal untuk membunuhnya (dalam rangka membela diri, pen.). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang orang yang merampas harta, “Janganlah memberikan harta padanya.” “Bagaimana jika ia sampai mencoba membunuhku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bunuhlah dia.” “Bagaimana jika ia malah membunuhku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau syahid.” “Bagaimana jika aku membunuhnya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia di neraka.” Kesimpulannya, yang mengganggu berarti boleh dibunuh.

Maka semut yang mengganggu yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan membunuhnya, maka silakan membunuhnya. Melakukan seperti itu tidaklah berdosa. Namun ada cara lain sebelum membunuhnya, yaitu di rumah diberi sesuatu untuk mengusir semut (seperti kapur semut dan semacamnya, pen.). Kami sendiri sudah mencobanya. Kami pandang seperti itu akan mengusir semut yang mengganggu tadi, akhirnya semut-semut tersebut pergi, tidak tersisa lagi dalam rumah. Jika mungkin lakukan demikian, itu lebih baik. Jika tidak mungkin seperti itu, maka tidaklah masalah membunuhnya.

(Liqaat Al-Bab Al-Maftuh, 6:277, pertemuan ke-130 dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cetakan pertama, Tahun 1438 H)

Sumber https://rumaysho.com/20781-membunuh-semut-yang-mengganggu-padahal-semut-diharamkan-untuk-dibunuh.html