Dehidrasi Bisa Picu Disorientasi, Jemaah Diimbau Banyak Minum

Makkah (Kemenag) — Kehilangan cairan tubuh atau dehidrasi seringkali menyebabkan seseorang mengalami disorientasi. Kasus semacam ini juga kerap ditemui pada jemaah  haji Indonesia saat berada di tanah suci, di mana kondisi iklim dan cuacanya berbeda jauh dengan Indonesia.

Keterangan ini disampaikan oleh dokter spesialis kejiwaan pada Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja Makkah Herlina Pohan. “Berdasarkan data kasus yang dialami jemaah haji tahun lalu, banyak ditemui jemaah haji yang dirawat di KKHI karena mengalami disorientasi, semula disebabkan kurangnya cairan di dalam tubuhnya,” jelas Herlina, Senin (15/07). 

Herlina menambahkan, jemaah haji Indonesia  memiliki kebiasaan minum yang cenderung rendah. Biasanya jemaah baru minum kalau merasa haus. “Padahal di tanah suci, kita akan alami suhu tinggi dan kelembaban rendah, ini membuat kita jarang haus. Maka sebaiknya kita tetap minum sebelum haus,” pesan Herlina. 

Hal ini juga bertujuan untuk memastikan tubuh tidak mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan disorientasi.

Kebiasaan minum jemaah haji Indonesia yang baru minum saat haus, menurut Herlina perlu segera diubah setibanya di tanah suci. “Bila di tanah air, haus dapat jadi ciri bila tubuh kita kekurangan cairan. Karena kelembaban  udara di sana tinggi. Tapi setibanya di tanah suci, sebaliknya. Kita jarang merasa haus karena kelembaban  udaranya rendah,” papar Herlina. 

“Maka di KKHI, biasanya kita akan memberikan terapi cairan terlebih dahulu bila menemukan kondisi seperti itu. Kita berharap  bila cairan tubuhnya cukup, maka kesadarannya pun akan pulih kembali,” kata Herlina. 

Ini yang membedakan ruang layanan rawat inap gangguan kejiwaan yang terdapat di KKHI Makkah dengan klinik pada umumnya di tanah air. “Berbeda dengan di tanah air di mana klinik kejiwaan tidak menyertakan fasilitas infus pada bed nya, kalau di sini kita sediakan. Karena terapi yang pertama digunakan  dengan memberikan cairan itu,” kata Herlina. 

KEMENAG RI

Mencela Penyakit Demam

Di antara kewajiban kaum muslimin ketika tertimpa penyakit adalah bersabar dan menahan diri berkeluh kesah, atau berkata-kata yang menunjukkan protes terhadap takdir Allah Ta’ala atas dirinya. 

Begitu pula sikap yang seharusnya ditunjukkan jika kita terkena penyakit demam, penyakit yang sering kita jumpai di sekitar kita. Hendaknya kita bersabar, sebagaimana kita berusaha bersabar ketika menghadapi ujian dan musibah yang lainnya. 

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjenguk Ummu As-Saaib atau Ummul Musayyib [1]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

مَا لَكِ؟ يَا أُمَّ السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيِّبِ تُزَفْزِفِينَ؟

“Ada apa denganmu, Ummu As-Saib atau Ummul Musayyib, badanmu bergetar (karena demam, pent.).” 

Ummu As-Saib berkata,

الْحُمَّى، لَا بَارَكَ اللهُ فِيهَا

“(Ini karena) demam, semoga Allah tidak memberikan keberkahan kepadanya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Janganlah Engkau mencela demam. Karena demam itu bisa menghilangkan kesalahan-kesalahan (dosa) manusia, sebagaimana kiir (alat yang dipakai pandai besi) bisa menghilangkan karat besi.” (HR. Muslim no. 2575)

Demam itu terjadi karena takdir Allah Ta’ala, Allah-lah yang telah menetapkannya. Dan Allah Ta’ala pula yang mengangkat atau menyembuhkannya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seseorang mencela demam, karena hal ini sama saja dengan mencela pencipta demam, yaitu Allah Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وعلى المرء إذا أصيب أن يصبر ويحتسب الأجر على الله عز وجل وأخبر أنها تذهب بالخطايا كما يذهب الكير بخبث الحديد فإن الحديد إذا صهر على النار ذهب خبثه وبقي صافيا كذلك الحمى تفعل في الإنسان كذلك

“Menjadi kewajiban atas seseorang jika tertimpa (demam) untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala dan mengabarkan bahwa demam itu bisa menghapus kesalahan (dosa) sebagaimana kiir bisa membersihkan karat (kotoran) besi. Hal ini karena jika besi dipanaskan di atas api, hilanglah karat yang menempel, dan besi itu pun menjadi bersih (mengkilap) kembali. Demikian pula demam, akan berdampak seperti itu juga bagi diri manusia (yaitu membersihkan dosa dan kesalahan, pent.).” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 2049)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47616-mencela-penyakit-demam.html

Mencintai Kebaikan Untuk Sesama

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

1. Perasaan Senasib Sepenanggungan

Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, “Orang-orang yang beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 119)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara.” (QS. al-Hujurat: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. at-Taubah: 31)

2. Mencintai Kebaikan Untuk Semua

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian.” Artinya tidak sempurna keimanannya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 103)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan di dalam hadits ini dengan persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia mencakup saudara yang kafir maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi saudaranya yang kafir apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu supaya dia masuk ke dalam Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi saudaranya yang muslim untuk tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab itu mendoakan hidayah bagi orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan. Penafian iman di dalam hadits ini maksudnya adalah penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 118)

3. Dakwah Sebagai Bukti Kecintaan

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Ini artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu -apabila dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan lenyap begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang menerima dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun yang kalian kerjakan berupa kebaikan maka Allah mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 197). Sebagian para nabi ‘alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya diterima oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima dakwahnya kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada seorang pun yang menerima dakwahnya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 105)

4. Rendah Hati dan Tidak Hasad

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang mukmin akan merasa susah dengan apa yang membuat susah saudara mukmin yang lain dan dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya yang beriman itu sebagaimana apa yang dia inginkan bagi dirinya. Ini semua hanya bisa terlahir dari hati yang bersih dari sifat curang, perasaan dengki, dan hasad. Karena sifat hasad itu akan membuat orang yang hasad tidak senang apabila ada orang lain yang melampaui dirinya dalam kebaikan atau menyamai dirinya dalam hal itu. Karena dia lebih suka menonjolkan dirinya sendiri di tengah-tengah manusia dengan keutamaan-keutamaannya dan memiliki itu semuanya seorang diri. Padahal, keimanan menuntut sesuatu yang bertentangan dengan sikap semacam itu. Orang yang imannya benar pasti akan menyukai apabila semua orang beriman juga ikut serta merasakan kebaikan yang dianugerahkan Allah kepada dirinya tanpa sedikit pun mengurangi apa yang ada padanya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Itulah negeri akherat yang Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi (kesombongan) dan tidak pula menghendaki kerusakan (kemaksiatan).” (QS. al-Qashash: 83)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf berkata: Tawadhu’/sifat rendah hati itu adalah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang datang membawanya, meskipun dia adalah anak kecil. Barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya entah itu anak kecil atau orang tua, entah itu orang yang dia cintai atau tidak dia cintai, maka dia adalah orang yang tawadhu’. Dan barangsiapa yang enggan menerima kebenaran karena merasa dirinya lebih besar/lebih hebat daripada pembawanya maka dia adalah orang yang menyombongkan diri.” (lihatJami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 164)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pandangan mengenai definisi hasad. Sebagian mengatakan bahwa hasad adalah berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang lain menjadi hilang. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hasad adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau mengatakan: Apabila seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan kepada orang lain maka dia telah hasad kepadanya, meskipun dia tidak mengangankan nikmat itu lenyap.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 164)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka menyimpan perasaan dengki terhadap orang-orang atas apa yang Allah berikan kepada mereka dari keutamaan-Nya?” (QS. an-Nisaa’: 54). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami lah yang membagi-bagi diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf: 32). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Allah lah yang mengutamakan sebagian kalian di atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. an-Nahl: 71)

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10279-mencintai-kebaikan-untuk-sesama.html

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)

3. Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar

Ketauhilah, bahwa prinsip hamdalah dan istighfar adalah prinsip harian seorang muslim, bukan hanya prinsip tahunan usai kita melakukan ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah aktivitas dzikir pagi dan sore. Seorang muslim disyariatkan mengucapkan sayyidul istighfar setiap pagi dan sore, yang di antara kalimatnya adalah

أبوء لك بنعمتك علي وأبوء بذنبي

“…aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepada-ku dan aku mengakui dosaku…” (HR. Al-Bukhari: 6306 dan yang lainnya).

Kedua prinsip hidup yang agung ini membuat sirnanya penyakit-penyakit amal, seperti `ujub, sombong, riya’, dan sum`ah. Selain itu juga berdampak mendorong seorang hamba untuk banyak intropeksi diri (muhasabah), mudah menerima masukan, mudah kerjasama dengan orang lain karena mudah mengakui kenikmatan Allah yang didapatkan melalui orang lain. Ia mudah berterimakasih kepada orang lain, mengapa? Karena ia mudah bersyukur kepada Allah dengan cara berterimakasih kepada orang lain, yang menyampaikan nikmat-Nya kepadanya dengan cara berbuat baik kepadanya.

Dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia’ (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).

Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat dari kedua prinsip ini, hamdalah dan istighfar, dengan mengatakan

و العبودية مَدَارها على قاعدتين هما أصلها: حبّ كامل و ذلّ تام

“Ibadah itu berkisar di atas dua pondasi,keduanya adalah cinta yang sempurna kepada Allah serta  kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah” (Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 17).

Apa hubungan keduanya dengan hamdalah dan istighfar?  Berikut penjelasannya

  1. Cinta yang sempurna kepada Allah, ini didapat dengan banyak mengingat kenikmatan Allah, lalu mengakui kelebihan orang lain dan berterima kasih atas jasanya -karena itu hakikatnya adalah nikmat Allah, sehingga tumbuh cinta, syukur kepada Allah dan memuji-Nya (hamdalah).
  2. Kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah, didapatkan dengan banyak muhasabah menghitung-hitung  kesalahan, kekurangan dan aib diri, sehingga terhindar dari `ujub  dan sombong, berapapun besarnya prestasi ibadah, ilmu, dan amal. Hal ini mendorong seseorang untuk banyak-banyak beristighfar.

Kita memohon kepada Allah Ta`ala agar setelah kita merasakan lezatnya beribadah pada bulan Ramadhan dan kebahagiaan pada Hari Raya `Iedul Fithri, Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang bahagia karena bertambah ketakwaan kita sebagai buah puasa dan menjadi orang yang berbahagia dengan memiliki ciri khas bahagia yang disebutkan Ulama, yaitu

إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر 

“Jika mendapatkan kenikmatan bersyukur, jika mendapatkan cobaan bersabar, jika berdosa istighfar.”

4. Tidak tertipu dengan amal keta’atan yang telah dilakukan.

Ilustrasi

Untuk bisa menjadi orang yang beribadah dengan baik tidaklah mudah jika tidak dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Barangkali setiap kita pernah memiliki tekad kuat untuk melakukan suatu bentuk ibadah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyyah, namun tiba saat melakukannya, muncullah halangan yang tidak terduga atau tidak ada halangan namun sulit untuk khusyu’, padahal shalat wajib yang kita lakukan sebelumnya bisa khusyu’ kita lakukan.

Atau shalat rawatibnya juga bisa khusyu’, namun bisa jadi tidak bisa langgeng melakukannya. Seandainya bisa langgeng melakukan shalat rawatib tersebut, yakinkah kita bahwa shalat-shalat sunnah tersebut pasti diterima oleh Allah Ta’ala? Dari ilustrasi di atas nampak bahwa kelemahan kita sebagai makhluk Allah dan ketergantungan kita kepada-Nya tidak akan pernah berhenti walau sekejap mata pun. Kita selalu butuh pertolongan-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan,

apalagi jika kita berusaha mengingat-ingat dosa yang sudah kita perbuat, dosanya sudah jelas, namun diampuninya belum tentu.

Pertanyaan besar

Sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan, “Jika demikian keadaan kita, pantaskah kita membanggakan ibadah-ibadah yang telah berhasil kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan yang telah berlalu tersebut?”

Taruhlah seorang hamba mampu beribadah non stop!

Sebagus apapun amal seseorang, bahkan seandainya seluruh hidup-nya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidaklah layak hal itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan dan dipamerkan, sehingga menyebabkan munculnya sikap hati yang salah, karena ia silau melihat amalnya.

Jika seorang hamba merenungkan keagungan Allah dan besar hak-Nya atas diri hamba tersebut, betapapun kuatnya seseorang melakukan ibadah, betapapun banyaknya seseorang beramal salih, pastilah ia akan memandang kecil ibadah itu pada hari Akhir kelak karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لو أن رجلا يُجَرّ على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هَرٍمًا في مرضاة الله عز وجل لحَقّرَه يوم القيامة

Seandainya seorang hamba disungkurkan wajahnya sejak dia lahir sampai mati, hingga tua renta dalam (peribadatan) menggapai keridhoan Allah `Azza Wa Jalla, niscaya dia akan memandang kecil ibadahnya tersebut pada hari Kiamat” (HR. Imam Ahmad , lihat As-Silsilah Ashahihah 1/730).

5. Mengiringi keta’atan pada bulan Ramadhan dengan keta’atan sesudahnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

من عمل طاعة من الطاعات وفرغ منها فعلامة قبولها أن يصلها بطاعة أخرى،  وعلامة ردها أن يعقب تلك الطاعة بمعصية، ما أحسن الحسنة بعد السيئة تمحها وأحسن الحسنة بعد الحسنة تتلوها، وما أقبح السيئة بعد الحسنة تمحقها…..سلوا الله الثبات على الطاعات إلى الممات، وتعوذوا به من تقلب القلوب

“Barangsiapa yang melakukan suatu keta’atan dan telah selesai darinya, maka tanda diterimanya amal tersebut adalah ia menyambungnya dengan keta’atan yang lainnya. Sedangkan tanda tertolaknya keta’atan tersebut adalah ia irirngi keta’atan itu dengan maksiat. Duhai,betapa indahnya kebaikan sesudah keburukan, (sehingga) kebaikan itu menghapus keburukan tersebut. Betapa baiknya suatu kebaikan yang dilakukan mengiiringi kebaikan sebelumnya. Betapa buruknya keburukan yang dilakukan sesudah kebaikan, (sehingga) keburukan itu menghancurkan kebaikan tersebut……Mohonlah keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah sampai meninggal dunia dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati” (Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 393).

Penutup

Renungankanlah!

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد

و ليس العيد لمن تجمل باللباس و المركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب 

Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya adalah untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya adalah untuk orang yang diampuni dosa-dosanya

Suatu saat, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fithri, lalu berkatalah beliau,

إنْ كان هؤلاء تُقبل منهم صيامهم، فما هذا فِعلُ الشاكرين، وإنْ كانوا لم يُتقبَّلْ منهم صيامهم فما هذا فعلُ الخائفين.

“Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya,maka bukanlah demikian sikap hamba Allah yang bersyukur, namun jika mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula sikap hamba Allah yang takut kepada-Nya”.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26182-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-2.html

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Bismillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Sobat! Rabbuna, Rabbul `Alamin telah menganugerahkan kepada kita kenikmatan berupa perjumpaan dengan bulan Ramadhan yang penuh barakah dan kebaikan, maka:

  1. Barangsiapa yang banyak menelantarkan bulan Ramadhan dan banyak melakukan kesalahan di dalamnya, bertaubatlah dan sibukkan diri dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai ganti keburukan yang terlanjur dia lakukan, mulailah lembaran hidup baru. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani:وأتبع السيئةَ الحسنةَ تمحها“Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya.”
  2. Adapun barangsiapa yang telah Allah mudahkan beramal salih di saat bulan Ramadhan, maka pujilah Allah dan mohonlah kepada-Nya agar amal shalih Anda diterima oleh-Nya, serta mohonlah kelanggengan dalam amal salih sehingga bisa terus melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99).

Itulah tips secara umum bagi seorang hamba dalam meninggalkan bulan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal. Adapun lebih lanjut, berikut ini beberapa tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa, semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan, semoga bermanfaat!

1. Bersyukur

Seorang hamba Allah yang baik, tentulah berusaha senantiasa mengingat nikmat-nikmat-Nya agar ia senantiasa bersyukur kepada-Nya sehingga meningkatlah kecintaan kita kepada-Nya. Saudaraku yang seiman! Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat Allah bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan. Bukankah banyak dari saudara-saudara kita tidak bisa lagi mendapatkan nikmat ini?

Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat taufik dari Allah sehingga kita bisa melakukan berbagai macam keta’atan kepada-Nya di bulan Ramadhan yang telah berlalu.

Bahkan saudaraku, kita wajib bersyukur -sebelum itu semua- bahwa kita dianugerahi kenikmatan bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan dan keluar darinya dalam keadaan beriman.

Saudaraku seiman! Kita semua butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah yang telah memberi taufik-Nya kepada kita, sehingga kita bisa menyelesaikan berbagai macam ibadah pada bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Hati seorang hamba yang muwaffaq (yang mendapatkan taufik) benar-benar menghayati bahwa karunia kemudahan beramal shalih selama Ramadhan itu berasal dari Allah, maka layaklah kita berucap sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam,

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Iapun (Nabi Sulaiman) berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (An-Naml:40).

Bukankah prinsip hidup kita adalah لا حول ولا قوة إلا بالله , “Tidak ada daya dan upaya (makhluk) kecuali dengan pertolongan Allah?” La haula wala quwwata illa billah adalah sebuah kalimat yang menggambarkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala dan mengandung pengakuan bahwa tidak ada satupun pencipta dan pengatur alam semesta ini kecuali Allah, tidak ada satupun yang bisa menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki sesuatu terjadi dan bahwa tidak mungkin seorang hamba menghendaki sesuatu kecuali hal itu dibawah kehendak Allah.

Maka nampaklah dalam kalimat yang agung ini, ketidakberdayaan makhluk di hadapan Rabbnya, bahwa keburukan apapun tidak akan mungkin dihindari melainkan jika Allah menjauhkannya darinya. Demikian pula, tidaklah mungkin seorang hamba bisa mendapatkan atau melakukan sebuah kebaikan, seperti keimanan, shalat, puasa, mencari rezeki yang halal dan yang lainnya kecuali dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla.

Di sinilah nampak dengan jelas letak kewajiban bersyukur kepada Allah dalam setiap kebaikan yang didapatkan oleh seorang hamba dan dalam setiap amal salih yang berhasil dilakukan oleh seorang hamba. Amalan salih sebesar apapun akan menjadi kecil di sisi kebesaran dan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla dan kekuatan hamba sebesar apapun akan menjadi lemah di sisi kekuatan Rabbus samawati wal ardh, Tuhan semesta alam.

2. Istighfar

Tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa dan semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan adalah beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba butuh memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam melakukan semua bentuk peribadatan karena bagaimanapun baiknya peribadatan yang kita lakukan pasti ada kekurangan. Demikianlah selayaknya kondisi seorang hamba setiap selesai melaksanakan ibadah, agar beristigfar kepada Allah atas segala kekurangan yang terjadi.

  • Tidakkah kita ingat bahwa setelah shalat disyari’atkan untuk istighfar 3 kali? Dalam sebuah hadits disebutkan,أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثاًRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah selesai shalat biasa beristighfar tiga kali” (Shahih Muslim: 591).
  • Tidakkah kita tahu bahwa setelah ibadah wuquf di Arafah dalam ibadah haji Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk Istighfar? Allah Ta’ala berfirman:ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:199).
  • Tahukah Anda hikmah disyari’atkan zakat fithri -di masyarakat kita dikenal dengan zakat fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam haditsعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ  مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ“Diriwatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu termasuk sedekah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
    Zakat fithri disyari’atkannya pada akhir Ramadhan setelah sekian banyak ketaatan sudah dilakukan oleh seorang hamba selama dua pertiga bulan Ramadhan. Ini isyarat bagi kita agar setelah kita melakukan berbagai macam ketaatan sesudah Ramadhan, tidak tertipu dengan ketaatan yang telah berhasil kita lakukan, bahkan justru mengingat kekurangan-kerungan kita dalam beribadah.
  • Tidakkah kita sadar setelah melaksanakan dua pertiga keta’atan pada bulan Ramadhan berupa shalat wajib,puasa, shalat Tarawih, baca Al-Qur’an dan lainnya, kemudian saat lailatulqadar, apakah yang kita ucapkan?اللهم إنك عفوٌّ  تُحبُّ العفوَ فاعفُ عني“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai maaf, maka maafkanlah kesalahanku” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, lihat: Shahih At-Tirmidzi).
  • Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan Rasul-Nya untuk beristigfar setelah menyelesaikan mayoritas tugas akbarnya menyampaikan risalah dakwah,sebagaimana dalam surat An-Nashr! Allah berfirman,إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ(1)Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا(2)dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا(3)maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

Ulama menjelaskan bahwa demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bagaimana selayaknya kondisi seorang hamba tiap selesai melaksanakan ibadah, tidak tertipu dengan ibadah yang dilakukan, bahkan disyari’atkan bagi kita untuk menutup amal salih dengan istighfar.

Setiap hari hendaknya kita beristighfar kepada Allah dari segala dosa yang kita lakukan. Syari’at istighfar ini tidak hanya dilakukan setelah ibadah yang terkait dengan penunaian hak Allah, namun juga termasuk keta’atan lain berupa ihsan kepada sesama manusia dan membantu manusia dalam kebaikan. Hikmahnya adalah agar tidak ada perasaan ujub atau merasa berbangga dengan jasa dan prestasi kebaikan, menganggap suci diri, sombong, dan silau dengan amal yang telah dilakukan, baik amal tersebut terkait dengan pemenuhan hak Allah maupun terkait dengan hak manusia.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26151-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-1.html

Hadits Arbain #03: Rukun Islam dan Meninggalkan Shalat

Ini penjelasan rukun Islam, sekaligus ada pelajaran tentang hukum meninggalkan shalat. Kita bisa pahami dari hadits #03 dari Arbain An-Nawawiyah berikut ini.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ “

Dari Abu  ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16]

Faedah:

  1. Islam diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang memiliki tiang pokok yang lima.
  2. Bersyahadat “laa ilaha illallah” berarti bersaksi dan mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.
  3. Menegakkan shalat yang dimaksud adalah mengerjakan shalat dengan memenuhi rukun dan syaratnya.
  4. Menunaikan zakat artinya mengeluarkan dan memberikannya pada yang berhak menerima.
  5. Seseorang tidak disebut berislam hingga ia mengimani lima rukun Islam yang ada. Siapa yang mengingkari salah satunya, ia kafir. Siapa yang meninggalkannya dalam rangka meremehkan, ia termasuk orang fajir.
  6. Shalat adalah amalan badaniyah (anggota badan), zakat adalah amalan maliyah (terkait harta).
  7. Shalat adalah amalan anggota badan dengan bentuknya mengerjakan, sedangkan puasa adalah amalan anggota badan yang sifatnya menahan diri dan meninggalkan sesuatu.
  8. Haji adalah amalan badaniyah dan maliyah bagi orang yang butuh melakukan perjalanan.
  9. Semua bentuk rukun Islam tidak lepas dari tiga hal: (1) badzlul mahbub (mengeluarkan sesuatu yang dicintai) seperti pada zakat; (2) al-kaffu ‘anil mahbub (menahan sesuatu yang dicintai) seperti pada puasa; (3) ijhadul badan (berjuang dengan badan) seperti pada puasa dan haji.
  10. Kenapa rukun Islam hanya disebut lima saja tidak ada lainnya? Jawabnya, karena hukum syari’at ini ada yang wajib dan ada yang sunnah. Perkara yang sunnah tentu tidak jadi bagian dari rukun. Sedangkan perkara yang wajib itu ada dua macam yaitu wajib kifayah dan wajib ‘ain. Contoh wajib kifayah adalah amar makruf nahi mungkar dan berdakwah. Sedangkan yang disebut dalam rukun Islam, ada kewajiban yang terkait harta seperti pada zakat, ada kewajiban yang terkait badan seperti mengerjakan shalat; ada kewajiban yang terkait badan dan harta seperti haji; dan ada kewajiban yang terkait lisan seperti syahadat.

Meninggalkan Syahadat dan Iman

Dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, yang dimaksud dengan hadits di atas, Islam itu dibangun di atas lima perkara seperti tiang untuk suatu bangunan.

Juga yang dimaksud dengan tiang tersebut adalah tiang pokok artinya kalau tidak ada tiang tersebut, tidak mungkin berdiri suatu bangunan. Adapun selain rukun Islam tadi adalah bagian penyempurna. Artinya, jika penyempurna tersebut tidak ada berarti ada kekurangan pada bangunan tersebut. Namun itu berbeda kalau tiang pokoknya tadi tidak ada.

Jelas, Islam seseorang jadi batal jika semua rukun Islam tadi tidak ada. Ini tak ada lagi keraguan. Begitu pula ketika dua kalimat syahadatnya tidak ada, Islam juga jadi hilang. Yang dimaksud dua kalimat syahadat ini adalah keimanan pada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam riwayat lain disebutkan,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ إِيمَانٍ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَالصَّلاَةِ الْخَمْسِ ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ ، وَأَدَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ الْبَيْتِ

Islam itu dibangun di atas lima perkara: beriman pada Allah dan Rasul-Nya; mendirikan shalat lima waktu; berpuasa Ramadhan; menunaikan zakat; dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Bukhari, no. 4514)

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan mentauhidkan Allah,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ

Islam dibangun di atas lima perkara: mentauhidkan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; berpuasa Ramadhan; dan haji.” (HR. Muslim, no. 16)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ …

Islam dibangun di atas lima perkata: hanya Allah yang disembah dan sesembahan selain Allah diingkari ….” (HR. Muslim, no. 16) (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:145)

Meninggalkan Shalat Dihukumi Kafir

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, no. 2621 dan An-Nasa’i, no. 464. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Orang yang Lupa Saja Tetap Harus Shalat

Sebagai tanda mulianya shalat, saat lupa atau ketiduran (asalkan bukan kebiasaan) tetap dikerjakan saat ingat atau tersadar.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Bukhari, no. 597; Muslim, no. 684)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.”    (HR. Muslim, no. 684)

Moga Allah beri taufik dan hidayah.

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:247-249.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Nuzhah Al-Muttaqin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Dr. Musthafa Al-Bugha, dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. hlm. 418.
  4. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. hlm. 95-98.
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya. hlm. 42.

Referensi Terjemahan:

Meninggalkan Shalat, Lebih Parah daripada Selingkuh dan Mabuk. Cetakan Pertama, Tahun 1438 H. Muhammad Abduh Tuasikal. Penerbit Rumaysho.

Disusun di Perpus Rumaysho, 16 Jumadal Ula, Jumat sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/17123-hadits-arbain-03-rukun-islam-dan-meninggalkan-shalat.html

Hadits Arbain #02: Ihsan dan Tanda Kiamat

Sekarang kita masuk bahasan terakhir dari hadits kedua Arbain An-Nawawiyah tentang ihsan dan tanda kiamat.

Kali ini melanjutkan ihsan dan tanda kiamat dari hadits Jibril, hadits Al-Arbain An-Nawawiyah kedua. Inilah pembahasan terakhir dari hadits kedua tersebut.

Lanjutan dari hadits Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu,

قَالَ : أَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ ” أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ” قَالَ : صَدَقْتَ , قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ , قَالَ ” أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ” قَالَ , فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ , قَالَ ” مَا المَسْئُوْلُ بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ” قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا . قَالَ ” أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ” . ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيَا , ثُمَّ قَالَ ” يَا عُمَر , أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟” , قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ , قَالَ ” فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.”

Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”

Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika seorang budak wanita melahirkan majikannya; jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.”

Kemudian orang tadi pergi, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu.” (HR. Muslim, no. 8)

Pelajaran Bagian Keempat dari Hadits #02

1- Ihsan itu berarti berbuat baik yaitu berbuat baik dalam menunaikan kewajiban pada Sang Khaliq, di mana ibadah dilakukan ikhlas karena-Nya dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasul-Nya. Siapa saja yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang disebut telah berbuat ihsan. Adapun berbuat ihsan kepada makhluk adalah berbuat baik kepada sesama melalui harta, kedudukan dan lainnya (seperti dijelaskan dalam hadits ke-17 dari Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah).

2- “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya” maksudnya ibadah tersebut dibangun di atas keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan melihat-Nya maksudnya adalah ibadah itu dilakukan atas dasar cinta kepada Allah. Sebab cinta inilah yang mendorong seseorang melakukan ibadah.

3- “Jika engkau tidak melihat-Nya, sungguh Allah melihatmu”, maksudnya beribadahlah kepada Allah atas dasar takut kepada-Nya. Jika kita menyelisihi hal itu, maka Allah melihat kita yaitu Allah akan memberikan siksaan.

4- Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, derajat ihsan ada dua: (a) derajat thalab, (b) derajat harb.

Derajat thalab adalah kita beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Derajat harb adalah kita beribadah kepada Allah dan yakin Allah melihat kita, maka takutlah akan siksa-Nya. Derajat thalab lebih tinggi dibandingkan dengan derajat harb.

5- Dalam ihsan ada kadar wajib yang mesti dipenuhi yaitu seorang hamba harus beribadah dengan baik pada Allah dengan ikhlas dan ittiba’. Ada pula kadar mustabah (sunnah) yaitu beribadah kepada Allah pada maqam muraqabah atau maqam musyahadah.

Maqam muraqabah adalah meyakini bahwa Allah melihat kita. Inilah maqamnya kebanyakan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآَنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)

Juga dalam hadits disebutkan sebagai berikut,

إِذَا قُمْتَ فِى صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ وَلاَ تَكَلَّمْ بِكَلاَمٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِى النَّاسِ

Jika engkau shalat, kerjakanlah seperti shalat orang yang akan berpisah; janganlah berbicara dengan perkataan yang engkau nanti akan meminta maaf di hari esok, dan janganlah berharap terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4171 dan Ahmad, 5:412; dari Abu Ayyub. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ

“Shalatlah seperti shalat orang yang akan berpamitan, maka sesungguhnya Engkau, jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Dan tak perlu banyak berharap pada sesuatu yang ada di tangan orang lain, engkau pasti akan menjadi kaya; dan berhati-hatilah dari yang nanti akan dimintai alasannya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhud Al-Kabir, 2:210. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih karena banyak penguatnya. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1914.)

Maqam musyahadah berarti kita beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya yaitu melihat nama dan sifat Allah serta pengaruhnya, bukan melihat zat Allah secara langsung seperti diyakini oleh kaum sufi. Maqam ini lebih tinggi dibandingkan maqam muraqabah.

6- As-saa’ah adalah waktu saat manusia berdiri keluar dari kuburnya menghadap Rabbul ‘alamin, yaitu hari berbangkit. Disebut as-saa’ah karena kiamat itu bala’ (musibah) yang besar seperti disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ

Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (QS. Al-Hajj: 1)

7- Ilmu tentang hari kiamat, kapan pastinya hari kiamat datang hanyalah menjadi ilmu Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditanya saja menjawab bahwa ia tidak lebih tahu dari yang bertanya (Jibril).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah sampai-sampai menegaskan, “Wajib bagi kita mendustakan setiap orang yang menyatakan bahwa batasan umur dunia sekian dan sekian di masa akan datang. Siapa yang berani menyatakan seperti itu atau membenarkannya, maka ia kafir.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 65).

Dalam ayat disebutkan,

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)

8- Kiamat akan datang dengan melewati tanda-tanda terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman,

فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا فَأَنَّى لَهُمْ إِذَا جَاءَتْهُمْ ذِكْرَاهُمْ

Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila Kiamat sudah datang?” (QS. Muhammad: 18)

9- Para ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah membagi tanda datangnya kiamat menjadi tiga: (a) tanda yang sudah berlalu dan berakhir, (b) tanda yang akan terus berulang (tanda wustha), (c) tanda yang menunjukkan semakin dekatnya hari kiamat (tanda kubra).

10- Tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits:

Pertama: Seorang budak melahirkan majikannya. Hal ini ada dua makna yaitu: (1) semakin banyak perbudakan di akhir zaman sehingga ada anak perempuan yang dilahirkan dari seorang budak dan anak perempuan itu merdeka sedangkan budak wanita sebagai ibunya tetaplah budak; (2) semakin banyak anak yang durhaka di akhir zaman karena ada anak perempuan yang bertingkah laku sebagai majikan dan ibunya diperlakukan sebagai budaknya.

Kedua: Orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan. Artinya banyak orang miskin yang menjadi kaya dan berlomba-lomba meninggikan dan memperbagus bangunan.

11- Malaikat bisa berjalan dan bisa berubah bentuk menyerupai manusia.

12- Manusia asalnya tidak bisa melihat malaikat.

13- Seorang alim boleh mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya tentang berbagai hal yang belum diketahui.

14- Yang bertanya suatu ilmu bisa menjadi orang yang mengajarkan ilmu kepada orang-orang yang mendengar jawabannya.

15- Yang ditanyakan dalam hadits ini adalah masalah diin (masalah agama). Diin dalam hal ini ada tiga tingkatan: (a) Islam memiliki lima rukun, (b) Iman memiliki enam rukun, (c) Ihsan memiliki satu rukun yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya; jika tidak melihatnya, yakinlah Allah itu melihat kita.

16- Seorang muslim hendaklah mempelajari agamanya tidak sekedar mengaku sebagai seorang muslim saja lantas tidak mengetahui dalam ajaran Islam itu terdapat apa saja. Sehingga penting mempelajari Islam, Iman dan Ihsan. Demikian nasihat dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah.

Semoga bermanfaat hadits Jibril dan menjadi pelajaran bagi kita semua.

Referensi:

  1. Al-Minhah Ar-Rabbaniyyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1429 H. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Darul ‘Ashimah.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fii Syarh Khamsiina Haditsan min Jawami’ Al-Kalim. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syu’aib Al-Arnauth. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  4. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Darul ‘Ashimah.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat pagi, 20 Rabi’ul Awwal 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/16868-hadits-arbain-02-ihsan-dan-tanda-kiamat.html

Hadits Arbain #02: Cakupan Rukun Iman

Kali ini melanjutkan rincian dari rukun iman secara singkat.

Lanjutan dari hadits Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu,

قَالَ : صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim, no. 8)

Cakupan Beriman Kepada Allah

Beriman kepada Allah mencakup empat hal:

  1. Beriman kepada wujud Allah. Barangsiapa mengingkari keberadaan Allah, maka dia bukan orang yang beriman. Namun tidak mungkin ada orang yang mengingkari wujud Allah Ta’ala sampai pun Fir’aun sebagaimana Nabi Musa pernah berkata padanya (yang artinya), “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” (QS. Israa’: 102)
  2. Beriman kepada rububiyah Allah yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb sebagai Pencipta, Pemberi Rezeki, Pemilik dan Pengatur alam semesta.
  3. Beriman kepada uluhiyah Allah yaitu meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berhak diibadahi, segala ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah.
  4. Beriman kepada nama dan sifat Allah yang menetapkan apa yang ditetapkan-Nya untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an dan dalam sunnah Rasul-Nya dengan penetapan yang layak bagi Allah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan), ta’thil (penolakan), takyif (menyatakan hakikat), dan tamtsil (memisalkan dengan makhluk).

Cakupan Beriman Kepada Malaikat

Malaikat adalah makhluk ghaib. Malaikat diciptakan dari cahaya. Malaikat tidaklah makan dan minum. Malaikat merupakan makhluk yang padat tanpa berongga. Malaikat itu bergolong-golongan, dan tugas mereka pun bermacam-macam sesuai dengan hikmah Allah.

Beriman kepada malaikat mencakup beberapa perkara:

  1. Beriman pada nama-nama mereka yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui.
  2. Ada malaikat yang memiliki nama dan tugas tertentu:
  • Jibril ditugaskan menyampaikan wahyu kepada para Rasul-Nya yang turun dari sisi Allah.
  • Mikail ditugaskan mengurus hujan dan tumbuhan bumi.
  • Israfil ditugaskan meniup sangkakala.
  • Malik yaitu malaikat penjaga neraka.
  • Ridwan yaitu malaikat penjaga surga.
  • Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai mayit dalam kubur.
  • Malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa. Penyebutan dengan Izra’il tidak memiliki dalil pendukung dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih.
  • Malaikat yang bertugas mencatat setiap amal perbuatan manusia, sifatnya adalah raqib (selalu mengawasi) dan ‘atid (selalu hadir).
  • Malaikat yang bertugas berkeliling ke majelis ilmu dan majelis dzikir.
  • Malaikat yang bertugas menemui orang beriman pada hari kiamat.
  • Malaikat yang bertugas memberi perhormatan pada penduduk surga.
  • Malaikat yang bertugas mengaminkan orang yang berdoa pada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.
  • Malaikat yang bertugas mendoakan di pagi hari bagi yang rajin bersedekah (mengeluarkan nafkah) dan doa jelek bagi yang malas.
  • Harut dan Marut dalam kisah Sulaiman seperti disebut dalam surah Al-Baqarah ayat 102.

Cakupan Beriman Kepada Kitab Allah

Beriman kepada kitab Allah mencakup beberapa perkara:

  1. Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada setiap Rasul, dan kitab-kitab itu berasal dari sisi Allah. Tetapi kita tidak mengimani bahwa kitab-kitab selain Al-Qur’an yang ada pada umat-umat sekarang berasal dari Allah karena telah terjadi penyimpangan dan perubahan.
  2. Mengimani kebenaran pemberitaan di dalamnya, seperti kabar-kabar Al-Qur’an dan kabar-kabar yang ada pada semua kitab terdahulu yang belum dirubah atau diselewengkan.
  3. Mengimani hukum-hukum yang terdapat dalam semua kitab terdahulu yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Jadi syariat terdahulu yang tidak bertentangan dengan syariat kita merupakan syariat kita juga.
  4. Kita mengimani nama-nama seluruh kitab yang telah kita ketahui seperti Al-Qur’an, Taurat, Injil, Zabur serta Shuhuf (lembaran) Ibrahim dan Musa.
  5. Al-Qur’an adalah penyempurna dan penghapus kitab-kitab sebelumnya yang pernah ada.
  6. Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah). Diturukan oleh Allah lewat Ruhul Amin (Jibril) kemudian ditanamkan dalam hati sayyidul mursalin (Nabi Muhammad) dengan bahasa Arab yang terang. Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan bukan makhluk.

Cakupan Beriman Kepada Rasul

Nabi adalah seseorang yang diberi wahyu berupa syari’at dan diperintahkan untuk mengamalkannya, tetapi tidak diperintahkan untuk mendakwahkannya. Sedangkan Rasul diutus untuk menyampaikan risalah yang bertentangan dengan kondisi umatnya.

Beriman kepada Rasul mencakup beberapa perkara:

  1. Beriman pada seluruh rasul tidak membeda-bedakannya karena Rasul adalah penyampai wahyu dari Allah pada hamba. Mengufuri sebagian Rasul sama seperti mengufuri lainnya.
  2. Beriman pada Nabi pertama adalah Adam dan Rasul pertama adalah Nuh.
  3. Meyakini ada rasul yang paling utama adalah dari kalangan ulul ‘azmi yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.
  4. Ajaran para rasul itu sama yaitu menyerukan untuk mentauhidkan Allah dan meninhggalkan kesyirikan walaupun syariatnya berbeda-beda.
  5. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Rasul, tidak ada lagi nabi setelah beliau. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang wajib diikuti untuk saat ini.
  6. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulu para Rasul (rasul yang paling utama), penerima syafa’atul uzma (maqomam mahmuda), menjadi pemegang kunci pintu surga pertama kali dan umat Muhammad yang pertama kali masuk surga.

Cakupan Beriman Kepada Hari Akhir

Beriman kepada hari akhir mencakup beberapa hal:

  1. Beriman bahwa kiamat akan terjadi dan beriman pada kejadian-kejadiannya seperti manusia akan melihat Allah kelak di akhirat.
  2. Beriman kepada setiap apa yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya dan apa yang telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perkara-perkara yang akan terjadi pada hari kiamat seperti manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak disunat, buhman (sama sekali tidak membawa harta apa pun).
  3. Beriman kepada nikmat dan siksa kubur.
  4. Beriman kepada tanda-tanda hari kiamat seperti munculnya Dajjal, datangnya Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa bin Maryam, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya dabbah (binatang), dan terbitnya matahari dari arah tenggelamnya.
  5. Beriman kepada peniupan sangkakala, syafa’at, hisab, mizan (timbangan), pembagian catatan amal, al-haudh (telaga), ash-shirath (titian), surga dan neraka, juga penyembelihan al-maut.

Cakupan Beriman Kepada Takdir

Beriman kepada takdir mencakup beriman pada empat perkara:

  1. Al-‘Ilmu (ilmu) yaitu mengimani bahwa Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, baik secara global maupun secara terperinci, baik kaitannya dengan perbuatan Allah maupun perbuatan hamba;
  2. Al-Kitabah (pencatatan) yaitu segala sesuatu telah dicatat oleh Allah;
  3. Al-Masyi’ah (kehendak) yaitu apa yang telah Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi;
  4. Al-Kholq (penciptaan) yaitu segala yang ada di alam ini adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta’ala, ada yang hasil perbuatan Allah (seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman) dan ada yang merupakan perbuatan hamba. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat: 96)

Semoga bermanfaat. Masih berlanjut pada penjelasan hadits Jibril selanjutnya.

Referensi:

  1. Alam Al-Malaikah Al-Abrar. Cetakan Tahun 1425 H. Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman ‘Abdullah Al-Asyqar. Penerbit Dar An-Nafais.
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  3. Syarh Lum’ah Al-I’tiqad. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat siang, 14 Shafar 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/16679-hadits-arbain-02-cakupan-rukun-iman.html

Hadits Arbain #02: Memahami Rukun Iman

Kali ini kita melanjutkan lagi pembahasan hadits Jibril, hadits kedua dari Hadits Arbain An-Nawawiyah karya Imam Nawawi rahimahullah. Sebelumnya yang dikali adalah perihal rukum Islam. Kali ini yang dikaji adalah perihal rukun iman.

Lanjutan dari hadits Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu,

وَقاَلَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ، وَتَحُجَّ البَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .

Selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.”

قَالَ : صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيْمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Orang itu berkata, “Engkau benar.” Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim, no. 8)

Pelajaran Bagian Kedua dari Hadits #02

  1. Hadits ini menunjukkan keutamaan Islam. Dan sepatutnya apa yang pertama kali ditanyakan oleh seseorang adalah tentang Islam. Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengirim para utusan untuk berdakwah kepada Allah, beliau memerintahkan mereka untuk memulai dakwah tersebut dengan persaksian “Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah”, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
  2. Rukun Islam itu ada lima sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, dan dikuatkan pula dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pada hadits nomor ketiga dari kumpulan hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah.
  3. Keutamaan shalat, dan bahwa shalat didahulukan sebelum rukun-rukun lainnya setelah dua kalimat syahadat (syahadatain).
  4. Anjuran untuk mendirikan shalat dan melaksanakannya istiqamah (terus menerus), dan shalat termasuk salah satu rukun Islam.
  5. Menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah termasuk rukun Islam.
  6. Perpindahan dari perkara lebih rendah ke perkara yang lebih tinggi yaitu dari Islam ke Iman. Semua orang bisa berislam dengan melakukan amalan lahiriyah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah kepada mereka, ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (berislam).’” (QS. Al-Hujurat: 14). Adapun iman adalah perkara batin (dalam hati).
  7. Islam dan Iman masuk dalam istilah para ulama, “Idzajtama’a iftaroqo, wa idza iftaraqa ijtama’a”, jika kedua kata tersebut disebutkan berbarengan, maknanya berbeda; namun jika kedua tersebut disebutkan secara terpisah, maka maknanya sama. Jika Islam dan Iman disebutkan bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan lahiriyah sedangkan Iman adalah amalan batin (berupa keyakinan-keyakinan hati).
  8. Rukun iman itu ada enam. Keenam rukun iman ini jika dijalankan dengan benar, maka akan mewariskan kepada pemiliknya kekuatan untuk memohon dalam melaksanakan ketaatan dan rasa takut kepada Allah.
  9. Barangsiapa mengingkari salah satu dari rukun iman, ia telah kafir, karena ia telah mendustakan apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  10. Kita harus menetapkan adanya malaikat dan wajibnya beriman kepada para malaikat. Malaikat itu berbentuk jasad. Contohnya saja malaikat Jibril dalam wujud aslinya memiliki 600 sayap yang menutupi ufuk. Keliru jika mengatakan bahwa malaikat hanya berupa ruh saja, tidak memiliki jasad. Keliru juga jika mengatakan bahwa malaikat adalah kiasan untuk kekuatan kebaikan yang ada dalam diri manusia, sedangkan setan adalah kiasan untuk kekuatan kejahatan.
  11. Kita harus beriman kepada seluruh Rasul. Jika seseorang beriman kepada Rasulnya saja dan mengingkari Rasul selainnya, maka berarti ia belum beriman kepada Rasulnya, bahkan dia termasuk orang kafir.
  12. Kita harus beriman pada hari Akhir yang disebut hari kiamat, di mana manusia dibangkitkan dari kubur mereka untuk dilakukannya hisab (perhitungan) dan diberi balasan, yang berakhir dengan tinggalnya penduduk surga di tempat mereka dan juga penduduk neraka di tempatnya.
  13. Wajib kita beriman pada takdir yang baik dan yang buruk.
  14. Takdir itu tidak berisi sesuatu yang buruk, yang buruk hanya pada yang telah ditakdirkan (maqdur). Penjelasan hal ini adalah bahwa perkara takdir yang berkaitan dengan perbuatan Allah seluruhnya baik.
  15. Mengapa Allah menakdirkan kejelekan? Karena ada hikmah di balik itu seperti: (1) agar kebaikan dapat dikenal; (2) supaya manusia menyandarkan diri pada Allah; (3) supaya manusia bertaubat kepada-Nya setelah ia berbuat dosa; (4) banyak meminta perlindungan kepada Allah dari keburukan dengan berdzikir dan berdoa; (5) ada maslahat besar di balik kesulitan atau musibah yang menimpa.
  16. Keburukan disandarkan pada makhluk, bukan disandarkan pada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu.” (HR. Muslim)
  17. Kita tidak boleh menjadikan qadha dan qadar Allah sebagai alasan untuk meninggalkan perintah dan melakukan larangan-Nya. Allah telah memiliki hujjah atas kita melalui kitab-kitab yang diturunkan dan rasul yang diutusnya. Dalam ayat disebutkan (yang artiya), “Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”  (QS. Al-Anbiya’: 23)
  18. Allah tidaklah memaksa seorang pun untuk mengerjakan kemaksiatan atau meninggalkan ketaatan, manusia tetap punya pilihan.
  19. Ada dua macam iradah (kehendak), yaitu iradah kauniyyah dan iradah syar’iyyahIradah kauniyyah adalah iradah yang semakna dengan masyiah (kehendak yang pasti terjadi). Iradah syar’iyyah adalah iradah yang semakna dengan mahabbah (kecintaan). Iradah kauniyyah itu pasti terjadi namun belum tentu Allah cintai. Sedangkan iradah syari’iyah itu kehendak Allah yang Dia cintai tetapi tidak mesti terjadi. Contoh, berimannya Abu Bakar Ash-Shiddiq terdapat di dalamnya iradah kauniyyah karena hal itu terjadi dan terdapat pula iradah syar’iyah karena beriman itu dicintai Allah. Sedangkan kafirnya Fir’aun terjadi secara iradah kauniyyah, namun tidak dicintai oleh Allah.

Semoga bermanfaat. Bersambung insya Allah pada rincian rukun Iman.

Referensi:

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Syarh Lum’ah Al-I’tiqad. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat siang, 14 Shafar 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/16663-hadits-arbain-02-memahami-rukun-iman.html

Hadits Arbain #02: Memahami Dua Kalimat Syahadat

Hadits kali ini adalah hadits kedua dari kitab Hadits Arbain An-Nawawiyyah karya Imam Nawawi membicarakan tentang masalah dasar Islam. Kali ini yang dipelajari adalah dua kalimat syahadat.

Dari Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ

Ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan tangannya di atas pahanya.

وَقاَلَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ، وَتَحُجَّ البَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .

Selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (HR. Muslim, no. 8). Hadits ini masih berlanjut.

Pelajaran Bagian Pertama dari Hadits #02

1- Hadits ini menunjukkan bagaimanakah mulianya akhlak Rasul karena masih mau duduk-duduk dengan sahabat beliau. Akhlak ini menunjukkan tawadhu’ (rendah hati) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tawadhu’ itu akan semakin mulia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588).

2- Yang datang adalah malaikat dalam wujud manusia. Malaikat bisa berwujud seperti itu dengan kehendak Allah.

3- Yang datang dalam keadaan memakai pakaian putih. Maka ada anjuran memakai pakaian putih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan kafanilah mayit dengan kain putih pula.” (HR. Abu Daud, no. 4061, Ibnu Majah, no. 3566 dan An-Nasa’i, no. 5325. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam Hasyiyah As Sindi disebutkan, “Karena pakaian putih sangat jelas bila terdapat kotoran yang hal ini tidak tampak pada pakaian warna lainnya. Begitu pula pencuciannya lebih diperhatikan daripada pencucian dalam pakaian lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyebut pakain putih sebagai pakaian yang lebih bersih dan lebih baik.”

4- Yang datang dalam keadaan masih muda karena disebut rambutnya hitam.

Bagaimana kalau punya rambut beruban?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim, no. 2102). Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi memberikan judul Bab untuk hadits di atas “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.

5- Perjalanan safar di masa silam akan nampak bekas pada rambut dan pakaian, lebih-lebih pakaiannya putih akan tampak penuh debu. Namun laki-laki yang datang tersebut tidak ada bekas safar sama sekali.

6- Ia duduk dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lutut laki-laki itu bersandar pada lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tangannya berada di lutut laki-laki itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ketika menuntut ilmu itu semestinya duduk dekat dengan guru yang mengajarkan ilmu.

7- Sah-sah saja seorang murid duduk-duduk dekat dengan gurunya namun dengan syarat hendaklah jangan sampai menghabiskan waktu gurunya dengan hal sia-sia.

8- Orang Arab Badui biasa memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama beliau saja ‘Wahai Muhammad’. Ini berbeda dengan penduduk sekitar beliau yang memanggil dengan panggilan kenabian. Hal ini menunjukkan bahwa ada adab dan aturan ketika memanggil orang yang ini kurang ada pada Arab Badui tadi.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan:

Disunnahkan bagi anak, murid, atau seorang pemuda ketika menyebut ayahnya, guru dan tuannya agar tidak dengan menyebut nama saja.

Dari ‘Abdullah bin Zahr, ia berkata, “Termasuk durhaka pada orang tua adalah engkau memanggil orang tua dengan namanya saja dan engkau berjalan di depannya.” (Al-Majmu’, 8: 257)

Ibnu Taimiyah berkata,

وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ

“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 4: 196)

9- Islam itu bersyahadat laa ilaha illallah, muhammadarrasulullah. Apa yang dimaksud syahadat? Syahadat adalah menetapkan dan mengakui dengan lisan dan hati.

10- Laa ilaha illallah artinya laa ilaha haqqun illallah, yaitu tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Konsekuensinya, sesembahan selain Allah itu batil, hanya Allah yang berhak disembah dan diibadahi.

11- Kenapa rukun laa ilaha illallah dan Muhammad Rasulullah dijadikan satu rukun, kenapa tidak dua rukun? Karena konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah adalah harus ikhlas. Sedangkan syahadat Muhammad Rasulullah adalah harus ittiba’ atau mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ibadah barulah sah dan diterima kalau didasari ikhlas dan ittiba’.

12- Syahadat dengan lisan saja tidak cukup, harus pula dengan hati dikarenakan orang munafik hanya bersyahadat dengan lisan saja dan tidak bermanfaat syahadat mereka.

13- Seseorang yang mengucapkan syahadat sudah dianggap masuk Islam, walaupun kita menduga orang yang mengucapkannya hanya untuk melindungi diri. Silakan ambil pelajaran dari kisah Usamah berikut ini. Imam Nawawi rahimahullah membawa hadits di bawah ini dalam Riyadhus Sholihin pada bab, “Menjalankan hukum-hukum terhadap manusia menurut lahiriyahnya. Sedangkan keadaan hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelakui dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh.

Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya padaku, “Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari, no. 4269 dan Muslim, no. 96)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91.

14- Syahadat Muhammad Rasulullah mengandung beberapa konsekuensi:

  • Membenarkan segala apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan, tanpa ada keraguan sama sekali.
  • Menjalankan setiap yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, tanpa menolaknya sama sekali.
  • Meninggalkan setiap yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam larang, tanpa menentangnya sama sekali.
  • Tidak mendahulukan perkataan manusia dibanding dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Tidak membuat bid’ah dalam agama yang tidak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan baik kaitannya dengan akidah (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Karenanya setiap orang yang berbuat bid’ah berarti tidak merealisasikan syahadat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar karena masih menambah ajaran baru dan berarti juga tidak beradab pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Tidak meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya kemampuan rububiyah (punya kemampuan seperti yang Rabb lakukan, yaitu mencipta, memberi rezeki dan mengabulkan doa, pen.). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah ‘abdun wa Rasul (hamba dan utusan Allah). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah tuhan yang berhak diibadahi. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah yang tidak boleh dilecehkan.
  • Menghormati perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya kita tidak boleh menyebar hadits-hadits palsu dan membuat-buatnya dengan maksud-maksud tertentu.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat sore, 9 Muharram 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/16508-hadits-arbain-02-memahami-dua-kalimat-syahadat.html