Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 1)

Saat ini, setiap saat, setiap waktu, mungkin ada saja yang membuat hati kita risau, gusar, atau ”galau” dengan kehidupan kita di dunia ini. Entah harga barang-barang kebutuhan pokok yang mahal, entah biaya masuk sekolah, entah tarif listrik dan BBM yang terus mengalami kenaikan, dan apa saja yang membuat hati kita khawatir dengan jatah rizki kita. Uang yang seolah-olah semakin tidak ada nilainya, penghasilan yang stagnan, dan seterusnya.

Bisa jadi kita merasa, kita-lah yang hidupnya paling susah di dunia ini …

Padahal kenyataannya, di sana lebih banyak lagi orang yang kehidupannya lebih susah dari kehidupan kita …

Sebagian kita para suami, selalu risau, ”Dari mana aku akan mendapatkan rizki untuk menghidupi diri dan keluargaku besok? Bagaimana aku nanti bisa mencari penghidupan?”

Apakah “rizki” itu?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

”Rizki adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Rizki itu ada dua macam, yaitu rizki yang bermanfaat untuk badan dan rizki yang bermanfaat untuk agama. Rizki yang bermanfaat untuk badan seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan yang sejenisnya. Adapun rizki yang bermanfaat untuk agama, yaitu ilmu dan iman.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 101-102)

Banyak di antara kita yang risau dengan rizki jenis pertama. Kita risau ketika penghasilan sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Yang kita pikirkan setiap saat dan setiap waktu adalah bagaimana kita bisa memiliki penghasilan tambahan?

Sebaliknya, kita justru tidak pernah risau dengan rizki jenis ke dua. Ketika hati kita kosong dari ilmu agama, kita santai-santai saja. Ketika iman kita nge-drop (turun drastis), tidak ada sama sekali kekhawatiran di dalam dada. Ketika amal ketaatan kita sedikit, kita cuek saja. Ketika kita semakin terbuai dengan maksiat, semuanya terasa happy-happy saja. Seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal bisa jadi iman kita sedang berada di pinggir jurang.

Semoga kita terselamatkan dari yang demikian ini …

Selain itu, rizki selalu kita identikkkan dengan uang, uang, dan uang …

Padahal, kesehatan adalah rizki …

Bisa bernapas adalah rizki …

dan demikian seterusnya untuk nikmat-nikmat yang lain.

Allah Ta’ala telah menetapkan rizki atas setiap diri kita

Jika memang yang menjadi kegelisahan kita adalah rizki jenis pertama, yaitu rizki yang bermanfaat untuk badan, maka perlu kita ketahui bahwa Allah-lah yang akan memberikan rizki itu semuanya kepada kita.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang memberikan rizki kepada kita itu sangat banyak, baik dalil dari Al-Qur’an, hadits, maupun akal.

Di antara dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

”Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pemberi rizki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 58)

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

”Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah, ’Allah’.” (QS. Saba’ [34]: 24)

Di ayat yang lain lagi Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

”Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka semuanya akan menjawab, ’Allah’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Sedangkan di antara dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ

”Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya (janin, pent.). Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menuliskan empat kalimat (ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya), yaitu: (1) rizki, (2) ajal, (3) amal perbuatan dan (4) (apakah nantinya dia termasuk) orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang berbahagia (masuk surga).” (HR. Muslim no. 6893)

Ketika yang menjamin rizki kita adalah Dzat Yang Maha kaya, mengapa kita masih sangat khawatir?

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50747-jangan-risau-dan-khawatir-dengan-jatah-rizki-kita-bag-1.html

Hukum Gambar Wali Songo

Hukum Gambar Wali Songo

Ada banyak poster gambar wali songo. Kadang ada gambar 4 khalifah Rasyidin.

Boleh tidak majang gambar seperti itu, untuk mengenang mereka?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada perbedaan cara penghormatan terhadap tokoh yang dilakukan umat islam dengan yang dilakukan ahli kitab. Orang yahudi dan nasrani memvisualisasi para tokoh sebagai bentuk pernghormatan kepada tokoh mereka. Sampai bayi Nabi Isa bersama ibunda Maryam, mereka buat patungnya.

Mereka juga memajang foto-foto tokohnya untuk mengenang kesalehan mereka.

Beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Maimunah dan Ummu Salamah pernah berhijrah ke Habasyah (Ethyopia) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah.

Ketika mereka di Madinah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bercerita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai gereja yang mereka lihat di Habasyah. Di sana ada gereja Mariyah. Ummu Salamah bercerita, di dalam gereja itu ada banyak gambar-gambar tokoh nasrani.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka adalah sekelompok masyarakat yang apabila ada orang soleh di antara mereka yang meninggal, maka mereka akan membangun masjid di dekat kuburannya dan menggambar wajah orang soleh itu. Merekalah makhluk paling jelek di hadapan Allah. (HR. Bukhari 434, Ahmad 24984 dan lainnya).

Hadis ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa cara penghormatan tokoh agama, orang soleh seperti yang dilakukan orang nasrani, dengan memajang gambar dan foto tokohnya, adalah tindakan tercela. Karena ini sebab terbesar orang melakukan kultus.

Kita meyakini, manusia yang paling dicintai sahabat adalah Nabi Allah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat ada yang dulunya pandai menggambar. Namun tidak kita jumpai satupun diantara mereka yang membuat reka wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dipajang di masjid nabawi atau di rumah mereka masing-masing. Sekalipun kita sangat yakin, mereka tidak munngkin sampai menyembah gambar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tauhid mereka jauh lebih kuat dibandingkan tauhid kita..

Karena mereka memuliakan tokohnya bukan dengan cara menggambar wajahnya. Memvisualisasi wajah, justru termasuk bentuk pelecehan  dan penghinaan. Karena tentu saja, yang asli lebih indah dan lebih sempurna. Gambar adalah pelecehan kepada tokoh.

Ini disepakati kaum muslimin hingga sekarang. Terbukti, tidak ada satupun umat islam yang berani membuat reka gambar wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun nabi-nabi lainnya.

Cara menghormati tokoh adalah dengan mendoakan mereka dan melestarikan ajaran mereka. Bukan dengan menggambar mereka. Apalagi dengan gambar asal-asalan, tanpa bukti yang jelas.

Kehormatan Mayit itu Dimakamkan

Allah berfirman,

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

Kemudian, orang mati diantara manusia, mereka dikuburkan. (QS. Abasa: 21)

Bagian dari kemuliaan yang Allah berikan untuk manusia, Allah syariatkan agar yang meninggal dikuburkan. Dan itu sesuai fitrah manusia. Karena itu, agama yang mengajarkan agar mayit dimakamkan, adalah agama yang mengajarkan fitrah.

Ketika ada orang istimewa yang jasadnya di taruh di permukaan, yang terjadi bukan memuliakan, tapi justru menghinakan. Artinya, semakin tidak dinampakkan, semakin dimuliakan.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/26405-hukum-gambar-wali-songo.html

Mengubur Janin Dalam Kandungan Bersama Ibunya?

Hamil wis wayahe (sudah saatnya lahir, red) trs malah darah tinggi.dan sampai dirawat..,, sampai akhirne bayine meninggal di dalam kandungan…. Krn darah tinggi maka belum dikeluarkan dan selisih 5 jam ibune nyusul. Tp sang bayi gak dikeluarkan alias masih didalam sampai pemakaman.

Dari: Ummu Hasna, di Salatiga

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Sebelumnya, ada dua kondisi menguburkan seorang ibu hamil bersama janin dalam kandungannya:

Pertama, yakin bahwa janin masih hidup dan bisa diselamatkan.

Maka wajib diselamatkan, meskipun harus dengan melakukan operasi sesar.

Para ulama menjelaskan, bahwa mencederai tubuh mayit (tamtsil) hukumnya haram, kecuali jika karena alasan maslahat yang kuat dan yakin, bukan yang sifatnya praduga. Saat melakukan operasi sesar, tentu terdapat unsur tamtsil tersebut. Namun, ini boleh dilakukan karena dorongan maslahat yang yakin.

Pertimbangan lain, jika ada dua kerusakan bertemu dalam satu keadaan, maka boleh memilih kerusakan yang lebih ringan demi menghindari kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah fikih,

الضرر الأشد، يزال بالضرر الأخف.

Kerusakan yang besar, harus dihilangkan meski dengan menerjang kerusakan yang lebih kecil.

Membedah perut Ibu yang sudah meninggal tentu itu kerusakan. Namun membiarkan sang bayi meninggal dalam perut ibu, tentu itu kerusakan lebih besar. Sehingga, selama keselamatan bayi didasari informasi yang meyakinkan; yang saat ini alhamdulillah bisa diupayakan melalui ilmu kedokteran modern, maka boleh membedah perut sang Ibu demi keselamatan hidup si bayi.

Kedua, yakin bahwa janin telah meninggal dalam kandungan.

Maka boleh menguburkan janin bersama ibunya. Tidak perlu melakukan upaya pengeluaran bayi dari kandungan/sesar. Karena membedah perut ibu yang sudah meninggal, adalah tamtsil yang diharamkan oleh syariat, kecuali untuk alasan masalahat yakin yang bisa diupayakan.

Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (penulis kitab Tafsir Taisir Kariim Ar-Rahman)

والأصل تحريم التمثيل بالميت، إلا إذا عارض ذلك مصلحة قوية متحققة

Pada dasarnya, haram melakukan tamtsil pada mayit, kecuali untuk tujuan manfaat yang kuat dan pasti. (Al-Fatawa As-Sa’diyah, hal. 189)

Saat bayi telah meninggal di dalam kandungan, maka tidak ada celah manfaat yakin yang harus kita perjuangkan. Sehingga tamtsil dalam kondisi ini, tetap pada hukum asalnya yaitu haram. Tidak perlu mengeluarkan bayi dari kandungan. Cukup dimakamkan bersama Ibundanya.

Melihat pertanyaan yang disampaikan, tampak bahwa kondisi yang dialami adalah kondisi yang kedua ini. Sehingga tidak mengapa janin dimakamkan bersama ibunya. Adapun sholat, kafan, pemandian jenazah, maka cukup terwakili oleh Ibunya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah memfatwakan,

تدفن إذا ماتت وهي حبلى، تدفن بحملها، وليس هناك حاجة إلى عملية لإخراج الجنين، ولأنه في الغالب إذا ماتت مات معها أيضاً، ولو قدر أنه بقي شيء يسير

Ibu hamil yang meninggal, dikuburkan bersama janin dalam perutnya. Tidak perlu dilakukan operasi sesar. Karena biasanya jika ibunya meninggal, maka janin dalam kandungannya juga ikut meninggal. Walaupun bisa di keluarkan, itu biasanya hanya bertahan hidup sebentar. (https://binbaz.org.sa)

Penjelasan Syekh Abdulaziz bin Baz di atas bisa kita pahami : tidak mengapa menguburkan janin dalam kandungan bersama ibunya. Beliau beralasan tidak perlu dilakukan operasi sesar, apapun kondisi janin, karena berdasarkan kebiasaan janin dalam kandungan akan meninggal bersama ibunya. Namun dengan kemajuan teknologi kedokteran modern saat ini, kondisi bayi dalam kandungan ibunya yang meninggal, bisa diperkirakan kemungkinan bisa diselamatkan atau tidaknya. Sehingga jika upaya ini mungkin kita lakukan, maka wajib ditempuh, berdasarkan kaidah fikih yang dijelaskan di atas. Jika tidak, maka tidak mengapa insyaAllah. Allah berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)

Wallahua’lam bis showab

***

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(

Read more https://konsultasisyariah.com/35341-mengubur-janin-dalam-kandungan-bersama-ibunya.html

Hukum Shalat Tahiyyatul Masjid

Dari Abu Qatadah As Sulami radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat sebelum duduk”

Dalam riwayat lain:

إذا دخَلَ أحدُكم المسجدَ، فلا يجلسْ حتى يركعَ ركعتينِ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka jangalah duduk hingga ia shalat dua rakaat” (HR. Bukhari no. 444, Muslim no. 714).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ ، فَجَلَسَ ، فَقَالَ لَهُ : ( يَا سُلَيْكُ ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا)، ثم قال: (إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Sulaik Al Ghathafani datang di hari Jum’at ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berkhutbah. Sulaik pun duduk. Maka Nabi bersabda: wahai Sulaik, berdirilah kemudian shalat dua rakaat dan percepatlah shalatnya”. Kemudian setelah itu Nabi bersabda: “Jika kalian mendatangi masjid di hari Jum’at ketika imam sudah berkhutbah, maka shalatlah dua raka’at dan percepatlah shalatnya” (HR. Muslim no. 875).

Dari hadits-hadits di atas, sebagian ulama mengatakan shalat tahiyyatul masjid hukumnya wajib. Karena hadits-hadits di atas menggunakan bentuk perintah dan larangan duduk sebelum shalat dua rakaat.

Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi, Syaikh Muhammad Ali Farkus, dan ulama lainnya.

Namun jumhur ulama berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya hadits Dhimam bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, tentang seorang badui yang bertanya kepada Nabi:

فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟» قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»

“Dia bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat 5 waktu sehari-semalam. Orang tadi bertanya lagi: apakah ada lagi shalat yang wajib bagiku? Nabi menjawab: tidak ada, kecuali engkau ingin shalat sunnah” (HR. Bukhari no. 47, Muslim no. 11).

Hadits ini menafikan adanya shalat yang hukumnya wajib selain shalat 5 waktu. Maka shalat tahiyyatul masjid tidak sampai wajib hukumnya. Dan beberapa dalil lainnya yang menyimpangkan dari hukum wajib.

Ini adalah pendapat ulama 4 madzhab dan juga dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah. Bahkan ternukil ijma dari beberapa ulama. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقَ أَئِمَّة الْفَتْوَى عَلَى أَنَّ الْأَمْر فِي ذَلِكَ لِلنَّدْبِ, وَنَقَلَ اِبْن بَطَّالٍ عَنْ أَهْل الظَّاهِر الْوُجُوب, وَاَلَّذِي صَرَّحَ بِهِ اِبْن حَزْم عَدَمه

“Para imam fatwa telah bersepakat bahwa perintah dalam hadits-hadits ini maksudnya penganjuran. Ibnu Bathal menukil pendapat dari madzhab Zhahiri bahwa mereka berpendapat hukumnya wajib, yang secara lugas menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm” (Fathul Baari, 1/538-539).

Ini pendapat yang lebih rajih, shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah, wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50474-hukum-shalat-tahiyyatul-masjid.html

Doa Saat Imam Duduk Antara Dua Khutbah dan Shalawat pada Hari Jumat

Bagaimana dengan doa saat imam duduk antara dua khutbah Jumat, adakah tuntunannya? Apa juga ada anjuran shalawat pada hari Jumat? Kita simak yuk bahasan Riyadhus Sholihin berikut ini.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

  1. Bab Keutamaan Hari Jumat, Kewajiban Shalat Jumat, Mandi untuk Shalat Jumat, Mengenakan Wewangian, Datang Lebih Dulu untuk Shalat Jumat, Berdoa pada Hari Jumat, Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penjelasan tentang Waktu Dikabulkannya Doa (pada Hari Jumat), dan Sunnahnya Memperbanyak Dzikir kepada Allah Setelah Shalat Jumat

Hadits #1157

وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فِي شَأْنِ سَاعَةِ الجُمُعَةِ ؟ قَالَ : قُلْتُ : نَعَمْ ، سَمِعْتُهُ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاةُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Apakah engkau mendengar ayahmu menceritakan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘aalaihi wa sallam tentang satu waktu di hari Jumat?” Ia menjawab, “Ya, aku mendengar ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Waktu tersebut adalah antara imam duduk sampai selesainya shalat.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 853]

Faedah Hadits

Hadits ini jadi dalil tentang salah satu waktu hari Jumat terkabulnya doa.

Namun hadits ini dikritik bila marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika marfu’, hadits ini dhaif. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (2:421-422) menilai hadits ini dhaif dari tiga sisi: (1) inqitha’ (terputus), (2) idhtirab, (3) mauquf.

Hadits #1158

وَعَنْ أَوْسٍ بْنِ أَوْسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ ؛ فَإنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .

Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 1047, 1531, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud]

Faedah Hadits

  1. Hari Jumat adalah penghulunya hari dan hari yang paling utama. Para ulama katakan bahwa hari Jumat bahkan lebih utama dari Iduladha dan Idulfitri sebagaimana keterangan dari hadits Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir.
  2. Dianjurkan memperbanyak shalawat pada hari Jumat.
  3. Para nabi itu hidup di kuburnya.
  4. Shalawat pada nabi akan disampaikan pada nabi di kuburnya sebagai bentuk pemuliaan dari Allah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai bentuk pemuliaan dari Allah pada hamba-Nya yang mau memperhatikan wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21179-doa-saat-imam-duduk-antara-dua-khutbah-dan-shalawat-pada-hari-jumat.html

Kumpulan Amalan Ringan #31: Membaca Surah Al-Ikhlas (Sepertiga Al-Qur’an)

Apa yang dimaksud membaca surah Al-Ikhlas sama dengan sepertiga Al-Quran? Apakah membacanya tiga kali berarti khatam Al-Quran?

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) يُرَدِّدُهَا ، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ»

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang membaca dengan berulang-ulang ’Qul huwallahu ahad’. Tatkala pagi hari, orang yang mendengar tadi mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut dengan nada seakan-akan merendahkan surah al Ikhlas. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 6643) [Ada yang mengatakan bahwa yang mendengar tadi adalah Abu Sa’id Al-Khudri, sedangkan membaca surah tersebut adalah saudaranya Qatadah bin Nu’man].

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِى لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ». قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) يَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ».

Dari Abu Darda’ dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur’an dalam semalam?” Mereka mengatakan, “Bagaimana kami bisa membaca seperti Al-Qur’an?” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 1922)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, dalam riwayat yang lainnya dikatakan, “Sesungguhnya Allah membagi Al-Qur’an menjadi tiga bagian. Lalu Allah menjadikan surah Qul huwallahu ahad (surah Al-Ikhlash) menjadi satu bagian dari 3 bagian tadi.” Lalu Al-Qadhi mengatakan bahwa Al-Maziri berkata, “Dikatakan bahwa maknanya adalah Al-Qur’an itu ada tiga bagian yaitu membicarakan (1) kisah-kisah, (2) hukum, dan (3) sifat-sifat Allah. Sedangkan surah Qul huwallahu ahad (surah Al-Ikhlash) ini berisi pembahasan mengenai sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, surah ini disebut sepertiga Al-Qur’an dari bagian yang ada. (Syarh Shahih Muslim, 6:94)

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21145-kumpulan-amalan-ringan-31-membaca-surah-al-ikhlas-sepertiga-al-quran.html

Setan Menakut-Nakuti dengan Kemiskinan

Salah satu cara setan menggoda manusia adalah selalu menakut-nakuti dengan kemiskinan. Setan membuat manusia merasa selalu kekurangan padahal karunia Allah itu sangat banyak. Allah berfirman,

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir) ; sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah/2: 268]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manusia ditakut-takuti kemiskinan sehinga menjadi pelit terhadap hartanya. Beliau berkata,

يخوفكم الفقر ، لتمسكوا ما بأيديكم فلا تنفقوه في مرضاة الله

“Setan menakut-nakuti kalian akan kemiskinan, agar kalian menahan harta ditangan kalian dan tidak kalian infakkan untuk mencari ridha Allah.” [Tafsir Ibnu Katsir]

Manusia semakin takut dengan kemiskinan karena sifat dasar manusia sangat cinta terhadap harta dan harta adalah godaan (fitnah) terbesar manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (ujiannya) dan fitnah umatku adalah harta” [HR. Bukhari]

Kunci agar bisa lepas dari godaan setan ini adalah tetap merasa qana’ah dan giat bekerja. Seseorang akan  terus merasa kurang dan miskin apabila tidak merasa qana’ah dan selalu melihat orang lain yang berada di atasnya dalam urusan dunia. Mayoritas pergaulannya adalah orang-orang yang lebih kaya sehingga ia tidak merasa qanaah, karenanya kita diperintahkan untuk selalu melihat yang berada di bawah kita dalam urusan dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”[HR. Bukhari dan Muslim]

Kunci lainnya adalah agar kita giat bekerja, kreatif dan tidak gengsi dalam mencari harta. Apapun pekerjaaannya yang penting halal, maka laksanakan saja tanpa harus gengsi. Inilah bentuk tawakkalnya burung, sebagaimana dalam hadits:

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

 “Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ [HR.Tirmidzi, hasan shahih]

Kemudian godaan setan akan kemiskinan akan berdampak munculnya rasa pelit pada manusia, tidak mau berinfak atau membantu sesama. Rasulullah bersabda bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang:

مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ

“Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shadaqah.” [HR. Tirmidzi]

Syaikh Muhammad Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa harta yang disedekahkan akan bertambah berkahnya. Beliau berkata

تصدق بها منه بل يبارك له فيه

“Harta yang disedekahkan akan diberkahi (diberikan kebaikan yang banyak)” [Lihat Tuhfatul Ahwadzi]

Semoga Allah melindungi kita dari godaan setan berupa rasa takut akan kemiskinan dan semoga Allah memudahkan kita untuk berinfak.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50745-setan-menakut-nakuti-dengan-kemiskinan.html

Renungan di Mina

Manusia itu ada karena Dia Yang Maha Ada. Keangkuhan manusialah yang akan mengingkari adanya Dia. Kebodohan yang paling nyata adalah kepura-puraan dalam pengingkaran itu. Sebab, sesungguhnya fitrah (nurani) seorang insan tak pernah dan tak akan mampu mengingkari eksistensi-Nya.

Di saat saya berjalan di pinggiran gunung bebatuan, menuju terowongan Al-Mu’aeshim kemarin siang, dalam guyuran hujan deras dan terpaan angin yang meniup, seolah semua itu menampakkan kebesaran Dia Yang Maha Pengendali alam semesta.

Saya menatap kemegahan gunung bebatuan di sebelah kiri, dan tenda-tenda jamaah di lembah-lembah yang rendah di sebelah kanan, tersiram air yang bagaikan tumpah ruah dari langit, semakin menguatkan keyakinan itu. Betapa Dia Yang Maha Ada itu menggenggam kekerdilan alam semesta dalam jari-jemari kekuasaan-Nya.

Didorong oleh keinginan meraih pahala sunnahnya, “pilihan tercinta”, saya tinggalkan tenda di bawah terik mentari. Kepanasan, kegerahan, keringatan, bahkan mengeluhkan panasnya siang itu.

Tiba-tiba saja semua itu berbalik dalam sekejap. Kini saya berjalan kembali menuju tenda dalam keadaan basah kuyup, merasakan dinginnya terpaan angin di pinggir-pinggir gunung di ujung terowongan itu.

Saya semakin tersadarkan, Dialah yang mengendalikan keadaan. Dialah yang membolak-balik keadaan alam. Dia yang membalik kobaran api menjadi istana sementara bagi hamba-Nya, Ibrahim. Dialah yang membalik ganasnya ombak laut merah menjadi jalan-jalan yang menyenangkan bagi hamba-Nya, Musa.

Saya pun semakin yakin, ragam tantangan, bahkan penderitaan umat yang seolah tak kunjung berakhir itu, pada masa yang ditentukannya akan dibalik menjadi jalan tapak menuju kemenangan dan kejayaannya.

Tengoklah ke atas. Pandang awan-awan di ketinggian sana. Hadirkan dalam hatimu harapan dan optimisme itu. Setebal apapun awan-awan yang engkau lihat, as-syams (mentari) itu tetap pada dirinya.

Terang….dan terus tiada henti memberikan sinar dan kehidupan ke alam sekitarnya.

Mina, 13 Agustus 2019

Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation/Travel Nusantara Amerika Serikat)

IHRAM REPUBLIKA

Kumpulan Amalan Ringan #30: Doa Bi Zhahril Ghaib

Doa bi zhahril ghaib adalah doa di saat yang didoakan tidak hadir di hadapan orang yang mendoakan.

Dari Shafwan bin ‘Abdillah bin Shafwan–istrinya adalah Ad-Darda’ binti Abid Darda’–, beliau mengatakan, “Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummu Ad-Darda’ (ibu mertua Shafwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abu Ad-Darda’ (bapak mertua Shafwan, pen). Ummu Ad-Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shafwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu doakanlah kebaikan pada kami karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

Sesungguhnya doa seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.

Shafwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 2733)

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21132-kumpulan-amalan-ringan-30-doa-bi-zhahril-ghaib.html

Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 1)

Mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah?

Karena hakikat tauhid adalah mengikhlaskan atau memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, maka kita jumpai beberapa ulama yang mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah

Di antaranya adalah Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah, ketika beliau mendefinisikan tauhid dengan,

اعلم رحمك الله . . أن التوحيد هو إفراد الله سبحانه بالعبادة

“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tauhid adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah.” (At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 47)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafidzahullah berkata,

أما معناه شرعاً: فهو إفراد الله- تعالى- بالعبادة. هذا هو التّوحيد شرعاً

“Adapun makna (tauhid) dalam istilah syar’i adalah meng-esakan Allah Ta’ala dalam ibadah. Inilah tauhid dalam istilah syari’at.” (I’aanatul Mustafiid, 1: 19)

Setelah mengetahui bahwa hakikat tauhid adalah meng-esakan Allah dalam ibadah, sehingga di antara ulama pun mendefinisikan tauhid dengan pengertian tauhid uluhiyyah, maka mungkin kemudian timbul tanda tanya dalam benak kita. Mengapa para ulama mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah?Bukankah masih ada dua tauhid lagi, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat? Mengapa dua macam tauhid ini tidak dimasukkan dalam definisi tauhid? Bukankah kedua jenis tauhid ini juga penting?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan beberapa tinjauan berikut ini [1]

Pertama, tujuan para ulama mendefinisikan tauhid dengan tauhid uluhiyyah adalah dalam rangka menekankan betapa pentingnya tauhid uluhiyyah tersebut. Karena tauhid uluhiyyah adalah inti ajaran dakwah yang dibawa oleh seluruh Rasul, mulai dari Nabi Nuh hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (QS. An-Nahl [16]: 36) 

Bukti lain tentang betapa pentingnya tauhid uluhiyyah adalah bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk menegakkan tauhid uluhiyyah ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Mendefinisikan sesuatu dengan menyebutkan salah satu bagian dari sesuatu tersebut yang paling penting juga sering dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contohnya adalah beliau mendefinisikan haji dengan wukuf di Arafah, padahal masih terdapat bagian dari ibadah haji yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji adalah (wukuf di) Arafah.” (HR. Ahmad no. 18796. Syaikh Syu’aib Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling agung.

Ke dua, sesungguhnya penyelewengan yang sangat banyak terjadi pada manusia sejak zaman dahulu dan akan terus berlanjut hingga sekarang ini adalah kesyirikan dalam masalah uluhiyyah. Kesyirikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan umat Nuh ‘alaihis salaam dalam masalah uluhiyyah. Dan demikianlah kesyirikan tersebut terus berlanjut pada umat-umat yang lain sehingga Allah pun mengutus para Rasul-Nya dengan misi pokok menegakkan tauhid uluhiyyah. Sehingga tauhid inilah yang merupakan titik perseteruan dan permusuhan antara para Rasul dengan umatnya masing-masing dan merupakan titik persimpangan yang memisahkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Dan tema perseteruan ini akan terus berlanjut hingga sekarang dan mungkin akan terus berlanjut hingga hari kiamat. 

Ke tiga, pada hakikatnya, tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Oleh karena itu, apabila kita mendefiniskan tauhid dengan tauhid uluhiyyah, maka sebenarnya tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat telah tercakup dalam definisi tersebut.

Orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (tauhid uluhiyyah), maka tentu saja dia telah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta (tauhid rububiyyah). Karena tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala semata, namun dia tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta. Di sisi lain, seseorang juga tidak mungkin beribadah kepada Allah, kecuali karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna (tauhid asma’ wa shifat).

Dengan penjelasan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa tauhid uluhiyyah telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. Sehingga definisi yang dibuat oleh para ulama tersebut telah mencakup tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50669-hakikat-tauhid-adalah-kalimat-laa-ilaaha-illallah-bag-2.html