Apakah Ada Makhluk Luar Angkasa, Alien & UFO?

Dengan pengetahuan dan iptek di zaman ini, ada kemungkinan untuk mengetahui keadaan luar angkasa, meneropong gugusan bintang dan planet yang jauh. Hal ini memmunculkan sebuah pemikiran  dan analisis:

“Bisa jadi ada makhluk di luar angkasa sana”

Apakah ada? Jawabannya: Bisa jadi ada mahkluk di luar angkasa, dalam nash dijelaskan bahwa para Jin dan malaikat berada di luar angkasa (langit) bahkan malaikat berada di beberapa lapisan langit. Dermikian juga beberapa tafsir ulama menjelaskan bahwa ada hewan yang hidup di luar angkasa. Hewan di luar angkasa ini bisa jadi bentuknya bermacam-macam dan tidak kita ketahui jumlahnya.

Apakah ada alien dan kendaraannya UFO di luar angkasa sana?

Jawabannya: kita tidak bisa memastikan, karena nash hanya menyebut tiga makhluk yaitu malaikat, jin dan manusia. Adapun kita memastikan ada makhluk yang memiliki akal dan berpikir seperti atau mirip dengan manusia, jin, dan malaikat, maka hal ini perlu dalil. Sikap kita adalah percaya bahwa dilangit juga ada makhluk, akan tetapi kita tidak bisa memastikan bagaimana bentuknya, kehidupannya serta jumlahnya.

Yang lebih penting adalah kita tidak perlu terlalu disibukkan dengan mencari hakikat makhluk di luar angkasa selama belum ada bukti ilmiah. Kita tidak  terlalu percaya, apalagi hanya berdasarkan sumber-sumber yang tidak jelas. Tugas kita adalah beribadah di muka bumi dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Berikut beberapa penjelasan dan dalilnya:

Di langit ada makhluk yang disebut dengan lafadz “dabbah” sebagaiman ayat berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَابَّةٍ وَهُوَ عَلَى جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاء قَدِير

Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya. [Asy-Syuura 42 : 29]

“Dabbah” di sini adalah makhluk yang berbeda dengan malaikat yang juga menghuni langit, karena pada ayat lain Allah menyebutkan lafadz malaikat dan “dabbah” secara bersamaan. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para ma]aikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” [An-Nahl: 49]

Para ulama agak sedikit berbeda-beda pendapat tentang tafsir “dabbah”. Ibnu Katsir memasukkan hewan di luar angkasa termasuk dalam “dabbah” ini. Ibnu Katsir berkata,
( من دابة ) وهذا يشمل الملائكة والجن والإنس وسائر الحيوانات ، على اختلاف أشكالهم وألوانهم ولغاتهم ، وطباعهم وأجناسهم ، وأنواعهم ، وقد فرقهم في أرجاء أقطار الأرض والسموات

“Makna ‘dabbah” itu mencakup malaikat, jin, manusia dan semua hewan yang berbeda-beda bentuk, warna, bahasa, tabiat dan jenis serta macamnya. Mereka terpencar pada seluruh penjuru bumi dan langit.” [Tafsir Ibnu Katsir]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’diy juga menjelaskan “dabbah” itu artinya hewan, beliau berkata:

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ ْ} من الحيوانات الناطقة والصامتة،

“Hanya kepada Allah bersujud yang ada di langit dan bumi yaitu dabbah, berupa hewan yang berbicara dan hewan yang tidak berbicara.” [Tafsir as-Sa’diy]

Sedangkan syaikh bin Baz menyatakan bahwa maksud “dabbah” adalah malaikat, jin dan manusia. Beliau berkata,

في السموات والأرض مِنْ دَابَّةٍ وهذا يشمل الملائكة والإنس والجن.

“Ini mencakup malaikat, manusia, jin yang ada di langit dan bumi, semuanya disebut dabbah.” [https://binbaz.org.sa/audios/725]

Poin terpenting adalah kita tidak bisa memastikan apakah makhluk tersebut yang ada di langit, tidak bisa kita katakan itu adalah alien dn sebagainya sampai ada dalil atau bukti yang benar-benar ilmiah (bukan seperti cerita konspirasi film dan sebagainya).

Syaikh Abdullah Al-Faqih menjelaskan,

فنؤمن بذلك كلّه ولكن لا نعلم بتفاصيل هذه المخلوقات ولا عددها  ولا نعلم كيفية المخلوقات العلوية  . ويمكن أن يكون في السماء دواب الله أعلم بكيفيتها وعددها ، يتكفلّ الله برزقها ، كما في الأرض دواب لا يعلم عددها إلا الله تكفّل تعالى برزقها وهو على كلّ شيء قدير

“Kita berimana dengan makhluk-makhluk yang ada di langit akan tetapi kita tidak ketahui secara rinci berapa jumlahnya dan bagaimana mereka hidup. Bisa jadi di langit ada “dabbah” (makhluk) yang hanya Allah tahu bentuk dan jumlahnya. Allah yang memberi rezeki kepada mereka, sebagaimana kita di makhluk bumi yang kita tidak tahu persisi jumlahnya dan Allah yang memberikan rezeki.” [Fatawa Syabakah Islamiyyah no. 71621]

Catatan:

Hendaknya kita kaum muslimin benar-benar ilmiah dalam mengambil informasi, misalnya saja tentang alien, cukup banyak bantahan tentang keberadaan alien dan gambar-gambarnya bahwa ternyata itu hanya boneka ataupun permainan editan gambar saja.

Contoh berita bisa dilihat di sini: https://www.liputan6.com/global/read/2123867/10-kebohongan-besar-yang-menggegerkan-dunia

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]

Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.

Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]

Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]

Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:

Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.

Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah[13]

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. 

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ

Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.[15]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]

Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/5798-amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html

Hukum Meratapi Mayit

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau [1] anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)

Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematiannya, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi wanita. Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau person sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun apabila berbuat dosa, mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.

Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [2] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) [3]; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).” 

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah wanita. Sehingga jika laki-laki juga meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. 

Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya ketika mereka sakit parah. Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak bisa mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, pent.). 

Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata, 

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ

“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala [5], serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Tindakan-tindakan di atas adalah bentuk ratapan yang dikenal pada jaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ucapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?” Kalimat-kalimat semacam itu, yang diucapkan ketika seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).

Yang diperbolehkan adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat terlarang di atas. Kalau mulut ikut berteriak histeris, ini adalah bentuk meratap yang terlarang.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. 

Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).” 

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)

Menangis, meneteskan air mata adalah wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Akan tetapi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang. [6]

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50884-hukum-meratapi-mayit.html

Waspada Terhadap Neraka

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Allah telah menyebutkan deskripsi neraka Jahannam wal ‘iyadzu billah. Ia merupakan kampung yang Allah persiapkan untuk musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang kafir, munafik, ahli maksiat, dan orang-orang fasiq. Itulah negeri bagi golongan orang-orang yang buruk. Allah telah sediakan berbagai jenis adzab yang mana tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia Subhanahu wa Ta’ala semata. Meskipun demikian, Dia jelaskan beberapa macam siksa neraka di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Neraka memiliki banyak tingkatan ke bawah, sebagiannya lebih rendah daripada yang lain. Sedangkan surga memiliki banyak tingkatan ke atas, sebagiannya lebih tinggi daripada yang lain. Tingkatan neraka tersebut menjadi tempat tinggal bagi penghuninya sesuai dengan amalnya. Sebagiannya lebih keras siksaannya dibandingkan yang lain. Adapun orang munafik merekalah penduduk kerak neraka.

إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِيْ الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan engkau tidak akan menjumpai seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)
Orang munafik ialah orang yang menampakkan keislaman dalam rangka mengelabui dan berbuat tipu daya. Hati mereka kafir dan ingkar. Mereka mengingkari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat yang beliau bawa. Akan tetapi mereka memperlihatkan keislaman untuk kemaslahatan mereka. Oleh karenanya, adzab mereka lebih pedih daripada orang-orang kafir yang terang-terangan menunjukkan kekafiran dan permusuhan mereka. Karena orang-orang kafir yang terang-terangan dapat dikenali oleh kaum muslimin sehingga kaum muslimin bisa menyiapkan perlengkapan untuk menjaga diri dari keburukan mereka. Adapun orang-orang munafik, mereka menampakkan keislaman.

يُخَادِعُوْنَ اللهَ وَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَمَا يَخْدَعُوْنَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9).

Akan tetapi kaum mukminin husnuzhan (baik sangka) kepada mereka dan tidak berhati-hati terhadap mereka. Mereka adalah mata-mata orang-orang kafir dan Yahudi. Mereka tunjukkan kelemahan-kelemahan kaum muslimin kepada orang-orang kafir. Mereka senantiasa merasa gembira dengan kemenangan orang-orang kafir dan senantiasa merasa marah dengan kebangkitan dan kemuliaan Islam. Inilah sifat-sifat orang munafik. Oleh karena itu, mereka berada di kerak paling dasar dari neraka. Sedangkan orang-orang kafir yang lain berada di atas mereka.
Neraka memiliki beberapa nama yaitu an-nar, jahannam, as-sa’ir, saqar, al-jahim, al-hawiyah, dan nama-nama yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa neraka mempunyai banyak tingkatan dan penghuninya berbeda-beda dalam adzab dan tempat tinggalnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkabarkan,

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ يُوْضَعُ فِيْ أَخْمَصِ قَدَمِهِ جَمْرَةٌ يَغْلِيْ مِنْهَا دِمَاغُهُ

Penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang yang kedua telapak kakinya dipakaikan sandal lantas mendidihlah otaknya.” (HR. Bukhari no. 6561 dan Muslim no. 213).
Dalam riwayat lain,

يَلْبَسُ نَعْلَيْنِ مِنْ نَارٍ يَغْلِيْ مِنْهَا دِمَاغُهُ، مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ عَذَابًا مِنْهُ مَعَ أَنَّهُ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا

Dia mengenakan dua sandal dari api yang membuat otaknya mendidih. Dia tidak melihat ada seorang pun yang lebih keras adzabnya dibandingkan dirinya. Padahal dia adalah penghuni neraka yang paling ringan siksanya.” (HR. Muslim no. 213/364) [1]
Ini hanyalah adzab yang paling ringan. Lantas bagaimana dengan adzab yang paling keras? Wal ‘iyadzu billah.
Minuman mereka adalah mahl yaitu air yang sangat panas atau shadid yaitu nanah yang mengalir dari tubuh penghuni neraka. Makanan mereka zaqqum yang tumbuh di neraka.

إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّوْمِ طَعَامُ الْأَثِيْمِ

Sesungguhnya pohon zaqqum itu adalah makanan orang yang banyak dosa.” (QS. Ad-Dukhan: 43-44).
Di ayat yang lain,

إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِيْ أَصْلِ الْجَحِيْمِ طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوْسُ الشَيَاطِيْنِ فَإِنَّهُمْ لَأَكِلُوْنَ مِنْهَا فَمَالِئُوْنَ مِنْهَا الْبُطُوْنَ ثُمَّ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْهَا لَشَوْبًا مِنْ حَمِيْمٍ ثُمَّ غِنَّ مَرْجِعَهُمْ لَإِلَى الْجَحِيْمِ

Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka yang menyala. Mayangnya seperti kepala setan. Sesungguhnya mereka memakan sebagian dari buah pohon itu maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum itu. Kemudian mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas. Lalu sesungguhnya tempat kembali mereka adalah neraka Jahim.” (QS. Ash-Shaffat: 64-68).
Minuman mereka –wal ‘iyadzu billah– adalah minuman yang paling jelek dan paling panas yang memanggang wajah. Jika minuman tersebut dihidangkan ke wajah peminumnya, maka terkelupas wajahnya dan lepas kulit wajahnya karena panas yang sangat dahsyat. Makanan mereka adalah zaqqum dan pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. Mereka senantiasa dalam kelaparan. Mereka makan tetapi makanan tersebut tidak dapat mengusir lapar. Demikian pula mereka minum, tetapi minuman tersebut tidak mampu membuang dahaga. Tiap kali mereka minum, akan bertambahlah rasa haus mereka.

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ فِيْ سَمُوْمٍ وَحَمِيمٍ وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُوْمٍ لاَ بَارِدٍ وَلاَ كَرِيْمٍ إِنَّهُمْ كَانُوْا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِيْنَ وَكَانُوْا يُصِرُّوْنَ عَلَى الْحِنْثِ الْعَظِيْمِ

Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam siksaan angin yang amat panas, air panas yang mendidih, dan naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka itu sebelumnya hidup bermewahan. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.” Yaitu berbuat syirik.

وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَءِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ

Dan mereka selalu mengatakan: Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan belulang, apakah sesungguhnya kami akan dibangkitkan kembali?” Mereka mengingkari kebangkitan.
Lantas Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ لَمَجْمُوْعُوْنَ إِلَى مِيْقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُوْمٍ ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا الضَّالُّوْنَ الْمُكَذِّبُوْنَ لَأَكِلُوْنَ مِنْ شَجَرٍ مِنْ زَقُّوْمٍ فَمَالِئُوْنَ مِنْهَا الْبُطُوْنَ فَشَارِبُوْنَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيْمِ فَشَارِبُوْنَ شُرْبَ الْهِيْمِ

“Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan akan dikumpulkan di waktu yang tertentu pada hari yang dikenal. Kemudian sesungguhnya kalian wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan akan memakan pohon zaqqum dan akan memenuhi perut kalian dengannya. Lalu kalian akan meminum air yang sangat panas. Maka kalian minum seperti unta yang sangat haus.” (QS. Al-Waqi’ah: 41-55).
Al-him adalah unta yang kehausan, karena apabila unta sangat dahaga, maka ia akan sangat semangat minum. Demikian pula penduduk neraka. Mereka meminum air yang sangat panas sebagaimana minumnya unta yang kehausan.

هَذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِ

Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan.” (QS. Al-Waqi’ah: 56) Nuzuluhum yakni jamuan mereka –wal ‘iyadzu billah-. Itulah jamuan yang paling buruk.

Demikianlah neraka beserta penghuninya. Neraka tidaklah khusus bagi orang-orang kafir semata, tetapi ia juga dimasuki oleh orang-orang beriman pelaku maksiat, pelaku dosa kecil, dan pelaku dosa besar. Mereka memasuki neraka, disiksa di dalamnya, dan tinggal disana dalam waktu yang lama hingga mereka menjadi arang. Mereka hangus dan tubuh mereka berubah menjadi arang. Kemudian mereka keluar dari nereka setelah diadzab. Lalu mereka dilempar ke sungai kehidupan. Lantas tumbuhlah jasad mereka. Selanjutnya mereka dimasukkan ke dalam surga.
Kesimpulannya, seorang beriman tetapi hobi maksiat berada dalam bahaya yang besar. Selayaknya seseorang tidak terkecoh dan mengatakan bahwa dirinya beriman. Lantas ia kerjakan berbagai jenis maksiat dan meremehkannya. Ia menyangka bahwa maksiat tersebut tidak akan mencelakainya. Padahal maksiat –wal ‘iyadzu billah– bahayanya sangatlah dahsyat. Ia akan menyeret pelakunya ke dalam neraka dan menyiksanya di dalamnya. Boleh jadi ia tinggal di dalamnya beratus-ratus tahun. Barulah ia keluar dari neraka setelah itu. Dengan demikian, bahaya maksiat sangatlah mengerikan. Tidak ada yang mengetahui sifat neraka kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi Dia jelaskan sebagian deskripsi neraka supaya orang-orang beriman waspada terhadap amal-amal yang mengantarkan mereka ke neraka. Semua hawa nafsu yang haram dan maksiat dengan berbagai macam bentuknya akan menyeret seseorang ke dalam neraka.
Bahaya maksiat sangatlah besar. Sepatutnya bagi seseorang menjauhi maksiat baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Karena dosa kecil yang diremehkan oleh seseorang akan berubah menjadi dosa besar. Di samping itu, dosa kecil akan bertumpuk-tumpuk pada diri seseorang lantas dosa itu pun akan membinasakannya sebagaimana lembah itu mengalir dari tetesan air hujan. Demikian pula maksiat akan berkumpul pada diri seseorang lalu maksiat itu akan mencelakakannya.
Wajib bagi seorang muslim untuk berhati-hati dengan maksiat. Apabila ia terjerumus dalam salah satu maksiat, hendaknya ia segera bertaubat. Karena Allah Jalla wa ‘Ala menerima taubat yang bertaubat kepada-Nya. Di samping itu, hendaknya ia tidak meremehkan maksiat dan terkecoh dengan penundaan adzab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Janganlah ia takjub dengan dirinya sendiri lantas larut dalam maksiat dan mengandalkan harapan yang baik dan rahmat Allah. Benar, rahmat Allah sangatlah luas. Namun, adzab dan hukumannya juga sangatlah keras. Maka, hendaknya seseorang tidak merasa aman dari makar Allah dan tidak menggampangkan maksiat. Boleh jadi ia meremehkan dosa kecil, lalu dosa kecil itu akan menyeretnya menuju dosa besar. Boleh jadi ia menganggap enteng dosa kecil, lantas dosa kecil itu akan membesar dan membinasakan pelakunya sedang ia tidak menyadarinya. Wajib bagi seseorang untuk waspada terhadap semua bentuk maksiat dan dosa, bersegera bertaubat, memperbanyak istighfar, memperbanyak kebaikan dan amal shalih, dan mengharap rahmat Allah, serta takut dengan siksa Allah. Hendaknya ia gabungkan antara rasa takut dan rasa harap.
Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada kita semua untuk mengerjakan amal shalih yang Dia cintai dan ridhai. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya serta sahabatnya.
***
Diterjemahkan dari Majalis Syahri Ramadhan Al-Mubarak, karya Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, cetakan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1422 H, Riyadh, hal. 51-54.
[1] Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُوْ طَالِبٍ، وَهُوَ مُتَنَعِّلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِيْ مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
Penduduk neraka yang paling ringan adzabnya adalah Abu Thalib. Dia memakai dua sandal yang membuat otaknya mendidih.” (HR. Muslim no. 212)

Penerjemah: Ummu Fathimah

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11593-waspada-terhadap-neraka.html

Doa Agar Tawakkal dan Mendapat Ampunan dari Allah

Bagaimana agar kita dimudahkan tawakkal kepada Allah, juga mendapatkan ampunan dari-Nya? Doa dari kitab Riyadhus Sholihin ini bisa diamalkan.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa), Bab 250. Keutamaan Doa

Hadits #1480

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ كَانَ يَقُوْلُ

اللَّهُمَّ لكَ أسْلَمْتُ، وبِكَ آمَنْتُ، وعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وإلَيْكَ أنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وإلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المقَدِّمُ وَأَنْتَ المؤَخِّرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

زَادَ بَعْضُ الرُّوَّاةِ:وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ALLOOHUMMA LAKA ASLAMTU, WA BIKA AAMANTU, WA ‘ALAIKA TAWAKKALTU, WA ILAIKA ANABTU, WA BIKA KHOOSOMTU, WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGH-FIRLII MAA QODDAMTU WA MAA AKHKHORTU, WA MAA ASRORTU WA MAA A’LANTU, ANTAL MUQODDIMU WA ANTAL MUAKHKHIRU, LAA ILAHA ILLA ANTA (artinya: Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, kepada-Mu aku mengadu, dan kepada-Mu aku berhukum. Maka, ampunilah dosaku yang telah aku lakukan dan yang kemudian aku lakukan, yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengakhirkan. Engkaulah Rabbku, tidak ada ilah yang hak diibadahi kecuali Engkau).”

Sebagian periwayat menambahkan, “WA LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH (artinya: tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).”(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6317 dan Muslim, no. 769]

Faedah Hadits

  1. Seorang hamba sangat butuh kepada Allah.
  2. Wajib tawakkal kepada Allah semata, karena Allah disifati dengan sifat yang sempurna, maka Allah-lah yang pantas dijadikan tempat bersandar.
  3. Hendaklah mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa seperti doa yang diucapkan ini mencakup ungkapan iman dan rasa yakin yang kuat, doa ini pun sifatnya jawaami’ul kalim (ringkas, namun sarat makna).
  4. Doa ini mengajarkan untuk meminta ampun kepada Allah terhadap dosa yang telah dilakukan dan moga terhindar dari dosa pada masa akan datang. Begitu pula doa ini berisi meminta ampunan terhadap dosa yang tersembunyi dan dosa yang nampak.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21170-doa-agar-tawakkal-dan-mendapat-ampunan-dari-allah.html

Syarhus Sunnah: Sifat Allah itu Mahasempurna

Sifat Allah itu Mahasempurna, kita dapat melihat dari perkataan Imam Al-Muzani dalam Syarhus Sunnah berikut ini dan penjelasannya.

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

وكَلِمَاتُ اللهِ وَقُدْرَتُهُ وَنَعْتُهُ وَصِفَاتُهُ كَامِلاَتٌ غَيْرُ مَخْلُوْقَاتٍ دَائِمَاتٍ أَزَلِيَّاتٍ وَلَيْسَتْ بِمُحْدَثَات ٍفَتَبِيْدُ وَلاَ كَانَ رَبُّنَا نَاقِصًا فَيَزِيْدُ

جَلَّتْ صِفَاتُهُ عَنْ شِبْهِ صِفَاتِ المخْلُوْقِيْنَ وَقَصُرَتْ عَنْهُ فَطَنُ الوَاصِفِيْنَ

“Dan kalimat Allah, qudrah Allah, sifat Allah itu Mahasempurna bukanlah makhluk, selamanya ada, azali, bukan suatu yang baru yang lantas hilang. Rabb kami tidaklah berkurang dan bertambah. Sifat-sifat Allah itu Mahamulia, tidak serupa dengan sifat makhluk, tetap kurang apa yang disifatkan oleh orang-orang yang cerdas tentang Allah.”

Kalimat Allah Yang Mahasempurna

Kalimat Allah yaitu Al-Qur’an, nama dan sifat-Nya, perintah dan larangan-Nya, termasuk sifat Allah bukanlah makhluk, tidak fana dan musnah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ ۖ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari pada-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 27)

Dalam ayat disebutkan,

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.” (QS. Al-Kahfi: 109)

Ayat lainnya pula menyebutkan,

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan untuk Al-Hasan dan Al-Husain dengan berkata, ‘Sesungguhnya bapak (nenek moyang) kalian berdua biasa meminta perlindungan pada Ismail dan Ishak dengan bacaan:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

‘AUDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMATI MIN KULLI SYAITHONIN WA HAAMMATIN, WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMATIN’ (Artinya: Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracun dan dari pengaruh ‘ain yang buruk).” (HR. Bukhari, no. 3371)

Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, ‘A’UUDZU BI KALIMAATILLAAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ (Artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk),” maka tidak ada satu pun yang akan membahayakannya sampai dia pergi dari tempat tersebut.” (HR. Muslim, no. 2708)

Ibnul Atsir rahimahullah berkata, “Di sini disifatkan dengan kalimat yang sempurna karena tidak boleh pada kalam Allah kekurangan sedikit pun atau ada aib. Kalam Allah tidaklah seperti kalam manusia.” (An-Nihayah fii Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, 1:197, dinukil dari Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 98).

Kalimat Kauniyyah dan Diniyyah

Kalimat Allah itu ada dua macam:

Pertama: Kalimat kauniyyah, yaitu kalimat yang masuk di dalamnya orang beriman dan orang fajir, sampai pada Iblis dan bala tentaranya, begitu pula seluruh orang kafir, juga setiap yang masuk dalam neraka. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا

Dan Maryam membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim: 12)

Kedua: Kalimat diniyyah, yaitu kitab-kitab yang diturunkan yang di dalamnya terdapat perintah dan larangan. Orang beriman mentaatinya, orang fajir mendurhakainya. Hamba Allah yang bertakwa merekalah yang taat kepada kalimat diniyyah.

Qudrah Allah

Qudrah Allah (kuasa Allah) termasuk dalam sifat Allah, bukanlah makhluk, sifat ini sesuai dengan keagungan bagi Allah, tidak sama dengan makhluk, tidaklah fana dan tidak akan hilang.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165)

Dalam ayat lain disebutkan,

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 17)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Fathir: 44)

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengatakan pada dubur shalat maktubah (akhir shalat wajib),

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ، اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR. ALLAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THOYTA WA LAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WA LAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU (Artinya: Tiada Rabb yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya–selain iman dan amal salehnya yang menyelamatkan dari siksaan–. Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan).” (HR. Bukhari, no. 844 dan Muslim, no. 593)

Sifat Allah Tidaklah Berkurang

Sifat Allah itu tidaklah kurang, karena Allah tersucikan dari kekurangan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nahl: 60)

Sifat Allah bukanlah makhluk. Sifat Allah itu terus ada, tidaklah fana. Sifat Allah itu bukan muhdats, bukan baru saja ada. Sifat Allah dari awal hingga akhir itu ada. Inilah sempurnanya rububiyyah Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍوَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)

Juga dalam ayat,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashshash: 88)

Allah Selamat dari Sifat Kurang

Sifat Allah itu tidak bertambah setelah sebelumnya berkurang. Meniadakan sifat Allah (ta’thil) termasuk menyatakan sifat Allah itu kurang, dan Allah itu selamat dari sifat kurang.

Sifat Allah itu tidak serupa dengan sifat makhluk. Dalam ayat disebutkan,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4)

Orang Cerdas Tidak Bisa Memikirkan Semua Sifat Allah

Walaupun orang sangat cerdas dan pintar tidak bisa menggapai semua sifat-sifat Allah, tidak bisa pikirannya menghayalkannya. Karena Allah tidaklah bisa dilihat oleh siapa pun, tidak ada yang bisa melihat semisal Allah, tidak ada pula yang bisa menggambarkan tentang sifat-sifat Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaha: 110).

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  1. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  2. Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani.Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. alukah.net.

Disusun saat di Adisucipto, 27 Dzulqa’dah 1440 H (30 Juli 2019)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

ngin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/20991-syarhus-sunnah-sifat-allah-itu-mahasempurna.html

Fatwa Tentang Kafarah Ghibah

Pertanyaan:
Apakah kafarah untuk dosa ghibah adalah dengan mendoakan ampunan bagi orang yang dighibahi dengan mengatakan “اللهمّ اغفر لنا و له” (Ya Allah ampuni aku dan orang yang aku ghibahi). Dan apa makna ghibah sendiri wahai Syaikh?

Syaikh Shalih Al Fauzan menjawab:

Tentang hadits tersebut aku belum pernah menjumpai sedikitpun. Adapun ghibah sendiri hukumnya haram, dan termasuk salah satu dari dosa besar. Allah Subhanallahu Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari praktek ghibah, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujurat: 12).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim dengan muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya, dan haram kehormatannya” (HR. Muslim No. 2564).

Maka ghibah adalah perbuatan haram, dan salah satu dari dosa besar dan perbuatan yang menjijikkan.

Lalu apa itu ghibah?

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan makna dari ghibah ketika ditanya tentang perkara tersebut. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu
Sahabat bertanya,

أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟

Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya?”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab,

إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya” (HR. Muslim no. 2579).

Sehingga, ghibah adalah sebagaimana yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebutkan, yakni “Engkau menyebutkan tentang saudaramu hal yang tidak dia sukai”. Maka jika saudaramu tidak ada di sampingmu ketika engkau menyebutkan hal-hal yang tidak dia sukai. Maka sungguh engkau telah mengghibahinya, menjatuhkan harga dirinya, dan engkau telah berdosa dengan dosa yang besar.

Apabila engkau menyesali perbuatan tersebut dan bertaubat kepada Allah Subhanallahu Ta’ala. Maka sesungguhnya pintu taubat terbuka untukmu. Akan tetapi, ini adalah perbuatan kepada sesama makhluq. Dan diantara syarat diterimanya taubat adalah engkau menyucikan orang yang telah engkau ghibahi. Oleh karena itu, wajib atasmu untuk menyambung hubungan baik dengan saudaramu dan engkau menyampaikan hal tersebut kepadanya, dan engkau meminta maaf kepadanya. Namun, jika hal tersebut justru mengkhawatirkanmu berdampak pada kerusakan yang lebih besar. Maka, cukup engkau mintakan ampunan untuknya kepada Allah Ta’ala, dan memuji-muji dia, semoga Allah Subhanallahu Ta’ala mengampunimu.

Wallahu a’lam.
***
Penerjemah: Imroatus Sholikha

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11587-fatwa-tentang-kafarah-ghibah.html

Syarhus Sunnah: Allah Dekat pada Kita yang Berdoa

Allah itu begitu dekat (qoriib) pada hamba yang berdoa. Allah juga memiliki keperkasaan. Itulah yang akan dibahas dalam bahasan Imam Al-Muzani rahimahullah dalam Syarhus Sunnah berikut ini.

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

قَرِيْبٌ بِالإِجَابَةِ عِنْدَ السُّؤَالِ بَعِيْدٌ بِالتَّعَزُّزِ لاَ يُنَالُ

“Allah itu dekat ketika ada yang berdoa. Allah itu jauh keperkasaan-Nya dari makhluk, tidak mungkin dikalahkan oleh makhluk.”

Allah dekat pada orang yang berdoa

Allah itu mengabulkan doa orang yang meminta ketika ada yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghaib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari, no. 2992 dan Muslim, no. 2704).

Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ

“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdoa ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas (surah Al-Baqarah ayat 186). (Majmu’ah Al-Fatawa, 35:370)

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdoa (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5:247)

Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:

  1. Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
  2. Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdoa pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) doanya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 77)

Kedekatan Allah pada orang yang berdoa adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdoa dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ah Al-Fatawa, 15:17)

Kedekatan Allah ketika sujud

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Keadaan seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang bersujud, maka perbanyaklah berdoa saat itu.” (HR. Muslim, no. 482)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ – عَزَّ وَجَلَّ – ، وَأمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Allah. Sedangkan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa tersebut pasti dikabulkan untuk kalian.” (HR. Muslim, no. 479)

Aturan berdoa ketika sujud:

(1) berdoa ketika sujud setelah membaca bacaan saat sujud seperti “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”,

(2) berdoa ketika sujud tidak dikhususkan pada sujud yang terakhir,

(3) berdoa dengan bahasa Arab,

(4) boleh berdoa dengan doa yang berasal dari Al-Quran,

(5) tidak boleh telat dari imam ketika berdoa saat sujud.

Allah memiliki ‘izzah

Walaupun Allah dekat, Allah memiliki ‘izzah (keperkasaan). Allah memiliki ‘izzah: (1) ‘izzah al-quwwah (keperkasaan dalam kekuatan), (2) ‘izzah al-ghalabah (keperkasaan tidak ada yang dapat mengalahkan), (3) ‘izzah al-imtina’ (keperkasaan tidak ada yang dapat mencegah).

Dalil bahwa Allah memiliki sifat ‘izzah adalah firman Allah,

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 18)

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ

Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Hud: 66)

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ,لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS. Thaha: 5-6)

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  1. Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani.Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Darul Mirats An-Nabawiy.
  2. Majmu’ah Al-Fatawa.Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’ dan Ibnu Hazm.
  3. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  4. Tafsir As-Sa’di.Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  5. Tamam AlMinnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani.Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. alukah.net.

Disusun saat perjalanan Panggang – Jogja, 19 Dzulhijjah 1440 H (20 Agustus 2019)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21200-syarhus-sunnah-allah-dekat-pada-kita-yang-berdoa.html

Hukum Perlombaan Dalam Islam

Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas manusia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai macam hal yang diperlombakan di masyarakat. Terkadang perlombaan juga disertai dengan adanya hadiah bagi pemenangnya. Bagaimana pandangan Islam mengenai perlombaan?

Musabaqah dari as sabqu yang secara bahasa artinya:

القُدْمةُ في الجَرْي وفي كل شيء

“Berusaha lebih dahulu dalam menjalani sesuatu atau dalam setiap hal” (Lisaanul Arab).

Maka musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):

المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام

“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.

Hukum Asal Lomba

Sekedar perlombaan, yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini tentu hukum asalnya mubah (boleh). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam lomba tersebut terdapat taruhan atau hadiah. Adapun sekedar lomba tanpa taruhan dan hadiah, hukum asalnya boleh. Karena perlombaan merupakan perkara muamalah. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

الأصل في المعاملات الحِلُّ

“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.

Selain itu, para ulama ketika membahas masalah musabaqah, umumnya mereka mengidentikkan dengan perlombaan yang melatih orang agar siap untuk berjihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

السباق بالخيل والرمي بالنبل ونحوه من آلات الحرب مما أمر الله به ورسوله مما يعين على الجهاد في سبيل الله

“Perlombaan kuda, melempar, memanah dan semisalnya merupakan alat-alat untuk berperang yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk membantu jihad fi sabilillah” (dinukil dari Al Mulakhas Al Fiqhi, 2/156).

Oleh karena itu diantara dalil tentang disyariatkannya lomba adalah dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk melatih diri sehingga siap untuk berjihad fi sabilillah. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al Anfal: 60).

Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu:

سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:

ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak.”

Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ

“Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5498).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ia berkata:

سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ [5/327]).

Dan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya dan bahkan dianjurkannya perlombaan memanah, berkuda, dan melempar (skill menembak).

Hukum Lomba Dengan Hadiah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:

لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ

“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).

Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ

“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).

Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits, jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ

“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba menanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).

Dan semua lomba yang bermanfaat untuk membantu jihad fi sabilillah, maka diqiyaskan dengan tiga lomba tersebut, sehingga dibolehkan mengambil hadiah dari lombanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Lomba yang berhadiah hukumnya haram kecuali yang diizinkan oleh syariat. Yaitu yang dijelaskan oleh sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta.”

Maksudnya, tidak boleh ada iwadh (hadiah) pada lomba kecuali pada tiga hal ini. Adapun nashl, maksudnya adalah memanah. Dan khiff maksudnya adalah balap unta. Dan hafir artinya balap kuda. Dibolehkannya hadiah pada tiga lomba tersebut karena mereka merupakan hal yang membantu untuk berjihad fi sabilillah. Oleh karena itu kami katakan, semua perlombaan yang membantu untuk berjihad, baik berupa lomba menunggang hewan atau semisalnya, hukumnya boleh. Qiyas kepada unta, kuda dan memanah. Dan sebagian ulama juga memasukkan dalam hal ini perlombaan dalam ilmu syar’i, karena menuntut ilmu syar’i juga merupakan jihad fii sabilillah. Oleh karena itu perlombaan ilmu-ilmu syar’i dibolehkan dengan hadiah. Diantara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah” (https://www.youtube.com/watch?v=7xWSOcOWkXw)

Dengan demikian lomba yang diperbolehkan untuk mengambil hadiah adalah:

  1. Semua lomba yang membantu perang dalam rangka jihad fi sabilillah, misalnya lomba memanah, menembak, bela diri, balap kuda, balap unta, balap lari, renang, menyelam dan semisalnya
  2. Semua lomba ilmu-ilmu syar’i seperti lomba hafalan Al Qur’an, lomba tilawah Al Qur’an, lomba hafalan hadits, dan semisalnya

Adapun yang tidak termasuk dua kategori ini maka tidak boleh ada hadiah dalam perlombaan.

Hukum Lomba Dengan Taruhan

Untuk lomba-lomba yang dibolehkan untuk diperlombakan, bolehkan ada taruhan? Sebelum membahas hukum lomba dengan taruhan, maka perlu kita rinci mengenai jenis-jenis hadiah lomba. Hadiah lomba ditinjau dari penyedianya ada tiga macam:

1. Yang menyediakan hadiah adalah salah satu peserta lomba.

Semisal Fulan dan Alan berlomba. Maka Fulan mengatakan: “Kalau kamu bisa mengalahkan saya maka silakan ambil uang saya 100 dinar”. Maka ini hukumnya boleh dan hadiahnya halal.

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):

إِذَا كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ بَيْنَ فَرِيقَيْنِ أَخْرَجَ الْعِوَضَ أَحَدُ الْجَانِبَيْنِ الْمُتَسَابِقَيْنِ كَأَنْ يَقُول أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إِنْ سَبَقْتَنِي فَلَكَ عَلَيَّ كَذَا، وَإِنْ سَبَقْتُكَ فَلاَ شَيْءَ لِي عَلَيْكَ. وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ هَذَا

“Jika perlombaan dilakukan antara dua orang atau dua kelompok. Lalu salah satu peserta menyediakan hadiah, semisalnya ia mengatakan: “Jika engkau bisa mengalahkan saya, maka engkau bisa mendapatkan barang saya ini, kalau saya yang menang maka saya tidak mengambil apa-apa darimu”. Maka tidak ada khilaf di antara ulama bahwa ini dibolehkan”.

2. Yang menyediakan hadiah adalah penguasa atau orang lain di luar peserta lomba.

Semisal lomba yang diadakan pemerintah atau diadakan oleh perusahaan dan hadiah dari perusahaan, maka hukumnya boleh dan hadiahnya halal.

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):

أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مِنَ الإِْمَامِ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الرَّعِيَّةِ، وَهَذَا جَائِزٌ لاَ خِلاَفَ فِيهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ مَالِهِ أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَال؛ لانَّ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةً وَحَثًّا عَلَى تَعَلُّمِ الْجِهَادِ وَنَفْعًا لِلْمُسْلِمِينَ

“Jika hadiah disediakan oleh pemerintah atau dari masyarakat (yang tidak ikut lomba), maka ini dibolehkan tanpa ada khilaf di dalamnya. Baik dari harta pribadi penguasa atau dari Baitul Mal. Karena di dalamnya terdapat maslahah berupa motivasi bagi masyarakat untuk mempelajari berbagai ketangkasan untuk berjihad dan juga bisa bermanfaat bagi kaum Muslimin”.

3. Yang menyediakan hadiah adalah para peserta lomba.

Maka ini merupakan rihan atau murahanah (taruhan). Namun ulama khilaf apakah dibolehkan bagi lomba-lomba yang disyariatkan untuk dilakukan dengan taruhan dalam tiga pendapat:

  1. Jumhur ulama mengatakan hukumnya haram karena merupakan qimar (judi).
  2. Pendapat kedua, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim mengatakan hukumnya boleh. Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  3. Pendapat ketiga, boleh jika ada muhallil. Ini pendapatnya Sa’id bin Musayyab, Az Zuhri, Al Auza’i dan Ishaq bin Rahawaih. Muhallil adalah orang yang ikut berlomba namun tidak mengeluarkan harta untuk hadiah. Ini berdasarkan hadits:

مَن أدخلَ فرسًا بينَ فرسَينِ يعني وَهوَ لا يؤمَنُ أن يَسبِقَ فلَيسَ بقِمارٍ ومَن أدخلَ فرسًا بينَ فرسَينِ وقد أمِنَ أن يَسبِقَ فَهوَ قِمارٌ

“Barangsiapa yang mengikut-sertakan kuda ketiga antara dua kuda yang sedang berlomba, sedangkan pemilik kuda ketiga tersebut tidak berniat ikut lomba, maka ini bukan qimar. Barangsiapa yang mengikut-sertakan kuda ketiga antara dua kuda yang sedang berlomba, sedangkan pemilik kuda ketiga tersebut berniat ikut lomba maka ia qimar” (HR. Abu Daud no. 2579, Ibnu Majah no. 572).

Namun hadits ini derajatnya lemah. Dijelaskan kelemahannya oleh Al Bazzar (Musnad Al Bazzar, 14/229), Ibnu Adi (Al Kamil fid Du’afa, 4/416), Ibnu Taimiyah (Bayanud Dalil, 83), dan Ibnul Qayyim (Al Furusiyyah, 212).

Wallahu ta’ala a’lam pendapat yang rajih dalam pandangan kami adalah pendapat kedua. Karena dalam hadits disebutkan:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta”

Hadits ini menggunakan lafadz “laa sabaqa”. Sedangkan makna as sabaq secara bahasa adalah:

ما يجعل من المال رَهْناً على المُسابَقةِ

“Yang dipertaruhkan dalam perlombaan.” (Lisaanul ‘Arab).

Maka zhahir hadits ini menunjukkan bolehnya taruhan dalam tiga lomba yang disebutkan dalam hadits. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

لا يجوز الرهان إلا في مسائل ثلاث: في الخيل والإبل والمسابقة على الرمي، لقوله -صلى الله عليه وسلم-: “لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر”. هذا يجوز له المراهنة بالمال، يعني جعل مال لمن سبق بالرمي من أصاب الهدف أول، أو بالخيل أو بالإبل، من سبق يكون له كذا وكذا، هذا فعله النبي -صلى الله عليه وسلم- سابق بين الخيل وأعطى السبق

“Tidak diperbolehkan taruhan kecuali pada tiga lomba: balap kuda, balap unta dan memanah. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam: ‘Tidak boleh ada lomba, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta’. Untuk lomba-lomba ini dibolehkan taruhan dengan harta. Yaitu ju’alah berupa harta bagi orang yang paling tepat sasaran ketika memanah atau paling awal sampai ketika balap kuda atau unta. Yang menang mendapatkan ini dan itu. Ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam lomba balap kuda, dan beliau memberikan hadiah.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).

Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Ini jika lomba yang diperlombakan termasuk lomba yang diizinkan oleh syariat sebagaimana telah dijelaskan. Jika lomba yang diperlombakan tidak termasuk lomba yang diizikan oleh syariat dan terdapat taruhan di sana maka hukumnya terlarang karena dua hal:

  1. Ia termasuk lomba yang terlarang
  2. Taruhan tersebut merupakan qimar (judi)

Allah Ta’ala berfirman melarang qimar dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

أما المسابقة بالأقدام أو بالمطارحة أو ما أشبه ذلك، هذا ما يجوز هذا يسمى قمار, ما يجوز, وكذلك لو جعل –مثلاً- من أصاب رقم كذا أو كذا يعطى سيارة أو يعطى كذا أو يعطى كذا، على أن يقدم كل واحد عشرين ريال أو خمسين ريال أو مئة ريال يقيد عندهم فمن أصاب الرقم الفلاني أخذ السيارة أو أخذ شيء آخر من المال هذا من القمار ما يجوز هذا

“Adapun (taruhan pada) perlombaan balap jalan atau lemparan atau semisalnya (yang tidak diizinkan syariat) ini tidak diperbolehkan. Inilah yang disebut qimar. Tidak diperbolehkan. Demikian juga misalnya orang yang membayar 20 riyal atau 50 riyal atau 100 riyal lalu mendapat kupon dan nomor kupon tertentu akan mendapatkan mobil atau hadiah yang lain, ini adalah qimar (judi) dan tidak diperbolehkan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).

Demikian, semoga bermanfaat bahasan yang ringkas ini. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41916-hukum-perlombaan-dalam-islam.html

Bahaya Memberikan Persaksian Palsu (Bag. 1)

Seseorang yang memberikan persaksian di pengadilan, haruslah bersaksi dengan jujur dan tidak memberikan kesaksian bohong. “Memberikan persaksian” yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas dengan menjadi “saksi” saja di muka pengadilan. Akan tetapi, termasuk juga advokat (pengacara) atau pihak-pihak yang juga ikut berbicara di depan persidangan untuk didengar keterangannya oleh hakim pengadilan. Ketika saksi atau pengacara itu memberikan kesaksian dengan memutar fakta dan bersilat lidah, sehingga yang benar tampak salah dan yang salah tampak menjadi benar, keduanya terancam dengan dalil-dalil di bawah ini.

Dalil-dalil yang menunjukkan adanya ancaman dari memberikan persaksian palsu

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun merugikan dirimu sendiri, atau ibu bapak, dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita agar menjadi saksi karena Allah, meskipun persaksian kita merugikan diri kita atau kerabat kita sendiri karena memang bersalah dalam kasus yang disidangkan. Hubungan kekerabatan tidaklah menyebabkan kita bersaksi palsu atau bohong demi menyelamatkan kerabat kita dari hukuman atas kesalahannya.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 140)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, 

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ

“Apakah kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?” 

Beliau menyatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” 

Beliau pun bersabda, 

الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua.” 

Lalu beliau bangkit untuk duduk dari sebelumnya berbaring, kemudian melanjutkan sabdanya, 

أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ

“Ketahuilah, juga ucapan keji (curang).” 

Dia berkata, “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakan, ‘Duh, sekiranya beliau berhenti.” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengubah posisi duduk beliau dan mengatakannya berulang kali, yang menunjukkan bahaya dan gawatnya perkara ini.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang al-kabaa’ir (dosa-dosa besar). Maka beliau bersabda,

الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang, dan bersumpah palsu.” (HR. Bukhari no. 2653 dan Muslim no. 88)

Dari Khuraim bin Fatik Al-Asadi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, 

قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ قَائِمًا فَقَالَ عُدِلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ بِالْإِشْرَاكِ بِاللَّهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ ثُمَّ قَرَأَ : فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنْ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat subuh. Selesai shalat, beliau bangkit dan berkata, “Persaksian palsu itu disamakan dengan perbuatan mensekutukan Allah.” 

Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membacakan ayat, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah.” (QS. Al-Hajj [22]: 30).” (HR. Abu Dawud no. 3599, Tirmidzi no. 2300, Ibnu Majah no. 2372)

Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar bahaya dan dosa dari orang-orang yang memberikan kesaksian palsu di pengadilan, baik dia berbicara sebagai saksi, sebagai advokat (pengacara), atau pihak-pihak terkait lainnya.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50892-bahaya-memberikan-persaksian-palsu-bag-1.html