Jangan Kotori Hati dengan Kebencian dan Dendam

DALAM kehidupan ini selalu saja ada jenis manusia yang pekerjaannya menebar fitnah, provokasi dan kebohongan. Biasanya mereka banyak berulah yang kadang menimbulkan masalah terhadap kita disebabkan fitnah dan provokasi yang mereka lancarkan.

Kadang sahabat dan teman kita menjauhi kita dan menjaga jarak dengan kita disebabkan oleh ulah mereka. Perlu Anda ketahui bahwa banyak di antara mereka yang terlibat atau terpengaruh fitnah, provokasi dan kebencian tersebut tidak memahami permasalahan yang sebenarnya.

Apa yang harus kita lakukan jika terjadi hal seperti itu kepada kita?

1. Jangan pernah mundur dan menyerah. Anda harus yakin bahwa semua itu pasti berlalu dan dengan pertolongan Allah Anda mampu menghadapi semua itu. Yakinlah, bahwa “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, demikian firman Allah dalam surat “Alam Nasyrah” ayat 5-6.

2. Tetaplah berbuat kebaikan dan buktikan dengan perbuatan nyata bahwa semua fitnah tersebut adalah palsu sehingga terbongkarlah kebohongan si penebar fitnah tersebut.

3. Jangan mengotori hati Anda dengan kebencian dan dendam kepada mereka karena hal itu tidak berfaedah dan hanya menimbulkan kerugian Anda.

4. Perbanyak istighfar dan bertobat kepada Allah serta mengoreksi diri (muhasabah) atas apa yang kita lakukan selama ini.

5. Jika dada Anda terasa sempit oleh ulah mereka lakukanlah dua hal ini;

a). Bertasbih dengan memuji Allah (memperbanyak berdzikir kepada Allah).

b). Bersujud (salat).

Allah Taala berfirman:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,

“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),” [QS 15 Al Hijr, Ayat 97-98]

6. Jika Anda sabar, tegar dan kokoh pasti Allah berikan kemenangan kepada Anda karena kesabaran adalah bala tentara terkuat yang tidak terkalahkan dengan izin Allah.

7. Anda harus menyadari bahwa semua ini adalah ujian yang akan menjadikan Anda semakin mulia dan sukses jika Anda berhasil menghadapinya.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sukses dunia akhirat. [Abdullah Hadrami]

INILAH MOZAIK

Berilmu Tapi Tidak Perhatian Terhadap Amal

Fenomena yang tampak, seringkali ada orang yang rajin menuntut ilmu, tapi enggan untuk mengamalkannya. Sejatinya yang demikian bukanlah dianggap berilmu, karena seharusnya buah akhir dari benarnya ilmu seseorang adalah dengan mengamalkannya. Menuntut ilmu merupakan amalan yang agung dan mulia, karena ilmu merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan agung penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepad Allah semata.

Tujuan Mempelajari Ilmu

Mempelajari ilmu sejatinya bukanlah hanya untuk menguasai ilmu itu sendiri, namun ilmu dipelajari untuk diaplikasikan dalam pengamalan. Seluruh ilmu syar’i yang ada, syariat memerintahkan untuk mempelajarinya sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk tujuan yang lainnya. Hal ini bisa ditunjukkan dari beberapa sisi berikut :

Tujuan Adanya Syariat

Tujuan adanya syariat adalah agar manusia beribadah kepada Allah, dan tidak mungkin seseorang bisa mengamalkan syariat tanpa mengilmuinya. Inilah tujuan pengutusan seluruh para nabi. Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ

“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu. “ (Al Baqarah : 21)

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ اللّهَ إِنَّنِي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ

“ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya. “ (Huud:1-2)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“ Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan yang benar melainkan Aku, maka sembahlah Aku. “ (Al Anbiya’: 25)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“ Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab Al Qur’an dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. .Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. (Az Zumar : 2-3)

Beberapa ayat di atas dan banyak ayat lainnya menunjukkan bahwa maksud dari ilmu adalah agar digunakan untuk beribadah kepada Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya serta agar melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya.

Ruh Dari Ilmu Adalah Amal

Adanya banyak dalil yang menunjukkan bahwa ruh dari ilmu adalah amal. Tanpa amal, ilmu tidak akan bermanfaat. Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. “ (Fathir : 28)

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.“ (Az-Zumar :9)

Dalil di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah wasilah, bukan merupakan tujuan itu sendiri. Ilmu adalah wasilah untuk beramal. Setiap hal yang menujukkan keutamaan ilmu maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk beramal. Dan sudah dimaklumi, bahwasanya ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah. Oleh karena itu belum akan merasakan keutamaan pemilik ilmu tersebut sampai dia membenarkan konsekuensi dari ilmu tersebut yaitu beriman kepada Allah.

Ancaman Bagi yang Tidak Mengamalkan Ilmu

Terdapat dalil yang menunjukkan ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Orang yang berilmu akan ditanya tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan dari ilmunya tersebut. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ilmunya sia-sia dan akan menjadi penyesalan baginya. Allah berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“ Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? “ (Al Baqarah : 44)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“ Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (Ash Shaf 2-3)

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“ Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.“ (Huud : 88)

Semoga bermanfaat. Menjadi renungan bersama bagi kita, bahwa tujuan kita mempelajari ilmu tidak lain adalah untuk diamalkan. Kita berharap terhindar dari sifat orang yang berilmu tapi tidak perhatian terhadap amal. Semoga Allah menambah kepada kita ilmu yang bermanfaat dan mengkaruniakan kepada kita istiqomah dalam mengamalkannya.

Sumber bacaan : Asbaabu Ziyaadatil Iimaan wa Nuqshaanihi karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51406-berilmu-tapi-tidak-perhatian-terhadap-amal.html

Hukum Jimat dengan menggunakan Al-Qur’an

Jimat adalah kesyirikan, tidak diperbolehkan seorang muslim menggunakannya atau meyakini jimat bisa membawa keberuntungan dan menjauhkan dari bahaya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.’”(HR. Bukhari)

dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.” (HR. Abu Dawud, shahih)

Bagaimana apabila jimatnya menggunakan Al-Qur’an? Ada dua pendapat ulama:

Pertama: membolehkan jimat menggunakan Al-Quran

Kedua: melarang jimat dengan Al-Qur’an dan inilah pendapat yang TERKUAT

Berikut penjelasannya:

1. Pendapat yang membolehkan

Alasan ulama yang membolehkan karena ini dalam rangka tabarruk yang syar’i dengan kalamullah dan asma’ (nama) Allah yang ada di dalamnya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,

هذا كله في تعليق التمائم وغيرها مما ليس فيه قرآن ونحوه، فأما ما فيه ذكر الله فلا نـهي فيه؛ فإنه إنـما يجعل للتبرك به والتعوذ بأسـمائه وذكره

“Semua (hadist) yang melarang mengenai menggantung jimat yang dan yang lainnya adalah karena tidak ada al-Quran di dalamnya (tidak dikecualikan). Adapun apabila ada ‘penyebutan nama Allah’ maka tidak ada larangannya. Hal tersebut dijadikan sebagai tabarruk dan ta’awwudz dengan nama Allah.” (Fathul Bari 6/142)

Demikian juga Al-Qurthubi menukilkan perkataan imam Malik, beliau berkata:

وقال الإمام مالك: لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك

“Tidak mengapa menggantungkan (sebagai jimat) lembaran yang ada ‘nama Allah’ pada leher orang sakit untuk tabarruk.” (Tafsir Al-Qurthubi 10/319)

2. Melarang jimat dengan Al-Qur’an

Inilah pendapat yang TERKUAT dengan berbagai pertimbangan ulama dan lebih menenangkan hati. Dijelaskan dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah” tentang 3 alasan tidak bolehnya jimat menggunakan Al-Quran:

واحتج هؤلاء لما ذهبوا إليه بما يأتي

 عموم النهي في الأحاديث ولا مخصص للعموم

سد الذريعة، فإنه يفضي إلى تعليق ما اتفق على تحريمه

أنه إذا علق فلا بد أن يمتهنه المعلق بحمله معه في حال قضاء الحاجة

“Para ulama berhujjah atas pendapat mereka dengan alasan sebagai berikut:

1.Keumuman larangan dalam hadits (larangan jimat) dan tidak ada yang mengkhususkan

2.Dalam rangka menutup jalan menuju ke arah kesyirikan karena hal ini bisa mengantarkan kepada apa yang telah disepakati keharamannya

3.Apabila digantungkan/dipakai, pasti yang memakai akan membawanya akan ikut masuk ketika buang hajat (ke kamar mandi tidak boleh membawa AL-Quran dan lafadz nama Allah). (AL-Muasu’ah Al-Kuwaitiyyah 14/31)

Demikian juga syaikh Abdul Aziz Bin Baz menjelaskan bahwa telah ma’ruf bahwa sahabat dan salaf dahulunya tidak membolehkan hal ini. Beliau berkata,

أنها لا تجوز وهذا هو المعروف عن عبدالله بن مسعود وحذيفة رضي الله عنهما وجماعة من السلف والخلف قالوا: لا يجوز تعليقها ولو كانت من القرآن سدًا للذريعة وحسمًا لمادة الشرك

“Tidak boleh (menggunakan jimat dengan Al-Quran) karena telah ma’ruf bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah serta para ulama dahulu dan sekarang mereka mengatakan: ‘Tidak boleh menggantungkan jimat walaupun dari Al-Quran untuk menutup jalan menuju kesyirikan dan untuk memangkas sumber kesyirikan.’” (Majmu’ Fatawa 1/51)

Kesimpulan: tidak boleh mengunakan jimat secara mutlah meskipun dari Al-Quran

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42823-hukum-jimat-dengan-menggunakan-al-quran.html

Tahap-Tahap dalam Mempelajari Ilmu Tauhid (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Tahap-Tahap dalam Mempelajari Ilmu Tauhid (Bag. 1)

Tahap-Tahap dalam Mempelajari Tauhid Uluhiyyah 

Dalam mempelajari tauhid uluhiyyah, maka di antara kitab yang dapat kita pelajari dimulai dari yang paling dasar dan mudah adalah sebagai berikut.

Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala  Kulli Muslim wa Muslimah

Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala  Kulli Muslim wa Muslimah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi. Dengan syarah (penjelasannya) yaitu kitab At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Utsman Al-Qar’awi*. [1]

Kitab ini sangat ringkas, namun kandungannya sangatlah penting. Dalam kitab ini terdapat penjelasan mengenai tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Selain itu, melalui kitab ini kita juga dapat mengetahui tauhid dan macam-macam tauhid, syarat-syarat kalimat tauhid, dan pembatal-pembatal Islam. Terdapat pula perincian singkat tentang kesyirikan, kufur, nifaq, dan sebagainya.

Kitab Al-Qowa’idul Arba

Kitab Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarahnya antara lain Syarh Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan*, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh, dan juga syaikh yang lainnya.

Kitab ini merupakan sebuah kitab ringkas yang berisi tentang penjelasan hakikat kesyirikan yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kitab ini, kita dapat mengenal bagaimana kondisi kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa saja sesembahan mereka, mengapa mereka disebut sebagai orang musyrik, dan mengapa mereka diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kitab Tsalaatsatul Ushuul

Kitab Tsalaatsatul Ushuul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini telah banyak sekali ditulis oleh para ulama. Antara lain Syarh Tsalaatsatul Ushul karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Ada pula kitab Taisiirul Wushuul ila Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul karya Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al-Wathr. Atau kitab Hushuulul Ma’muul karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan*Karena banyaknya syarah yang ada, kita dapat memilih satu sampai dua kitab saja untuk membantu kita mempelajari kitab ini.

Kitab Tsalaatsatul Ushuul merupakan kitab yang ma’ruf  (terkenal) di kalangan penuntut ilmu sebagai kitab dasar dalam memahami Tauhid Uluhiyyah. Di dalamnya terdapat penjelasan tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu mengenal Allah, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga hal inilah yang akan ditanyakan di alam kubur nanti. Di dalam kitab ini juga terdapat penjelasan tentang perincian macam-macam ibadah. Selain itu terdapat juga pembahasan tentang rukun iman dan rukun Islam meskipun secara global. [2]

Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid

Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini juga banyak sekali. Antara lain kitab Fathul Majiid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh*; kitab Taisir Al-‘Aziz Al-Hamiid karya Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alu Syaikh; Al-Qoulus Sadiid karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di; Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*; I’anatul Mustafiid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan; atau At-Tamhiid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh dan masih ada lagi beberapa kitab lainnya. Kita dapat memilih Al-Qoulul Mufiid dan I’anatul Mustafiid karena bahasanya yang mudah dipahami dan pembahasannya yang cukup lengkap. [3]

Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap tentang perincian tauhid dan syirik. Belum ada satu pun kitab yang membahas tauhid dan syirik secara lengkap dan terperinci seperti kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini dengan baik, maka kita akan dengan mudah membedakan tauhid dan syirik semudah kita membedakan antara siang dan malam.

Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat 

Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat  karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini antara lain Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Atau kitab At-Taudhihaat Al Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al Hubdaan. Syarah yang dapat kita pilih adalah At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat dan Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh.

Setelah mempelajari perincian tauhid dan syirik pada Kitab Tauhid, pasti kita akan menghadapi berbagai macam syubhat (pemikiran-pemikiran yang menyimpang) dalam rangka membela kesyirikan. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari bagaimana cara menghadapi dan menjawab syubhat-syubhat tersebut, yaitu dengan mempelajari kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini, kita seolah-olah memiliki senjata yang dapat kita gunakan untuk menghadapi para penentang tauhid.

Sebelum mempelajari kitab ini, kita harus memiliki pemahaman yang baik terhadap ketiga kitab sebelumnya (yaitu kitab Qowa’idul Arba’, Tsalatsatul Ushul, dan Kitabut Tauhid). Pemahaman terhadap ketiga kitab di atas akan sangat membantu dalam memahami kitab Kasyfusy Syubuhaat ini. Karena untuk membantah syubhat-syubhat yang ada, sangat diperlukan pemahaman kaidah dasar yang terkandung dalam ketiga kitab tersebut.

Dengan mempelajari kelima kitab ini, sebetulnya kita telah memiliki bekal yang cukup dalam masalah tauhid uluhiyyah. Yang kita perlukan selanjutnya adalah senantiasa mengulang-ulang pelajaran tersebut agar pemahaman kita semakin kokoh. Namun bagi yang masih diberi waktu dan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk terus belajar, dapat melanjutkannya dengan mempelajari kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dengan syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah. 

Nasihat Dalam Belajar Tauhid

Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa belajar ilmu tauhid itu harus senantiasa diulang-ulang, tidak sebagaimana kita belajar ilmu fiqh misalnya. Seseorang mungkin saja bisa mempelajari tata cara shalat, wudhu, atau tayammum dalam sekali atau dua kali belajar, setelah itu dia bisa mengamalkannya sepanjang hidupnya. Akan tetapi, ilmu tauhid tidaklah demikian. Karena ilmu tauhid lebih banyak berkaitan dengan amalan hati. Bisa jadi hari ini kita belajar tauhid, akan tetapi tanpa kita sadari suatu saat hati kita condong dan berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Bisa jadi suatu saat hati kita lebih ber-tawakkal kepada selain Allah atau tidak merasa ridha dengan taqdir yang Allah Ta’ala tetapkan atas kita. Oleh karena itulah, kita perlu mempelajari tauhid berulang-ulang sehingga kita akan selalu siap waspada, kemanakah hati kita ini condong, kepada Allah atau selain Allah? [4]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51254-tahapan-mempelajari-ilmu-tauhid-2.html

Banyak Dosa Masa Lalu: Janganlah Sedih & Terpuruk

COBALAH simak kisah yang sangat luar biasa di bawah ini tentang agungnya ampunan Allah Subhanahu wa Taala,

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menukil sebuah kisah yang menarik untuk kita jadikan renungan; dari imam besar ahlus sunnah dari kalangan Atbaaut taabiiin [Lihat kitab “Jaamiul uluumi wal hikam” (hal. 464) dan “Latha-iful maaarif” (hal. 108)]

Fudhail bin Iyaadh rahimahullah ketika beliau menasihati seseorang lelaki, beliau berkata kepada lelaki itu: “Berapa tahun usiamu (sekarang)?”

Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun

Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”

Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu?Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia) & barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya”

Maka lelaki itu bertanya: “(Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)?”

Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah”

Lelaki itu bertanya lagi: “Apa itu?”

Fudhail berkata: “Engkau berbuat kebaikan (amal saleh) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (dosa-dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (dosa-dosamu) di masa lalu dan (dosa-dosamu) pada sisa umurmu”

Allah Taala juga berfirman, “Sesungguhnya Rabb-mu maha luas pengampunan-Nya” (QS an-Najm: 32).

Subhanallah. Lagi dan lagi Allah Taala telah menunjukkan kepada kita betapa pemurah dan sayang kepada setiap hambanya. Setiap hamba yang ingin menghambakan, memperbaiki diri dan istiqomah di jalan yang telah Allah Taala tunjukkan.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa” (HR.Ibnu Majah no. 4250)

Janganlah bersedih dan terpuruk atas banyaknya dosa-dosa kita di masa lalu, ketika kita tidak bisa mengubah masa lalu yang kelam tapi kita masih bisa untuk mengupayakan dan merubah masa depan menjadi lebih baik dan penuh rahmat.

Wallahu alam. [telegrammutiaraislam]

INILAH MOZAK

Kenalilah Allah di Waktu Senang

BILA hati dan akal tak mampu jadi kendali, bersabarlah dalam meniti jalan kebaikan. Berdoalah kala ditimpa musibah. Berzikirlah meski hidup tak pernah susah.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku mengajarkan kalimat kepadamu. Peliharalah Allah niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Allah kan mengenalmu di waktu kesempitan.”

Hati kita tak mudah terasa sakit lantaran kita masih punya tahmid. Hati kita tak mudah terasa perih lantaran kita masih punya tasbih. Hati kita tak kan merasa terkucil lantaran kita masih punya tahlil. Dan saat hati terasa getir masih ada takbir.

Bila ada basmalah semua masalah akan terasa mudah. Bila ada Al Fatihah mengapa hati harus resah. Dan dengan Alquran adalah jalan keluar semua urusan. Bila hati tak bisa lagi untuk berkaca. Bila akal tak kuasa untuk mencerna. Bila kesadaran tak lagi menjelma. Hilanglah semua kebaikan. Musnahlah segala kebenaran. Suburlah segala kenistaan. Tegaklah semua kebatilan. Menanglah tipu daya setan.

Perlu disadari bahwa tak ada manusia yang sempurna. Manusia tempat salah dan dosa. Sudah sewajarnya jika manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Hanya saja keharusan bagi kita orang-orang yang mengimani Allah mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan koreksi, evaluasi diri tiada henti.

Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Asah kepekaan hati agar mendapat rida Ilahi. Sirami jiwa agar senantiasa terjaga. Jangan biarkan hati ini gersang dan tandus. Bila sudah gersang dan tandus tak kan mungkin bisa menanam kebaikan hingga bersemailah keberkahan.

Bila kita mau sesungguhnya banyak hal yang bisa kita gunakan sebagai gurinda untuk menajamkannya. Berziarahlah ke kubur bila tak ingin hidup kita semakin ngawur. Kunjungilah para ulama yang bertakwa bila tak ingin hidup kita membawa petaka.

Selamilah hidup kaum salaf bila kita tak mau terjebak dalam khilaf. Dan berkumpullah dengan orang-orang yang sabar bila tak mau kesalahan kita semakin mengakar. Bergeraklah menebar kebaikan agar kelak sampai tujuan. Lakukan yang terbaik hanya untuk Allah. Dan akhir segalanya adalah kebersamaan kita dengan Allah Rabb orang-orang beriman.

[Ustazah Rochma Yulika]

INILAH MOZAIK

Shalat Istisqa (2)

Khutbah Istisqa

Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:

Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anahu:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)

Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid Al Mazini Radhiallahu’anahu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج بالناس ليستسقي فصلى بهم ركعتين جهر بالقراءة فيهما وحول رداءه ورفع يديه فدعا واستسقى واستقبل القبلة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar bersama orang-orang untuk istisqa’. Beliau lalu shalat mengimami mereka sebanyak 2 raka’at dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua raka’at. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil menghadap kiblat” (HR. Abu Daud no.1161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat. Diantara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan.

Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu atau perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata1 : “Apa yang diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu sebagian riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai dengan doa kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa, sehingga terjadilah perbedaan pendapat”

Membalik Rida’

Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan dalam istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri. Hadits-hadits yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadits Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadits ‘Aisyah yang sudah disebutkan.

Membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)

Namun para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, diantaranya hadits berikut:

رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – حين استسقى لنا أطال الدعاء وأكثر المسألة، ثم تحول إلى القبلة وحول رداءه فقلبه ظهرًا لبطن، وتحول الناس معه

Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa beliau memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida’-nya, kain yang atas di perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka” (HR. Ahmad, 4/41. Syaikh Al Albani dalam Tamaamul Minnah, 264, berkata: ‘Sanadnya qawi, namun lafadz ‘orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka‘ adalah lafadz yang syadz‘).

Kebanyakan ahli hadits menilai hadits ini atau semisalnya sebagai hadits yang syadz. Wallahu’alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya dianjurkan kepada imam.

Rida’ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya. Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah berkata: “Disunnahkan membalikkan rida’ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di sebelah kiri,yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain yang sejenis rida’, seperti abaya atau yang lain”2

Adab-Adab Istisqa

Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa, maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat mengenai hari pelaksanaan shalat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan:

ووعد الناس يومًا يخرجوا فيه

lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan

Kedua, keluar menuju lapangan tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu dan kerendahan hati. Sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di lapangan

Ketiga, mengajak semua orang untuk hadir, kecuali para wanita yang dapat menimbulkan fitnah. Ibnu Qudamah berkata: “Dianjurkan bagi semua orang untuk hadir. Lebih diutamakan lagi orang yang memiliki hutang, para masyaikh dan orang-orang shalih. Karena doa mereka lebih cepat diijabah. Para wanita, orang-orang yang sudah tua yang kecantikannya tidak menarik perhatian, tidak mengapa ikut keluar. Adapun para gadis atau wanita yang sangat cantik, tidak dianjurkan untuk keluar. Karena bahaya yang dapat terjadi dengan keluarnya mereka, lebih besar daripada manfaatnya”3.

Keempat, tidak ada adzan atau iqamah sebelum shalat istisqa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juga demikianlah praktek yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq:

خرج عبد الله بن يزيد الأنصاري ، وخرج معه البراء بن عازب وزيد بن أرقم ، رضي الله عنهم ، فاستسقى ، فقام بهم على رجليه على غير منبر ، فاستغفر ، ثم صلى ركعتين يجهر بالقراءة ، ولم يؤذن ولم يقم قال أبو إسحاق: ورأى عبد الله بن يزيد النبي – صلى الله عليه وسلم –

Abdullah bin Yazid Al Anshari keluar. Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam membersamainya. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka lalu ber-istisqa’. Abdullah bin Yazid berdiri tanpa menggunakan mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan, tanpa ada adzan dan iqamah”. Abu Ishaq berkata: “Abdullah bin Yazid pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no.1022)

Kelima, menasehati kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah, meninggalkan maksiat, memperbanyak istighfar, puasa dan sedekah. Kebiasaan ini dilakukan oleh para salafus shalih, sebagaimana Abdullah bin Yazid Radhiallahu’anhu, juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran4, beliau berkata:

إني كتبت إلى أهل الأمصار أن يخرجوا يوم كذا من شهر كذا؛ ليستسقوا، ومن استطاع أن يصوم ويتصدق؛ فليفعل؛ فإن الله يقول: {قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} (5) ، وقولوا كما قال أبواكم: {قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْتَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (1) ، وقولوا كما قال نوح: {وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ} (2) ، وقولوا كما قال موسى: {إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} (3) ، وقولوا كما قال يونس: {لا إِلَهَ إِلا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa’. Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya lakukanlah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan mengerjakan shalat‘. Dan berdoakan sebagaimana doa bapak kalian (Adam): ‘Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh: ‘Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus: ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim‘”

Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anahu berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasllam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Dalam riwayat Muslim:

أن النبي – صلى الله عليه وسلم – استسقى فأشار بظهر كفيه إلى السماء

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke langit

Juga disebutkan dalam hadits ‘Aisyah.

Ketujuh, imam membalikan badan ke arah kiblat, membelakangi para jama’ah, ketika berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah :

ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره

… kemudian beliau terus-menerus mengangkat kedua tangannya sampai terlihat ketiaknya yang putih, lalu membelakangi orang-orang…

juga dalam hadits Abdullah bin Zaid disebutkan:

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat

Doa-doa Istisqa

Berikut ini beberapa doa yang dipraktekkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa:

اللهم اسقنا، اللهم اسقنا، اللهم اسقنا

Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” (HR. Bukhari, no. 1013, 1014, Muslim no.897)

Dalam riwayat Muslim:

اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا

“Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x”

اللهم اسقنا غيثًا مغيثًا، مريعًا، نافعًا غير ضار، عاجلاً غير آجل

“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang terus-menerus, yang bermanfaat serta tidak membahayakan, yang datang dengan segera dan tidak tertunda” (HR. Abu Daud no.1169, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، ملك يوم الدين، لا إله إلا الله يفعل ما يريد، اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء، أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغًا إلى حين

Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

اللهم اسق عبادك، وبهائمك، وانشر رحمتك، وأحيي بلدك الميت

Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, serta hewan-hewan ternak, tebarkanlah rahmat-Mu, serta hidupkanlah negeri-negeri yang mati” (HR. Abu Daud no.1176, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

اللهم اسقنا غيثًا مريئًا مريعًا طبقًا عاجلاً غير رائث ، نافعًا غير ضار

Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang memberi kebaikan, yang terus-menerus, yang memenuhi bumi, yang datang dengan segera dan tidak tertunda, yang bermanfaat serta tidak membahayakan” (HR. Ibnu Maajah no.1269, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Demikian pembahasan singkat mengenai istisqa’, mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa orang-orang yang istisqa dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat bagi semua orang. Amiin ya mujiibas sailiin.


Catatan kaki

1 Fathul Baari, 2/500

2 Al Mulakhas Al Fiqhi 289

3 Al Mughni, 3/335

4 Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, 3/87, dengan sanad yang shahih

Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6856-shalat-istisqa-2.html

Kisah Infaq Tukang Becak, Bikin Ketua DKM Menangis Haru

“Ustadz, saya mau infaq untuk masjid,” kata tukang becak itu sambil menyerahkan enam lembar uang kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai.

“Kok banyak, Pak?” Sang Ustadz tahu, uang Rp 300.000 cukup banyak untuk seorang tukang becak.

“Ini uang BLT yang baru saya terima Ustadz,” jawab tukang becak, membuat mata Sang Ustadz berkaca-kaca.

“Sudah lama saya ingin menyumbang masjid ini Pak. Saya tiap hari mengayuh becak di daerah sini. Cukup jauh dari rumah. Saya sangat memerlukan masjid untuk ganti baju, mandi dan sebagainya. Awalnya saya pernah ke masjid lain untuk mandi, tapi beberapa hari kemudian saya dimarahi. ‘Masjid ini bukan tempat mandi!’”

“Lalu saya datang ke masjid ini karena dengar dari teman, Masjid Jogokariyan sangat ramah untuk siapa saja. Dan saya membuktikannya. Saya mandi pagi dan siang hari tidak ada yang memarahi. Bahkan dipersilakan jika butuh sesuatu. Saya jadi suka dengan masjid dan suka sholat jamaah, Ustadz. Sejak saat itu saya sangat ingin berinfak untuk masjid ini jika punya uang. Dan alhamdulillah sekarang saya dapat BLT,” Sang Ustadz tak kuasa menahan tangis karena haru.

Ibrah dari Kisah Infaq Tukang Becak

Dari kisah infaq tukang becak ini, DKM atau Takmir Masjid perlu mengambil ibrah. Bahwa semestinya masjid itu melayani umat dan menjadi solusi. Dan ketika pelayanan masjid dirasakan oleh umat, mereka merasa memiliki dan dengan ikhlas berinfaq dengan sesuatu yang mereka cintai.

Ustadz Muhammad Jazir, Ketua DKM Masjid Jogokariyan yang menjadi saksi ketulusan tukang becak itu mengungkapkan, pada tahun 1999, infaq di Masjid Jogokariyan hanya mencapai Rp 8.640.000 setahun. Setelah pelayanannya diperbaiki, infaq meningkat menjadi Rp 43 juta setahun pada tahun 2000-an. Meningkat terus pada kurun 2006-2008 menjadi Rp 225 juta per tahun. Lalu Rp 354 juta pada 2010. Dan kini, untuk infaq buka puasa saja mencapai milyaran rupiah.

Kedua, kita semua juga bisa mengambil ibrah dari tukang becak. Yang sangat ingin berinfak. Ia menunggu-nunggu kapan punya uang untuk berinfak. Dan saat menerima BLT, ia menginfakkan semuanya.

Bisa jadi, tukang becak itu telah melampaui kebajikan kita karena ia menginfakkan uang yang sebenarnya sangat ia butuhkan. Uang yang sebenarnya sangat ia suka ketika mendapatkannya.

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

Kisah infaq seperti ini hendaknya menguatkan kembali semangat kita untuk berinfaq. Yang dengannya kita bisa mencapai kebajikan yang sempurna. Yang dengannya kita mendapatkan cinta dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang dengannya musibah tercegah dan bahagia hadir dalam jiwa. Dan dengannya semoga kita mendapatkan ridha-Nya dan dijadikan ahli surga. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH


Ngaku Muslim Tapi tak Tampak Akhlak Mulia

AKHIR-AKHIR ini makin nyata adanya kelompok orang yang mengaku muslim dan beriman tetapi tidak menampakkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Gejala ini sangat banyak kita temui baik dalam rutinitas keseharian apalagi di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki, tak urung mewarnai “komunikasi” (kalau boleh disebut komunikasi) yang terjadi.

Kita pun dibuat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Islam, melakukan hal-hal seperti itu?” Untuk memahaminya, perlu dijelaskan adanya perbedaan antara orang-orang muslim (ber-Islam), mukmin (beriman), dan muhsin (ber-ihsan).

Definisi keislaman dipaparkan dalam Al-Hujurat ayat 14: “Orang-orang Arab Badui (a’rab, pengembara Badui yang belum mengembangkan peradaban, bukan ‘arab) itu berkata: Kami telah beriman…. Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah menjadi muslim (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

Sedang definisi keimanan dipaparkan dalam Al-Anfal ayat 2 -3: “Sesungguhnya orang2 beriman ialah mereka yg bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jadi kira-kira Muslim itu yang melaksanakan kewajiban syariah secara lahiriah, sedangkan Mukmin adalah sikap hati (batiniyah). Orang beriman (Mukmin) adalah yang gemetar hatinya bila mendengar kata Allah dan bertambah terus imannya ketika membaca ayat Allah. Mukmin menjaga dan menghayati shalatnya–yakni menghadirkan hati dalam ibadah–dan melahirkan amal-amal saleh antara lain dalam bentuk sedekah.

Sedang berkenaan dengan Ihsan, Allah Swt. berfirman dalam Al-Mulk, ayat 23: “… Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih sempurna amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dalam hadis Jibril disebutkan ihsan adalah menyembahNya dalam keadaan kita (seolah-olah, yakni bukan dengan mata fisik) melihat Allah Swt. Atau kalau kita tidak bisa merasa seolah melihatNya, kita yakin bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Dalam hadis lain dikatakan: “Allah Swt. cinta pada orang yang jika menyelesaikan pekerjaan, dia selesaikannya dengan ihsan (sempurna).”

Ada juga dalam hadis lain disebutkan: “Allah telah menetapkan al-ihsan dalam semua hal.” (HR Muslim)

Ada 166 ayat yang mengandung kata ihsan dan turunannya. Salah satunya yang populer: “Sungguh Allah menyuruh berlaku adil & berbuat ihsan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90 )

Segera tampak bahwa ihsan terkait erat dengan kepemilikan dan penerapan akhlak mulia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang berihsan tak hanya menahan marah, tetapi juga memaafkan orang yang bersalah padanya dan menyempurnakannya dengan berbuat baik padanya.

Sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran: 134; “Dan orang yang menahan marahnya & yg memaafkan kesalahan org2. Dan Allah mencintai org yang menyempurnakan kebaikan (berbuat ihsan).”

Yang menarik dalam ayat di atas adalah bahwa Allah sendiri tidak pernah menyebut diriNya “mencintai orang-orang beriman” atau “orang-orang Muslim”, tetapi “mencintai orang-orang yang berihsan”.

Ihsan adalah menyempurnakan seluruh amal agar secara spiritual kita makin dekat kepadaNya. Maka tak sedikit ulama mengidentikkan Ihsan dengan tasawuf.

Dan bukan kebetulan juga tasawuf disebut mazhab cinta, yang mempromosikan hubungan saling cinta manusia dengan Allah (dan dengan manusia serta makhluk-makhluk lain). Penjelasan lebih panjang tentang tasawuf sebagai mazhab cinta antara lain ada di buku saya: ISLAM Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Jadi, Islam-Iman-Ihsan sejajar dengan Syariah-Akidah-Tasawuf (akhlak). Ketiganya tak terpisahkan, tapi puncaknya adalah akhlak. Dengan kata lain, puncak keislaman kita harus terwujud pada kepemilikan/penerapan akhlak mulia. Tak akan banyak berarti bila kita mengaku Islam, dan tak akan terbukti mengaku beriman, kecuali jika kita telah benar-benar memiliki/menerapkan akhlak mulia. Inilah makna hadis Nabi Saw.: “Aku tak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Demikian juga inti dari firmanNya yang sering kita ulang-ulang: “Dan tak Kami utus kau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) untuk alam semesta.”

Maka, orang-orang yang mengaku Muslim tapi tak berakhlak mulia bisa jadi baru mencapai tahap Islam, mungkin iman, tetapi belum ihsan. WalLah a’lam. [haidar bagir dalam islamindonesia]

INILAH MOZAIK

Merasa Banyak Dosa atau Banyak Amal?

SEORANG santri bertanya tentang ungkapan perasaan seorang hamba yang merasa banyak dosa. Hamba tersebut mengharapkan surga, akan tetapi dia merasa tidak pantas untuk mendapatkannya. Dia merasa dirinya lebih pantas di neraka, akan tetapi dia sangat tidak menginginkannya. Lalu, tambah santri tadi, hamba yang seperti itu termasuk contoh orang seperti apa?

Saudaraku, merasa banyak dosa itu sesungguhnya jauh lebih baik dibanding merasa banyak amal. Orang yang merasa banyak amal biasanya akan sombong. Lain halnya dengan orang yang merasa banyak dosa, dia akan memperbanyak tobat.

Namun demikian, penting untuk diingat, kalau kita merasa banyak dosa itu bukan berarti kita harus mengumumkan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Pernah begini, pernah begitu, sudah melakukan ini, sudah melakukan itu, dan lainnya. Jangan! Maksudnya bukan seperti itu, bukan membuka aib diri. Nanti, kita bisa jadi kufur nikmat karena selama ini Allah Ta’ala telah menutupi dosa dan aib kita. Tobat kita hanya kepada-Nya.

Ketika Allah Taala menyukai seorang hamba, hati hamba itu akan dibukakan oleh Allah untuk melihat dosanya yang besar. Dia seolah-olah melihat gunung yang akan jatuh menimpanya. Dia merasa sangat terancam dengan dosanya sehingga dia sangat sedih dan banyak bertobat.

Dia pun menjadi sangat sulit untuk sombong. Dia terus berharap ampunan dan rahmat Allah Ta’ala. Namun, terhadap orang lain, Allah justru membukakan hati mereka untuk melihat kemuliaan amalnya. Aib dan dosanya ditutup oleh Allah Ta’ala. Orang semacam inilah yang termasuk orang beruntung.

Berbeda dengan orang celaka, dia tidak mampu melihat atau menyadari dosanya sendiri. Dia merasa suci, mulia, dan calon ahli surga. Dia merasa saleh sendiri. Padahal, terhadap orang lain, Allah Ta’ala membukakan hati mereka untuk melihat aib dan kekurangannya. Orang semacam ini melihat dosanya bagaikan melihat lalat yang dianggap remeh. Dia cenderung ujub dan takabur pada amalnya. Inilah bahaya terbesar dalam hidup. Dia tidak sadar kalau hidup penuh dengan dosa.

Adakah di antara saudara yang membaca tulisan ini yang merasa tidak memiliki dosa atau merasa dosanya baru sedikit? Marilah kita bertobat. Persoalan terbesar dalam hidup ini adalah ketika memiliki banyak dosa, tetapi tidak merasa terancam dan tidak pula sanggup bertobat.

“Wahai Tuhanku! aku bukanlah orang yang pantas masuk surga, tetapi aku juga tidak mampu menahan panasnya api neraka. Maka terimalah tobatku, dan ampunilah dosa-dosaku. Karena hanya Engkau-lah yang dapat memberi maaf atas dosa-dosa yang besar.”

“Dosaku bagaikan bilangan pasir, terimalah tobatku wahai Tuhanku yang memiliki keagungan. Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.”

“Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui seluruh dosa, dan telah memohon kepada-Mu. Seandainya engkau mengampuni, memang Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau Menolak, kepada siapa lagi aku berharap selain kepada-Mu?” (Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami). [*]

* Sumber: Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah Jilid 1

INILAH MOZAIK