Month: December 2019
Umar bin Khattab dan Kualitas Sholat yang Receh
“Buat apa sholat kalau masih maksiat?”
Selorohan macam itu pasti pernah kita dengar di sekitar lingkungan kita. Apa benar sholat kita tak membekas ke perilaku kita? Lalu apa yang salah dengan sholat kita?
Sahabat Rasulullah SAW., Umar bin Khattab pernah menyebarkan sebuah pesan kepada kaum muslimin tentang shalat. Iya, tentang kewajiban bagi seorang muslim.
Umar bin Khattab adalah teladan bagi pemerintah yang tidak hanya memperhatikan ekonomi, namun juga memperhatikan shalat. Kita perhatikan bagaimana Umar berpandangan tentang sholat.
“Sesungguhnya urusan yang terpenting bagi kalian adalah sholat. Siapa menjaga sholat, dia menjaga agamanya. Siapa meremehkan sholat, maka dia akan meremehkan perkara lainnya. Dan tidak ada bagian Islam dalam diri mereka yang meninggalkan sholat.”
Akhir dari pesan ini yang menggetarkan jiwa kita. Tidak ada Islam bagi mereka yang meninggalkan sholat
Seperti kita ketahui, sholat adalah barometer keislaman. Umar bin Khattab memahami ini dari Rasulullah SAW. bukan dari hasil olah pikirannya sendiri.
Saat sholat bagus, maka keislaman muslim akan bagus. Sebaliknya, ketika sholat bermasalah, keislaman kita bermasalah.
Apa arti keislaman bermasalah? Apa yang terjadi ketika keislaman kita bermasalah?
Iman seorang muslim bermasalah, iman yang berkualitas rendah. Ini efek samping langsung pada kehidupan seorang muslim.
Apabila iman muslim bermasalah, artinya hidup kita juga bermasalah. Hidup pun akan berkualitas rendah.
Kala kualitas hidup rakyat sebuah negara rendah, maka kualitas hidup sebuah negara akan rendah.
Saat orang melakukan sholat dengan benar, maka kualitas iman akan menjadi tinggi. Kualitas iman yang tinggi sama artinya mutu hidup yang tinggi.
Umar memahami hakikat tersebut.
Saat kualitas hidup rakyat di sebuah negara mencapai tinggi, maka kualitas hidup negara itu menjadi tinggi.
Umar bin Khattab memahami hakikat ini dari baginda Rasulullah SAW., maka Umar memperhatikan sholat rakyatnya.
Sebuah negara yang ingin maju, hendaknya memulai dengan perbaikan sholat sebagai langkah pertama.
Apa hubungan sholat dengan kualitas hidup? Ini tidak bisa dilihat dengan akal telanjang saja. Pun tidak bisa dipahami oleh mereka yang ingkar kepada Allah. Kaum liberal yang ingkar pada Allah, mereka tidak memahami hubungan Allah dengan alam semesta ini. Apalagi dipahami oleh orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan.
Golongan manusia yang meneropong tidak ada hubungan antara Allah dan alam, mereka percaya Allah tidak bisa mengatur alam sama sekali. Efeknya mereka tidak percaya bahwa ada hubungan iman dan kehidupan manusia.
Lalu, mengapa orang yang “sholat tapi kualitas hidupnya kok receh?”, coba tanyakan kualitas sholatnya.
Sekali lagi, Umar bin Khattab itu menjadi contoh bagi pemimpin negara yang peduli pada rakyatnya. Tak hanya aware pada nasib ekonomi rakyat, tapi peduli pada shalat rakyatnya. Umar bin Khattab menjadi contoh bagi setiap penanggung jawab untuk ikut peduli pada sholat bawahannya. Di Indonesia banyak contohnya, ingat dengan perusahaan penyewaan alat berat yang bos mengharuskan karyawannya selamat secara raga dan utamakan sholat?
Salah satu tanggung jawab kepala keluarga adalah sholat keluarganya, contoh yang terkecil. Dan skup yang lebih kecil, jika kita ingin mutu hidup kita meningkat, maka awali dengan meningkatkan mutu sholat. Hingga di sini, sudahkah meyakini kaitan antara mutu sholat dan mutu hidup?
Wallahua’alam. [@paramuda/BersamaDakwah]
Ingin Selamat dan Cukup Segala Kebutuhan, Perbaikilah Kualitas Shalat!
Shalat merupakan media bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Allah SWT dalam menyampaikan apapun yang sedang menjadi hajat dan permasalahan hidupnya. Karena setiap bacaan dari shalat intinya adalah doa kepada Allah. Oleh sebab itu shalatlah dengan khusyu’, santai dan jangan tergesa-gesa.
Demikian disampaikan oleh A’wan PWNU Jawa Timur H Hasan Aminuddin ketika menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di halaman Masjid At-Taqwa Desa Sokaan Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo, Kamis (14/12) malam. Hasan sangat menyayangkan atas semakin banyaknya orang-orang yang lalai dan malas dalam mendirikan shalat, tidak terkecuali baik orang kota maupun orang desa. “Saya pernah menghitung, mulai dari wudhu sampai selesai shalat dengan khusu’ dan nyantai. Ini hanya memakan waktu 5 menit saja dan jika dikalikan dengan 5 x waktu shalat wajib maka hanya 25 menit waktu kita untuk shalat dari 24 jam umur kita dalam sehari,” katanya. Dalam kesempatan tersebut Hasan mengajak masyarakat untuk introspeksi diri terhadap hablumminallah dan hablumminannas kualitas ibadah, khususnya ibadah shalat lima waktu.
“Jika ingin berkah dan tenang dalam hidup, selamat dunia akhirat serta tercukupi segala kebutuhannya maka tingkatkan kualitas shalat lima waktu,” tegasnya. Menurut Hasan, hablumminallah dan hablumminannas dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas ibadah. Jika hal itu dilakukan maka niscaya akan dicukupkan rezekinya dan anak cucunya. “Tidak itu saja, ahli kubur orang tua kita juga akan mendapatkan aliran pahala, karena anak yang sholeh merupakan penyambung pahala bagi orang tuanya,” terangnya. Lebih lanjut Hasan juga mengingatkan kepada semua hadirin agar memperbanyak amal sodaqoh kepada sesama. Selain untuk menghindarkan dari bala’ dan musibah, Allah juga menjanjikan balasan berkali-kali lipat. “Setiap rezeki Allah yang dikeluarkan di jalan Allah akan diganjar 700 kali lipat, ini janji Allah,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/84296/ingin-selamat-dan-cukup-segala-kebutuhan-perbaikilah-kualitas-shalat
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Yuk, Menilai Kualitas Salat Kita
MENGAPA sampai saat ini kita merasa bahwa ibadah salat kita tak banyak memberi dampak positif terhadap kondisi sosial bangsa kita? Barangkali, karena setiap kita masih dalam tahap-tahap awal dalam upaya mendirikan salat.
Mari kita nilai kualitas salat kita, nanti akan terjawab kenapa kita seringkali tidak mendapat pertolongan Allah. Hal ini juga dapat menjelaskan secara keseluruhan, mengapa saat ini umat Islam tidak lagi menjadi umat yang agung seperti dulu.
Golongan pertama
Kita bisa lihat hari ini sudah banyak umat Islam yang tidak salat, bahkan banyak juga yang tidak tahu cara salat yang benar; mereka telah jatuh kafir. Imam Malik berkata bahwa jatuh kafir kalau tidak salat tanpa sebab. Imam Syafi’i berkata jatuh fasik – (pun masuk neraka juga) kalau ia masih yakin sembahyang itu fardu.
Golongan kedua
Orang yang mengerjakan salat secara lahiriah saja, bacaan pun masih tak betul, taklid buta, main ikut-ikut orang saja tanpa percaharian yang sungguh-sungguh. Belajar salat seadanya. Ilmu tentang salat tidak dianggap penting. Golongan ini tertolak bahkan berdosa besar dan hidup dalam kondisi durhaka kepada Allah Taala.
Golongan ketiga
Orang yang mengerjakan salat, bahkan tahu ilmu tentang salat, tetapi tak mampu melawan nafsu terhadap godaan dunia yang kuat. Jadi mereka ini kadang salat, kadang tidak. Kalau ada waktu dan mood baik; ia salat, kalau sibuk bekerja atau menjamu tamu, ada hajatan, pesta ria, berziarah, bepergian, letih dan penat, maka ia tak salat, orang ini jatuh fasik.
Golongan keempat
Orang yang salat, kalaupun ilmunya tepat, fasih bacaannya, tapi tak khusyuk kalau diperiksa satu persatu bacaannya, lafaznya banyak yang tak dia mengerti, pikirannya tak terpusat atau tak berfokus sepenuhnya pada shalat yang dilaksanakannya karena tak mengerti apa yang dia baca. Cuma main hafal saja. Jadi pikirannya terus terfokus pada dunia dan alam sekelilingnya. Pikirannya mengembara dalam shalat, orang ini lalai dalam shalat. Neraka Wail bagi orang jenis ini.
Golongan kelima
Orang yang salat cukup lima waktu, tepat ilmunya, memahami setiap bacaan salat, fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tapi tak dihayati maksud dalam salat itu. Pikirannya masih melayang mengingatkan hal dunia, karena faham saja tetapi tidak dihayati. Golongan ini dikategorikan sebagai salat awamul muslimin.
Golongan keenam
Golongan ini lebih baik sedikit dari golongan yang ke lima tadi, tapi main tarik tali di dalam salatnya, sesekali khusyuk, sesekali lalai. Bila teringat sesuatu di dalam salatnya, teruslah terbawa, berkhayal dan seterusnya. Bila teringat Allah secara tiba-tiba, maka insaf dan sadarlah kembali, mencoba dibawa hatinya serta pikirannya untuk menghayati setiap kalimat dan bacaan di dalam shalatnya. Begitulah sampai selesai salatnya. Ia merintih dan tak ingin jadi begitu, tapi terjadi juga. Golongan ini adalah golongan yang lemah jiwa. Nafsunya bertahap mulhamah (artinya menyesal akan kelalaiannya dan mencoba perbaiki kembali, tapi masih tak sanggup karena tidak ada kekuatan jiwa). Golongan ini terserah kepada Allah. Yang sadar dan khusyuk itu mudah-mudahan diterima oleh Allah, mana yang lalai itu moga-moga Allah ampunkan dosanya, namun tidak ada pahala nilai sembahyang itu. Artinya salatnya tidak berdampak apa-apa. Allah belum lagi cinta akan orang jenis ini.
Golongan Ketujuh
Orang yang mengerjakan salat tepat ilmunya, memahami secara langsung bacaan dan setiap lafaz di dalam salatnya. Hati dan pikirannya tidak terbawa dengan keadaan sekelilingnya sehingga pekerjaan atau apa pun yang dilakukan atau yang dianggap diluar sembahyang itu tidak mempengaruhi salatnya. Meskipun ia memiliki harta dunia, menjalankan kewajiban dan tugas keduniaan seperti bisnis dan sebagainya namun tidak mempengaruhi salatnya. Hatinya masih dapat memuja Allah di dalam salatnya. Golongan ini disebut orang-orang saleh atau golongan abrar ataupun ashabul yamin.
Golongan kedelapan
Golongan ini seperti juga kaum tujuh tetapi ia memiliki kelebihan sedikit yaitu bukan saja mengerti, dan tak tergoda dunia di dalam salatnya, malahan dia dapat menghayati setiap makna bacaan salatnya itu, pada setiap kalimat bacaan fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tasbihnya pada setiap sujudnya dan setiap gerak geriknya dirasakan dan dihayati sepenuhnya. Tak teringat langsung dengan dunia walaupun sedikit. Tapi namun ia masih tersadar dengan alam sekelilingnya. Pemujaan terhadap Allah dapat dirasakan pada gerak dalam salatnya. Inilah golongan yang dinamakan kaum Mukkarrabin (yang hampir dekat dengan Allah).
Golongan kesembilan
Golongan ini adalah golongan yang tertinggi dari seluruh golongan tadi. Yaitu bukan saja ibadah salat itu dijiwai di dalam salat malahan ia dapat mempengaruhi di luar salat. Kalau ia bermasalah langsung ia salat, karena ia yakin salat menjadi pemecah segala masalah.. Salat telah menjadi pendingin hatinya. Ini dapat dibuktikan di dalam sejarah, seperti salat Ali ketika panah terpacak dibetisnya. Untuk mencabutnya, ia lakukan salat dulu, maka di dalam salat itulah panah itu dicabut. Mereka telah yakin dengan salatnya.. Makin banyak salat semakin terasa lezat, dengan salatlah cara ia lepaskan kerinduan dengan Tuhannya. Dalam salatlah ia mengadu kepada Tuhannya. Alam sekelilingnya langsung tidak ia hiraukan. Apa yang terjadi disekelilingnya langsung tak dipedulikannya. Hatinya hanya pada Tuhannya. Golongan inilah yang disebut golongan Siddiqin. Golongan yang benar dan haq.
Setelah kita nilai keseluruhan sembilan tingkat salat tadi, maka dapatlah kita nilai salat kita di tingkat yang mana. Maka ibadah salat yang dapat mengembangkan jiwa, mengembangkan iman, menjauhkan dari yang buruk, dapat mencegah mazmumah (sifat tercela yang dapat membinasakan kita), menanamkan mahmudah (akhlak yang diridhoi Allah) yang melahirkan disiplin hidup, melahirkan akhlak yang agung adalah golongan tujuh, delapan dan sembilan saja. Salat yang berkualitas, sedangkan golongan yang lain jatuh pada kufur, fasik dan zalim.
Jadi dimanakah tahap salat kita? Perbaikilah diri kita mulai dari sekarang. Jangan tangguhkan lagi. Pertama-tama pertanyaan yang akan ditujukan kepada kita di akhirat nanti adalah salat atau salat kita.[Almanar]
Hukum Pejamkan Mata Saat Salat dan Zikir
APA hukum memejamkan kedua mata dalam salat saat membaca Alquran dan ketika doa supaya bisa lebih khusyuk?
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ala rasulillah wa ala alihi wa shahbih, amma badu,
Terkadang seseorang lupa bahwa di antara prinsip dalam beragama Islam adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
“Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” (HR. At-Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah). [1]
Dan di sisi yang lain, terkadang seseorang ketika beribadah juga lupa bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam” (HR. Muslim dalam sahihnya dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma). [2]
Akibatnya, terkadang ia berani berkreasi sendiri dalam melakukan tata cara ibadah tertentu, tanpa ia sadari.
Pernahkah hal ini anda lakukan?
Terkadang tanpa terasa, setelah menunaikan salat, seseorang melanjutkan berzikir dengan memejamkan mata, ia lakukan itu tanpa kesengajaan. Demikian pula, sebagian manusia ada yang berdoa sambil memejamkan matanya, dengan tujuan agar bisa berdoa dengan khusyuk. Apakah kedua perkara itu dibenarkan?
Berikut Fatwa-Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah (no. 223681) menjelaskan hal itu.
Bolehkah memejamkan kedua mata saat doa dan zikir?
Jawab: Alhamdulillah, tidak dikenal di dalam sunah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu memejamkan kedua matanya dalam bentuk ibadah apapun juga, baik itu salat, baca Alquran, zikir, doa, khutbah, atau selain itu. Telah berlalu jawaban atas pertanyaan no. 22174 yang menjelaskan bahwa memejamkan kedua mata dalam salat itu hukumnya makruh kecuali jika ada keperluan, yaitu adanya perkara yang menyibukkan seseorang dalam salatnya, berupa ukiran, hiasan, ornamen, gambar, lewatnya wanita, atau semisal itu.
Namun jika tidak ada keperluan, tidaklah disayariatkan seseorang memejamkan kedua mata.
(hukum memejamkan kedua mata saat berdoa dan berzikir-pent)
(Berdasarkan dalil di atas) maka jika didapatkan sebab yang diperlukan untuk memejamkan kedua mata (saat berdoa dan berzikir), maka boleh (memejamkan mata), seperti ketika didapatkan sesuatu yang menyibukkan orang yang berdoa atau berzikir.
Adapun jika tidak didapatkan sebab yang diperlukan, maka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam -tanpa diragukan lagi-adalah lebih utama (afdal).
Terkadang sebagian manusia memejamkan kedua matanya dengan alasan supaya khusyuk. Ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dan ulama telah mengingkarinya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum memejamkan kedua mata di dalam salat saat membaca Alquran dan ketika doa Qunut supaya bisa khusyu dalam salat?” Beliau menjawab, “Ulama telah menyebutkan bahwa hukum memejamkan kedua mata di dalam salat adalah makruh, kecuali jika ada sebab semisal di hadapan seseorang yang sedang salat ada sesuatu yang menyibukkannya atau cahaya yang terang, sangat menyilaukan kedua matanya dalam keadaan itu boleh ia memejamkan kedua matanya untuk menghindari bahaya tersebut. Adapun sangkaan sebagian manusia bahwa jika memejamkan kedua matanya bisa lebih khusyuk baginya di dalam salatnya, saya khawatir ini termasuk tipu daya setan untuk menjerumuskannya dalam perkara yang makruh, sedangkan ia tidak merasa. Dan apabila ia membiasakan dirinya baru bisa khusyuk jika memejamkan kedua matanya, maka inilah biang keladi yang menjadikan dirinya merasa lebih khusyuk jika memejamkan kedua mata dibandingkan jika membuka kedua matanya” (Majmu Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 13/299).
Namun terkadang, tanpa disengaja, seseorang memejamkan mata begitu saja saat berdoa dan berzikir, maka hal ini tidaklah mengapa. Wallahu Taala Alam
[Ust. Said Abu Ukasyah/Muslim.Or.Id]
Mengapa Surga Punya Banyak Pintu?
Allah Subhananahu wa Ta’ala berfirman,
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS.ar-Ra’d:23)
Dari berbagai ayat dan riwayat menyebutkan bahwa surga itu memiliki banyak pintu. Tapi jangan salah, banyaknya pintu itu bukan berarti karena banyaknya orang yang masuk sehingga akan berdesakan jika hanya satu pintu. Bukan pula karena perbedaan kelas diantara manusia sehingga pintu masuknya berbeda-beda. Lalu apa hikmah dibalik banyaknrya pintu disurga?
Pintu-pintu surga tidak seperti pintu istana ataupun rumah-rumah di dunia. Banyaknya pintu disurga karena manusia memiliki amal yang berbeda-beda. Karena itu namanya pun bermacam-macam.
Ada yang masuk surga karena amal jihad, maka ia masuk melalui pintu mujahidin. Dan setiap penghuni lain akan masuk melalui pintu yang sesuai dengan amal mereka.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa surga memiliki 8 pintu.
“Ketahuilah bahwa surga itu memiliki 8 pintu. Jarak antara satu pintu dengan pintu lainnya adalah 40 tahun.”
Sementara dalam sebuah ayat Allah menjelaskan bahwa neraka hanya memiliki 7 pintu,
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ
Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. (QS.al-Hijr:44)
Lebih banyaknya pintu surga dibanding pintu neraka mengisyaratkan bahwa jalan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan surga lebih banyak daripada jalan keburukan dan kesengsaraan neraka.
Semoga kita semua tercatat sebagai para penghuni surga..
Hati-Hati Terhadap Tiga Penyakit Hidup Ini
Kemiskinan yang diiringi kemalasan membuat penyakit hidup tak kunjung pulih.
Dalam masalah hidup, ada hal yang dapat diselesaikan dan ada yang tidak. Khusus untuk faktor tertentu, penyakit hidup ini digadang-gadang sulit disembuhkan.
Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, terdapat tiga jenis kesulitan yang susah disembuhkan dalam hidup. Ketiganya antara lain kemiskinan yang disertai dengan kemalasan, permusuhan yang dirasuki kedengkian, dan sakit fisik yang disebabkan faktor usia.
Pada faktor pertama, sesungguhnya Allah SWT sudah bersumpah bahwa diriNya tak akan mengubah suatu kaum/orang apabila tak ada usaha dan upaya dari orang tersebut (Ar Ra’d, 11). Untuk itulah sesungguhnya, kemiskinan yang didapat sebagai takdir seseorang bisa diubah asal diiringi dengan ikhtiar dan doa.
Namun apabila kemalasan justru melekat beriringan dengan kemiskinan tersebut, maka penyakit hidup seseorang yang menjalaninya tak kunjung pulih. Kaya atau miskin itu sejatinya hanyalah persoalan mentalitas. Mental orang miskin cenderung akan mengkritik minimnya rezeki dan kesempatan yang ia punya, sementara mentalitas orang kaya akan terus berjuang apapun rintangan hidup yang dihadapi.
Kedua, permusuhan yang dibarengi kedengkian. Islam merupakan agama perdamaian, persatuan meski dalam perbedaan, dan juga agama tolong-menolong. Sikap saling bermusuhan yang dibarengi dengki sejatinya akan mengakar kuat dan menimbulkan gejolak penyakit hati.
Padahal, apabila bisa saling bersatu, permusuhan dan dengki bisa dikubur dalam-dalam. Dengan bersatu, kelak akan tercipta suasana kebaikan yang bermuara pada keberhasilan. Seperti kata-kata bijak Arab berikut: “Al-ittihadu asasun-najahi,”. Yang artinya: “Persatuan adalah pangkal keberhasilan.”
Sedangkan yang ketiga, adalah sakit fisik yang disebabkan faktor usia. Orang yang lanjut usia memiliki kesempatan fisik yang minim dan kekurangan imunitas tubuh. Untuk itu apabila penyakit fisik mendera di kala usia tua, maka penyembuhnya akan sulit didapatkan.
Doa Rasulullah SAW di Thaif yang Picu Kesedihan Malaikat
Rasulullah membaca doa saat ditolak berdakwah di Thaif.
REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah SAW memilih Thaif sebagai kota kedua, setelah Makkah yang menjadi tujuan dakwah. Thaif sangat strategis karena merupakan salah satu basis permukiman warga padat penduduk dan pusat perdagangan. Thaif sangat diperhitungkan Rasulullah karena Thaif adalah lokasi tempat tingal Bani Tsaqif, salah satu kabilah terhormat di Jazirah Arab.
Namun, ternyata kedatangan Rasulullah dengan menempuh 100 km jalan kaki menunju Thaif dari Makkah, justru tidak disambut dengan baik, Rasul bahkan mengalami pengusiran yang tak terhormat.
Penyambutan tak mengenakkan itu ditanggapi Rasulullah dengan ketenangan. Beliau melakukan shalat lalu memanjatkan doa. Di sebuah kebun kurma milik kedua anak Rabi’ah, Nabi berhenti seraya memanjatkan doa, sebagaimana dinukilkan Imam at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi:
اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك
“Allahuma Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu.”
Malaikat Jibril iba menyaksikan Rasulullah itu terluka fisik dan hatinya. Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.”
Para malaikat penjaga gunung itu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Nabi dengan lembut berkata kepada Jibril dan malaikat penjaga gunung, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.” Nabi bahkan berdoa yang artinya,
“Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Apakah Darah Termasuk Najis?
Apakah darah termasuk najis ataukah bukan? Simak bahasan berikut ini.
Pendahuluan
Islam datang membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Semua yang diperintahkan dan dibolehkan dalam Islam, pasti karena membawa maslahat untuk umat manusia, baik 100% maslahat atau maslahatnya lebih besar. Dan semua yang dilarang dalam Islam, pasti karena memudaratkan manusia, baik karena 100% mudarat atau mudaratnya lebih besar. Diantara sempurnanya syariat Islam, kita diperintahkan untuk menjauhkan diri dari najis dan membersihkan diri kita dari najis. Agar kita menjadi manusia yang bersih dan sempurna. Ini demi kemaslahatan kita.
Diantara masalah yang dibahas para ulama dalam bab najis, adalah mengenai status kenajisan darah. Apakah darah termasuk najis ataukah bukan? Simak bahasan berikut ini.
Dalil-Dalil Seputar Kenajisan Darah
Beberapa dalil menunjukkan kenajisan darah, diantaranya firman Allah ta’ala:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adalah rijs” (QS. Al An’am: 145).
Ath Thabari menjelaskan makna rijsun dalam ayat ini:
الرجس : النجس والنتن
“Ar rijsu artinya najis dan kotor” (Jami’ul Bayan, 8/53).
Maka ayat ini menyatakan bahwa bangkai, darah yang mengalir dan daging bagi semuanya adalah najis.
Kemudian, dalil yang digunakan sebagian ulama untuk menyatakan kenajisan darah adalah hadits dari Abu Bakar ash Shiddiq radhiallahu’anhu:
جَاءَت امرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَت : إِحدَانَا يُصِيبُ ثَوبَهَا مِن دَمِ الحَيضَةِ كَيفَ تَصنَعُ بِهِ ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقرُصُهُ بِالمَاءِ ثُمَّ تَنضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Darang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haid, apa yang perlu dilakukan? Nabi bersabda: hendaknya kamu kerik dan sikat dengan menggunakan air kemudian bilas, barulah setelah itu silakan gunakan untuk shalat” (HR. Al Bukhari no.277 dan Muslim no.291).
Al Imam An Nawawi membawakan hadits ini dalam Syarah Shahih Muslim dalam bab:
باب نجاسة الدم وكيفية غسله
“Bab najisnya darah dan cara membersihkannya”.
Apakah Darah Termasuk Najis?
Bahasan mengenai status kenajisan darah perlu dirinci berdasarkan jenisnya:
- Hewan yang najis ketika hidup atau mati
Darah hewan seperti ini statusnya najis. Yaitu hewan anjing dan babi. Di surat Al An’am ayat 145 di atas, disebutkan kenajisan babi. Adapun kenajisan anjing, disebutkan dalam hadits:
طَهُورُ إناءِ أحَدِكُمْ إذا ولَغَ فيه الكَلْبُ، أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بالتُّرابِ
“Cara membersihkan bejana kalian yang dijilat anjing adalah mencucinya sebanyak 7 kali, salah sautnya dengan tanah” (HR. Muslim no. 279).
Sebagian ulama, diantaranya ulama Syafi’iyyah, mengqiyaskan seluruh tubuh anjing dengan air liurnya. Sehingga seluruh tubuhnya merupakan najis. Jika seluruh tubuh babi dan anjing najis, maka termasuk juga darahnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الدم الخارج من حيوان نجسٍ، نجسٌ قليله وكثيرهُ، ومثالُه: الدم الخارج من الخنزير أو الكلب فهذا نجس قليله وكثيره بدون تفصيل سواء خرج منه حياً أم ميتاً
“Darah yang keluar dari hewan yang najis, maka ia najis baik sedikit atau banyak. Contohnya darah babi atau anjing. Maka ia najis baik sedikit atau banyak tanpa perlu dirinci. Baik keluar dalam keadaan masih hidup atau sudah mati” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).
- Bangkai hewan yang suci ketika hidupnya saja
Hewan yang suci ketika masih hidup, namun ketika mati ia menjadi bangkai, maka status darahnya najis ketika masih hidup, namun ditoleransi jika sedikit jumlahnya.
Adapun ketika sudah mati maka status darahnya najis karena termasuk bangkai juga. Sedangkan bangkai najis, sebagaimana di surat Al An’am ayat 145 di atas. Contohnya ayam tidak disembelih, maka status ayam yang mati tersebut adalah bangkai dan darahnya najis.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الدم الخارج من حيوان طاهر في الحياة، نجس بعد الموت فهذا إذا كان في حال الحياة فهو نجس، لكن يُعفى عن يسيره، مثال ذلك: الغنم والإبل فهي طاهرة في الحياة نجسة بعد الموت
“Darah yang keluar dari hewan yang suci ketika masih hidup, namun ia menjadi najis setelah mati, maka dalam keadaan hidupnya darah najis namun ditoleransi jika hanya sedikit. Contohnya darah kambing, unta, maka ia suci ketika masih hidup. Namun najis ketika sudah mati” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).
- Bangkai hewan yang suci ketika hidup dan matinya
Yaitu hewan-hewan laut. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:
يا رسولَ اللهِ ، إنَّا نركبُ البحرَ ونحملُ معنا القليلَ من الماءِ ، فإن توضأنا بهِ عطشنا ، أفنتوضأُ بماءِ البحرِ ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : هو الطَّهُورُ ماؤُهُ ، الحِلُّ ميتتُهُ
“Wahai Rasulullah, kami mengarungi laut dengan perahu dan kami hanya membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: air laut itu suci, dan bangkai hewan laut itu halal” (HR. Abu Daud no. 83, At Tirmidzi no. 69, Ibnu Majah no.386, dishahihkan Al Bukhari dalan ‘Aridhatul Ahwadzi [1/91]).
Hadits ini menunjukkan bahwa hewan laut hukum asalnya halal dan suci, termasuk juga darahnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الدم الخارج من حيوان طاهر في الحياة وبعد الموت وهذا طاهر
“Darah yang keluar dari hewan yang suci ketika hidup dan matinya, maka darahnya juga suci” (Majmu’ Fatawa war Rasail, jilid 11 bab “pembatal-pembatal wudhu”).
- Darah haid
Hadits Abu Bakar di atas menunjukkan dengan sangat jelas tentang najisnya darah haid. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencucinya dengan sungguh-sungguh. Dalil yang lain, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
جاءت فاطمةُ ابنة أبي حُبيشٍ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقالت: يا رسولَ الله، إنِّي امرأةٌ أُستحاضُ فلا أطهُرُ؛ أَفأدَعُ الصَّلاةَ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: لا، إنَّما ذلك عِرقٌ وليس بحَيضٍ، فإذا أقبلتْ حيضتُك فدَعِي الصَّلاةَ، وإذا أدبَرَتْ فاغسلِي عنك الدَّمَ، ثمَّ صلِّي
“Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia berkata: wahai Rasulullah, aku wanita yang terus-menerus haid dan tidak berhenti, apakah aku terus meninggalkan shalat? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: tidak demikian, itu adalah flek, bukan darah haid. Jika haid datang maka tinggalkanlah shalat, namun jika haid sudah pergi maka cucilah darah haid (pada pakaianmu) kemudian shalatlah” (HR. Bukhari no. 228, Muslim no. 333).
Al Qarrafi rahimahullah berkata:
دمُ الحَيضِ، وهو نجِسٌ إجماعًا
“Darah haid adalah najis berdasarkan ijma” (Adz Dzakhirah, 1/185).
Apakah Darah Manusia Najis?
Permasalahan mengenai kenajisan darah manusia adalah masalah yang cukup pelik, karena di satu sisi ada ijma’ ulama dan di sisi lain ada dalil-dalil yang menunjukkan tidak najisnya darah. Maka secara umum, dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama
Darah manusia itu najis. Sebagaimana dalil-dalil yang kami sebutkan di atas. Dan banyak ulama yang menukil ijma akan hal ini.
Ibnul Arabi mengatakan:
اتفق العلماء على أن الدم حرام لا يؤكل نجس
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni, 1/73).
Al Qurthubi mengatakan:
اتفق العلماء على أن الدم حرام نجس
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).
An Nawawi mengatakan:
وفيه أن الدم نجس وهو بإجماع المسلمين
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin” (Syarah Shahih Muslim, 3/200).
Ibnu Hajar mengatakan:
والدم نجس اتفاقاً
“Darah itu najis secara sepakat ulama” (Fathul Baari, 1/352).
Imam Ahmad ketika ditanya:
القيح والدَّم عندك سواء؟ فقال: الدَّمُ لم يختلِفِ النَّاس فيه، والقَيحُ قد اختَلف النَّاس فيه
“Apakah muntahan dan darah itu sama menurutmu? Beliau menjawab: darah tidak diperselisihkan oleh ulama. Sedangkan muntahan itu diperselisihkan oleh ulama” (Syarhul Umdah, 1/1/05).
Demikian juga terdapat nukilan ijma dari Ibnu Abdil Barr (at Tamhid, 22/230), Ibnu Rusyd (Bidayatul Mujtahid, 1/83) dan Ibnu Hazm (Maratibul Ijma, 1/19). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Walaupun ulama yang berpendapat bahwa darah adalah najis, sebagiannya memberikan toleransi pada darah yang sedikit dan memberikan toleransi pada darah syuhada.
Pendapat ke dua
Darah manusia itu suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Asy Syaukani menjelaskan kelirunya pendalilan dengan ayat di atas untuk menyatakan najisnya darah:
ولو قام الدليل على رجوع الضمير في قوله تعالى : ( فَإِنَّهُ رِجْسٌ ) إلى جميع ما تقدم في الآية الكريمة من الميتة والدم المسفوح ولحم الخنزير ، لكان ذلك مفيدا لنجاسة الدم المسفوح ، ولكنه لم يَرد ما يفيد ذلك ، بل النزاع كائن في رجوعه إلى الكل ، أو إلى الأقرب ، والظاهر رجوعه إلى الأقرب وهو لحم الخنزير ؛ لإفراد الضمير
“Andaikan ada dalil yang menunjukkan bahwa dhamir ‘hu’ dalam firman Allah فَإِنَّهُ رِجْسٌ kembali kepada semua yang disebutkan dalam tersebut yaitu bangkai, darah yang mengucur keluar dan daging babi, maka dalil tersebut akan memberikan kesimpulan bahwa darah adalah najis. Namun tidak ada dalil yang menyimpulkan hal itu. Bahkan terdapat perselisihan di antara para ulama tentang apakah dhamir ‘hu’ kembali kepada tiga hal tadi ataukah kembali pada yang terdekat? Yang nampaknya lebih kuat, dhamir ‘hu’ kembali pada yang terdekat yaitu daging babi. Karena dhamir dalam bentuk mufrad” (ad Darari al Mudhiyyah, 1/32).
Kemudian diantara dalil kuat yang digunakan ulama yang mengatakan tidak najisnya darah, adalah perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah:
ما زال المسلمونَ يُصَلُّونَ في جِرَاحاتِهِم
“dahulu kaum Muslimin (para sahabat) biasa shalat dalam keadaan luka-luka” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq, dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 50).
Andaikan darah itu najis tentu tidak sah shalat dalam keadaan najis menempel di badan orang yang shalat.
Juga riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Bakr bin Abdillah Al Muzanni, ia mengatakan:
رأيت ابن عمر عصر بثرة في وجهه، فخرج شيء من دمه، فحكه بين أصبعيه، ثم صلى ولم يتوضأ
“Aku melihat Ibnu Umar memencet jerawat di wajahnya, kemudian keluar sedikit darah. Kemudian beliau usap dengan jari-jarinya. Dan beliau shalat tanpa berwudhu lagi” (HR. Al Baihaqi [1/141] dalam Sunan-nya, dishahihkan Al Albani dalam Haqiqatus Shiyam hal. 18).
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu’anhu, dari Atha bin Saib ia berkata:
رأيت عبد الله بن أبي أوفى بزق دماً ثم قام فصلى
“Aku melihat Abdullah bin Abi Aufa meludah darah, kemudian beliau berdiri dan shalat” (HR. Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya [1/148], sanadnya hasan).
Demikian juga mereka berdalil dengan dibolehkannya seorang suami berjima’ dengan istrinya yang sedang istihadhah, dalam keadaan darah terus mengalir. Berdasarkan ayat:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Jauhilah wanita ketika mereka haid” (QS. Al Baqarah: 222).
Ayat ini menunjukkan wanita yang dilarang untuk digauli adalah wanita yang haid, maka mafhumnya wanita yang istihadhah boleh digauli. Padahal wanita istihadhah terkadang keluar darah yang deras.
Mereka juga mengatakan bahwa bangkai (mayat) manusia itu suci, sehingga darahnya suci. Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
ولهذا كان القول الراجح أن دم الإنسان الذي لا يخرج من القبل أو الدبر طاهر، لا يجب غسله ولا التنزه منه إلا على سبيل النظافة ودم الإنسان طاهر؛ لأن ميتته طاهرة, إلا ما خرج من السبيلين القبل أو الدبر- فإن الحديث دل على أنه نجس
“Oleh karena itu pendapat yang rajih adalah darah manusia itu suci selain yang keluar dari qubul atau dubur. Tidak wajib dicuci atau dibersihkan, kecuali dalam rangka untuk menjaga kebersihan saja. Dan (alasan lain) darah manusia itu suci, karena bangkai manusia itu suci. Kecuali jika keluar darah dari dua jalan, dari qubul atau dubur, karena hadits menunjukkan darah yang demikian itu najis” (Liqa Babil Maftuh).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ المؤمنَ لا ينجسُ
“Sesungguhnya seorang Mukmin tidak menajisi” (HR. Bukhari no. 285, Muslim no. 371).
Dan ulama yang berpegang pada pendapat ini, menganggap ijma yang ada telah gugur karena adanya khilaf yang dinukil dari para sahabat Nabi. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:
وجملة القول: أنَّه لم يَرِد دليل فيما نعلم على نجاسة الدم على اختلاف أنواعه؛ إلا دم الحيض، ودعوى الاتفاق على نجاسته منقوضة بما سبق من النقول، والأصل الطهارة، فلا يُتْرَك إلاَّ بنص صحيح يجوز به ترْك الأصل، وإِذ لم يَرِدْ شيء من ذلك؛ فالبقاء على الأصل هو الواجب، والله أعلم
“Kesimpulannya, tidak terdapat dalil sedikitpun, sepengetahuan kami, yang menunjukkan najisnya darah dengan berbagai macamnya. Kecuali darah haid. Dan klaim ijma dalam masalah najisnya darah itu gugur dengan adanya nukilan-nukilan di atas. Dan hukum asal benda adalah suci, tidak bisa ditinggalkan status sucinya kecuali dengan nash yang shahih yang membolehkan untuk meninggalkan hukum asal. Jika tidak ada nash yang demikian, maka yang lebih tepat adalah tetap berpegang pada hukum asal. Wallahu a’lam” (Silsilah Ash Shahihah, no. 301).
Kesimpulan
Pendapat yang lebih menenangkan hati kami adalah yang mengatakan darah itu suci bukan najis karena kuatnya dalil-dalil yang mendasarinya. Dan sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani di atas, bahwa semua darah baik darah manusia atau darah lainnya, hukum asalnya suci kecuali:
- darah haid
- darah hewan yang najis ketika masih hidup ataupun mati, seperti darah babi.
- darah hewan yang najis ketika jadi bangkai, seperti darah bangkai ayam, darah bangkai kambing, dll
Tiga darah di atas statusnya najis.
Dan ijma yang ternukil dalam masalah ini gugur dengan adanya dalil-dalil tersebut. Jika ada yang bertanya: “apakah ada ulama sebelum asy Syaukani yang berpendapat tidak najisnya darah?”. Maka kita jawab, adanya nukilan dari para sahabat bahwa mereka tidak menganggap najis menunjukkan adanya pendapat yang tidak menajiskan darah jauh sebelum asy Syaukani. Wallahu a’lam.
Namun karena banyaknya nukilan ijma dari para ulama besar akan najisnya darah, maka hendaknya tidak bermudah-mudahan dalam masalah darah. Tetap berusaha membersihkan darah jika terkena, sebagai bentuk kehati-hatian.
Dan masalah ini, wallahu a’lam, adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang dituntut untuk saling toleransi terhadap orang yang berseberangan pendapat.
Wabillahi at taufiq was sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53490-apakah-darah-termasuk-najis.html
Mendidik Karakter Ikhlas
Ikhlas dalam melakukan ibadah dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba. Perkara ikhlas merupakan amalan hati yang sangat berat kecuali kepada orang yang diberi taufik oleh Allah azza wa jalla. Mendidik karakter ikhlas kepada anak juga butuh kesungguhan, latihan, dan difahamkan terus menerus agar anak ikhlas dalam menuntut ilmu dan juga ikhlas dalam beribadah.
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah (wafat 733H) menjelaskan, ikhlas dalam permulaan menuntut ilmu bagi anak-anak tidak boleh menjadi syarat. Karena jika demikian, mungkin anak-anak bahkan para pemula yang beranjak dewasa tidak akan mendapat kesempatan belajar agama. Akan ada banyak orang yang buta terhadap ilmu agama jika ikhlas menjadi syarat utama untuk diterimanya seorang untuk memulai belajar memahami ilmu. Sebab banyak diantara mereka yang kesulitan untuk memulai dengan ikhlas. (Lihat Tadzkiratul As-Sami’ wa al-mutakalim fi Adab al ‘Alim wa al-Mutakallim, hal.54).
Realitanya terkadang anak-anak belum memahami hakikat ikhlas. Mereka belajar bisa jadi karena diperintahkan orang tua, pengaruh teman, atau sekolah dan belajar agama karena memang di lingkungannya hal ini menjadi kebiasaan dan tradisi.
Orang tua dan pendidik hendaknya terus memotivasinya agar niatnya ikhlas untuk mencari ridha dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Terus menerus tanpa bosan memberi semangat dan secara bertahap diberi pengertian bahwa semua amalan harus lurus niatnya untuk mencari keridhaan-Nya. Kisahkan pula hadits yang agung Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ancaman berat ketika tujuannya belajar ilmu syar’i tidak ikhlas. Tentu dengan bahasa dan penjelasan yang mudah dipahami anak, dengan ungkapan santun lagi lembut sehingga anak mudah memahaminya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ، ﻭَﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻭَﻋَﻠَّﻤْﺘُﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕُ ﻓِﻴﻚَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻋَﺎﻟِﻢٌ، ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﻗَﺎﺭِﺉٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“…Dan seorang laki-laki yang belajar dan mengajarkan ilmu serta membaca Al-Qur’an, lalu ia didatangkan dan Allah mengingatkan ni’mat-ni’mat-Nya (kepadanya) dan dia pun mengenalnya. Allah berfirman, “apa yang kamu lakukan padanya?” ia berkata, “saya belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an demi Engkau”. Allah berfirman, “kamu berdusta, akan tetapi engkau belajar ilmu supaya dikatakan alim, dan engkau membaca Al Qur’an supaya dikatakan qari dan itu telah dikatakan”. Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan kedalam api neraka…” (HR. Muslim, Ahmad, at-Timidzi).
Menanamkan karakter ikhlas butuh kesabaran, dimana jiwa anak terkadang mudah terpengaruh hal-hal yang bisa merusak niat lurusnya. Pujian yang berlebihan terkadang membuat anak sombong dan merasa bangga dengan kemampuannya. Padahal prestasi dan kesuksesan tidak lain karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Disini peran penting orang tua dan pendidik agar fitrah dan fikrah (pemikiran) anak lurus dan tidak tertipu oleh kelebihan yang dimilikinya.
Perkara mengikhlaskan ilmu dan amal hanya untuk Allah, harus selalu dikokohkan seiring dengan bertambahnya kematangan psikologis serta spiritual anak.
Dan perkara yang harus dinasehatkan ke anak agar mampu ikhlas adalah adanya penanaman aqidah yang shahihah. Dengan pemantapan tauhid insyaallah cahaya ikhlas akan merasuk di hati anak seiring dengan intensifnya ia belajar ilmu agama dan kuatnya amal shalih yang dilakukannya.
Semua perlu proses, misalnya dengan ilmu yang dipelajarinya ia akan mampu menepis sikap sombong, dan menjalani ritual belajar dan beramal akan dipersembahkannya untuk Allah saja.
Sudah pasti keteladanan orang tua dan pendidik dibutuhkan agar karakter ikhlas betul-betul dirasakan anak. Anak belajar dan beramal karena ia sendiri butuh semua ini. Sebisa mungkin hindari banyak kata-kata ancaman dan tumbuhkan perasaan cinta dalam melakukan suatu kebaikan. Kasih sayang dan kedekatan yang serasi dan harmonis dengan anak akan membantunya untuk bertahap memiliki karakter ikhlas.
Referensi :
1. Majalah As-Sunnah edisi 07 1437H
2. Begini Seharusnya Menjadi Guru (terjemah) Fu’ad bun Abdul Aziz Asy-Syalhub, Darul Haq, Jakarta 2014
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11850-mendidik-karakter-ikhlas.html