Fatwa Ulama: Sedang Sakit, Bolehkah Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid?

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

Soal:

Apakah orang yang sakit biasa itu sudah cukup menjadi udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid?

Jawab:

Sakit yang bisa menjadi udzur bagi seseorang (lelaki Muslim) untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid adalah sakit yang menyebabkan kesulitan baginya untuk pergi ke masjid. Maksudnya orang yang sakit tersebut akan merasakan kesulitan dan kesusahan (jika pergi ke masjid). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من سمع النداء فلم يجبه فلا صلاة له إلا من عذر

barangsiapa yang mendengarkan panggilan adzan, lalu ia tidak menjawabnya (dengan pergi ke masjid). Maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur

Pernah ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma: “apakah yang dimaksud udzur?”. Beliau menjawab:

خوف أو مرض

adanya rasa takut atau sakit” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Hakim dengan sanad yang shahih).

Juga apa yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu‘alaihi Wasallam:

لما مرض تخلف عن الجماعة وقال: مروا أبا بكر فليصل بالناس

Ketika beliau merasa sakit, beliau tidak menghadiri shalat jama’ah. Lalu beliau bersabda: ‘perintahkan Abu Bakar untuk mengimami orang-orang shalat’” (Muttafaqun ‘alaih).

Wabillahi at taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin, wa alihi wa shahbihi wasallam.

Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

  • Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (ketua)
  • Abdullah bin Ghuddayan (anggota)
  • Shalih Al Fauzan (anggota)
  • Abdul Aziz Alu Asy Syaikh (anggota)
  • Bakr Abu Zaid (anggota)

Sumber: http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=12687&PageNo=1&BookID=3

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24680-fatwa-ulama-apakah-orang-sakit-dibolehkan-tidak-menghadiri-shalat-berjamaah-di-masjid.html

Rasulullah SAW Pernah Minta Bacaannya Dikoreksi Saat Shalat

Rasulullah SAW mengajarkan koreksi imam saat shalat sebuah keharusan.

Shalat merupakan kewajiban bagi seorang Muslim. Bahkan, shalat yang dilakukan berjamaah pun bisa mendapatkan pahala lebih besar bagi yang melakukannya.

Allah SWT berfirman :  “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah : 43).  

Makna dari ayat di atas adalah hendaknya kalian shalat bersama-sama dengan orang-orang yang mengerjakan shalat (shalat berjamaah).   

Sementara dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dijelaskan, Rasulullah bersabda,“Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.”  

Namun, pernahkah dalam shalat berjamaah, Anda mendapati imam yang salah dalam bacaannya? Berdasarkan buku Sifat Shalat Nabi karya Muhammad Nashiruddin Al-Bani, jikalau kita mendapati hal tersebut, maka kita hendak membetulkan bacaannya.  

Seperti sebuah kisah yang dirirwayatkan Abu Daud, Ibnu Hibban dan Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyuruh membetulkan imam yang salah dalam bacaan Alqurannya. 

Beliau SAW pernah melakukan shalat berjamaah dan salah dalam membaca. Kemudian, seorang makmun bernama Ubay ditanya beliau, “Apakah engkau shalat bermakmum dengan saya?” tanya Rasulullah SAW.

Kemudian, Ubay menjawab, “Benar.” 

Lalu, Rasulullah Saw menimpali, “Mengapa tidak membetulkan bacaanku yang salah?”  

Jadi, Nabi SAW pun pernah salah dalam membaca surah Alquran saat mengimami jamaahnya. Namun, beliau meminta makmumnya untuk mengoreksi bacaannya.   

Dengan begitu, apabila kita berada di posisi yang sama dengan Ubay, maka hendaknya kita mencoba untuk membetulkan bacaan imam yang kita ikuti dalam shalatnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Perhatikan Aroma Tubuh Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Sadarilah Bau Badanmu Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Sangat penting memperhatikan aroma tubuh ketika akan menghadiri shalat berjamaah. Bisa jadi seseorang tidak sadar bahwa tubuhnya mengeluarkan aroma yang tidak sedap, akan tetapi orang di sekitarnya merasakan aroma tersebut, misalnya bau keringat, bau pakaian atau bau ketiaknya. Bisa juga aroma tidak sedap itu berasal dari bau mulutnya, terutama jika ia adalah seorang perokok. Tentu hal ini sangat menganggu orang yang shalat berjamaah karena posisi shaf saat shalat sangat berdekatan bahkan sampai menempel.

Jika bau tubuh yang tidak sedap itu tercium tentu akan menganggu jamaah yang lain. Bisa jadi ada orang yang sensitif dengan bau-bau tertentu, ia bisa merasa mual bahkan pusing karena tidak nyaman dengan bau yang tidak sedap. Hal ini akan menganggu konsentrasi dan kekhusyukan para jamaah saat melaksanakan shalat, padahal khusyuk dan tumakninah (tenang) dalam shalat termasuk rukun shalat. Jika tidak ada keduanya maka shalatnya tidak sah.

Larangan Shalat Berjamaah Karena Bau Badan yang Tidak Sedap

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang pada dirinya ada aroma tidak sedap untuk menghadiri shalat berjamaah, hal ini termasuk uzur tidak shalat berjamaah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”[1]

Perhatikan Bau Mulut Anda Wahai Para Perokok

Mohon diperhatikan khususnya bagi para perokok, dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Semoga kaum muslimin bisa meninggalkan benda yang sangat merugikan ini.

Boleh Meninggalkan Shalat Berjamaah Untuk Sementara Waktu

Hukumnya wajib meninggalkan shalat berjamaah untuk sementara waktu bagi seseorang yang pada tubuhnya ada aroma tidak sedap, mencakup semua bau menyengat dan tidak sedap pada mulut, hidung atau ketiak. Setelah bau tersebut hilang maka dia wajib untuk kembali shalat berjamaah di masjid.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata

وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل

“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”[2]

Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,

قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن

“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]

Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,

قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد

“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulut anda terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”[4]

Secara umum, jika memang ada penyakit yang bisa menghalangi salat berjamaah, maka ia mendapat uzur untuk tidak menghadiri salat jamaah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab,

نعم هذا عذر شرعي ، إذا كان فيه بخر شديد الرائحة الكريهة ولم يتيسر له ما يزيله فهو عذر ، كما أن البصل والكراث عذر ، أما إن وجد دواءً وحيلة تزيله فعليه أن يفعل ذلك حتى لا يتأخر عن صلاة الجمعة والجماعة ، ولكن متى عجز عن ذلك ولم يتيسر فهو معذور أشد من عذر صاحب البصل ، والبخر لا شك أنه مؤذٍ لمن حوله ، إذا كان رائحته ظاهرة

“Ya, ini adalah uzur menurut syariat. Jika pada mulutnya terdapat bau yang sangat menyengat dan tidak mudah baginya untuk menghilangkannya maka ini merupakan uzur, sebagaimana bawang putih dan kurrats (sejenis daun bawang) adalah uzur. Akan tetapi jika didapatkan obat dan cara untuk menghilangkannya maka wajib ia lakukan agar tidak tertinggal shalat Jumat dan salah berjamaah. Akan tetapi kapan saja ia tidak mampu dan tidak mudah baginya maka ia mendapatkan uzur yang lebih daripada mereka yang makan bawang putih. Bau mulut tidak diragukan lagi akan menganggu orang di sekitarnya jika baunya jelas.”[6]

Mari kita perhatikan aroma tubuh kita ketika akan menghadiri shalat berjamaah. Bagi laki-laki disunahkan memakai parfum dan wewangian yang sewajarnya.

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30240-perhatikan-aroma-tubuh-sebelum-pergi-shalat-berjamaah.html

Kapankah Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jama’ah?

Pada artikel ini akan dibahas dalam kondisi apakah seorang makmum dikatakan sudah mendapat shalat jama’ah bersama imam.

Kapankah seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah?

Seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah bersama imam jika dia mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam. Siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, maka dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah. Dan siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, seperti dia masuk ketika imam sedang sujud di raka’at terahir atau sedang tasyahhud akhir, maka dia dinilai telah ketinggalan shalat berjama’ah. 

Inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa saja yang mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

Makna teks hadits di atas sangatlah jelas, yaitu siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, dia dinilai telah mendapatkan shalat berjama’ah. Makna sebaliknya dari hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, dia dinilai belum mendapatkan shalat berjama’ah. 

Kapankah seseorang dikatakan mendapati satu raka’at penuh bersama imam?

Satu raka’at penuh tidaklah didapatkan kecuali dengan mendapatkan ruku’ bersama imam, meskipun dalam waktu yang sebentar, meskipun dia tidak membersamai imam ketika membaca surat Al-Fatihah [1, 2]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat jama’ah itu bisa didapatkan asalkan mendapati satu takbir saja bersama imam sebelum salam.  Pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan tidak didukung oleh dalil, dengan beberapa alasan berikut ini:

Pendapat pertama

Pendapat ini dibangun di atas alasan logika. Yaitu, makmum mendapati “satu bagian” dari shalat imam, maka hal ini mirip (sama) sebagaimana makmum yang mendapati satu raka’at bersama imam (sama-sama mendapatkan satu bagian dari shalat bersama imam). Namun, alasan ini tidaklah diterima karena bertabrakan dengan dalil hadits di atas. 

Pendapat Ke dua

Tidak diketahui dari dalil-dalil syari’at dikaitkannya mendapatkan shalat dengan mendapatkan satu takbir bersama imam, baik ketika shalat jum’at atau shalat jama’ah lainnya. Hal ini adalah sifat yang diabaikan atau tidak dianggap berdasarkan dalil syar’i, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai patokan dan membangun hukum di atasnya.

Pendapat ke tiga

Bahwa kurang dari satu raka’at itu tidak teranggap dalam shalat, karena makmum akan meneruskan shalatnya secara sendiri. Maka dia tidaklah mendapatkan bagian yang teranggap oleh syari’at, sehingga seluruh shalatnya menjadi shalat sendirian (shalat munfarid).

Bagaimana jika imam kelebihan raka’at karena lupa, apakah itu teranggap?

Ada satu masalah lagi yang perlu dibahas, yaitu apakah makmum masbuq dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam ketika dia membersamai imam di raka’at tambahan karena terlupa? Sehingga raka’at tersebut pun teranggap di sisi makmum? 

Misalnya, makmum masbuq mendapatkan raka’at ke lima dari shalat dzuhur karena imam lupa, dan makmum tidak tahu hal itu. Atau misalnya makmum masbuq mendapatkan raka’at ke empat dari shalat maghrib karena imam lupa. Ketika makmum masbuq masuk dan membersamai imam di raka’at tambahan tersebut, apakah dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam?

Pendapat terkuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini adalah bahwa raka’at tersebut teranggap, sehingga makmum masbuq tersebut dinilai mendapatkan shalat berjama’ah. Hal ini karena dia mendapatkan satu raka’at bersama imam, meskipun raka’at tersebut adalah raka’at tambahan di sisi imam. Apa yang dilakukan oleh imam tersebut bisa dimaklumi karena dia lupa dan tidak sengaja melakukannya. Raka’at tambahan (bagi imam) tersebut juga sah di sisi makmum karena raka’at tersebut termasuk bagian dari shalatnya sejak asal. [3]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54009-kapankah-seseorang-dikatakan-mendapati-shalat-jamaah.html

Kejutan Allah di Balik Ketidaktahuan Kita

NABI Nuh belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat Kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim belum tahu akan tersedia domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya.

Nabi Musa belum tahu laut terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah dan tanpa berhenti berharap yang terbaik.

Ternyata dibalik ketidaktahuan kita, Allah telah menyiapkan kejutan! Seringkali Allah Berkehendak di-detik-detik terakhir dalam pengharapan dan ketaatan hamba-hamba-Nya.

Jangan kita berkecil hati saat sepertinya belum ada jawaban doa. Karena kadang Allah mencintai kita dengan cara-cara yang kita tidak duga dan kita tidak suka.Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan!

Lakukan bagianmu saja, dan biarkan Allah akan mengerjakan bagian-Nya. Tetaplah Percaya. Tetaplah Berdoa. Tetaplah Setia. Tetaplah meraih ridho-Nya. Aamiin.

Tetap semangat meski dalam kesederhanaan. Pada hakikat nya: “Tidak ada yang dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali Salatmu”

Duduk setelah salam dari salat yang telah diwajibkan adalah waktu yang paling mulia sebab pada waktu itu turun Rahmat Allah Azza wajalla. Jangan tergesa-gesa berdiri, Bacalah Istighfar, bertasbihlah, baca ayat Alquran dan jangan lupa bahwa sesungguhnya engkau berada dalam jamuan dzat yang maha Rahman Azza wa jalla.

Apabila kamu telah selesai salat, kerjakanlah pekerjaan lainnya dengan bersungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

INILAH MOZAIK

Berapa Kali Nabi Muhammad Menunaikan Ibadah Haji?

Berapa kali Nabi Muhammad SAW  berhaji dalam hidupnya? Diriwayatkan dari Abu Ishaq, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Berapa kali kamu berperang menyertai Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Tujuh belas kali.” Kata Abu Ishaq, “Kemudian Zaid bin Arqam bercerita kepadaku bahwa Rasulullah SAW pernah berperang sembilan belas kali, dan beliau berhaji sekali setelah beliau berhijrah, yaitu haji wada’.” (Muslim bab Haji Nabi SAW).

Sementara itu Jabir bin Abdullah ra. meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun namun beliau belum berhaji. Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji, sehingga banyak orang yang hadir ke Madinah yang kesemuanya ingin turut serta bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah seperti beliau.” (Muslim bab haji Nabi SAW)

Inilah haji Wada’ atau haji perpisahan. Beliau melakukannya di akhir hayatnya seolah-olah menjadi isyarat bahwa tugas beliau menemani dan membimbing umat akan segera selesai. Rasul yang penuh kasih akan segera bertemu Sang Kekasih. Dengan diikuti kurang lebih 90.000 orang, Rasulullah SAW berangkat dari Madinah pada lima atau empat hari terakhir dari bulan Dzulqa’dah.

Haji Wada’ merupakan kesempatan yang penting bagi Rasulullah SAW untuk mengajarkan manasik haji kepada umatnya. Kaum muslimin telah belajar tata cara shalat, puasa, zakat dan segala hal yang berkaitan dengan ibadah, hak dan kewajiban. Kini saatnya bagi beliau untuk menjelaskan kepada mereka tata cara pelaksanaan ibadah haji. Mulai dari apa itu haji tamattu, qiran dan ifrad. Menjelaskan mana yang rukun, wajib dan sunah haji. Mana larangan dan apa saja hukumannya.

Penjelasan tentang hal ini bisa kita lihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA yang terdapat dalam Shahih Muslim.

Haji Wada’ memiliki nilai yang agung berkaitan dengan dakwah Islam dan nilai-nilai hidup bagi seorang muslim. Hal ini bisa kita simak dalam khutbah yang beliau sampaikan ketika wukuf di Arafah.

Di antara nilai-nilai penting tersebut adalah: Pertama, Terjaganya darah, nyawa, harta dan kehormatan manusia. Kedua, Dihapusnya segala macam bentuk riba dan tingkah laku jahiliyah.

Ketiga, Peringatan agar waspada terhadap bujuk rayu setan. Keempat, Perintah berbuat baik kepada wanita. Kelima, Perintah berpegang kepada Al-Qurían dan Sunnah. Keenam, Hubungan penguasa dan rakyat. Keagungan yang lain dari haji Wada’ ini adalah dengan turunnya ayat 3 Surat Al-Maidah,

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Ayat yang menjelaskan tentang paripurnanya risalah Islam.

Oleh UstazH Bobby HerwibowoLc

IHRAM

Jangan Beribadah secara Berlebihan

Sikap berlebih-lebihan dalam semua aspek kehidupan dilarang oleh Allah Ta’ala dan tidak disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika dalam hal ibadah sikap berlebih-lebihan saja dilarang, maka lebih-lebih lagi larangan berlebih-lebihan dalam hal-hal yang dibolehkan seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.

Disebutkan dalam surat al-A’raf, Allah Ta’ala memerintahkan makan dan minum, serta melarang tindakan berlebih-lebihan dengan redaksi, “Dan janganlah berlebih-lebihan.” Sebab, Allah Ta’ala tidak menyukai sikap tersebut. Dia Menghendaki hamba-hamba-Nya berlaku tawazun, seimbang dalam segala aspek kebaikan dan yang dibolehkan.

Maka ketika ada sekelompok sahabat yang berhasrat melakukan puasa di sepanjang siang dan begadang setiap malam untuk melakukan shalat malam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Beliaulah sebaik-baik teladan dalam ibadah yang tiada dijumpai sedikit pun kekurangan atau kesalahan di dalamnya.

Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan shalat malam sebanyak setengah malam, sepertiga malam, atau sebagian kecil dari malam. Diatur dengan baik, agar sesuai dengan sifat manusiawi umatnya yang membutuhkan istirahat.

Terkait puasa, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan puasa sunnah hari Senin dan Kamis, puasa Tengah Bulan Hijriyah sebanyak tiga hari, puasa Daud dan puasa-puasa sunnah lainnya. Sebab, seorang hamba berkewajiban menafkahi keluarganya dengan bekerja, dan juga memenuhi hak istrinya dalam hubungan biologis.

Karena itu, yang terbaik adalah bersikap tawazun. Pertengahan. Ada waktunya ibadah, istirahat, mencari nafkah, berhibur dengan yang halal dan dibolehkan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, amat penting menjadi catatan tentang definisi berlebih-lebihan dalam hal ini. Ialah kondisi seimbang sehingga tidak ada yang dizalimi. Semuanya dilakukan dengan baik dan sesuai aturan.

Artinya, jika seseorang mampu melakukan shalat sunnah selama setengah malam penuh, dilanjutkan dengan puasa sunnah Daud, membaca al-Qur’an, dan ibadah lainnya dengan tidak menzalimi hak-hak diri berupa makan dan minum secara cukup, memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dalam hal nafkah, dan lain sebagainya, maka ianya tidak disebut berlebih-lebihan.

Pasalnya, larangan berlebih-lebihan ini sering digunakan dalil bagi segelintir oknum untuk bermalas-malasan dalam beribadah.

Wallahu a’lam.

[Pirman/BersamaDakwah]


Di Antara 77 Cabang Iman adalah Mencintai Rasulullah SAW

Mencintai Rasulullah SAW adalah fondasi utama dalam agama.

Mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu pilar agama yang sangat mendasar. Kecintaan terhadap Rasulullah SAW merupakan fondasi dalam mempertahakan ajaran-ajaran agung Rasulullah.  

Dalam kitab Qaami’ at Tughyan karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Banten menuliskan bahwa salah satu di antara 77 cabang iman adalah mencintai Rasulullah SAW. 

Ini berlandaskan pada sabda Rasulullah bahwa tidak sempurna keimanan seseorang hingga seseorang itu mencintai Rasulullah melebihi cintanya kepada orang tua, anak, dan seluruh makhluk lainnya. 

Redaksi hadis ini dapat ditemukan pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan jalur hadis dari Ya’qub bin Ibrahim atau Abu Yusuf, Ismail bin Ibrahim atau Abu Bisyir, Abdul Aziz bin Shuhaib atau Abu Hamzah, dan Anas bin Malik.  

Hadis serupa juga dapat ditemukan pada hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dengan jalur hadis dari Muhammad bin Al Mutsannaa atau Abu Musa hingga Anas bin Malik. Atau juga dalam hadits riwayat Nasai dengan jalur hadis dari Humaid bin Mas’adah hingga Anas bin Malik. 

Mencintai Rasulullah adalah perwujudan dari mencintai Allah SWT. Sebab Rasulullah adakah kekasih Allah SWT. Bahkan orang yang mencintai Rasulullah pertanda bahwa orang tersebut mendapatkan manisnya iman. Ini sebagaimana hadis Nabi SAW yang berbunyi: 

“Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang ia akan mendapatkan manisnya iman. Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika dia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka,”  

Redaksi hadis ini dapat ditemukan dalam deretan hadis di sahih Bukhari maupun yang diriwayatkan Muslim. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Rasulullah tak Pernah Ajarkan Kebencian, Malah Sebaliknya

Rasulullah SAW menyerukan membuang jauh kebencian.

Islam adalah agama yang damai dan penuh cinta. Islam selalu mengajak untuk berbuat baik dan menghindari balas dendam. Mencintai sesama merupakan bentuk kita memiliki iman dan menjadi bukti akan ajaran Islam yang luar

Mungkin, tak jarang dari kita yang tidak suka dengan perilaku orang lain. Tak satu pun dari manusia yang terbebas dari kesalahan. 

Untuk itu, kita tidak boleh membenci satu sama lain dan tetaplah berbuat baik terhadap sesama.  Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) : 195:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan diirmu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” 

Ipnu R Noegroho dalam bukunya, The Power of Husnudzon, menjelaskan seorang Muslim dan Muslimah yang baik adalah mereka yang tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak fokus untuk mencari kapling di surga sendiri, dan tidak sibuk beramal saleh sendirian.  

Ipnu juga menjelaskan sebuah riwayat hadis Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran (hal yang keji, buruk), maka hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)  

Maka dari itu, apabila kita menemui kezaliman dan hal yang tidak disukai, maka kita harus bertindak sekecil apapun untuk berusaha mengatasinya. Apalagi, jika hal itu berisiko untuk menebar kebencian sesama dan mengajak orang lain untuk ikut membenci.  

Belajar dari Rasulullah SAW yang tidak pernah membenci kaum Quraisy meski telah dizalimi berkali-kali. Beliau SAW selalu memaafkan kesalahan orang lain sehingga bisa menasihatinya agar bisa kembali ke jalan yang benar.  

Dalam sebuah hadis yang disebutkan pula dalam buku The Power of Husnudzon, sebagaimana anjuran Rasulullah SAW, dari Mu’az bin Jabal RA Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapusnya dan pergauliah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR At Tirmidzi) 

KHAZANAH REPUBLIKA

Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 5)

Makruhnya menggunakan lafazh : عَلَيْكَ السَّلامُ atau  عَلَيْكُمُ السَّلامُ ketika memulai mengucapkan salam

Hukum seseorang yang memulai mengucapkan salam dengan menggunakan lafazh : عَلَيْكَ السَّلامُ  atau عَلَيْكُمُ السَّلامُ adalah makruh, karena lafazh tersebut adalah tahiyyah (ucapan salam) yang diucapkan oleh penyair dan selain mereka untuk orang yang sudah meninggal dunia.

Dari Abu Jurayyi Al-Hujaimiy radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Saya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu akupun berkata:

عَلَيْكَ السَّلَامُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

Wahai Utusan Allah,’alaikas salaam!

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تَقُلْ عَلَيْكَ السَّلامُ ، فَإِنَّ عَلَيْكَ السَّلامُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى 

Jangan engkau ucapkan : ‘alaikas salaam , karena lafazh ‘alaikas salaam adalah tahiyyah bagi orang-orang yang sudah meninggal dunia!. 

[HR. Abu Dawud (5209) dan At-Tirmidzi (2722). Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalm Shahih Abi Dawud ].

Bolehkah menambah “wa maghfirotuhuatau “wa ridhwaanuhu”?

Terdapat beberapa hadits tentang ucapan salam dengan tambahan kata: “wa maghfirotuhu” , baik dalam memulai mengucapkan salam maupun dalam membalas salam, hanya saja hadits-hadits tersebut tidaklah shahih.

Salah satu dari hadits-hadits tersebut, yaitu:

Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Mu’adz bin Anas dari ayahnya dari Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini semakna dengan hadits  ‘Imraan bin Al-Hushain radhiyallahu ‘anhuma [HR. Abu Dawud (5195) dan At-Tirmidzi (2689)] yang disebutkan telah laluhanya saja terdapat tambahan bahwa seorang laki-laki yang keempat datang lalu mengucapkan: 

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ومَغْفِرَتُهُ

(As-Salaamu ‘alaikum wa rahmatullaah wa barakaatuh wa maghfirotuhu)

kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

 أَرْبَعُون

“Empat puluh kebaikan (untuknya)”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : 

 هكذا تكون الفضائل

“Demikianlah keutamaan-keutamaan (ucapan salam)”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (5196).

Adapun derajat hadits ini dengan tambahan “wa maghfirotuhu” dinyatakan lemah (dho’if) oleh sejumlah ulama, mereka adalah : Ibnul ‘Arabi Al-Maliki, An-Nawawi Asy-Syaf’i, Ibnu Hajar, Ibnul Qoyyim, dan Al-Albani rahimahumullah.

Sedangkan tentang ucapan salam dengan tambahan kata: “wa ridhwaanuhu”, berkata Syaikh Muhammad Sholeh AL-Munajjid hafizhahullah :

“Adapun tambahan : “wa maghfirotuhu  atau “wa ridhwaanuhu”, maka tidak shahih dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad (2/381) dan dijelaskan oleh Al-Albani dalam Dho’if Abi Dawud (5196)”.

Wallahu a’lam.

Referensi serial artikel ini diolah dari:

  1. https://Islamqa.info/ar/39258
  2. https://Islamqa.info/ar/132956
  • https://Islamqa.info/ar/67801

(Selesai)

Penulis:  Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54081-macam-macam-lafal-salam-bag-5.html