Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 4)

Dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu (ia mengkisahkan) bahwa seorang laki-laki menemui lewat di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang berada di sebuah majelislalu ia mengucapkan: 

سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ

kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

عشر حسنات 

Sepuluh kebaikan (untuknya)”.

Lalu lewatlah laki-laki yang lain, kemudian mengucapkan :

  سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

عشرون حسنة

Dua puluh kebaikan (untuknya)”.

Selanjutnya, lewatlah laki-laki lainnya lagi, kemudian mengucapkan :

  سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَركاتُه  

kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

ثلاثون حسنة 

Tiga puluh kebaikan (untuknya)”.[HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya (493). Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalm Shahihut Targhib wat Tarhib (2712)].

Manakah yang lebih utama :  ( السَّلامُ عَلَيْكُمْ )  atau ( سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ)?

Ulama berselisih pendapat tentang mana yang lebih utama antara lafazh salam (السَّلامُ عَلَيْكُمْ)  atau ( سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ)? Ataukah keduanya sama dalam keutamaannya?

Berkata Al-Mawardi di kitab  Al-Inshoof (2/563)

” إذا سلم على الحيّ , فالصحيح من المذهب : أنه يخيّر بين التعريف والتنكير . قدّمه في الفروع . وقال : ذكره غير واحد ” . 

“Jika seseorang mengucapkan salam kepada orang yang masih hidup, maka pendapat madzhab yang benar adalah dipersilahkan untuk memilih antara lafazh salam yang beralif lam dengan yang tidak beralif lam”.

Adapun salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah menyatakan bahwa lafazh salam yang beralif lam lebih utama daripada lafazh salam yang tidak beralif lam.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Uqail pendapat sebaliknya, yaitu: lafazh salam yang  lebih utama daripada lafazh salam yang beralif lam.

An-Nawawi rahimahullah menyatakan :

“Ketahuilah bahwa yang paling baik adalah seorang pengucap salam mengucapkan (lafazh salam):

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، 

(dalam lafazh salam ini) ia gunakan kata ganti (dhomir) jamak, walaupun orang yang menerima salam hanya satu orang saja.

Sedangkan orang yang menjawab salam mengatakan:

 وَعَلَيْكُمُ السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَركاتُه 

(Wa ‘alaikumus salaam wa rahmatullaah wa barakaatuh)…..

Ulama-ulama madzhab kami (Syafi’iyyah) menyatakan:

‘Jika seorang yang memulai mengucapkan salam mengucapkan :

السَّلامُ عَلَيْكُمْ 

maka berarti telah sah salam tersebut, dan jika ia mengucapkan:

السَّلامُ عَلَيْكَ atau  سَلاَمٌ عَلَيْكَ

juga telah sah pula salam tersebut’.

Adapun jawaban (salam) : minimalnya adalah 

 وَعَلَيْكَ السَّلامُ atau   وَعَلَيْكُمُ السَّلامُ

Dan jika tidak disebutkan huruf ‘wawu’ sekalipun, penjawab salam mengatakan : 

عَلَيْكُمُ السَّلامُ

maka (sebenarnya) lafazh ini telah mencukupi dan sah pula sebagai jawaban salam tersebut……

Seandainya orang yang memulai mengucapkan salam mengucapkan :

 سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ

atau ia mengucapkan :

السَّلامُ عَلَيْكُمْ

maka penjawab salam hendaknya mengucapkan dua macam lafazh (jawaban salam) :

  سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ

iapun boleh mengucapkan :

 السَّلامُ عَلَيْكُمْ

Dalilnya, Allah Ta’ala berfirman: 

قَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ

(69)Mereka mengucapkan: “Salaam (selamat)!”. Nabi Ibrahim menjawab: “Salaam (selamat)!”

Berkata Imam Abul Hasan Al-Wahidi dari kalangan ulama madzhab kami:

‘Anda bebas memilih antara lafazh salam yang beralif lam dengan yang tidak beralif lam’.

Saya (An-Nawawi) berkata:

ولكن الألف واللام أولى 

‘Akan tetapi lafazh salam yang beralif lam adalah lebih utama’”. [Ringkasan dari Al-Adzkaar, hal. 356-358].

Pendapat yang terkuat -wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa lafazh salam yang beralif lam lebih utama daripada lafazh salam yang tidak beralif lam.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis:  Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54020-macam-macam-lafal-salam-bag-4.html

Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 3)

Bolehkah As-Salāmu Diganti Salāmun

Termasuk perkara yang jarang diketahui dan jarang diamalkan di masyarakat kita adalah mengucapkan salam tanpa menggunakan alif lam, sehingga lafal as-salāmu ‘alaikum menjadi salāmun ‘alaikum.

Bagaimanakah Hukumnya?

Tidak mengapa seseorang memulai mengucapkan salam dengan menggunakan salah satu dari lafal yang telah disebutkan. Allah telah menjelaskan taiyyah (salam penghormatan) kepada penduduk surga dalam firman-Nya berikut ini,

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ

“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;

سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“(sambil mengucapkan) ‘Salāmun ‘alaikum dengan sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” (QS. Ar-Ra‘du: 23-24).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya salaamun ‘alaikum. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya” (QS. Az-Zumar: 73).

Lafal salam yang seperti ini juga terdapat dalam firman Allah,

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ ۙ يَقُولُونَ سَلَامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salaamun ‘alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Naḥl: 32).

Dan terdapat pula dalam dua firman Allah,

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, Salaamun ‘alaikum, kami tidak menginginkan jalan (yang ditempuh) orang-orang jahil” (QS. Al-Qoshosh: 55).

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah salaamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-An-‘Aam: 54).

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28773-macam-macam-lafal-salam-3.html

Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya: Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 1)

An-Nawawi raimahullādalam kitab Riyāḍu ālihīdalam bab Kaifiyyatis Salām menjelaskan bahwa dianjurkan seseorang memulai mengucapkan salam dengan lafal

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Assalāmu‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh

Pada lafal salam di atas, digunakan kata ganti jamak (kum ‘kalian’), walaupun orang yang menerima salam tersebut hanyalah satu orang saja.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا لقي الرجل أخاه المسلم فليقل: السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

“Jika seorang bertemu dengan saudaranya yang muslim, maka ucapkanlah assalāmu‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh” (HR. At-Tirmidzi (2721), Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At-Tirmidzi).

‘Imrān bin Al-Husain raiyallāhu ‘anhumā mengatakan, “Datanglah seorang laki-laki menemui Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengucapkan assalāmu‘alaikum lalu beliau pun menjawabnya, iapun duduk,  kemudian Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda

عَشْرٌ

Sepuluh kebaikan (untuknya)”.

Lalu datanglah laki-laki yang lain, kemudian mengucapkan assalāmu‘alaikum wa raḥmatullāh, beliaupun menjawabnya, lalu iapun duduk, kemudian Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عِشْرُونَ

Dua puluh kebaikan (untuknya)”.

Selanjutnya, datanglah laki-laki lainnya lagi, kemudian mengucapkan assalāmu‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,beliaupun menjawabnya, lalu iapun duduk, kemudian Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُونَ

Tiga puluh kebaikan (untuknya)” (HR. Abu Dawud (5195) dan At-Tirmidzi (2689), Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At-Tirmidzi).

‘Ā`isyah raiyallāhu ‘anha menyatakan bahwa rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

هَذَا جِبْريلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمُ

“Ini Malaikat Jibril menyampaikan salam kepadamu.”

Aku pun menjawabnya,

وعَلَيْهِ السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Wa ‘alaihis salāmu wa ramatullāhi wa barakātuh

“Dan semoga keselamatan, rahmat, dan barokah Allah ,dianugerahkan kepadanya” (HR. Al-Bukhari (3045) dan Muslim (2447)).

An-Nawawi raimahullādalam kitab Al-Ażkār menjelaskan bahwa yang paling baik adalah mengucapkan salam dengan lafal assalāmu‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh. Sedangkan orang yang menjawab salam mengatakan wa ‘alaikumus salām wa raḥmatullāhi wa barakātuh. Imam An-Nawawi dalam kitab Riyāḍu ālihīn juga menjelaskan bahwa yang menjawab salam lafal wa ‘alaikumus salām wa raḥmatullāhi wa barakātuh memakai huruf wawu ‘aṭf (wa ‘alaikum وعليكم).

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28747-macam-macam-lafal-salam-2.html

Macam-Macam Lafal Salam (Bag. 1)

Ucapan salam mengandung makna yang agung. Seharusnya seorang muslim bangga dan bersemangat menebar salam. Ucapan salam merupakan ucapan penghormatan di antara kaum muslimin sekaligus merupakan syiar kaum muslimin.

Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menyebarkan salam. Dalinya adalah dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda

لا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا ، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا ، أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ

“Tidaklah kalian masuk kedalam surga hingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) hingga kalian saling mencintai. Tidakkah kalian mau aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan menyebabkan kalian saling mencintai? Sebarkan ucapan salam diantara kalian” (HR. Muslim).

Allah berfirman, mewajibkan hamba-hamba-Nya membalas salam,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang semisalnya). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An-Nisā`: 86).

Lafal Memulai Salam

Berikut lafal salam dalam Islam.

السَّلامُ عَلَيْكُمْ

As-salāmu‘alaikum

“Semoga keselamatan (Allah) anugerahkan kepada Anda

Jika ia ingin lebih afdal, maka dengan lafal berikut ini.

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

As-salāmu‘alaikum wa raḥmatullāh

“Semoga keselamatan, dan rahmat Allah dianugerahkan kepada Anda”

Jika ia ingin lafal yang paling baik, maka dengan lafal berikut ini.

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

As-salāmu‘alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh

“Semoga keselamatan, rahmat ,dan berkah Allah dianugerahkan kepada Anda”

Lafal Menjawab Salam

Setiap muslim dan muslimah boleh menjawab salam dengan lafal yang sepadan sesuai ucapan salam yang diterimanya. Jika ia menambahnya dengan lafal salam yang lebih lengkap, itu lebih utama, hal ini berdasarkan firman Allah berikut ini.

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang semisalnya). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An-Nisā ‘: 86).

Dalil Macam-Macam Lafal Salam

Adapun dalil dari macam-macam lafal salam adalah sebagai berikut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar raiyallāhu ‘anhum menemui Nabi allāllahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau berada di masyrubah (ruangannya yang lebih tinggi) beliau, lalu Umar berkata,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، أَيَدْخُلُ عُمَرُ؟

As-Salāmu ‘alaika yā rasūlallah as-salāmu ‘alaikum…

“Semoga keselamatan bagi Anda, wahi rasulullah, semoga keselamatan bagi Anda, apakah Umar boleh masuk” (HR. Abu Dawud (5203), Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud).

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28745-macam-macam-lafal-salam-1.html

Jagalah Kehormatan Saudaramu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Apakah kalian tahu apa itu gibah?” Para sahabat mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah berkata: “(Gibah adalah) Menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Mereka berkata: “Bagaimana menurutmu jika (benar) ada pada saudaraku apa yang aku katakan?” Rasulullah berkata: “Jika (benar) ada pada dirinya maka itulah gibah, dan jika tidak ada pada dirinya maka engkau telah menfitnahnya.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Bir was Shilah wal Adab, bab Tahrimul Ghibah no. 2589).

Di antara kezaliman antara hamba dengan hamba lainnya adalah gibah. Dan ia merupakan kezaliman yang berkaitan dengan nama baik dan kehormatan orang lain. Sungguh Allah Ta’ala berfirman,

يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثمٌصلى وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًاج أَيُحِبَّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُج وَاتَّقُوا اللهَج إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

Wahai orang-orang beriman jauhilah oleh kalian banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan bertajassus (mengorek-ngorek aib dan kekurangan orang lain), dan janganlah sebagian kalian menggibahi sebagian yang lain. Apakah kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai, tentu kalian tidak akan menyukainya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12).

Rasulullah menyebutkan tiga dosa sosial di masyarakat secara berurutan, yaitu buruk sangka, tajassus dan gibah. Berawal dari prasangka yang tidak pada tempatnya (buruk sangka), setelah itu biasanya dilanjutkan dengan tajassus untuk mencari informasi apakah prasangka tersebut benar atau salah. Setelah informasi didapatkan kemudian dibicarakan dengan orang lain maka jadilah gibah. Sebagaimana kalian tidak suka mamakan bangkai saudara kalian maka janganlah merusak kehormatannya dengan menggibahinya.

Gibah hukumya haram. Gibah yaitu membicarakan saudaranya seiman ketika dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Berdasarkan definisi ini maka boleh menggibahi orang kafir. Namun, tetap menimbang maslahat dan mafsadatnya. Jika ada maslahat maka boleh menggibahinya, begitupun sebaliknya.

Membicarakan saudaranya ketika dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak ia sukai entah karena ada kekurangan pada fisiknya atau akhlaknya ataupun pelecehan-pelecehan yang lainnya merupakan perbuatan haram. Banyak orang yang tidak wara’ dari gibah, sebaliknya bahkan majelis gibah ramai, orang-orang bernikmat-nikmat dengan kehormatan saudaranya. La hawla wala quwwata illa billah.

Hadis ini menunjukkan haramnya gibah dan gibah termasuk salah satu dosa besar. Gibah haram berdasarkan Al-Qur`an, as-sunnah, dan ijmak karena termasuk kezaliman yang berkaitan dengan kehormatan manusia.

Para ulama memberikan pengecualian bolehnya gibah jika ada maslahat yang lebih besar, di ataranya;

1. Orang yang dizalimi mendatangi penguasa untuk mengadu, dia mengatakan fulan telah menzalimiku, dia telah memakan hartaku, atau semacamnya.
Sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيُّ الوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُوْبَتَهُ

Orang yang menunda pembayaran hutang padahal ia mampu melunasi adalah kezaliman, menghalalkan kehormatan serta hukuman untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 3628, Ibnu Majah no. 2427, Ahmad (4/222), dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 1434)

Salah satu makna menghalalkan kehormatannya adalah boleh mengadukan pelakunya kepada penguasa. Orang yag dizalimi boleh mengadu dengan menyebutkan kezaliman yang menimpanya, meskipun dalam pengaduan tersebut terdapat gibah. Hal ini diperbolehkan dalam rangka mencegah bahaya.

2. Mustafti (orang yang meminta fatwa)
Apabila seorang mustafti meminta fatwa kepada seorang mufti (pemberi fatwa) dan dia menyebutkan aib orang tersebut dan menanyakan bagaimana seharusnya ia menyikapi orang yang menzaliminya tersebut. Sebagaimana datang Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha

, جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ –تَعْنِيْ زَوْجُهَا-
رَجُلٌ شَحِيْحٌ، لَا يُعْطِينِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَ وَلَدِيْ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكَ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha pergi kepada Rasulullah, ia berkata, ‘Sesungguhnya Abu Sufyan (suaminya) adalah suami yang pelit, dia tidak memberikan kebutuhanku dan anakku kecuali apa yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.’ Rasulullah berkata, “Ambillah yang cukup untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Di sini Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha menyebutkan aib suaminya, maka ini adalah gibah, namun ia tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan suaminya, tetapi ia menceritakan aib suaminya agar ia dapat memperoleh haknya.

Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis ini, apakah ini adalah fatwa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau al-qadha (keputusan hakim). Perbedaan dalam menyimpulkan akan menyebabkan terjadinya perbedaan hukum. Jika ini menunjukkan fatwa, maka apabila ada seorang istri memiliki kasus yang sama dengan Hindun binti ‘Utbah radhiyallahu ‘anha maka ia boleh mengambil uang suaminya diam-diam tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, jika ini adalah al-qadha, maka perempuan lain yang memiliki kasus yang sama harus melapor terlebih dahulu ke pengadilan, maka akan diputuskan hukum yang sesuai.

3. Gibah dalam rangka menghilangkan kemungkaran. Anda pergi kepada penguasa dan polisi syariat dan mengatakan, “Fulan tidak shalat, fulan mengganggu perempuan, menggoda perempuan di jalanan”, maka ini adalah gibah dengan tujuan ingkar mungkar, hal ini tidak mengapa karena maslahat yang lebih besar dari mafsadat. Demikian juga boleh mengingatkan seseorang tentang keburukan person tertentu dengan menyebutkan aib-aibnya agar orang lain waspada dengan keburukan orang tersebut.

4. Jarh wa ta’dhil
Jarh wa ta’dhil adalah memuji dan mencela rawi hadis dalam rangka menjaga hadis Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ulama hadis boleh mengatakan, “Rawi fulan lemah hafalannya, pembohong, punya riwayat yang aneh” atau sejenisnya. Hal ini bukan dalam rangka menjelekkan rawi tersebut, tetapi untuk menjaga hadis-hadis Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan sampai ada rawi yang tidak diterima riwayatnya.

Sebagian ulama menyebutkan kondisi-kondisi lain dibolehkannya gibah. Disebutkan dalam bait syair Muhammad bin Aujan:

القَدْحُ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِيْ سِتَّةٍ *** مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ وَمُحَذِّرٍ
وَمُجَاهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ *** وَمَنْ طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

“Menyebut keburukan orang bukan gibah dalam 6 keadaan:
1. mutazhallim (orang yang dizalimi)
2. mu’arrif (orang yang sedang menyebutkan identitas)
3. muhadzir (orang yang sedang men-tahdzir)
4. mujahir fisqan (bicara tentang orang yang menampakkan maksiat terang-terangan)
5. mustafti (orang yang sedang meminta fatwa)
6. man thalabal I’anah li izalati munkarin (orang yang sedang meminta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran).”

Selain gibah yang telah disebutkan di atas hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jauhilah gibah, membicarakan kejelekan penguasa, baik itu ulama maupun umara. Jika kalian menginginkan kebaikan, maka pintu terbuka (untuk menasihati mereka). Jika kalian telah melakukan kewajiban, maka gugur bagi kalian selain itu. Menggibahi ulama dan penguasa tidak memperbaiki keadaan sedikitpun, tidak pula menghilangkan kezaliman, dan tidaklah menjadi baik sesuatu yang rusak dengan gibah”.

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Atma Beauty M.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11872-jagalah-kehormatan-saudaramu.html

Zalim, Pemilik Usaha tak Berikan Hak Pekerja

DALAM hubungan antara pemilik usaha dengan pekerja, Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan disegerakannya pemberian hak pekerja. Beliau bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”(Hadis riwayat Ibnu Majah, 2/817; Shahihul Jami, 1493).

Salah satu bentuk kezaliman di tengah masyarakat muslim adalah tidak memberikan hak-hak para pegawai, pekerja, karyawan atau buruh sesuai dengan yang seharusnya. Bentuk kezaliman itu beragam, di antaranya:

1. Sama sekali tidak memberikan hak-hak pekerja, sedang si pekerja tidak memiliki bukti. Dalam hal ini, meskipun si pekerja kehilangan haknya di dunia, tetapi di sisi Allah pada hari kiamat kelak, hak tersebut tidak hilang.

Orang yang zalim itu, karena telah memakan harta orang yang dizalimi, diambil dari padanya kebaikan yang pernah ia lakukan untuk diberikan kepada orang yang ia zalimi. Jika kebaikannya telah habis, maka dosa yang ia zalimi itu diberikan kepadanya, lalu ia dicampakkan ke neraka.

2. Mengurangi hak pekerja dengan cara yang tidak dibenarkan. Allah berfirman, “Kecelakaan besarlah bagi mereka yang curang.”(Al- Muthaffifin:1)

Hal itu sebagaimana banyak dilakukan pemilik usaha terhadap para pekerja yang datang dari daerah. Di awal perjanjian, mereka sepakat terhadap upah tertentu. Tetapi, jika si pekerja telah terikat dengan kontrak dan memulai pekerjaannya, pemilik usaha mengubah secara sepihak isi perjanjian lalu mengurangi dan memotong upah pekerjanya dengan berbagai dalih. Si pekerja tentu tidak bisa berbuat banyak dengan posisinya yang serba sulit, antara kehilangan pekerjaan dan upah di bawah batas minimum. Bahkan terkadang si pekerja tak mampu membuktikan hak yang mesti ia terima, akhirnya si pekerja hanya bisa mengadukan halnya kepada Allah Taala.

Jika pemilik usaha yang zalim itu seorang muslim sedang pekerjanya seorang kafir, maka kezhaliman yang dilakukannya termasuk bentuk menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, sehingga dialah yang menanggung dosa orang tersebut.

3. Memberi pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tetapi hanya memberikan gaji pokok dan tidak memperhitungkan pekerjaan tambahan atau waktu lembur.

4. Mengulur-ulur pembayaran gaji, sehingga tidak memberikan gaji kecuali setelah melalui usaha keras pekerja, baik berupa pengaduan, tagihan hingga usaha lewat pengadilan.

Mungkin maksud pengusaha menunda-nunda pemberian gaji agar si pekerja bosan, lalu meninggalkan haknya dan tidak lagi menuntut. Atau selama tenggang waktu tertentu, ia ingin menggunakan uang pekerja untuk suatu usaha. Dan tak mustahil ada yang membungakan uang tersebut, sedang pada saat yang sama, para pengusaha penuh dengan uang yang diribakan itu sementara para pekerja merana tak mendapatkan apa yang dimakan sehari-hari, juga tak bisa mengirim nafkah kepada keluarga dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan, padahal demi merekalah para pekerja itu membanting tulang jauh dari negeri orang.

Sungguh celakalah orang-orang yang zalim itu. Kelak pada Hari Kiamat, mereka akan mendapat siksa yang pedih dari Allah. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu anhu disebutkan, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Allah Taala berfirman, “Tiga jenis (manusia) yang Aku menjadi musuhnya kelak pada Hari Kiamat; Laki-laki yang memberi dengan namaKu lalu berkhianat, laki-laki yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan harga uang hasil penjualannya dan laki-laki yang mempekerjakan pekerja, yang mana ia memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 4/447.)[]

Sumber kitab “Muharramat Istahana Bihan Naas” karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid/alsofwah

INILAH MOZAIK

Semua Menangis di Hari Kiamat Kecuali 3 Hal Ini

SEMUA kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Alquran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan.

Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.

Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”

Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?

Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).

Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.

Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.

Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.

Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.

Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[]

Dari: Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 165-167

INILAH MOZAIK

Kau Tidak Akan Meraih Manisnya Madu Tanpa Kerasnya Perjuangan!

Allah swt berfirman :

يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِۚ

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS.An-Nahl:69)

Ketika kita merasakan manisnya madu, jarang sekali kita memikirkan bagaimana perjuangan keras dari lebah untuk menghasilkannya.

Madu terbuat dari 80% air dan 20% bahan-bahan lainnya. Dan untuk menghasilkan satu liter madu, butuh ribuan kali seekor lebah pulang pergi untuk menyempurnakan prosesnya. Dari perjuangan keras ini akhirnya kerumunan lebah itu dapat menghasilkan suatu cairan yang menjadi obat bagi seluruh penyakit.

Kita sering mendengar logika kehidupan yang menyebut “Siapa yang berusaha pasti akan meraih hasilnya” atau “Siapa yang menanam pasti akan memetik hasilnya”. Prinsip-prinsip semacam ini juga sejalan dengan logika Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya :

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ – وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ – ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS.An-Najm:39)

Atau dalam ayat lainnya :

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Ankabut:69)

Atau dalam ayat lain Allah swt berfirman :

وَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِنۡ أَبۡوَٰبِهَاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS.Al-Baqarah:189)

Dan salah satu makna dari ayat ini adalah raihlah hasil dengan menyempurnakan sebab-sebabnya. Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih dengan instan. Semua membutuhkan proses dan perjuangan.

Bukankah Allah swt memerintahkan Sayyidah Maryam as untuk menggoyangkan pohon kurma padahal beliau dalam keadaan hamil besar dan hampir melahirkan?

وَهُزِّيٓ إِلَيۡكِ بِجِذۡعِ ٱلنَّخۡلَةِ تُسَٰقِطۡ عَلَيۡكِ رُطَبٗا جَنِيّٗا

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS.Maryam:25)

Buah kurma tidak akan jatuh seketika tanpa sebab, ayat ini mengajarkan kepada kita untuk memenuhi sebab itu walau dengan kemampuan kita yang sangat terbatas. Kekuatan Sayyidah Maryam saat itu sangat lemah karena sedang mengandung dan hampir melahirkan, namun Allah tetap ingin melihat perjuangan hamba-Nya.

Bahkan ketika Allah hendak memberi mukjizat pun masih memerintahkan agar hamba-Nya berusaha. Seperti ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as untuk memukulkan tongkatnya untuk membelah lautan.

فَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱضۡرِب بِّعَصَاكَ ٱلۡبَحۡرَۖ فَٱنفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرۡقٖ كَٱلطَّوۡدِ ٱلۡعَظِيمِ

Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.” (QS.Asy-Syu’ara:63)

Dan masih banyak lagi ayat yang senada dengan ayat-ayat diatas. Karenanya Islam selalu mendorong pengikutnya untuk berjuang dan berusaha keras, serta membuang semua rasa malas dari hidupnya !

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah.” (QS.Al-Jumu’ah:10)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Pentingnya Memahami Ilmu Ushul Fiqh dan Qawa’id Fiqhiyyah

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:

Bagaimanakah metode terbaik dalam mempelajari ilmu syar’i yang sahih, dengan mempertimbangkan (melihat) realita kondisi jaman sekarang ini?

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa jalan yang terbaik adalah seseorang memulai (belajar) dari kitabullah (Al-Qur’an), kemudian dilanjutkan dengan mempelajari sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mudah baginya. Setelah itu, (dilanjutkan dengan mempelajari) kitab yang ditulis oleh para ulama, baik dalam bidang fiqh atau yang lainnya.

Akan tetapi, yang aku sukai dari proses belajar adalah hendaknya seseorang memperkuat ilmu ushul (kaidah atau landasan pokok), bukan mempelajari (hukum atas) berbagai masalah (kasus). Maksudnya, hendaknya semangat seorang penuntut ilmu tidak ditujukan untuk menghafal (kesimpulan) hukum atas berbagai permasalahan saja. Akan tetapi, hendaknya dia semangat untuk menguasai ilmu ushul (landasan) dan kaidah-kaidah (qawa’id dan dhawabith). Sehingga apabila dia dihadapkan pada permasalahan apa pun, dia bisa menerapkan ushul dan kaidah-kaidah tersebut (sehingga dapat membuat kesimpulan hukum atas permasalahan tersebut, pent.).

Hal ini sebagaimana perkataan para ulama,

من حرم الأصول، حرم الوصول

“Barangsiapa yang tercegah dari mempelajari ilmu ushul, niscaya dia tidak akan mendapatkan ilmu.”

Banyak di antara penuntut ilmu yang mengisi hafalannya dengan mempelajari satu demi satu masalah. Akan tetapi, jika dia keluar dari masalah (yang sudah dia ketahui tersebut), meskipun seujung jari, dia seperti tidak mengetahui apapun. Hal ini dikarenakan dia tidak memahami ilmu ushul dan kaidah (qawa’id) (yang menjadi landasan dalam membuat kesimpulan hukum berbagai masalah tersebut, pent.). Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu haruslah memahami kaidah dan ilmu ushul yang menjadi landasan berbagai masalah (kasus) cabang.

Saya ingat ketika dulu masih belajar, ada seorang penuntut ilmu, dimana dia hafal, namun tidak paham. Dia dulu menghapal kitab Al-Furu’ dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab Al-Furu’ adalah kitab paling lengkap dari kitab-kitab madzhab Hanabilah. Di dalamnya juga terdapat isyarat madzhab yang empat dan madzhab lainnya. Kitab itu ditulis oleh Muhammad bin Muflih rahimahullahu Ta’ala, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau adalah orang paling menonjol dalam pengetahuan terhadap pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam masalah fiqh. Sampai-sampai Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala mengecek pendapat fiqh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melalui beliau ini.

Yang penting, beliau ini (Muhammad bin Muflih) menulis kitab Al-Furu’ dan dihafal oleh salah seorang penuntut ilmu dengan hafalan yang sempurna. Akan tetapi, dia tidak memahami sedikit pun maksudnya. Jadi, apabila penuntut ilmu lainnya mendatanginya, mereka menganggap seolah-olah dia ini sebuah kitab.

Jika ada suatu masalah yang rancu, mereka berkata, “Apa kata Ibnu Muflih dalam bab ini atau dalam bab itu?” Maka penuntut ilmu yang hafal tersebut menyebutkan satu persatu perkataan Ibnu Muflih tanpa mengetahui maksudnya.

Oleh karena itu, seseorang hendaknya perhatian dengan memahami makna dan memahami ushul -yaitu ilmu ushul fiqh dan qawa’id-. Ini adalah perkara paling penting bagi penuntut ilmu.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/45502-urgensi-memahami-ilmu-ushul-fiqh-dan-qawaid-fiqhiyyah.html

Apakah Ilmu Ushul Fikih Mengikuti Perkembangan Zaman?

Soal:

Ustadz saya ingin bertanya:

  1. Apakah ushul fikih bisa berkembang menyesuaikan dengan keadaan zaman?
  2. Apakah mengikuti fatwa ulama termasuk taqlid?

jazakallahu khoir

Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc. menjawab:

Masalah masalah agama ada dua macam:

  1. Masalah masalah yang tidak akan berubah sepanjang masa.
  2. Masalah masalah yang bisa berubah.

Ibnu Qayyim menjelaskan dalam kitab Ighotsatu Lahafan

الأحكام نوعان: النوع الأول: لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرمات، والحدود المقدرة بالشرع على الجرائم ونحو ذلك، فهذا لا يتطرق إلى تغيير، ولا اجتهاد يخالف ما وضع له

النوع الثاني: يتغير حسب المصلحة له زمانًا ومكانًا وحالا كمقادير التعزيرات وأجناسها، وصفاتها، فإن الشارع ينوع فيها بحسب المصلحة) أ.هـ

Hukum itu ada dua macam:

  1. Hukum yang tidak berubah dari keadaannya yang pertama, tidak berubah karena mengikuti kondisi, tempat, dan ijtihad ulama seperti wajibnya sholat lima waktu, Haramnya berbagai keharaman, hukuman hadd untuk tindakan kejahatan dan sebagainya.
  2. Hukum yang berubah karena mengikuti mashlahat waktu, tempat dan kondisi seperti ta’zir (pidana yang diserahkan keputusannya kepada hakim karena tidak adanya dalil). Selesai perkataan beliau.

Diantara perkara yang mempengaruhi perubahan hukum adalah masalah urf atau adat istiadat. Karena kebutuhan manusia berbeda beda di satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam kitab i’laamul Muwaqqiin, Ibnul Qayyim berkata:

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال، وذلك كله من الله، وبالله التوفيق

“Sesungguhnya fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan kondisi. Dan semua itu berasal dari Allah. wabillahittaufiq”.

Tentunya syarat adat istiadat itu adalah tidak bertabrakan dengan dalil dalil syariat. Karena adat istiadat itu bisa menjadi sandaran hukum hanya dalam perkara yang tidak disebutkan batasannya dalam syariat seperti makanan, pakaian, minuman dsb.

Adapun mengikuti pendapat ulama, maka ada dua macam:

  1. Mengikutinya tanpa mengetahui dasarnya. inilah yang disebut taklid. Namun bagi kaum awam diperbolehkan.
  2. Mengikutinya dengan mengetahui dasarnya. Ini disebut oleh Ibnu Abdil Barr sebagai ittiba’.

***

Sumber: channel telegram Al Fawaid

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28079-apakah-ilmu-ushul-fikih-mengikuti-perkembangan-zaman.html