Perkara yang Pertama Kali Dihisab pada Hari Kiamat

Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Sedangkan yang pertama kali diputuskan berkaitan dengan perkara yang terjadi di antara sesama manusia adalah darah. Shalat adalah hubungan antara manusia dengan Rabb-nya. Sedangkan darah berkaitan dengan masalah yang terjadi antara sesama manusia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dua masalah ini dalam satu hadits. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ، وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ

Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat. Sedangkan yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah.” (HR. An-Nasa’i no. 3991. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah’ menunjukkan pentingnya masalah darah. Sehingga hal itu merupakan perkara yang diputuskan pertama kali di antara manusia pada hari kiamat.Hal ini disebabkan karena agungnya masalah ini dan besarnya bahayanya.

Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits terkenal di dalam As-Sunan, ‘Perkara yang pertama kali dihisab adalah shalat’, karena hadits yang ke dua ini berkaitan dengan urusan yang terjadi antara seorang hamba dan Allah Ta’ala. Adapun hadits ini berkaitan dengan urusan yang terjadi di antara sesama manusia.” (Al-MInhaaj Syarh Shahih Muslim, 1/167).

Jika hisab telah selesai, setelah itu akan ada penimbangan amal (mizan). Hisab bertujuan agar seorang hamba mengakui amal baik dan amal buruk yang telah dia kerjakan di dunia serta menghitungnya. Sedangkan mizan bertujuan untuk menampakkan kadar atau ukurannya, kemudian memberikan balasan yang setimpal.

***

Disarikan dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut,karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najaar,hal. 193-194, cet. Daar An-Nashiihah tahun 1434.

Diselesaikan ba’da isya, Rotterdam NL, 21 Rabiul Akhir 1438/19 Januari 2017

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

Semua Menangis di Hari Kiamat Kecuali 3 Hal Ini

SEMUA kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Alquran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan.

Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.

Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”

Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?

Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).

Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.

Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.

Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.

Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.

Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[]

Dari: Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 165-167

INILAH MOZAIK

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 2)

Apakah dianjurkan untuk memanjangkan ghurah dan tahjiil?

Dalam pembahasan sebelumnya telah disampaikan pada ghurrah adalah cahaya putih pada wajah; sedangkan tahjiil adalah cahaya putih di tangan dan kaki pada hari kiamat yang disebabkan oleh basuhan air wudhu.

Mengingat keutamaan tersebut, sebagian fuqaha (ulama ahli fiqh) berpendapat dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil ketika berwudhu [1]. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memperluas area yang terkena basuhan air. Maksudnya, ketika membasuh wajah, wajah dibasuh sampai terkena rambut; ketika membasuh tangan, tangan dibasuh sampai pundak/ketiak (lengan atas); dan ketika membasuh kaki, kaki dibasuh sampai betis (tidak cukup sampai dua mata kaki).

Hal ini adalah berdasarkan riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari Nu’aim bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّهُ رَأَى أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ حَتَّى كَادَ يَبْلُغُ الْمَنْكِبَيْنِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى رَفَعَ إِلَى السَّاقَيْنِ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ، [ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ ]

“Aku melihat Abu Hurairah berwudlu, dia membasuh muka dan membaguskannya, membasuh tangan kanannya hingga lengan atas serta membasuh tangan kirinya hingga lengan atas. Setelah itu mengusap kepala, membasuh kaki kanannya hingga betis dan membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian berkata, ‘Seperti inilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Kalian akan bersinar pada hari kiamat disebabkan karena bekas wudhu”, [barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah].” (HR. Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246. Lafadz hadits ini milik Muslim)

Tentang perkataan dalam tanda kurung siku pada hadits di atas, yaitu “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah”, Al-Hafidz Al-Mundziri berkata,

“Sesungguhnya perkataan “barangsiapa dari kalian yang mampu … ” sampai selesai, itu hanyalah perkataan sisipan dari perkataan Abu Hurairah, sehingga statusnya mauquf (maksudnya, perkataan sahabat Abu Hurairah dan bukan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini telah disebutkan oleh banyak ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.” (Shahih At-Targhiib wa At-Tarhiib, 1: 136-137)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah memberikan komentar atas perkataan Al-Mundziri tersebut dengan mengatakan,

“Inilah yang telah ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan juga muridnya, yaitu Syaikh An-Naaji.” (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, 3: 106)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

فهذا الحديث إذا قرأته فإنك تظن أنه من قول الرسول صلى الله عليه وسلّم، ولكن الواقع أن الجملة الأخير ليست من كلام النبي صلى الله عليه وسلّم وهو قوله: “فمن استطاع منكم أن يطيل غرته وتحجيله فليفعل” بل هي مدرجة من كلام أبي هريرة

“Hadits ini, jika Engkau baca, Engkau menyangka bahwa hadits itu merupakan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (seluruhnya). Akan tetapi faktanya, kalimat terahir bukanlah termasuk bagian dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kalimat, “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah.” Kalimat ini statusnya mudraj, yaitu sisipan berupa perkataan dari Abu Hurairah.” (Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah, hal. 111)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

ولو صحت هذه الجملة , لكانت نصاً على استحباب إطالة الغرة والتحجيل لا على إطالة العضد

“Seandainya kaliamt tersebut shahih (dari Nabi), maka itu adalah dalil tegas dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil, tapi bukan memanjangkan (basuhan sampai) lengan atas (karena lengan atas tidak masuk dalam istilah ghurrah dan tahjiil, pent.)” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 40 [Asy-Syamilah])

Karena perkataan di atas adalah sisipan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka –Wallahu a’lam-, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak dianjurkannya perkara tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ولا يستحب إطالة الغرة وهو مذهب مالك ورواية عن أحمد

“Dan tidak dianjurkan memanjangkan ghurrah, inilah pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.” (Al- Fataawa Al-Kubra, 5: 302)

Di antara alasan yang bisa dijadikan sebagai bantahan adalah bahwa ghurrah itu vahaya pada wajah, sehingga tidak mungkin dipanjangkan. Jika membasuh wajah dilanjutkan sampai rambut kepala, itu sudah tidak ghurrah lagi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وكان شيخنا يقول هذه اللفظة لا يمكن أن تكون من كلام رسول الله فإن الغرة لا تكون في اليد لا تكون إلا في الوجه وإطالته غير ممكنة إذ تدخل في الرأس فلا تسمى تلك غرة

“Guru kami berkata bahwa kalimat ini tidak mungkin bagian dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ghurrah itu letaknya tidak di tangan, ghurrah itu tidak ada kecuali hanya di wajah saja. Sehingga memanjangkan ghurrah itu tidak mungkin, karena (jika dipanjangkan) akan masuk ke daerah kepala. Sehingga tidak bisa disebut ghurrah lagi.” (Haadil Arwaah, 1: 138)

Sebagian ulama yang menganjurkan juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ، حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

“Perhiasan seorang mukmin sampai pada bekas wudhunya.” (HR. Muslim no. 250)

Dan argumen ini juga dibantah oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dengan mengatakan,

وقد احتج بهذا من يرى استحباب غسل العضد وإطالته والصحيح انه لا يستحب وهو قول أهل المدينة وعن أحمد روايتان والحديث لا تدل على الإطالة فإن الحلية إنما تكون في زينة في الساعد والمعصم لا في العضد والكتف

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk mengatakan dianjurkannya membasuh lengan atas dan memanjangkannya (sampai pundak, pent.). Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa itu tidak dianjurkan. Pendapat ini adalah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad. Sedangkan hadits tersebut tidak menunjukkan dianjurkannya memanjangkan basuhan, karena yang disebut dengan “hilyah” (perhiasan) itu hanyalah perhiasan di lengan bawah dan pergelangan tangan, bukan di lengan atas dan pundak.” (Haadil Arwaah, 1: 137)

Selain itu, alasan lain adalah bahwa tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan dianjurkannya hal ini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

فإذا لم يثبت في الشرع الإطالة , لم يجز الزيادة عليه , كما لا يخفى

“Ketika tidak terdapat dalil dari syariat (dianjurkannya) memanjangkan basuhan (anggota wudhu), maka tidak boleh menambah (memanjangkan) basuhan anggota wudhu, sebagaimana hal ini adalah perkara yang sudah jelas.” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 39 [Asy-Syamilah])

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50755-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-2.html

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 1)

Wudhu merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Wudhu merupakan sebab kecintaan Allah Ta’ala kepada kita, sebab terhapusnya dosa, dan juga di antara sebab masuk ke dalam surga-Nya. Dan juga termasuk keutamaan wudhu adalah bahwa orang-orang yang rutin berwudhu ketika di dunia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil.

Ciri khas umat Muhammad adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat

Di antara ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ حَوْضِي أَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ لَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ بِاللَّبَنِ، وَلَآنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ النُّجُومِ وَإِنِّي لَأَصُدُّ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَصُدُّ الرَّجُلُ إِبِلَ النَّاسِ عَنْ حَوْضِهِ ؛ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَعْرِفُنَا يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَمِ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا، مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhya telagaku lebih jauh daripada jarak kota A`ilah dengan kota ‘Adn. Sungguh ia lebih putih daripada salju, dan lebih manis daripada madu yang dicampur susu. Dan sungguh, cangkir-cangkirnya lebih banyak daripada jumlah bintang. Dan sungguh, aku menghalau manusia darinya sebagaimana seorang laki-laki menghalau unta orang lain dari telaganya.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Engkau mengenal kami pada waktu itu?”

Beliau menjawab, “Ya, aku mengenal. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat lain. Kalian muncul dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil disebabkan bekas air wudhu.” (HR. Muslim no. 247)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama berselisih pendapat tentang manakah yang menjadi ciri khas umat Muhammad, apakah syariat wudhu ataukah adanya ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

وقد استدل جماعة من أهل العلم بهذا الحديث على أن الوضوء من خصائص هذه الأمة زادها الله تعالى شرفا وقال آخرون ليس الوضوء مختصا وإنما الذي اختصت به هذه الأمة الغرة والتحجيل

“Sejumlah ulama berdalil berdasarkan hadits ini bahwa (syariat) wudhu merupakan kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Ta’ala tambahkan sebagai kemuliaan umat ini (atas umat sebelumnya, pen.). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat Muhammad. Yang menjadi kekhususan umat Muhammad adalah ghurrah dan tahjiil.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135-136)

Pendapat ke dua adalah pendapat yang lebih tepat karena terdapat riwayat bahwa wudhu telah disyariatkan pada umat-umat sebelumnya, sehingga bukanlah menjadi kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana diriwayatkan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam ketika hijrah bersama Sarah, kemudian memasuki suatu kampung yang dipimpin oleh raja yang bengis. Dalam hadits yang panjang tersebut dikisahkan,

فَأَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ فَقَامَ إِلَيْهَا، فَقَامَتْ تَوَضَّأُ وَتُصَلِّي، فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُولِكَ، وَأَحْصَنْتُ فَرْجِي، إِلَّا عَلَى زَوْجِي فَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيَّ الكَافِرَ

“ … Kemudian Sarah dibawa menghadap raja untuk hidup bersamanya. Maka Sarah berwudhu lalu shalat seraya berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu dan aku memelihara kemaluanku, kecuali untuk suamiku maka janganlah Engkau satukan aku dengan orang kafir ini … ” (HR. Bukhari no. 2217)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وفيه أن الوضوء لا يختص بهذه الأمة خلافا لمن زعم ذلك وإنما الذي يختص بها الغرة والتحجيل في الآخرة وقد تقدم في قصة إبراهيم أيضا مثل ذلك في خبر سارة مع الجبار والله أعلم

“Dalam hadits ini terkandung faidah bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat ini, berbeda dengan orang-orang yang menyangka demikian. Yang menjadi kekhususan umat ini hanyalah ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Telah lewat dalam kisah Ibrahim semisal ini, yaitu tentang kisah Sarah bersama raja yang bengis, wallahu a’lam.” (Fathul Baari, 6: 483)

Lalu, apa itu ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال أهل اللغة الغرة بياض في جبهة الفرس والتحجيل بياض في يديها ورجليها قال العلماء سمي النور الذي يكون على مواضع الوضوء يوم القيامة غرة وتحجيلا تشبيها بغرة الفرس

“Ahli bahasa berkata, “Ghurrah adalah tanda putih di dahi kuda. Sedangkan tahjiil adalah tanda putih di kedua tangan dan kaki kuda.” Para ulama berkata, “Cahaya yang terdapat pada anggota wudhu pada hari kiamat disebut ghurrah dan tahjiil, karena menyerupai ghurrah yang dimiliki kuda.”” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وأصل الغرة لمعة بيضاء تكون في جبهة الفرس

“Makna asal dari ghurrah adalah tanda berwarna putih yang terdapat di dahi kuda.” (Fathul Baari, 1: 236)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah juga berkata,

والمراد بها هنا النور الكائن في وجوه أمة محمد صلى الله عليه وسلم

“Yang dimaksud (dengan ghurrah) adalah cahaya putih yang terdapat pada wajah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Baari, 1: 236)

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa ghurrah dan tahjiil adalah cahaya putih pada wajah, tangan, dan kaki (anggota wudhu), dan merupakan ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak dimiliki oleh umat-umat sebelumnya. Yang dimaksud dengan “umat Muhammad” di sini adalah ummatul ijaabah, yaitu umat Muhammad yang menerima dakwah beliau dan beriman kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan umat beliau yang kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّكُمْ تَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhnya kalian akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil karena bekas air wudhu.”

Ini adalah sufat (ciri) orang-orang yang mendirikan shalat. Lalu, orang-orang mukallaf selain mereka, yaitu orang yang meninggalkan shalat dan anak-anak kecil, dapat dikenali dengan ciri apa?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، هَذَا الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ إنَّمَا يُعْرَفُ مَنْ كَانَ أَغَرَّ مُحَجَّلًا وَهُمْ الَّذِينَ يَتَوَضَّؤُونَ لِلصَّلَاةِ. وَأَمَّا الْأَطْفَالُ فَهُمْ تَبَعٌ لِلرَّجُلِ. وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ قَطُّ وَلَمْ يُصَلِّ: فَإِنَّهُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يُعْرَفُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Hadits ini adalah dalil bahwa yang dikenali hanyalah yang memiliki ghurrah dan tahjiil, yaitu orang-orang yang berwudhu untuk mendirikan shalat. Adapun anak-anak kecil, maka mereka mengikuti laki-laki dewasa. Sedangkan orang-orang yang tidak berwudhu sama sekali dan tidak shalat sama sekali, maka hadits ini dalil bahwa mereka tidak akan dikenali pada hari kiamat.” (Majmu’ Al-Fataawa, 21: 171)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50753-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-1.html

Empat Hal yang Ditanya Malaikat di Hari Kiamat

MENURUT Syaikh Al Qaradhawi, masa muda adalah periode kekuatan yang berada di antara dua periode kelemahan. Hal ini seperti firman Allah Swt berikut:

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS Ar Rum: 54)

Dikatakan bahwa masa muda adalah masa yang penuh dengan kekuatan dan dinamisme yang bergelora. Masa di mana dorongan untuk berbuat kebaikan dan keburukan sama kuatnya. Karena itu, Rasulullah berkata dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, bahwa di antara tujuh golongan yang memperoleh naungan pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya di hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt.

Sudah seharusnya kita sebagai muslim menghabiskan waktutermasuk masa mudadengan maju dan berubah menjadi lebih baik. Senantiasa ingat dan menyadari bahwa waktu tidak akan pernah terulang. Kita harus memanfaatkan masa muda sebelum datangnya masa tua, masa sehat sebelum masa sakit, masa lapang sebelum masa sempit, dan masa terang sebelum masa gelap. Dengan demikian kita berharap bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dan bukan merugi.

Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap masa ini jauh lebih besar. Pada hari kiamat nanti, setiap dari kita akan diberi pertanyaan tentang empat hal pokok, dan dua di antaranya adalah menyangkut usia umum. Termasuk di dalamnya adalah masa muda.

Rasulullah bersabda, “Tidaklah bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia dipertanyakan tentang empat perkara tentang usianya untuk apa dihabiskan; tentang masa mudanya untuk apa dipergunakan; tentang hartanya dari mana didapat dan untuk apa dinafkahkan; dan tentang ilmunya untuk apa diamalkan.” (HR Al Baihaqi)

Semoga ini bisa menjadi bahan pengingat dan refleksi agar kita bisa menghabiskan masa muda dengan berbagai kebaikan, bahkan bisa turut serta menegakkan dan menyampaikan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya. Allahualam bi shawwab[An Nisaa Gettar]

 

 

Mewaspadai Tanda Kiamat

Rasulullah SAW pernah menyampaikan tanda-tanda kiamat kepada para sahabatnya. Beliau bersabda, “Di antara tandatanda kiamat adalah diangkatnya ilmu, menyebarnya kebodohan, maraknya minuman keras, dan zina dilakukan terangterangan,” (HR Bukhari).

Dari hadis ini, Rasulullah memberi isyarat tentang tanda-tanda kiamat. Pertama, diangkatnya ilmu. Allah akan mengangkat ilmu dari muka bumi dengan berbagai cara, di antaranya dengan mematikan ulama. Ketika seorang ulama meninggal dunia maka ilmunya juga diangkat walaupun tidak secara keseluruhan. Bisa jadi ulama tersebut menyebarkan ilmunya dengan cara mengajarkan nya kepada murid-muridnya atau dengan mengabadikannya dengan tulisan.

Matinya ulama tidak hanya berarti roh ulama tersebut dicabut, tapi bisa juga dengan menghilangkan kewibawaannya, seperti ulama yang terkena fitnah maka keberadaan roh dalam jasadnya tidak memiliki pengaruh karena ia telah kehilangan kewibawaannya sebagai seorang ulama. Artinya, perkataannya sudah tidak didengar lagi oleh umat.

Kedua, tersebarnya kebodohan. Kondisi ini akan terjadi secara otomatis saat ilmu sudah diangkat sehingga yang terjadi di tengah-tengah umat hanyalah berbagai kebodohan yang dipertontonkan.

Dalam kondisi ketiadaan ulama yang bisa diandalkan umat, akan muncul penyuluh-penyuluh agama ‘karbitan’ yang ilmunya tidak melewati tenggorokan, akan muncul mubaligh-mubaligh ahli retorika yang pandai memengaruhi massa tapi nir-ilmu, dan akan muncul pula ahli-ahli fatwa yang hanya mengandalkan Google sebagai sumber keilmuannya.

Dalam kondisi seperti ini, mereka akan menjadi orang-orang sesat lagi menyesatkan. Secara otomatis umat tidak memiliki sandaran keilmuan yang bisa mereka andalkan sehingga kebodoh an akan merajalela.

Ketiga, maraknya peminum minuman keras. Salah satu sumber kejahatan terbesar adalah minum minuman keras. Dengan minuman keras, seseorang kehilangan kesadaran akan setiap perbuatan yang dilakukannya. Orang itu pun tidak bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik.

Kehilangan filter pembeda yang berupa akal ini membuat sese orang tidak ubahnya bak binatang, sebab satu-satunya pembeda antara manusia dan binatang hanyalah akal dengan kemampuan berpikirnya. Ketika akal seseorang tertutupi maka jika ia buas akan sebuas binatang, sedangkan jika ia dungu akan sedungu keledai.

Keempat, tanda lain dari terjadinya kiamat adalah zina dilakukan secara terang-terangan. Sepintas lalu, perbuatan zina seakan tidak merugikan pelakunya karena dilakukan suka sama suka. Tapi kenyataannya, pelaku zina dan anak keturunannya dirugikan dengan perbuatan tersebut karena merusak tatanan keluarga dan masyarakat yang telah diatur secara apik oleh setiap agama, termasuk Islam.

Keempat tanda kiamat ini merupakan keburukan yang akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan seseorang, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Jika salah satu dari keempatnya atau bahkan keempatnya sekaligus sudah terjadi di suatu masyarakat, kiamat hanya tinggal menunggu waktu.

 Oleh: Abdul Syukur

Golongan yang Pertama Diadili di Hari Kiamat

SIAPAKAH golongan manusia yang pertama masuk neraka? Apakah orang kafir? Apakah orang munafik? Apakah orang yang berbuat zina? Bapak, Ibu yang dimuliakan Allah, ternyata bukan salah satu dari mereka. Ada 3 golongan yang pertama masuk neraka.

Imam Muslim berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Al-Haritsi, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yusuf, dari Sulaiman bin Yasaar, dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata, “Ketika orang-orang telah meninggalkan Abu Hurairah, maka berkatalah Naatil bin Qais al Hizamy Asy-Syamiy (seorang penduduk palestina dan beliau adalah seorang tabiin), Wahai Syaikh, ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang engkau telah dengar dari Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam. Ya, aku akan ceritakan, jawab Abu Hurairah.

Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahualaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu? Ia menjawab, Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.

Allah berkata, Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Selanjutnya Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya.

Kemudian Allah menanyakannya, Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu? Ia menjawab, Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Alquran hanyalah karena Engkau. Allah berkata, Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim (yang berilmu) dan engkau membaca Alquran supaya dikatakan seorang qari (pembaca Alquran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.

Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam menceritakan orang selanjutnya yang pertama kali masuk neraka, “Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?

Dia menjawab, Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau. Allah berkata, Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu). Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka,” (Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, dan derajatnya sahih).

Hadis di atas menjelaskan tentang ditolaknya suatu amal karena dilandasi dengan riya. Syarat pokok diterima suatu amal shalih adalah ikhlas karena Allah semata, dan amal tersebut harus sesuai dengan contoh dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.”

Hadits di atas menjelaskan tentang adanya tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah. Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena riya, ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya, kelak dihari pengadilan, wajahnya diseret secara tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka.

Untuk itu, Bapak, Ibu, marilah kita senantiasa berusaha untuk meluruskan niat dalam setiap amal ibadah. Jangan pernah kita beramal karena riya atau mengharapkan pujian dan sanjungan.[ZonaKeren]

 

INILAH MOZAIK

Apa Bahasa Allah di Hari Kiamat dengan Makhluknya?

PERNAH ada yang mengatakan bahwa bahasa penduduk surga ialah bahasa Arab sedangkan bahasa penduduk neraka ialah bahasa Persia. Benarkah hal ini? Pertanyaan ini telah dijelaskan jawabannya oleh Ustaz Ammi Nur Baits. Berikut penjelasannya:

Terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu secara marfu, yang menyatakan, “Cintailah arab karena 3 hal, (1) karena saya orang arab, (2) karena al-Quran berbahasa arab, dan (3) bahasa penduduk surga adalah bahasa arab.”

Hadis ini diriwayatkan at-Thabrani dalam al-Ausath, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Baihaqi dalam Syuabul Iman. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Alla bin Amr, yang oleh ad-Dzahabi dinilai matruk. Dan beliau menyebut hadis ini sebagai hadis palsu. Kemudian Abu Hatim menilainya pendusta. Hingga Imam al-Albani mennyebutkan bahwa ulama sepakat hadis ini palsu. (Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, 1/293).

Karena itu, Syaikhul Islam menegaskan bahwa hadis ini tidak bisa jadi dalil. Dalam al-Iqtidha, ketika beliau membahasa hadis ini, beliau menyatakan, “Ibnul Jauzi mencantumkan hadis ini dalam kitab al-Maudhuat (daftar hadis palsu). Beliau menyebutkan bahwa at-Tsalabi menilainya, La ashla lahu (tidak ada sumbernya). Sementara Ibnu Hibban menyebutkan bahwa Yahya bin Zaid (salah satu perawi hadis ini) meriwayatkan dari perawi yang tsiqqah kebalik-balik. Sehingga tidak bisa jadi dalil. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 1/443)

Kemudian, disebutkan dalam riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfu, “Saya orang arab, al-Quran berbahasa arab, dan penduduk surga berbahasa arab.” Hadis ini juga diriwayat at-Thabrani dalam Mujam al-Ausath, dan ulama menilainya sebagai hadis palsu. (Silsilah ad-Dhaifah, 1/298).

Dalam Fatwa Islam disimpulkan, tidak terdapat dalil shahih yang menjelaskan tentang bahasa yang digunakan penduduk surga. (Fatwa Islam, no. 83262)

Syaikhul Islam pernah ditanya, Apa bahasa yang digunakan pada hari kiamat? Apakah Allah mengajak bicara makhluknya dengan bahasa arab? Apakah benar, bahasa penduduk neraka adalah bahasa persi, sementara bahasa penduduk surga adalah bahasa arab? Jawaban Syaikhul Islam, Segala puji bagi Allah, Rabbul alamin,

Kita tidak tahu, bahasa apa yang Allah gunakan untuk berkomuniasi pada hari kiamat. Kita juga tidak tahu, bahasa apa yang didengar oleh para makhluk ketika mereka berkomunikasi dengan Tuhannya. Karena Allah tidak menceritakan hal itu sama sekali, demikian pula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat yang shahih bahwa bahasa persi adalah bahasa penduduk neraka. Demikian pula, tidak ada riwayat shahih bahwa bahasa arab adalah bahasa penduduk surga. Dan kita juga tidak tahu adanya diskusi para sahabat Radhiyallahu anhum tentang masalah ini. Bahkan mereka semua tidak memberikan komentar tentng bahasa kelak di akhirat. Karena membahas masalah ini termasuk pembahasan sia-sia.

Kemudian, Syaikhul Islam melanjutkan, Hanya saja, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama belakangan. Sebagian mengatakan, Allah berkomunikasi dengan bahasa arab. Ada juga yang mengatakan, untuk penduduk neraka mereka berkomunikasi dengan bahasa persi. Dan itu menjadi bahasa mereka di neraka.

Ada juga yang mengatakan, komunikasi mereka dengan bahasa Suryani. Karena ini bahasa yang digunakan Nabi Adam. Dan semua bahasa turunan darinya. Kecuali ahli surga, mereka berbicara dengan bahasa arab. Dan semua pendapat ini, tidak memiliki dasar pijakannya. Baik secara logika maupun dalil yang shahih. Ini semua hanya klaim tanpa dalil. Dan Allah taala Maha Tahu dan Maha Bijaksana. (Majmu Fatawa, 4/300).

Nasehat yang sangat indah dari Syaikhul Islam, masalah bahasa di akhirat, sebaiknya tidak perlu banyak dipertanyakan. Kita pasrahkan kepada Allah. Dia paling tahu mana yang terbaik. Akan lebih bermanfaat, jika umat lebih menyibukkan diri untuk beramal demi kebaikannya di akhirat. Allahu alam.

INILAH MOZAIK

Wajah-wajah Gembira di Hari Kiamat

SEMUA kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt. Alquran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan.

Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.

Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”

Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?

Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).

Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.

Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.

Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.

Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.

Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[ ]

 

Dari: Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 165-167

MOZAIK

 

 

———————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!

Umat Islam yang Diusir oleh Nabi di Hari Kiamat

SAHABAT Abu Hurairah radhiallahu anhu mengisahkan, pada suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi kuburan, lalu beliau mengucapkan salam:

“Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin, dan kami insya Allah pasti akan menyusul kalian”. Selanjutnya beliau bersabda: “aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku”.

Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya: “bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah umatku yang akan datang kelak”.

Kembali para sahabat bertanya: “wahai rasulullah, bagaimana engkau dapat mengenali umatmu yang sampai saat ini belum terlahir?”. Beliau menjawab, “Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?”

Para sahabat menjawab: “tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya”. Maka Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda, “Sejatinya umatku pada hari kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia”.

Aku akan menanti umatku di pinggir telagaku di alam mahsyar. Dan ketahuilah bahwa akan ada dari umatku yang diusir oleh Malaikat, sebagaimana seekor unta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir. Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka: “kemarilah”.

Namun para Malaikat yang mengusir mereka berkata, “sejatinya mereka sepeninggalmu telah merubah-rubah ajaranmu”. Mendapat penjelasan semacam ini, maka aku (Rasulullah) berkata:

“menjauhlah, menjauhlah wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku” (diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim).

Anda tidak ingin bernasib seperti mereka? Tentu jawabannya: tidak. Karena itu, mari kita menjaga kemurnian ajaran beliau dan mengamalkannya dengan seutuhnya tanpa ditambah atau dikurangi.

Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang mendapat syafaat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak. Aamiin. [DR.Muhammad Arifin Baderi]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2291017/umat-islam-yang-diusir-oleh-nabi-di-hari-kiamat/#sthash.UERUB3TU.dpuf