Bersyukurlah dengan Dua Cara Ini!

Allah Swt Berfirman :

وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai.” (QS.An-Naml:19)

Tanda syukur seseorang atas nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya adalah dengan selalu mengucap kalimat syukur dengan lisan dan juga menampilkan rasa syukurnya dengan perbuatan.

Pentingnya untuk selalu istiqomah dalam syukur dengan lisan tergambar dalam ayat di atas :

رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.”

Sementara syukur dengan perbuatan juga digambarkan dalam penggalan ayat selanjutnya.

وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ

“Dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai.”

Maka bersyukur dengan lisan adalah awal yang sangat penting sebagai kesadaran dalam diri kita bahwa semua ini pemberiam Allah Swt. Sedangkan syukur dengan perbuatan adalah pembuktian kita bahwa kita benar-benar berterima kasih atas kebaikan yang Allah berikan. Dan semua kenikmatan itu akan kita jaga dan tidak kita gunakan untuk sesuatu yang memancing kemurkaan Sang Pemberi Nikmat.

Ayat ini juga memberi pelajaran bahwa setiap saat kita diminta untuk selalu memohon kepada Allah agar membimbing kita untuk bersyukur. Karena kita tidak mampu bersyukur bila tidak ada bimbingan dari-Nya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Pesan Terakhir Nabi Muhammad: Kiamat Sudah Dekat

DALAM sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah 10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.
“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”

Surat peringatan semacam itu, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi tentang kiamat sudah dekat.

Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya: “Hai Syekh Abdallah… ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir… Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Kabah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”

Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap minggu di masjid-masjid. Di suratkabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.

Surat peringatan lain terbit dalam dua versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Jafar ibn Abd al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan kewajiban agama.

Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.

Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.

Yang menarik mungkin dalam surat peringatan yang lain secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Kabah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.

Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Kabah lambat-laun akan menghilang atau pintu Kabah tak dapat dibuka lagi.

Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama dan perbuatan-perbuatan baik.

“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.

Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan para pejabat Belanda.

“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”

Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial, yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9 Juni 1888.

Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini. Bahkan menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.

Banyak orang mempertanyakan kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Muashirah pada 2001 terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.

Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada 1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.” Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam Nabi bernama Syekh Ahmad.[Hendri F. Isnaeni/Historia]

INILAH MOZAIK

Mendoakan Saudara Tanpa Sepengetahuannya adalah Tanda Jujurnya Keimanan

Salah satu sunnah yang mungkin sangat jarang kita lakukan adalah mendoakan saudara muslim kita semisal teman, sahabat, guru dan lain-lain tanpa sepengatahuan dia. Kita doakan dia dengan ikhlas dan tulus agar dia mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Tidak mudah melakukan sunnah ini, karena butuh keimanan yang tinggi serta hati yang tulus dan ikhlas, karena sifat dasar manusia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri saja. Setelah semua kebutuhan manusia terpenuhi, barulah dia memperhatikan orang lain. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa sunnah ini adalah tanda jujurnya keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata,

الدعاء بظهر الغيب يدل دلالة واضحة على صدق الايمان

لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال :

(لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه مايحب لنفسه)

“Mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya menunjukkan jujurnya keimanan seseorang, karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah sempurna keimanan kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (Syarh Riyadhus Shalihin 6/54)

Mengenai sunnah ini, terdapat dalil hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan sunnah ini, yaitu apabila kita mendoakan saudara muslim, maka malaikat akan mendoakan bagi kita yang semisal doa yang kita panjatkan. Jadi apa yang kita doakan kepada saudara kita, kita pun akan mendapatkannya dengan izin Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama.’” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.’

Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini dengan keimanan yang jujur dan ikhlas. Salah satu riwayat mereka menerapkan sunnah ini adalah riwayat dari Abu Darda’.  Istri beliau,  Ummu Darda’ menceritakan,

كان لأبي الدرداء ستون وثلاث مئة خليل في الله يدعو لهم في الصلاة، فقلت له في ذلك، فقال : إنه ليس رجل يدعو لأخيه في الغيب إلا وكل الله به ملكين يقولان : « ولك بمثل » أفلا أرغب أن تدعو لي الملائكة

‘Dahulu Abu Darda memiliki sekitar 300 orang sahabat (pertemanan di dalam ketaatan), yang di dalam shalatnya, Abu Darda seringkali mendoakan mereka. Maka aku pun berkata kepadanya tentang apa yang ia lakukan.’

Maka Ia pun berkata, ‘Sesungguhnya tidaklah seseorang mendoakan bagi saudaranya tanpa sepengetahuanya, kecuali Allah mengutus denganya dua malaikat, yang keduanya akan mengatakan, ‘Begitu juga denganmu.’ Apakah aku tidak boleh mendambakan malaikat mendoakanku?’” (Siyar A’lamin Nubala’ 2/351)

Dalam hadits disebutkan bahwa malaikat ikut mendoakan bagi yang berdoa. Para ulama mejelaskan bahwa doa malaikat itu mustajab.

Abul Hasan Al-Mufarakfuri berkata,

دعاء الملائكة مستجاب

“Doa para malaikat itu mustajab.” (Mura’atul Mafatih 5/309)

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: Muslim.or.id

Ketika Rasul Menangis Melihat Perempuan Disiksa

SAYIDINA Ali ra suatu ketika melihat Rasulullah saw menangis manakala ia datang bersama Fatimah. Lalu dia bertanya mengapa Rasulullah saw menangis.
Beliau menjawab; “Pada malam aku di-isra- kan, aku melihat perempuan-perempuan sedang disiksa dengan berbagai siksaan di dalam neraka. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena menyaksikan mereka disiksa dengan sangat berat dan mengerikan.”

Putri Rasulullah saw kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahnya. “Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih. Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya.”

“Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya, sementara malaikat memukulnya dengan gada dari api neraka,” kata Nabi saw.

Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu?

Rasulullah menjawab, “Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.”

“Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya. Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.”

“Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain yang bukan muhrim dan dia bersolek supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.”

Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis. Betapa wanita itu digambarkan sebagai tiang negara, rusak tiang, maka rusak pula negara, akhlak dan moral.

Meski demikian, laki-laki yang bermaksiat kepada Allah juga tidak sedikit yang masuk neraka. Ayah-ayah yang membiarkan anak perempuanya tidak memakai kerudung dan mengumbar aurat didepan orang lain.

Surga dan Neraka adalah soal pilihan. Tergantung bagaimana manusia menjalani hidupnya dialam jagad raya. kalau mau selamat, maka patuhlah kepada Al-Quran dan hadist, balasanya adalah surga dengan segala kenikmatan didalamnya. Kalau mau celaka dengan mendurhakai Al Quran dan hadist, maka Allah sudah menyediakan penjara yang sangat mengerikan, yaitu neraka dengan api dan siksaan yang sangat pedih dan tidak terbayangkan oleh manusia sebelumnya.

Dalam sebuah hadist yang diwirayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: “Neraka diperlihatkan kepadaku. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita..” (HR Ahmad)

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah Azza wa Jalla) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”. [HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mujamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban]

Tabarruj akan membawa laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Taala)” [HR ath-Thabrani dalam “al-Mujamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya dalam kitab “ilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS. al-Ahzaab:33).

Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Ahzaab: 59).

Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari Surga, dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya” (QS. al araf : 27). []

INILAH MOZAIK

Hukum Kartu Diskon dan Member Harga Murah Dropship dan Reseller

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum kartu diskon dan member harga murah dropship dan reseller.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ustadz mau tanya terkait penjualan produk madu yang lagi banyak beredar ini. Jadi sistemnya, kita daftar jadi member perusahaan tersebut dengan membayar biaya member sejumlah sekian rupiah. Salah satu benefit yang didapatkan itu potongan harga yang luar biasa banget ketika membeli produknya. Itu gimana ya Ustadz bolehkah?
Ga cuma produk madu sih. Ada juga yang oil  sama produk kecantikan yang saya tau.
Soalnya saya pernah baca kalau ga boleh member berbayar, tapi mau memastikan lagi.
Terimakasih Ustadz.

(Disampaikan oleh Fulan, sahabat belajar BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Penanya yang dimuliakan Allah, pembahasan yang anda sampaikan masuk pada pembahasan hukum memakai “kartu diskon”. Kartu diskon yang dikeluarkan oleh perusahaaan atau toko dan semisalnya sebagai propaganda penjualan, atau salah satu upaya pemasaran agar menarik para konsumen, biasanya pemegang kartu ini akan dijanjikan mendapat potongan harga atau diskon ketika mengikuti layanan tertentu atau membeli barang tertentu dari pihak yang mengeluarkan kartu diskon tersebut.

Para ulama membagi jenis kartu diskon tersebut menjadi dua:Baca:  Hukum Makan Keledai, Zebra dan Kuda Beban

1. Kartu diskon yang didapat dengan persyaratan harus membayar terlebih dahulu, biasanya terhitung untuk keikutsertaan setahun, atau jangka waktu tertentu.

2. Kartu diskon gratis, bisa didapat dengan cara hadiah sukarela yang diberikan oleh pihak toko atau perusahaan tertentu, sebagai bentuk promosi agar yang mendapat kartu diskon tetap bertransaksi dengan toko tersebut, atau terkadang diberikan karena si konsumen sering membeli dengan jumlah nominal tertentu yang banyak, sehingga kemudian ia mendapatkan kartu diskon gratis karena hal tersebut.

Adapun hukum kartu diskon jenis kedua ini dibolehkan, karena akad yang terjadi antara penerbit kartu dan pemegang kartu adalah akad hibah, sehingga sekalipun asas kerja kartu diskon mengandung unsur gharar disebabkan ketidak-jelasan potongan harga barang yang didapatkan dan berapa besarnya potongan saat menerima kartu, tidak mempengaruhi keabsahan akad.

Keterangan bolehnya kartu diskon jenis kedua bisa dilihat di keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI), No. 127 (1/14) tahun 2003, yang berbunyi, “Kartu diskon yang diterbitkan oleh hotel, maskapai penerbangan dan beberapa perusahaan yang memberikan fasilitas yang mubah bagi pemegang kartu yang telah memenuhi poin tertentu, hukumnya boleh jika kartu diberikan secara cuma-cuma“.BACA JUGA

Adapun jenis kartu diskon yang pertama, yaitu yang didapatkan dengan cara membayar untuk menjadi member/ikut serta, yang demikian tidak diperbolehkan oleh para Ulama, diantara beberapa alasannya sebagai berikut:

1. Adanya gharar/ketidak jelasan dalam akad tersebut, karena pembeli yang menyetorkan uang kepada penerbit kartu diskon, ia berharap akan mendapat potongan harga ketika bertransaksi, dan potongan harga tersebut tidak jelas ukuran dan besaran yang akan didapatkan, bahkan terkadang ia tidak sempat menggunakan kartu tersebut, atau ia gunakan namun beberapa kali saja yang hanya bisa mendapat potongan harga yang kecil, sedangkan biaya yang dikeluarkan lebih banyak, atau justru sebaliknya, biaya kartu lebih kecil/sedikit namun ia membeli berkali kali dengan total potongan yang didapat melebihi biaya membuat kartu, ini semua masuk pada kategori jual beli yang dibangun di atas gharar/ketidak jelasan hasil.

2. Alasan kedua, sejatinya diskonan dalam kartu ini banyak berupa tipuan bagi banyak orang, juga tipu muslihat yang dilakukan oleh para penerbit kartu, karena mayoritas potongan harga yang ada adalah potongan harga yang meragukan, banyak dari para pelaku transaksi ini dari para pemilik usaha/toko, sejatinya mereka sudah menaikkan harga barang yang akan dijual, kemudian konsumen mendapat harga murah yang mengesankan seakan meraka mendapat diskon, padahal hakikatnya harga tersebut sama saja.

3. kartu diskon jenis ini juga mengandung unsur riba ba’i (riba jual beli), di mana pemegang kartu menukar uang iuran keanggotaan dengan uang potongan harga barang/jasa yang sejenis namun berbeda nominalnya dan tidak tunai.
(Dr. Abdullah As Sulmi, konsultasi Syariah www.islamtoday.com tanggal 6-3- 1424 H)

Dan juga masih ada beberapa alasan lain yang menjadikan penggunaan kartu diskon tersebut menjadi terlarang.

Beberapa lembaga fatwa dan ulama international sudah memfatwakan penggunaan kartu diskon, diantaranya Al-Majma’ Al-Fiqhiy Al-Islami (divisi fikih Rabithah Alam Islami) dalam rapat tahunan ke-XVIII menfatwakan:
“Setelah membaca, menelaah serta mendiskusikan penelitian-penelitian yang diajukan ke majelis tentang hukum kartu diskon maka diputuskan: tidak boleh menerbitkan serta membeli kartu diskon, jika untuk mendapatkan kartu tersebut, konsumen ditarik iuran keanggotaan atau uang administrasi. Karena kartu ini mengandung unsur gharar. Karena pada saat pemegang kartu memberikan uang kepada penerbit kartu, ia tidak tahu apakah akan mendapatkan imbalan dari uang yang ia berikan atau tidak. Pada saat itu pemegang kartu telah mengalami kerugian, namun ia belum tentu mendapatkan imbalan kelak atas uang pembayaran kartu“.Baca:  Apa Hukum Menuduh Kafir Orang Di Luar Non Muslim?

Fatwa syaikh Abdul Aziz ibn Baz rohimahullah:

هذا العمل لا يجوز؛ لما فيه من الجهالة والمقامرة، والغرر الكثير، فالواجب تركه. والله الموفق

“Penggunaan kartu diskon ini tidak diperbolehkan, karena di dalamnya terdapat unsur ketidakjelasan dan perjudian, adanya gharar, maka wajib untuk ditinggalkan, semoga Allah memberi taufiq”.
Lihat: fatwa syaikh Bin Baz tentang حكم بطاقات التخفيض

Kesimpulan

Jika kartu diskon tersebut diberikan secara Cuma-Cuma, ini yang boleh dipergunakan, karena sejatinya adalah akad hibah/pemberian.

Adapun jika kartu diskon didapatkan dengan syarat membayar, hukumnya tidak diperbolehkan, sebagaimana paparan di atas. Wallahu a’lam

Dijawab oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Kamis, 20 Shafar 1442 H/ 08 oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Beklanja online amanah, mampir ke Toko Albani

Ujian dan Jalan Keluar Bagi Orang yang Bertakwa

Kita sedang berjalan di atas sebuah jalan kehidupan. Menyusuri waktu demi waktu. Tertoreh berbagai kisah dalam lembaran kita. Canda, tawa, tangis dan air mata mengisi di antara lipatan cerita. Kisah pilu hingga heroik mungkin pernah mewarnai hari – hari. Berbagai ujian datang menguji ketegaran dan keteguhan keimanan. Sekencang apapun kita berlari dan bersembunyi, ujian akan tiba di sebuah titik di jalan yang kita tak pernah tahu itu sebelumnya.

Jalan kita berbagai bentuk sesuai dengan ketentuan Nya. Ada kalanya jalan itu datar dan mulus, namun tak jarang pula jalan berkelok, berkerikil bahkan berduri. Namun, benarkah ada jalan buntu??

Ujian Pasti Datang

Allah ta’ala berfirman

كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٣٥

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al Anbiya: 35)

Al Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” adalah Allah akan menguji manusia dengan musibah dan juga nikmat untuk melihat siapakah di antara hamba Nya yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa, sebagaimana perkataan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah akan menguji dengan ujian kebaikan dan keburukan, kesempitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan, dan seterusnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342)

Saat jalan kita mulus, bukan berarti kita tak diuji. Kemudahan itu juga merupakan ujian. Apakah di saat jalan kita tanpa duri kita masih mengingat Allah ta’ala? Apakah kita mensyukuri nikmat dari Nya? Apakah kita memanfaatkan kenikmatan tersebut untuk ketaatan? Atau malah menggunakannya dalam berbagai kemaksiatan?

Begitu pula saat jalan kita berkelok dan banyak rintangan yang kita hadapi. Apakah kita akan bersabar? Mampukah kita ridho dengan ketentuan dari Nya? Akankah kita memohon ampun atas dosa yang pernah kita perbuat? Apakah kita lantas bersimpuh dan sujud kepada Nya? Ataukah kita malah berputus asa dan berprasangka buruk kepada Allah? Akankah kita malah semakin menjauh dari Allah ta’ala dan menambah kemaksiatan?

Jalan tanpa hambatan bukanlah tolok ukur keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Bukan pula parameter kebahagiaan  dalam kamus kehidupan. Lihatlah betapa terjal dan curamnya jalan yang harus dilalui oleh para Nabi dan Rasul, namun mereka adalah orang-orang yang paling berbahagia. Jadi, beban yang sedang kita pikul bukanlah alasan bagi kita untuk seolah menjadi orang yang paling sengsara di dunia ini.

Jalan Keluar Bagi Orang yang Bertakwa

Di saat semakin hari beban terasa semakin berat, pikiran terasa semakin penat, hujan kesedihan semakin lebat, dan jiwa terasa semakin terikat kuat, apakah saatnya kita bertekuk lutut dengan ini semua?? Tidak, karena Allah ta’ala telah berjanji :

فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢  وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath Thalaq : 2-3)

Selama seseorang istiqomah melaksanakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang Nya, Allah ta’ala pasti akan memberinya jalan keluar. Syaikh As Sa’di menjelaskan terkait ayat tersebut bahwa Allah akan membalas dengan kebaikan di dunia maupun di akhirat bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan mengutamakan keridhaan Allah dalam semua keadaannya. Allah ta’ala akan memberikan kelapangan dan jalan keluar dari setiap kesulitan dan kesempitan. Dan sebaliknya, orang yang tidak bertakwa kepada Allah akan terjatuh ke dalam kesempitan, beban dan belenggu. (Tafsir As Sa’di : 869/1)

Jalan buntu ItTak Ada.

“Benarkah ada jalan buntu??

Terjawab sudah pertanyaan tersebut. Tak ada jalan buntu selama kita bertakwa kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala sendiri yang mengatakannya. Adakah perkataan yang lebih benar dibandingkan perkataan Dzat yang telah menciptakan alam semesta? Tentu tidak ada. Allah ta’ala yang menciptakan segala sesuatu, termasuk ujian itu, maka Dia pula yang paling tahu apa dan bagaimana jalan keluarnya.

Kita boleh bersedih, tapi jangan berlarut – larut dan jangan sampai berputus asa. Bisa saja kita merasa masalah kita sangat berat, tapi ingatlah bahwa ujian terberat adalah ujian yang dihadapi para Nabi dan Rasul. Semakin kuat iman seseorang maka semakin berat pula ujiannya. Namun pada realitanya, apakah Nabi dan Rasul pernah sampai stress?? Jawabannya ‘tidak’, karena mereka mengetahui ilmunya, mereka tahu bagaimana cara mengatasi permasalahan dan ujian.

Apakah mereka tidak bersedih? Tidak perlu ditanyakan, karena kita ingat betul bagaimana sedihnya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam  saat terus ditentang dan disakiti kaum musyrikin di saat hatinya pilu dengan kematian Khadijah dan Ali bin Abi Thalib. Pun dengan kisah sedih yang pernah dialami Nabi dan Rasul lainnya. Sebagai pelipur lara pula, kita harus senantiasa ingat bahwa pahala bersabar itu tanpa batas. Di sinilah saat yang tepat bagi kita untuk mengamalkan ibadah ini.

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠

“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Kita juga harus senantiasa ingat bahwa seberat apapun ujian yang kita hadapi saat ini, suatu saat ujian itu akan berlalu. Bukankah kita pernah dijejali dengan slogan “badai pasti berlalu”? Ya, di suatu hari nanti, hari – hari berat ini akan menjadi sejarah dan bukti seberapa teguh iman kita. Hari – hari ini hanyalah hari – hari pendek tempat mengumpulkan bekal. Oleh karenanya tetaplah bersemangat menjalani, memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dan senantiasa berprasangka baik kepada Nya. Bilal bin Sa’ad rahimahullaahu berkata:

عِبَادَ اللهِ، إِعْلَمُوا أَنَّكُمْ تَعْلَمُوْنَ فِي أَيَّامٍ قِصَارٍ لِأَيَّامٍ طُوَالٍ، وَ فِي دَارِ زَوَالٍ لِدَارِ مَقَامٍ، وَفِي دَارِ نَصَبٍ وَ حُزْنٍ لِدَارِ نَعِيْمٍ وَ خُلْدٍ

“Wahai hamba Allah, ketahuilah sesungguhnya kalian hanya beramal pada hari – hari yang pendek untuk hari – hari yang panjang. Kalian hanya beramal di negeri yang akan lenyap untuk negeri yang menjadi tempat tinggal, di negeri penderitaan dan kesedihan untuk negeri kenikmatan dan keabadian.“ (Shifatu shafwah, 2/377)

Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Penulis: Apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

Sikap Orang-Orang Mukmin Ketika Tertimpa Musibah

Al-Qur’an mengkaji tentang masalah Bala’ (musibah) yang menimpa manusia dari berbagai sisi. Salah satunya adalah bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh seorang mukmin ketika menghadapi musibah. Sehingga musibah apapun yang menimpa tidak akan membuatnya frustasi dan putus asa, hatinya tetap tenang saat menghadapinya.

Lalu apa saja sikap seorang mukmin ketika menghadapi musibah?

1. Istirja’ (mengucapkan Inna lillah wa inna ilaihi roji’un)

Seorang mukmin segera mengembalikan semuanya kepada Allah di saat tertimpa musibah. Bahwa ini semua milik Allah dan semuanya akan kembali kepada-Nya.

Dan buah dari ucapan ini adalah seorang hamba layak masuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar dan meraih rahmat serta ampunan-Nya. Karena ketika ia yakin bahwa semuanya dari Allah dan semua akan kembali kepada Allah, apapun yang terjadi tidak akan menggoyahkan hatinya.

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ – أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.Al-Baqarah:156-157)

2. Bersabar.

Al-Qur’an seringkali mengulang penekanan tentang kesabaran dalam banyak ayatnya. Bahkan berulang kali disebutkan pahala yang tak terhingga bagi mereka yang mampu bersabar.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS.Ali ‘Imran:200)

3. Memohon bantuan dari Allah Swt.

Allah Swt mengetahui kelemahan seorang hamba dan kebutuhan mereka kepada-Nya. Karenanya setiap hamba di wajibkan untuk terus membaca ayat ini di setiap solat mereka :

إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS.Al-Fatihah:5)

Dalam ayat lain Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa ketika bala’ telah menimpa Bani Israil dari kekejaman Fir’aun, Musa berkata kepada kaumnya.

قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱللَّهِ وَٱصۡبِرُوٓاْۖ

Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.” (QS.Al-A’raf:128)

4. Selalu berdoa.

Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dan menjadikannya sebagai sebuah ibadah yang penting.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS.Ghafir:60)

5. Berusaha dan berikhtiyar untuk menghilangkan musibah tersebut.

Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan kita untuk bersabar menghadapi musibah. Tapi Al-Qur’an juga mengajarkan agar kita berikhtiar dan berusaha untuk menyelesaikannya.

Sebagaimana kisah Nabi Ya’qub as ketika kehilangan Yusuf. Beliau memerintahkan putra-putranya untuk pergi mencari berita tentang Yusuf.

يَٰبَنِيَّ ٱذۡهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَاْيۡـَٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيۡـَٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS.Yusuf:87)

Itulah beberapa sikap yang harus dilakukan oleh seorang mukmin ketika menghadapi musibah.

Semoga bermanfaat…

BIMBINGAN ISLAM

Tiga Tugas Manusia

Manusia bertugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Manusia merupakan makhluk yang dianugerahi akal dan pikiran serta hati nurani. Dalam Islam, setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan penciptaan manusia. Alquran surah adz-Dzariyat ayat 56 menerangkan tujuan pertama. Artinya, “Dan Aku (Allah) tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Dengan demikian, fitrah kemanusiaan adalah menjadi hamba Allah SWT. Sifat menghamba tidak boleh ditujukan kepada siapapun selain Allah Ta’ala.

Tugas kedua berkaitan dengan konteks kehidupan empiris. Dalam surah al-Baqarah ayat 30 dijelaskan tentang tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Surah yang sama memuat dialog antara Allah dan para malaikat tentang penciptaan manusia. Terjemahannya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”

Maknanya, di muka bumi hidup berbagai macam makhluk. Namun, hanya manusia yang menyandang fungsi pemimpin. Manusia dapat memanfaatkan segala yang tumbuh di atas bumi untuk kelangsungan hidupnya. Bagaimanapun, manusia mesti mengelola sumber daya dengan penuh tanggung jawab. Allah menciptakan keteraturan di muka bumi. Maka dari itu, manusia tidak boleh merusak harmoni yang sudah diciptakan-Nya.

Tugas ketiga adalah berdakwah. Hal ini terutama diemban bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Yang didakwahkan adalah Islam, sebagai satu-satunya agama yang diridhai di sisi Allah Ta’ala.

Dakwah yang dilakukan dapat melalui lisan dan perbuatan. Sasarannya dimulai dari diri sendiri, keluarga, karib kerabat, dan komunitas setempat. Dakwah yang dijalankan tidak boleh dengan paksaan atau penghakiman. Dengan menarik simpati, orang-orang akan tertarik untuk mendalami agama ini.

KHAZANAH REPUBLIKA

Rahmat Allah SWT untuk Para Pedagang yang Jujur dan Ramah

Allah SWT memberikan rahmat kepada pedagang yang ramah dan jujur.

Timbang-menimbang barang merupakan bagian dari aktivitas muamalah jual beli. Penjual tidak boleh mengurangi timbangan dan menyembunyikan kecacatan barang yang dijualnya. 

“Jual beli harus menyamakan berat timbangan. Bila diabaikan akan menerima siksaan berat,” kata Imam al-Ghazali melalui Ikhtisar Ihya Ulumuddin.

Sang hujjatul Islam ini menyampaikan, jika penjual tidak menyamakan berat timbangannya dalam menjual barang maka Allah SWT akan melaknatnya. Ancaman Allah ditegaskan dalam QS al-Mutfhaffifin ayat 1:  

 وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ “Celakalah bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.” 

Ringkasnya, kata Imam al-Ghazali, semua bentuk manipulasi dalam transaksi jual beli hukumnya haram. Oleh karena itu, tidak boleh menghampiri suatu barang yang tidak ingin dibelinya sambil meminta harga di atas harga jual beli dengan tujuan menggerakkan keinginan pembeli lain pada barang tersebut.  

Penduduk kota juga dilarang melakukan jual beli dengan penduduk pedesaan. Maksudnya orang desa hendak menjual bahan makanan ke kota. Namun, sebelum sampai tujuan, dihadang salah seorang dari kota yang berniat memborong barang dagangannya dengan kemudian menimbunnya sampai harga naik tinggi. 

Misalnya, seseorang membeli barang karena memperoleh toleransi dari temannya atau anaknya, maka hendaklah menyebutkannya pada pembeli lain supaya pembelinya tidak dijadikan acuan. Hendaknya berbuat ihsan (bersikap baik) seperti tidak menipu orang lain dengan praktik muamalah yang berjalan tidak sesuai kebiasaan. “Saling memudahkan urusan jual beli sangat dianjurkan,” katanya.

Hal ini seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dari Jabir bin Abdullah RA: 

 عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: رحم الله عبداً سمحاً إذا باع، سمحاً إذا اشترى، سمحاً إذا اقتضى. “Allah merahmati orang yang mempermudah penjualan dan pembelian. Pelunasan utang dan penagihan.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Wali Allah Ta’ala

بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ ، وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ أحبَّ إليَّ ممَّا افترضتُ عليه ، وما يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أُحبَّه ، فإذا أحببتُه : كنتُ سمعَه الَّذي يسمَعُ به ، وبصرَه الَّذي يُبصِرُ به ، ويدَه الَّتي يبطِشُ بها ، ورِجلَه الَّتي يمشي بها ، وإن سألني لأُعطينَّه ، ولئن استعاذني لأُعيذنَّه ، وما تردَّدتُ عن شيءٍ أنا فاعلُه ترَدُّدي عن نفسِ المؤمنِ ، يكرهُ الموتَ وأنا أكرهُ مُساءتَه

Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya” (HR al-Bukhari 5/2384, no. 6137).

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah Ta’ala (kekasih Allah Ta’ala) yang benar, yaitu orang yang selalu menetapi ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

{ أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ. لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

Ketauhilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa (kepada Allah). Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yuunus: 62-64).

Faidah Hadits

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  1. Wali Allah adalah orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengamalkan ketaatan, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan memperbanyak amal-amal sunnah, maka Allah membalasnya dengan penjagaan dan pertolongan-Nya1.
  2. Perbedaan antara wali Allah dan wali Setan (musuh Allah Ta’ala) adalah bahwa wali Allah Ta’ala selalu mengerjakan amal shaleh yang mendekatkan diri kepada-Nya, sedangkan wali Setan selalu melakukan perbuatan maksiat dan meninggalkan amal shaleh2. Maka jika ada seorang yang mengaku sebagai wali padahal dia tidak memahami dan mengamalkan amal-amal shaleh yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ketahuilah dia itu adalah wali setan dan bukan wali Allah Ta’ala.
  3. Setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah adalah wali Allah Ta’ala, sebagaimana yang tersebut dalam ayat di atas, akan tetapi derajat/tingkat kewalian manusia berbeda-beda sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.
  4. Tingkat/derajat kewaliaan ada dua3:
    1. Derajat as-Sabiqun al-Muqarrabun (orang-orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala dan selalu bersegera/berlomba dalam kebaikan). Inilah tingkatan yang teringgi, yaitu orang-orang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan amal-amal shaleh yang wajib dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram, serta berupaya keras melakukan amal-amal sunnah yang dianjurkan dalam Islam dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh (dibenci).
    2. Derajat al-Muqtashidun Ashabul yamin (Golongan kanan yang bersikap sederhana dalam beramal), yaitu orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan menunaikan dan menyempurnakan amal-amal shaleh yang wajib serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram.
  5. Wali Allah Ta’ala akan selalu mendapatkan bimbingan dan penjagaan Allah Ta’ala dalam pendengaran, penglihatan dan seluruh perbuatan anggota badannya agar mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan jauh dari segala keburukan4.
  6. Demikian pula dia memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah Ta’ala, yang menjadikannya jika memohon maka Allah Ta’ala akan mengabulkan permohonannya dan jika meminta perlindungan maka Allah Ta’ala akan memberikan perlindungan kepadanya, sehingga dia akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya karena kemuliaannya di sisi Allah Ta’ala5.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 17 Dzulqa’dah 1434 H

Catatan Kaki

1 Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/240).

2 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519 – Muntaqa nafiis).

3 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519-520).

4 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519) dan “Faidhul Qadiir” (2/240).

5 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 525).

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc., M.A.

Artikel Muslim.Or.Id