Serial Fikih Muamalah (Bag. 17): Mengenal Khiyar Rukyah dan Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli

Khiyar rukyah merupakan syarat yang ditetapkan syariat Islam untuk melindungi konsumen dan pembeli dari kerugian dan penipuan. Lalu, seperti apa hakikat khiyar rukyah ini? Bagaimana para ahli fikih menyikapinya? Apa saja syaratnya? Dan apa pengaruhnya terhadap sebuah akad?

Pada kesempatan kali ini, insyaAllah akan kita bahas lebih mendalam hak khiyar rukyah dari sisi syariat Islam.

Hakikat khiyar rukyah

Khiyar rukyah (pengelihatan) adalah kondisi ketika salah satu pihak yang melangsungkan akad memiliki hak untuk membatalkan ataupun melanjutkan akad saat melihat langsung barang yang diakadkan dikarenakan sebelumnya ia belum melihat secara langsung barang tersebut.

Contohnya adalah ketika seorang penjual menjual sebuah mobil yang belum ada ketika terjadinya akad. Maka, bagi pihak pembeli ada hak khiyar ketika melihat langsung mobil tersebut baik mobil tersebut sudah diberikan deskripsi dan sifatnya terlebih dahulu ataupun belum ditentukan deskripsinya. Pada kedua keadaan ini terdapat hak khiyar rukyah (pengelihatan) bagi pihak pembeli.

Sikap ahli fikih terhadap khiyar rukyah (pengelihatan)

Para ahli fikih berbeda pendapat terkait ada atau tidaknya hak khiyar rukyah bagi seseorang yang belum melihat objek akad menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama

Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan pendapat lama Syafi’iyyah, serta Hanabilah dalam salah satu riwayat pendapat mereka berpendapat akan adanya hak khiyar rukyah (pengelihatan).

Hal ini berdasarkan beberapa dalil:

Pertama: Apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Mulaikah dari sahabat Alqamah Bin Waqqas Al-Laisyi radhiyallahu anhu,

أنَّ عثمانَ ابتاع منْ طلحةَ بنِ عُبيدِ اللهِ أرضًا بالمدينةِ ، ناقَلَهُ بأرضٍ له بالكوفةِ ، فلما تبايعا ندِم عثمانُ ثم قال : بايعتُك ما لم أرَهُ ، فقال طلحةُ : إنما النظرُ لي ، إنما ابتعتُ مُغَيَّبًا ، وأما أنتَ فقد رأيتَ ما ابتعتَ ، فجعلا بينَهما حَكَمًا ، فحكَّما جبيرَ بنَ مُطْعِمٍ فقضى على عثمانَ أنَّ البيعَ جائزٌ ، وأنَّ النظرَ لطلحةَ أنه ابتاع مُغَيَّبًا

“Sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu membeli tanah dari sahabat Thalhah yang berlokasi di Madinah dengan cara menukarnya atau barter dengan tanahnya yang berada di Kufah. Maka, sahabat Utsman berkata, “Bagiku hak untuk melihat (barang jualan) karena aku membelinya darimu sedang aku belum melihatnya.” Maka, sahabat Thalhah menjawab, “Seharusnya akulah yang memiliki hak khiyar melihat karena aku membeli sesuatu yang tak terlihat sedang engkau telah melihat barang yang engkau beli.” Maka, keduanya meminta keadilan kepada sahabat Jubair bin Muth’im. Maka, Jubair bin Muth’im memutuskan untuk Utsman bahwa pembeliannya menjadi akad jaiz. Adapun untuk hak khiyar pengelihatan (rukyah), maka diputuskan untuk Thalhah karena dia membeli sesuatu yang belum terlihat.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/268)

Hal ini diputuskan dengan keberadaan para sahabat lainnya tanpa ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya, maka itu dianggap sebagai ijma’ (kesepakatan para sahabat).

Kedua: Dalam penetapan hak khiyar rukyah (pengelihatan) dan diperbolehkannya akad ini akan mewujudkan kemaslahatan untuk kedua belah pihak. Penjual bisa jadi butuh untuk menjual barangnya yang belum bisa dilihat tersebut dan mengambil pembayarannya. Sedangkan pembeli bisa jadi butuh untuk membeli barang tersebut, maka diperbolehkan bentuk jual beli ini dengan menetapkan adanya hak khiyar rukyah (pengelihatan).

Pendapat kedua

Mazhab Syafi’iyyah dalam qaul jadid (pendapat baru) mereka dan Hanabilah dalam salah satu riwayat pendapatnya mengambil pendapat akan tidak adanya khiyar rukyah, dengan alasan tidak bolehnya membuat akad pada sesuatu yang gaib (tidak nampak).

Mereka berdalil dengan,

Pertama: Apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata,

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan engkau jual sesuatu yang engkau tidak punya.” (HR. Abu Dawud no. 3503)

Mereka mengartikan makna “tidak punya” dalam hadis ini dengan larangan menjual barang yang belum ada pada saat akad sedang berlangsung.

Kedua: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang adanya gharar (ketidakpastian sifat) dalam sebuah akad jual beli dan transaksi,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513, Abu Dawud no. 3376 dan Tirmidzi no. 1230)

Dan transaksi jual beli pada barang yang belum ada ketika akad serta tidak bisa dilihat oleh pembeli, mengandung sebuah ketidakjelasan sifat (gharar), karena barang tersebut tidak diketahui secara langsung bentuk maupun sifatnya.

Pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang menetapkan adanya hak khiyar rukyah (pengelihatan) pada sebuah transaksi, karena adanya hadis yang menyebutkan akan hal tersebut dan hal ini juga memberikan kemaslahatan lebih pada kedua belah pihak.

Sedangkan hadis yang menyatakan larangan menjual sesuatu yang tidak kita miliki dan tidak kita punyai, maka maksudnya adalah apa yang tidak mampu diperoleh dan diberikan kepada pembeli sehingga menimbulkan ketidakjelasan sifat.

Adapun hadis yang melarang jual beli yang mengandung ketidakjelasan sifat (gharar), maka dijawab bahwa menjual barang dagangan yang belum ada di waktu akad masih mampu untuk diberikan kepada pembeli sehingga tidak mengandung gharar maupun ketidakjelasan yang akan menimbulkan percekcokan di antara kedua belah pihak.

Syarat berlakunya khiyar rukyah (pengelihatan)

Pertama: Pihak pembeli benar-benar belum melihat barang yang akan dibelinya ketika akad itu berlangsung. Sedangkan apabila barang yang akan dibelinya itu sudah bisa dilihat dan ada ketika akad sedang berlangsung sehingga ia benar-benar tahu persis akan barangnya, maka tidak ada hak khiyar rukyah lagi baginya.

Perlu diketahui, untuk mewujudkan kesempurnaan pengetahuan akan barang tersebut, maka harus diiringi dengan menyentuh, mencium ataupun merasakan barang tersebut, karena sekedar melihat saja tidak cukup untuk mengetahui dengan sempurna barang yang akan dibelinya tersebut.

Kedua: Hendaknya barang yang diakadkan dan belum dilihat oleh pihak pembeli ini merupakan sesuatu yang bisa ditentukan dan dideskripsikan, seperti: tanah, rumah, ataupun kendaraan. Adapun jika barangnya tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa/tidak perlu ditentukan dan dideskripsikan, seperti mata uang, maka tidak ada hak khiyar rukyah

Ketiga: Khiyar ini hanya berlaku bagi pihak konsumen atau pembeli saja (penyewa ataupun yang sehukum dengan mereka) dan tidak berlaku bagi pihak penjual dan pemberi sewa. Jikalau seseorang menjual rumah yang belum pernah ia lihat (karena ia mendapatkannya dari warisan sedang rumah tersebut berada di pelosok misalnya) kepada orang lain yang malah sudah melihatnya, maka tidak ada hak khiyar bagi si penjual.

Hal ini sebagaimana riwayat Ibnu Abi Mulaikah yang telah kita sebutkan di atas, di mana Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu menetapkan bahwa hak khiyar rukyah (pengelihatan) hanya berlaku untuk pembeli dan bukan untuk penjual.

Dan juga, seorang pemilik (penjual, penyewa) memiliki kekuasaan penuh terhadap barang yang akan diakadkannya tersebut, maka sudah sepantasnya dia mengetahui terlebih dahulu barang yang akan dijualnya, karena keinginan menjual pun berasal darinya sehingga ia perlu memastikan terlebih dahulu barang tersebut sebelum dijual. Seorang penjual sangat dimungkinkan untuk melihat dan memastikan barang yang akan dijualnya terlebih dahulu, baik melalui dirinya sendiri ataupun melalui orang yang mewakilinya. Jika ia teledor, maka dialah yang bertanggung jawab atas keteledorannya sendiri, sehingga ia tidak memiliki hak khiyar rukyah.

Pengaruh khiyar rukyah pada sebuah akad

Bagi pembeli yang memiliki hak khiyar rukyah ini, maka akad yang dilakukan sebelum ia melihat langsung barang yang ingin dibelinya merupakan akad jaiz dan bukan akad lazim. Pembeli memiliki keleluasaan saat melihat langsung barangnya, apakah ingin melanjutkan akad dan mengambil hak milik barangnya serta berkewajiban membayar harganya, ataukah ia ingin membatalkan akadnya, dan kesemuanya itu tanpa perlu menunggu persetujuan dari pihak yang lain (penjual).

Adapun membatalkan akad padahal belum sempat melihat barangnya, maka para ulama berbeda pendapat, apakah hal seperti itu diperbolehkan?

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama, baik itu mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, ataupun Syafi’iyyah dalam salah pendapat mereka. Mereka semua berpendapat bahwa membatalkan akad sebelum sempat melihat barangnya diperbolehkan. Karena sejatinya akad yang berlangsung ketika itu adalah akad jaiz yang membolehkan adanya faskh (pembatalan akad tanpa adanya sebab) bagi siapa yang memiliki hak khiyar rukyah ini.

Wallahu a’lam bisshawaab

***

Sumber:

Kitab Al-Madkhal Ilaa Fiqhi Al-Muaamalaat Al-Maaliyyah karya Prof. Dr. Muhammad Utsman Syubair dengan beberapa penyesuaian.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83630-khiyar-rukyah.html

Inilah Jenis Jual Beli yang Terlarang dalam Islam

Di antara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit

ALLAH Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.

Jual beli ketika panggilan adzan

Jual beli tidak sah dilakukan dan terlarang bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli.

Kemudian Allah mengatakan “dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya.

Allah Ta’ala berfirman:

فِى بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْءَاصَالِ

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَٰرَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَٰرُ

لِيَجۡزِيَهُمُ اللّٰهُ اَحۡسَنَ مَا عَمِلُوۡا وَيَزِيۡدَهُمۡ مِّنۡ فَضۡلِهٖ‌ؕ وَاللّٰهُ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. [24] An-Nur:36-37-38).

Jual beli untuk kejahatan

Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan.” (QS: Al Maidah : 2).

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata : “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan.”

Menjual budak Muslim kepada non-Muslim

Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir.

Allah ta’ala telah berfirman:

اللّٰهُ لِلۡكٰفِرِيۡنَ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ سَبِيۡلًا

“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. [4] An-Nisa’:141).

Nabi ﷺ bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya.” (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778)

Jual beli di atas jual beli saudaranya

Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan”. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula.”

Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya.” (Mutafaq ‘alaih).

Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : “Saya beli dengan harga sepuluh.”

Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran

Termasuk jual beli yang terlarang dan diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent).

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota).”

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar baginya” (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi).

Nabi ﷺ bersabda : “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah” (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603).

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan.” Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

Jual beli dengan ‘inah

Di antara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit.

Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan.

Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi ﷺ bersabda: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk dengan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.” (Silsilah As Shahihah: 11, Shahih Abu Dawud : 2956).*/ Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13, Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan.

HIDAYATULLAH

Rahmat Allah SWT untuk Para Pedagang yang Jujur dan Ramah

Allah SWT memberikan rahmat kepada pedagang yang ramah dan jujur.

Timbang-menimbang barang merupakan bagian dari aktivitas muamalah jual beli. Penjual tidak boleh mengurangi timbangan dan menyembunyikan kecacatan barang yang dijualnya. 

“Jual beli harus menyamakan berat timbangan. Bila diabaikan akan menerima siksaan berat,” kata Imam al-Ghazali melalui Ikhtisar Ihya Ulumuddin.

Sang hujjatul Islam ini menyampaikan, jika penjual tidak menyamakan berat timbangannya dalam menjual barang maka Allah SWT akan melaknatnya. Ancaman Allah ditegaskan dalam QS al-Mutfhaffifin ayat 1:  

 وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ “Celakalah bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.” 

Ringkasnya, kata Imam al-Ghazali, semua bentuk manipulasi dalam transaksi jual beli hukumnya haram. Oleh karena itu, tidak boleh menghampiri suatu barang yang tidak ingin dibelinya sambil meminta harga di atas harga jual beli dengan tujuan menggerakkan keinginan pembeli lain pada barang tersebut.  

Penduduk kota juga dilarang melakukan jual beli dengan penduduk pedesaan. Maksudnya orang desa hendak menjual bahan makanan ke kota. Namun, sebelum sampai tujuan, dihadang salah seorang dari kota yang berniat memborong barang dagangannya dengan kemudian menimbunnya sampai harga naik tinggi. 

Misalnya, seseorang membeli barang karena memperoleh toleransi dari temannya atau anaknya, maka hendaklah menyebutkannya pada pembeli lain supaya pembelinya tidak dijadikan acuan. Hendaknya berbuat ihsan (bersikap baik) seperti tidak menipu orang lain dengan praktik muamalah yang berjalan tidak sesuai kebiasaan. “Saling memudahkan urusan jual beli sangat dianjurkan,” katanya.

Hal ini seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dari Jabir bin Abdullah RA: 

 عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: رحم الله عبداً سمحاً إذا باع، سمحاً إذا اشترى، سمحاً إذا اقتضى. “Allah merahmati orang yang mempermudah penjualan dan pembelian. Pelunasan utang dan penagihan.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sebab Hilangnya Keberkahan dalam Jual Beli

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.

Seseorang yang menghendaki keberkahan dalam jual belinya hendaknya merenungkan hadits berikut:

Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda,

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila keduanya berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan pada transaksi mereka berdua” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini:

لازم قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بِوَرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا) أَيْ بَيَّنَ كُلُّ وَاحِدٍ لِصَاحِبِهِ مَا يَحْتَاجُ إِلَى بَيَانِهِ مِنْ عَيْبٍ وَنَحْوِهِ فِي السِّلْعَةِ وَالثَّمَنِ وَصَدَقَ فِي ذَلِكَ وَفِي الْإِخْبَارِ بِالثَّمَنِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعِوَضَيْنِ وَمَعْنَى مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا أَيْ ذَهَبَتْ بَرَكَتُهُ وَهِيَ زِيَادَتُهُ وَنَمَاؤُهُ

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut’ maksudnya adalah masing-masing dari keduanya harus menjelaskan setiap informasi yang dibutuhkan oleh pihak lain, seperti : cacat (aib) atau kekurangan lainnya yang ada pada barang maupun harga dan bersikap jujur dalam menyampaikan harga maupun hal-hal yang terkait dengan transaksi timbal balik antara penjual dan pembeli. Adapun maksud (مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا), yaitu hilangnya berkah, sedangkan “berkah” bermakna tumbuh dan bertambahnya kebaikan.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 10/176).

Efek ketidakjujuran dalam jual beli tidak hanya menjadikan pelakunya berdosa, namun juga menghilangkan berkah dalam jual belinya. Padahal keberkahan inilah yang hendaknya kita cari dalam setiap kebaikan sehingga kebaikan itu akan terus tumbuh dan bertambah. Wallaahu a’lam.

Referensi: Iman An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11320-sebab-hilangnya-keberkahan-dalam-jual-beli.html

Sebab Hilangnya Keberkahan dalam Jual Beli

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.

Seseorang yang menghendaki keberkahan dalam jual belinya hendaknya merenungkan hadits berikut:

Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda,

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila keduanya berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan pada transaksi mereka berdua” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini:

لازم قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بِوَرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا) أَيْ بَيَّنَ كُلُّ وَاحِدٍ لِصَاحِبِهِ مَا يَحْتَاجُ إِلَى بَيَانِهِ مِنْ عَيْبٍ وَنَحْوِهِ فِي السِّلْعَةِ وَالثَّمَنِ وَصَدَقَ فِي ذَلِكَ وَفِي الْإِخْبَارِ بِالثَّمَنِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعِوَضَيْنِ وَمَعْنَى مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا أَيْ ذَهَبَتْ بَرَكَتُهُ وَهِيَ زِيَادَتُهُ وَنَمَاؤُهُ

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut’ maksudnya adalah masing-masing dari keduanya harus menjelaskan setiap informasi yang dibutuhkan oleh pihak lain, seperti : cacat (aib) atau kekurangan lainnya yang ada pada barang maupun harga dan bersikap jujur dalam menyampaikan harga maupun hal-hal yang terkait dengan transaksi timbal balik antara penjual dan pembeli. Adapun maksud (مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا), yaitu hilangnya berkah, sedangkan “berkah” bermakna tumbuh dan bertambahnya kebaikan.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 10/176).

Efek ketidakjujuran dalam jual beli tidak hanya menjadikan pelakunya berdosa, namun juga menghilangkan berkah dalam jual belinya. Padahal keberkahan inilah yang hendaknya kita cari dalam setiap kebaikan sehingga kebaikan itu akan terus tumbuh dan bertambah. Wallaahu a’lam.

Referensi: Iman An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11320-sebab-hilangnya-keberkahan-dalam-jual-beli.html

Fatwa Ulama: Hukum Jual-Beli Anjing dan Kucing

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:

Bolehkah berjual-beli anjing dan kucing? Karena ada sebagian orang memperjual-belikan kedua hewan tersebut. Mohon faidahnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawab:

Tidak boleh menjual anjing dan tidak boleh memakan harta hasil penjualannya. Karena hadits,

نهى عن ثمن الكلب وحلوان الكاهن ومهر البغي

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memakan hasil penjualan anjing, bayaran dukun dan upah pelacur” (HR. Al Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa hasil penjualan anjing itu haram. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarangnya dan menggandengkannya dengan upah dukun dan upah al baghyu yaitu pelacur. Maka semua ini adalah penghasilan yang haram.

Demikian juga kucing, tidak boleh diperjual-belikan*). Namun kucing boleh dipelihara di dalam rumah, tapi tidak boleh diperjual-belikan.

Adapun anjing, tidak boleh dipelihara di dalam rumah, karena Malaikat itu tidak masuk ke dalam rumah yang terdapat anjing dan gambar bernyawa (HR. Muslim). Dan tidak boleh juga memperjual-belikannya.

 

Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan 2/502, Asy Syamilah

 

*) Diantara dalilnya, hadits Abu Zubair Al Makki:

سألتُ جابرًا عن ثمنِ الكلبِ والسِّنَّوْرِ ؟ قال : زجرَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عن ذلك

aku bertanya kepada Jabir tentang hasil penjualan anjing dan kucing, beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang hal tersebut” (HR. Muslim no. 1569)

 

Penerjemah: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/24003-fatwa-ulama-hukum-jual-beli-anjing-dan-kucing.html

Tinjauan Syariat Terhadap Jual-Beli Kredit

Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).1

Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.

Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.

Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

beliau mengatakan,

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Rambu-Rambu Kredit

Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah:

1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar

Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba nasi’ah.

Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:

  1. sama ukurannya

  2. dan dilakukan secara tunai (cash)

Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).

Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang

Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.

Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-Mughni2.

Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)

Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil3. Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.”4

Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)6

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (بيعتين في بيعة) kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat

Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya7, bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:

  1. Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيءٍ فَليُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

    Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)
    Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

Catatan Penting

Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit. Di antaranya adalah;

  1. Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi pembayaran.
    Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati.
  2. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai.

Demikian penjelasan singkat yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.

**

Daftar Pustaka:

  1. As Syaukani, Muhammad. (2005). “Nailul Author”. Darul Hadis: Kaero, Mesir.
  2. Al Albani, Nasiruddin. “As Silsilah Ash Shahihah”. Darul Ma’arif: Riyadh.
  3. Badri, Arifin. Dr. (2009). “Hukum Perkreditan: Masalah dan Solusinya”. Tersedia: http://pengusahamuslim.com/hukum-perkreditan-masalah-dan-solusinya#.UzHdo3uXOSo. [21 April 2009]

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia

 2 Al-Mughni: 3/306

3 Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)

 4 Al-Mughni: 3/306

 5 Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Auza’I (lihat: Nailul Authar: 5/ 160) dan juga ulama-ulama yang lain, seperti; Ibnu sirin, Thawus, Sufyan Ats-Tsauri, syaikh Albani, dll. Sebagaimana dinukilkan oleh syaikh Albani tatkala mengomentari hadis no. 2326 di dalam silsilah As Shahihah.

 6 Hadis ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi, demikian pula dihasankan oleh syaikh Albani di dalam Al-Misbah no. 2868

 7 Tahdzibus Sunan

 —

Penulis: Agus Pranowo

Pemurajaah: Ust. Misbahuz Zulam, M.H.I

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/20961-tinjauan-syariat-terhadap-jual-beli-kredit.html

Larangan Jual Beli Najasy dan Bolehnya Jual Beli Lelang (Muzayadah)

Larangan jual beli najasy

Di antara bentuk atau praktek jual beli yang terlarang adalah jual beli najasy. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَنَاجَشُوا

“ .. dan janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “ (HR. Bukhari no. 2150 dan Muslim 1515)

Juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari no. 2142 dan Muslim no. 1516)

 

Jual beli najasy yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang berpura-pura melakukan penawaran terhadap suatu barang, akan tetapi dia tidak bermaksud atau tidak memiliki niat (keinginan) untuk membeli barang tersebut. Motivasi orang tersebut adalah untuk memberikan keuntungan kepada penjual atau menjerumuskan calon pembeli yang lain yang sungguh-sungguh ingin membeli barang tersebut. Orang yang melakukan najasy disebut dengan istilah naajisy.

Misalnya, ada calon pembeli (si A) yang menawar barang seharga sepuluh ribu rupiah dan dia memang benar-benar ingin membelinya. Lalu datanglah si B, yaitu orang yang berpura-pura menawar barang tersebut seharga lima belas ribu rupiah. Karena takut tidak mendapatkan barang tersebut, akhirnya si A menaikkan penawaran menjadi dua puluh ribu rupiah sehingga penjual akhirnya menjual barang tersebut kepada si A.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وفي الشرع الزيادة في ثمن السلعة ممن لا يريد شراءها ليقع غيره فيها

“(Jual beli najasy) adalah menaikkan (penawaran) harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin membeli barang tersebut dengan tujuan untuk menjerumuskan orang lain.” (Fathul Baari, 4: 355)

 

Jual beli najasy tersebut terlarang, baik dilakukan dengan kesepakatan (persekongkolan) dengan penjual, atau tanpa sepengetahuan penjual. Atau, bisa juga hanya dilakukan oleh penjual saja (sehingga dalam hal ini penjual bertindak sebagai naajisy).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

ويقع ذلك بمواطأة البائع فيشتركان في الإثم ويقع ذلك بغير علم البائع فيختص بذلك الناجش وقد يختص به البائع كمن يخبر بأنه اشترى سلعة بأكثر مما اشتراها به ليغر غيره

“(Jual beli najasy) terjadi bisa dengan adanya persekongkolan (kesepakatan) dengan penjual, sehingga keduanya (yaitu penjual dan naajisy, pent.) sama-sama berdosa. Bisa juga terjadi tanpa sepengetahuan penjual, sehingga hanya naajisy yang mendapatkan dosa. Selain itu, bisa jadi hanya dilakukan oleh penjual saja. Misalnya, penjual mengatakan bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga penawaran pembeli untuk menipunya.” (Fathul Baari, 4: 355)

 

Hukum jual beli najasy

Lalu bagaimana status hukum jual beli najasy? Pendapat yang lebih kuat adalah jual beli najasy itu sah, namun naajisy mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam masalah ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

فإن النار اشترى مع النجش فالشراء صحيح في قول أكثر أهل العلم منهم الشافعي وأصحاب الرأي

“Jika melakukan jual beli barang dengan najasy, maka jual belinya sah menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Asy-Syafi’i dan Hanafiyyah.” (Al-Mughni, 4: 300)

Argumentasi Ibnu Qudamah untuk menguatkan pendapat ini adalah bahwa larangan tersebut kembali kepada naajisy (pelaku najasy), bukan kembali kepada akad jual beli itu sendiri. Sehingga akad jual beli tersebut tetap sah.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

ولنا أن النهي عاد إلى الناجش لا إلى العقد فلم يؤثر في البيع

“Hal ini karena larangan tersebut kembali kepada naajisy, dan bukan kembali kepada akad jual beli. Sehingga tidak mempengaruhi keabsahan status akad jual beli.” (Al-Mughni, 4: 300)

 

Karena sebab larangan adalah menjerumuskan calon pembeli yang asli, maka jika seseorang melihat suatu barang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar barang tersebut dijual sesuai dengan harga standar, maka perbuatan ini ini tidaklah mengapa.

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata,

أن التحريم إذا كانت الزيادة المذكورة فوق ثمن المثل فلو أن رجلا رأى سلعة تباع بدون قيمتها فزاد فيها لتنتهي إلى قيمتها لم يكن ناجشا عاصيا بل يؤجر على ذلك بنيته

“Sesungguhnya larangan tersebut jika penambahan yang disebutkan itu sampai di atas harga standar. Adapun seandainya seseorang melihat ada suatu barang yang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar nilai jual barang tersebut sama dengan harga standarnya, maka orang tersebut bukanlah naajisy dan tidak bermaksiat. Bahkan, dia mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.” (Subulus Salaam, 2: 42)

 

Perbedaan antara jual beli najasy dengan jual beli lelang (muzayadah)

Mirip dengan kasus jual beli najasy adalah jual beli dengan sistem lelang. Dalam sistem lelang, masing-masing calon pembeli berlomba menaikkan penawaran harga sampai didapatkan harga tertinggi dari pemenang lelang. Dan jika lelang sudah ditutup (pemenang lelang sudah ditetapkan), maka tidak boleh lagi ada yang melakukan penawaran barang.

Jual beli lelang ini diistilahkan dengan jual beli “muzayadah”, yang dalam bahasa Arab artinya “saling menambah”. Hal ini karena pada umumnya, ketika penjual membuka harga barang yang akan dilelang, dia akan mengatakan, “man yazid?” (Siapa yang mau menambah harga?)

Jual beli dengan sistem lelang ini tidak terlarang, karena setiap calon pembeli yang berlomba menaikkan penawaran harga jual barang memang betul-betul berniat ingin membeli barang tersebut, berbeda dengan naajisy yang hanya berpura-pura menawar barang, namun berniat untuk menjerumuskan orang lain.

 

Jual beli lelang adalah jual beli yang sudah dikenal pada masa sahabat dan tabi’in. Setelah meriwayatkan hadits tentang jual beli lelang, At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ: لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِبَيْعِ مَنْ يَزِيدُ فِي الغَنَائِمِ وَالمَوَارِيثِ

“Praktek dari kandungan hadits ini menurut sebagian ulama adalah bahwa mereka tidak mempermasalahkan jual beli lelang dalam harta rampasan perang (ghanimah) dan warisan.” (Jami’ At-Tirmidzi, 3: 514)

Disebutkannya ghanimah dan warisan adalah untuk contoh, bukan dimaksudkan untuk membatasi jual beli lelang hanya boleh untuk dua jenis harta (barang) tersebut saja.

Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan,

حكى البخاري عن عطاء أنه قال أدركت الناس لا يرون بأسا في بيع المغانم في من يزيد

“Al-Bukhari mengutip dari ‘Atha bin Abi Rabah (ulama tabi’in) bahwa beliau berkata, “Aku menjumpai manusia (yaitu sahabat) yang tidak mempermasalahkan jual beli ghanimah kepada orang yang ingin menambah harga (yaitu dengan sistem lelang, pent.)”.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)

Al-Mubarakfuri juga mengutip keterangan An-Nawawi rahimahullah yang mengatakan,

هذا ليس بسوم لأن السوم هو أن يقف الراغب والبائع على البيع ولم يعقداه فيقول الآخر للبائع أنا أشتريه وهذا حرام بعد استقرار الثمن وأما السوم بالسلعة التي تباع لمن يزيد فليس بحرام

“Ini (jual beli lelang) bukanlah termasuk menawar barang (yang sudah ditawar orang lain, dan perbuatan ini terlarang, pent.). Karena penawaran ini dalam bentuk seseorang yang ingin membeli barang dan penjual bertemu dan mereka belum bersepakat dengan harga barang, lalu ada orang lain lagi yang berkata kepada penjual, “Aku membelinya (dengan harga sekian, pent.)”. Tindakan ini diharamkan jika sudah terdapat kesepakatan harga (antara penjual dan calon pembeli sebelumnya, pent.). Adapun penawaran barang yang akan dijual kepada peserta lelang, maka ini tidak haram.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47200-larangan-jual-beli-najasy-dan-bolehnya-jual-beli-lelang-muzayadah.html

Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan

ISLAM adalah agama yang sempurna. Islam disamping sebuah aqidah, Islam pula sebagai syariah. Pada Islam, bertumpu segala urusan dan hukumnya. Inilah kemuliaan dan keluhuran Islam. Islam memerintahkan kita mentauhidkan Allah dan memurnikan tauhid hanya untuk Allah. Islam pula memerintahkan kita adil dan ridha dalam bermuamalah sesama manusia.

Bentuk muamalah sesama manusia yang Islam tidak berlepas dalam pengaturannya adalah muamalah berkenaan jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan yang sejenisnya. Di antaranya adalah ketentuan menyempurnakan takaran dan timbangan.

Hal ini sebagaimana Allah Azza Wa Jalla perintahkan dalam QS Ar Rahman ayat 9, “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu“. Juga perintah Allah dalam surat Al Anam ayat 152, “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya“.

Ini adalah ayat-ayat Allah yang memerintahkan kita untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Kecuali bila kita tidak sengaja, maka Allah tidak memikulkan beban/dosa kepada orang yang tidak sengaja melakukannya. Hal ini sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah, “Melalui ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (Al-Isra:35).

Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan.

Maka bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya ini. Sebagai pembeli hendaknya tidak memaksa dan membebani penjual untuk melebihkan atau menambah takaran atau timbangan dengan bermacam dalih. Pun sebagai penjual, janganlah mengurangi hak pembeli dengan cara curang; dengan mengurangi takaran dan timbangan dengan berbagai macam muslihat hanya untuk mengambil keuntungan yang berlebih. Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. [*]

 

 

Kedzaliman Terkait Jual Beli

PERBUATAN curang adalah kedzaliman terhadap orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar atau bahkan temui perbuatan curang yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Ambil contoh mudah saja, orang-orang dengan seenaknya membuang sampah sembarangan sehingga ia mengganggu orang lain. Dan perbuatan seperti ini adalah perbuatan dzalim.

Dalam urusan jual beli, kita juga melihat beberapa pedagang, utamanya mereka yang mengandalkan gerobak atau pangkalan, yang dengan tidak tertib mengambil tempat umum sebagai lapak dagangan mereka. Mereka sangat berpotensi menganggangu kepentingan umum. Orang-orang tidak bisa berjalan di trotoar karena dipenuhi para pedagang dan dagangannya. Tentu ini mendzalimi orang lain. Ini baru segi pengambilan tempat mereka yang tidak tepat yang akhirnya mendzalimi orang lain.

Berbuat curang dalam jual beli merupakan kedzaliman kepada orang lain dalam urusan hartanya dan memakan harta orang lain dengan cara tidak benar. Contoh lain kedzaliman dalam jual beli adalah dengan menyembunyikan cacat produk yang dijual, mengurangi takaran atau timbangan, berbohong tentang harga dan lain-lain.

Walau pun hanya sedikit, tentu harta yang didapatkan dengan jalan berbohong, menyembunyikan kecacatan, atau mengurangi timbangan adalah harta yang haram dan jauh dari keberkahan. Wajib bagi kita menjauhkan diri kita dari harta-harta semacam itu.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat bersama rombongan para sahabat ke pasar untuk melakukan pengecekan barang-barang dagangan. Saat itu beliau melewati gundukan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya dan mendapati bagian dalam dari gundukan itu basah. Beliau berkata, “Apa ini wahai penjual makanan?” Ia berkata, “Bagian ini terkena air hujan wahai Rasulullah.”

Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda,”Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas, agar orang yang akan membeli dapat melihatnya? Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami, maka ia bukan bagian dari golongan kami.” (HR Muslim). [*]