Tak Pernah Tinggalkan Sholat Dhuha, Ini yang Dialami Abu Hurairah

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mendapat wasiat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengerjakan sholat dhuha setiap hari. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits ini mengatakan:

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

“Kekasihku –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga hal padaku: berpuasa tiga hari setiap bulannya, mengerjakan sholat dhuha dua raka’at dan sholat witir sebelum tidur.” (Muttafaq ‘alaih)

Sejak saat itu, Abu Hurairah tak pernah meninggalkan sholat dhuha. Apa yang kemudian terjadi pada Abu Hurairah?

1. Rezeki Ilmu, Tak Pernah Lupa Hadits

Jika keutamaan sholat dhuha banyak dihubungkan dengan rezeki, ketahuilah bahwa rezeki itu bukan hanya harta. Ilmu juga rezeki. Ketaatan juga rezeki.

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sahabat yang memiliki nama Abdurrahman bin Shakhr ini meriwayatkan 5.374 hadits.

Mengapa Abu Hurairah paling banyak meriwayatkan hadits padahal hanya empat tahun bertemu Rasulullah? Pertama, Abu Hurairah selalu menghadiri majelis Rasulullah di Masjid Nabawi dan selalu mengikuti ke mana pun beliau pergi (mulazamah)Kedua, Abu Hurairah tak pernah lupa hadits yang didengarnya.

Abu Hurairah tak pernah lupa hadits sejak didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini merupakan rezeki istimewa baginya.

2. Rezeki Harta dan Jabatan

Semasa mulazamah, Abu Hurairah meninggalkan seluruh kenikmatan duniawi. Bahkan tidak bekerja demi mengikuti Rasulullah dan belajar langsung dari beliau. Abu Hurairah tak punya rumah, tinggal di emperan masjid sebagai ahlus suffah. Sering kelaparan, bahkan pernah hampir pingsan karena lapar.

Sepeninggal Rasulullah, masa mulazamah Abu Hurairah berakhir. Ia pun bekerja. Dan Allah mengkaruniakan banyak rezeki harta kepadanya. Abu Hurairah berkeluarga, punya rumah, bahkan potensi kekayaannya melimpah.

Abu Hurairah kemudian juga menjadi amir wilayah. Bahkan diamanahi menjadi Gubernur Madinah. Dari jabatan-jabatan ini saja, sangat mudah bagi Abu Hurairah untuk hidup mewah. Namun itu tak dilakukannya.

3. Rezeki Zuhud dan Ketaqwaan

Abu Hurairah adalah seorang amir wilayah. Ia pernah menjadi Gubernur Bahrain, pernah menjadi Gubernur Madinah. Ini jabatan tinggi yang sangat mudah untuk mendapatkan banyak kekayaan dan menikmati kekuasaan. Namun Abu Hurairah tak melakukannya.

Abu Hurairah tetap zuhud sebagaimana dulu bersama Rasulullah. Makan sederhana, pakaian sederhana, harta yang didapat lebih banyak diinfakkannya. Bahkan untuk menafkahi keluarganya, Abu Hurairah menggunakan uang dari hasil kerjanya, bukan dari jabatannya. Bahkan putrinya pernah diejek teman, mengapa anak pejabat tidak pakai perhiasan sama sekali.

Ia tak pernah menyia-nyiakan waktunya. Selalu dimanfaatkan untuk ibadah dan hal-hal yang bermanfaat. Ia senantiasa berpuasa ayyamul bidh dan sholat dhuha sebagaimana Rasulullah wasiatkan. Di sepertiga malam terakhir, ia bangunkan seluruh keluarganya agar bisa menunaikan sholat tahajud. Abu Hurairah senantiasa berusaha mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkannya. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH


Menjaga Salat Subuh Secara Berjamaah

Nasihat berharga dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakr bin Sulaiman bin Abi Hatsmah, beliau menceritakan,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَدَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ. وَأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ غَدَا إِلَى السُّوقِ. وَمَسْكَنُ سُلَيْمَانَ بَيْنَ الْمَسْجِدِ وَالسُّوقِ. فَمَرَّ عَلَى الشِّفَاءِ ، أُمِّ سُلَيْمَانَ.

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu tidak menjumpai Sulaiman bin Abi Hatsmah dalam salat Subuh. Dan ‘Umar di waktu pagi berangkat ke pasar (setelah salat Subuh). Sedangkan rumah Sulaiman itu ada di antara pasar dan masjid nabawi. ‘Umar berpapasan dengan Asy-Syifa’ binti ‘Abdullah, ibu dari Sulaiman.

Kemudian ‘Umar berkata kepadanya,

لَمْ أَرَ سُلَيْمَانَ فِي الصُّبْحِ.

“Aku tidak melihat Sulaiman salat Subuh?”

Asy-Syifa’ menjawab,

إِنَّهُ بَاتَ يُصَلِّي، فَغَلَبَتْهَ عَيْنَاهُ.

“Dia salat semalaman, dia pun mengantuk berat.” (Maksudnya, Sulaiman terlambat salat Subuh karena dia salat malam, kemudian dia pun mengantuk dan tertidur, sehingga terlambat salat Subuh.)

‘Umar bin Khaththab kemudian berkata,

لأَنْ أَشْهَدَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فِي الْجَمَاعَةِ ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقُومَ لَيْلَةً.

“Aku menghadiri salat Subuh secara berjamaah itu lebih aku sukai daripada salat malam semalam suntuk.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 432, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykaat, 1: 338)

Renungkanlah bagaimana perkataan dan nasihat ‘Umar bin Al-Khaththab ini yang mengandung banyak nasihat yang agung.

Shalat Subuh, salat berjamaah yang berat dilakukan oleh orang-orang munafik

Perhatian ‘Umar bin Khaththab terhadap sahabatnya yang tidak salat Subuh berjamaah tersebut mengandung nasihat, sekaligus peringatan. Teladan dalam masalah ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung.

Dari sahabat Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat Subuh bersama kami. Kemudian beliau berkata,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?”

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah bertanya lagi,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَيْتُمُوهُمَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ

“Sesungguhnya dua salat ini (salat isya’ dan salat Subuh) adalah salat yang paling berat dikerjakan bagi orang-orang munafik. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada dalam keduanya -berupa pahala yang besar- niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud no. 554, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 563)

Dari sisi fiqh, perkataan ‘Umar tersebut juga menunjukkan kedudukan salat wajib tersebut yang agung dan mulia, dibandingkan salat sunnah. Senada dengan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

“Siapa saja yang salat isya’ secara berjamaah, seakan-akan dia salat malam selama setengah malam. Dan siapa saja yang salat Subuh berjamaah, seakan-akan dia salat malam selama semalam suntuk.” (HR. Muslim no. 656)

‘Umar bin Al-Khaththab tetap salat Subuh berjamaah meskipun sedang terluka setelah ditikam

Lihatlah, bagaimana salat Subuh berjamaah ini memiliki kedudukan yang agung di dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Al-Miswar bin Makhramah berkata,

“Aku masuk menemui ‘Umar pada malam dia ditikam, aku membangunkannya untuk salat Subuh berjamaah. ‘Umar kemudian berkata,

وَلاَ حَظَّ فِي الْإِسْلاَمِ لِمِنَ تَرَكَ الصَّلاَةَ.

“Iya, tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang yang meninggalkan salat.”

Al-Miswar berkata,

فَصَلَّى عُمَرُ، وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَماً

“Kemudian ‘Umar pun berdiri dan salat Subuh, dalam kondisi luka yang meneteskan darah.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 51, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 209)

Allahu Akbar! Betapa besar kedudukan salat Subuh berjamaah dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sehingga beliau pun sungguh-sungguh menjaganya. Beliau menjaganya dalam kondisi dan waktu apapun, baik itu ketika sedang menghadapi musuh, dalam barisan jihad, dan meskipun beliau dalam kondisi terluka dan masih meneteskan darah.

Lalu, bagaimana dengan diri kita? Menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga ibadah yang wajib ini. Siapa saja yang meremehkannnya, maka dia akan lebih meremehkan lagi kewajiban-kewajiban dalam Islam yang lainnya.

Hal-hal yang bisa menjadi sebab melalaikan salat Subuh berjamaah di jaman ini sangatlah banyak dan beragam. ‘Umar bin Khaththab mencela sahabatnya yang tertinggal salat Subuh berjamaah, padahal sebabnya adalah karena begadang salat malam. Lalu, apa yang akan dikatakan ‘Umar bin Khaththab kepada kita yang begadang karena sibuk dengan perkara haram dan -minimal- perkara yang sia-sia?

Shalat Subuh, pembuka aktivitas di pagi hari

Shalat Subuh adalah pembuka aktivitas di pagi hari. Sehingga menjaga salat Subuh berjamaah adalah tanda keberuntungan dan kebahagiaan seseorang di seluruh hari tersebut. Dan menyia-nyiakan salat Subuh tersebut berarti menyia-nyiakan seluruh hari tersebut dan terluput dari mendapatkan keberkahannya.

Renungkanlah sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلَاثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ، بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلًا طَوِيلًا، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ، فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتِ الْعُقَدُ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

“Setan akan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga ikatan. Dengan setiap ikatan, dia akan membisikkan padamu bahwa malam masih panjang. Jika dia terbangun lalu berzikir kepada Allah, lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu, maka lepaslah dua ikatan. Jika dia melanjutkan dengan salat, maka lepaslah seluruh ikatan itu. Sehingga pada pagi harinya, dia mulai dengan penuh semangat dan jiwanya pun sehat. Namun jika tidak, dia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang sakit dan penuh dengan kemalasan.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Lihatlah kondisi orang-orang yang meninggalkan salat Subuh, jiwanya rusak (sakit), hari-harinya dipenuhi dengan rasa malas. Berbeda halnya dengan kondisi orang-orang yang menjaga salat Subuh berjamaah dan menunaikan salat Subuh sesuai dengan waktunya bersama-sama dengan jamaah kaum muslimin. Karena hal itu adalah tanda keberuntungan, kebaikan, kebahagiaan, dan keberkahan pada hari tersebut.

Renungkan pula hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ نَامَ لَيْلَةً حَتَّى أَصْبَحَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan cerita bahwa ada laki-laki yang tidur hingga pagi.”

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنَيْهِ ، أَوْ قَالَ: فِي أُذُنِهِ

“Itulah laki-laki  yang telah dikencingi kedua telinganya oleh setan.” Atau beliau mengatakan, “Di telinganya.” (HR. Bukhari no. 3270 dan Muslim no. 774)

Para ulama menjelaskan bahwa setan itu kencing di kedua telinganya dengan makna yang hakiki (bukan kiasan). Jadi, bagaimana keadaan seseorang yang telinganya dipenuhi dengan air kencing setan yang kotor? Inilah kondisi orang-orang yang meninggalkan salat Subuh karena mementingkan tidurnya.

Hukuman bagi yang meninggalkan salat Subuh karena memilih tidur

Diceritakan oleh sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, berkaitan dengan mimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ceritakan kepada para sahabat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi dua orang dalam mimpi tersebut, kemudian mengajak pergi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ، فَيَتَدَهْدَهُ الحَجَرُ هَا هُنَا، فَيَتْبَعُ الحَجَرَ فَيَأْخُذُهُ، فَلاَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يَصِحَّ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ المَرَّةَ الأُولَى

“Kami mendatangi seseorang yang berbaring dan yang lain berdiri di sampingnya dengan membawa batu besar, lalu dia menjatuhkan batu tersebut di kepalanya sehingga kepalanya pecah dan batu menggelinding di sini. Orang tadi terus mengikuti batu dan mengambilnya, namun ketika dia belum kembali kepada yang dijatuhi, tetapi kepalanya telah kembali seperti sedia kala. Lantas orang tadi kembali menemuinya dan mengerjakan sebagaimana semula.”

Kemudian di akhir hadits disebutkan,

أَمَّا الرَّجُلُ الأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ القُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ وَيَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ

“Adapun laki-laki pertama yang kamu datangi sedang kepalanya pecah dengan batu, itu adalah seseorang yang mempelajari Al-Qur’an namun ia menolaknya, dan ia tidur sampai meninggalkan salat wajib.” (HR. Bukhari no. 7047)

Para ulama menjelaskan bahwa kepala adalah tempatnya tidur, sehingga hukuman pun diarahkan ke kepala pada hari kiamat, setimpal dengan perbuatannya di dunia.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik sehingga bisa senantiasa mendirikan salat Subuh secara berjamaah.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 59-62, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

5 Kehebatan Alquran yang tak Ditemukan dalam Kitab Suci Lain

Alquran mempunyai banyak kehebatan dibanding kitab suci agama lain

Alquran merupakan kitab umat Islam yang mana kehebatannya tidak ada yang menandingi. Alquran juga menjadi pegangan hidup dan menjadi rujukan dalam segala hal, ini membuktikan bahwa Alquran adalah firman Allah SWT.  

“Alquran itu hebat luar biasa, kalau kita ingin menjadi generasi yang hebat, siapapun dirikita ketika ingin organisasinya hebat, lembaganya hebat, pemerintahannya hebat, tidak ada yang lain selain Alquran yang dijadikan rujukan,” kata motivator spiritual, Prof Kana Suryadilaga, dalam webinar pada Sabtu (7/11).  

Alquran sendiri merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Selain menjadi mukjizat, berikut ini ada lima kehebatan Alquran menurut Prof Kana.

Pertama, mampu mengalahkan keindahan syair-syair Arab Bangsa Arab memiliki tradisi membuat syair hingga dilombakan. Syair-syair indah akan digantungkan di Ka’bah. 

Pada saat Alquran diturunkan, ayat-ayat dalam Alquran mampu mengalahkan syair-syair tersebut. Begitu indahnya Alquran hingga mampu melembutkan dan meluluhkan hati yang keras. 

“Keindahan Alquran ini hingga tidak ada orang yang bosan membaca dan mendengarkannya, kecuali orang yang hatinya sudah ditutup Allah,” ucap Prof Kana.

Sahabat Umar bin Khattab adalah orang yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Bahkan Umar hendak membunuh Nabi Muhammad  namun di tengah perjalanan dia bertemu dengan Nuaim bin Abdullah. 

Nuaim mengatakan bahwa adik Umar, Fatimah binti Khattab telah menyatakan masuk Islam. Umar semakin marah dan segera ke rumah adiknya.  

Sesampainya di rumah Fatimah, Umar mendengarkan Fatimah sedang membaca surat Thaha ayat 1-8. Umar mulai bergetar hatinya hingga akhirnya meluluhkan kerasnya hati itu dan membuat Umar memeluk Islam. 

Kedua, kehebatan Alquran mampu mengalahkan sihir. Iblis dan setan senantiasa ingin menggelincirkan umat manusia, agar menjadi pengikutnya. Ketika setan sudah bersemayam dalam diri manusia, maka perilakunya dapat melebihi setan. 

Iblis walaupun hafal Alquran, tetapi dia sombong sehingga diusur dari surga. Sihir-sihir yang dibuat setan mampu dikalahkan kehebatan Alquran. Sihir-sihir itu, Rasulullah mengusirnya dengan cara ruqyah. 

Ketiga, Alquran hebat karena mampu mengalahkan bahasa ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama kali yang diajarkan ibu kita sendiri. Dalam sebuah penelitian, anak hingga usia 3 tahun mampu menangkap 1.250 kosa kata dan terus bertambah sebanyak 50 kosa kata setiap bulan. Di usia 8 tahun anak-anak sudah mampu menangkap 3.650 kosa kata. 

Sedangkan jumlah kata dalam Alquran ada 77.439 kata. Dan penakluk konstatinopel, Muhammad Sultan Alfatih mampu mengahafal seluruh Alquran diusianya yang masih 8 tahun. “Inilah kehebatan Alquran, yang mampu mengalahkan bahasa manapun,” kata Prof Kana. 

“Ingin menjadi generasi hebat, maka hafalkan Alquran. Karena orang yang menghafalkan Alquran biasanya akan mudah menghafalkan yang lainnya,” tambah Prof Kana.   

Keempat, Alquran mampu mengalahkan peradaban kehidupan yang lain. Masyarakat jahiliyah jauh dari peradaban maju seperti saat ini. Tetapi setelah Nabi Muhammad datang, dengan berpegang pada Alquran, Nabi Muhammad mengubah zaman jahiliyah tersebut. 

Kelima, mampu mengalahkan kejeniusan manusia. Menurut Prof Kana, IQ manusia paling tinggi mencapai 200-250 dan dianggap sangat jenius. Begitu juga dengan teknologi tapi Alquran melebihi itu semua. Sebagaimana dikisahkan dalam Alquran Al-Anbiya ayat 30. 

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.”

KHAZANAH REPUBLIKA 

Seruan Nabi Soal Iman dan Cinta

Rasulullah pun kerap menyerukan pentingnya soal iman dan rasa cinta.

Seorang Muslim atas dasar imannya kepada Allah, maka dia tidak mencintai sesuatu kecuali karena Allah semata. Rasulullah pun kerap menyerukan pentingnya soal iman dan rasa cinta.

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri dalam kitabnya Minhajul Muslim menjelaskan, sesungguhnya seorang Muslim tidak mencintai, kecuali apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Tidak pula membenci kecuali apa yang dibenci Nabi dan Allah SWT.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Daud berbunyi: “Man ahabba lillahi wa abghadha lillahi wa a’tha lillahi wa mana’a lillahi faqadi-stakmala al-imanu,”. Yang artinya: “Barangsiapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan iman,”.

Berdasarkan dalil ini, menurut Syekh Abu Bakar, inilah seruan kepada seluruh hamba Allah, yang shalih untuk dicintai dan dibela oleh seorang Muslim lainnya. Dan berdasarkan dalil ini pula seluruh orang fasik, kaum pembangkang, serta tindakan-tindakan terlarang merupakan hal yang dibenci Allah dan Rasul-Nya menjadi ‘musuh’ pula bagi umat Muslim.

IHRAM

Jumlah Mualaf di Prancis Naik Dua Kali Lipat

Jumlah mualaf di Prancis terus mengalami pertumbuhan. Terdapat beberapa laporan yang memberikan perincian informasi terkait jumlah orang yang masuk Islam.

Dilansir di About Islam, Ahad (1/10), Bangunan masjid Sahaba di jantung pinggiran kota kelas menengah Creteil di Paris, dikenal sebagai masjid para mualaf. Sekitar 150 acara pengucapan syahadat dilakukan setiap tahun di masjid Sahaba.

Masjid ini dibangun pada 2008. Masjid ini merupakan simbol pertumbuhan Islam di Prancis.

Menurut video Muslim Converts Stories, jumlah orang Prancis yang masuk Islam setiap tahun meningkat secara signifikan. Sementara itu para ahli menyebutkan, meski jumlah mualaf tetap relatif kecil di Prancis, jumlah mualaf tahunan ke Islam meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir.

Laporan lain oleh harian La Croix pada 25 Agustus, mengutip survei yang dilakukan oleh Pierre Schmidt tentang mualaf di Prancis, menyatakan selalu ada warga yang memeluk Islam. Kepala Biro Agama di Kementerian Dalam Negeri, Didier Leschi, mengatakan apa yang baru hari ini adalah jenis gerakan yang dituju oleh para mualaf muda.

“Menurut informasi yang kami terima dari Muslim yang bertanggung jawab atas asosiasi, dia menjelaskan, mungkin ada sekitar 10 mualaf setiap hari”, ujarnya.

Itu berarti ada sekitar 3.600 orang mualaf setiap tahun. Banyak ahli mencatat pengaruh para mualaf, terutama dari pemain sepak bola. Adalah Nicolas Anelka, yang bermain untuk tim nasional Prancis dan orang tuanya berasal dari Martinik, mengubah namanya menjadi Abdul-Salam Bilal Anelka ketika dia masuk Islam pada 2004.

IHRAM


Haruskah Aku Bermazhab?

Di antara permasalahan yang banyak diperdebatkan oleh kalangan penuntut ilmu dan kaum muslimin secara umum adalah mengenai hukum bermazhab. Haruskah aku bermazhab? Apakah bermazhab itu adalah sesuatu yang terpuji atau bahkan tercela? Dan bukankah bermazhab itu akan mengarah pada fanatisme buta yang itu tercela?

Dua kategori manusia

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, harus kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi manusia menjadi dua kategori pada firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua kategori manusia beserta kewajibannya masing-masing. Kategori pertama adalah mujtahid, di mana Allah menyifatinya sebagai orang yang berilmu dan Allah perintahkan dia untuk mengarahkan umat kepada al-haq dan menjawab berbagai pertanyaan mereka dengan menyampaikan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dan kategori kedua dari manusia yang disebutkan pada ayat di atas adalah muqallid, di mana Allah menyifatinya dengan ketiadaan ilmu dan Allah perintahkan dia untuk bertanya kepada ahli ilmu jika dia tidak mengetahui.

Mujtahid adalah seseorang yang mampu dan boleh untuk melakukan ijtihad, di mana ijtihad adalah

استفراغ الفقيه وسعه لدرك حكم شرعي.

“Pengerahan segenap upaya oleh seorang faqih untuk mengetahui sebuah hukum syar’i.”

Seseorang baru boleh berijtihad jika terpenuhi beberapa syarat berikut:

1. Mengetahui dalil-dalil syar’i tentang suatu masalah dari segi sahih dan dhaif-nya.

2. Mengetahui bahasa Arab sehingga dia mampu untuk memahami makna ayat dan hadis.

3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fikih dan dapat menerapkannya, seperti mengetahui tentang dalalatul-alfazh.

4. Mengetahui asbabun-nuzul dari ayat dan juga asbabul-wurud dari hadis.

5. Megetahui masalah-masalah yang telah ada ijma’ para ulama di dalamnya.

6. Mengetahui mana dalil yang nasikh dan mansukh.

Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat di atas maka dia sudah mampu untuk berijtihad, bahkan wajib baginya untuk berijtihad ketika ada sebuah permasalahan yang butuh untuk diketahui hukum syar’i yang berkaitan dengannya. Tidak boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain tanpa dia sendiri melakukan proses ijtihad tersebut, kecuali jika waktunya sudah sedemikian sempit sehingga pada kondisi ini baru boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain.

Adapun muqallid, maka dia adalah seseorang yang melakukan taqlid, di mana taqlid adalah

أخذ مذهب الغير بلا معرفة دليله.

“Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”

Oleh karena itu, seseorang itu berada di antara dua kondisi: antara dia adalah seorang mujtahid atau muqallid. Jika dia tidak memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, maka dia adalah muqallid, baik apakah dia melakukan taqlid kepada imam mazhab tertentu atau kepada ulama kontemporer. Selama dia bukan termasuk orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, maka dia termasuk dalam barisan para muqallidin.

Taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela

Sebagian orang berpikir bahwa taqlid itu adalah hal yang tercela. Dan mereka berpikir bahwa taqlid itu terjadi ketika dia mengikuti suatu mazhab tertentu, sementara ketika dia mengikuti fatwa seorang ulama kontemporer tertentu maka itu bukan taqlid. Ini adalah pemahaman yang salah. Kita katakan: Taqlid itu ada dua jenis: taqlid yang tercela dan taqlid yang terpuji. Taqlid yang tercela adalah taqlid yang disertai dengan sikap fanatik buta pada ulama yang dia ikuti, sehingga dia melandaskan al-wala’ wal-bara’ dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah yang seharusnya ruang untuk berbeda pendapat dalam masalah itu terbuka lapang.

Adapun taqlid yang terpuji adalah taqlid yang tidak disertai dengan sikap fanatik buta, yang dilakukan seseorang karena memang itulah yang hanya bisa dia lakukan. Dia tidak mampu untuk berijtihad, karena dia tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri dari dalil-dalil syar’i yang ada. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah dengan bertanya kepada para mujtahid mengenai permasalahan yang dia hadapi. Jika dia melakukan hal ini, maka itu berarti dia telah melakukan perintah Allah kepadanya, yaitu, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” Itu mengapa hal ini adalah taqlid yang terpuji, karena memang itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Di sini penting bagi kita untuk mengetahui bahwa walaupun seseorang ketika bertanya kepada seorang ulama kontemporer kemudian ulama tersebut menyebutkan dalil-dalil dalam fatwanya sehingga penanya tadi mengetahui dalil-dalil yang ada pada masalah tersebut, maka itu tidak berarti bahwa seorang tadi sudah naik tingkat dari muqallid menjadi mujtahid. Itu karena dia hanya mengetahui lafaz dan mana zahir dari dalil yang disebutkan oleh sang ulama’ Dia tidak mengetahui bagaimana metode pendalilan yang dipakai untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Dia belum mengetahui apa itu lafazh nashzhahir‘aamkhashmujmalmubayyanmuthlaqmuqayyadhaqiqahmajaz, dll. Dia tidak mengetahui mengapa dalil tersebut yang dipakai, mengapa bukan dalil yang lain? Dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat yang ada dalam fatwa mujtahid tersebut, karena sesungguhnya mujtahid tersebut memfatwakan hukum itu kepadanya karena mujtahid itu melihat bahwa kondisi penanya telah memenuhi syarat-syarat diberlakukannya hukum tersebut. Jika yang bertanya adalah orang lain dengan kondisi yang berbeda, maka bisa jadi fatwanya akan menjadi berbeda.

Dari sini kita ketahui bahwa hanya mujtahid yang boleh untuk berfatwa. Seorang muqallid hanya boleh untuk menukil fatwa, misalnya dengan berkata bahwa ini adalah fatwa Syaikh Fulan, dan tidak boleh baginya untuk berkata bahwa hukum Allah dalam masalah ini adalah demikian dan demikian. Bahkan para ulama juga memberikan peringatan kepada muqallid agar tidak sembarangan dalam menukil fatwa walaupun itu sekadar menukil, karena dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat berlakunya fatwa tersebut, dan apakah kondisi riil yang terjadi di lapangan telah memenuhi syarat-syarat itu atau tidak. Bahkan ketika seorang mujtahid itu dibolehkan untuk tidak berijtihad dan boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain karena waktunya sudah sedemikian sempit, maka para ulama berkata bahwa fatwa mujtahid lain tersebut hanya untuk dia amalkan saja, tidak boleh baginya untuk kemudian ikut berfatwa dengan fatwa tersebut kepada masyarakat tanpa melakukan proses ijtihad itu sendiri, karena dia pada asalnya adalah seorang mujtahid yang wajib untuk berijtihad. Syariat membolehkan dia untuk melakukan taqlid kepada mujtahid lain dalam kondisi ini tidak lain karena kondisinya yang terdesak tidak cukup waktu untuk melakukan ijtihad sementara sudah harus melakukan amalan. Jika hal ini berlaku untuk seseorang yang sudah mampu untuk berijtihad dan telah mencapai derajat mujtahid, maka apalagi untuk orang yang masih berada dalam derajat muqallid.

Haruskah aku bermazhab?

Setelah kita mengetahui dua kategori manusia ini, yaitu mujtahid dan muqallid, maka kita dapat masuk pada pembahasan utama kita, yaitu haruskah aku bermazhab? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Wajib untuk melazimi mazhab tertentu, yaitu dengan mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Ini adalah pendapat di mazhab Syafi’i. Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah berkata,

وأنه يجب التزام مذهب معيَّن يعتقده أرجح أو مساويا.

“Wajib untuk melazimi mazhab tertentu yang dia yakini lebih kuat atau setara.”

Pendapat kedua: Tidak wajib untuk melazimi mazhab tertentu. Ini adalah pendapat di mazhab Hanbali. ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah berkata,

ولا يلزم التمذهب بمذهب.

“Tidak wajib bagi seseorang untuk bermazhab dengan mazhab tertentu.”

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.

“Barangsiapa yang melazimi mazhab tertentu kemudian mengambil pendapat lainnya bukan karena taqlid kepada ulama lain yang memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dengan dalil yang membuat dia mengambil pendapat lain tersebut, dan tanpa ‘udzur syar’i yang membolehkan dia untuk melakukan hal tersebut, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram tanpa adanya ‘udzur syar’i, maka ini adalah kemungkaran.”

Kemudian beliau rahimahullah berkata,

وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.

“Adapun jika tampak jelas baginya bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dengan pendalilan yang terperinci jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tersebut, atau karena dia melihat ulama lain yang memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tersebut daripada selainnya, dan ulama tersebut lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yang beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tersebut karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”

Dari kalangan Syafi’iyyah yang memilih pendapat ini adalah Imam an-Nawawi rahimahullah, di mana beliau berkata,

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi mazhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kami lebih condong kepadanya. Perhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’uzhan kepada para ulama yang memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah di atas, “Para ulama yang melarang hal ini (yakni, melarang untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki -penj.) bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Yang dimaksud dengan perbuatan mencari-cari keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tersebut dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih sehingga bisa memahami mana pendalilan yang lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama mujtahid yang dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa. Selalu mencari-cari pendapat yang paling ringan itu haram, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan fatwa shopping, di mana kita memilih-milih fatwa para ulama yang paling sesuai selera kita sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih-pilih mana makanan yang sesuai selera kita. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.

Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa tidak wajib bagi kita untuk melazimi mazhab tertentu, di mana kita harus mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Akan tetapi, boleh bagi kita untuk bertanya kepada para ulama mujtahid yang Allah mudahkan bagi kita untuk bertanya kepada mereka mengenai berbagai permasalahan kita. Jika kita mengetahui ada dua pendapat atau lebih dari berbagai para ulama mujtahid dalam satu permasalahan yang sama, maka jika kita mampu memahami dan mencerna alur pendalilan dari masing-masing pendapat tersebut, kita harus memilih pendapat yang paling kuat. Jika kita tidak bisa melakukan hal ini, maka kita pilih pendapat dari ulama mujtahid yang lebih berilmu dan lebih bertakwa.

Akan tetapi, bagi para penuntut ilmu yang ingin belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dengan menggunakan kurikulum mazhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yang ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yang lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yang lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan. Jika dia mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga ilmu, sebab dia akan menjadi kokoh dengan satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu sebelum dia masuk ke ranah khilaf yang ada di kalangan para ulama. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yang digunakan oleh para ulama pun tidak bisa dipahami dengan cepat — kecuali oleh orang yang dirahmati oleh Allah. Dengan mempelajari fikih menggunakan satu sudut pandang terlebih dahulu, yaitu sudut pandang mazhab yang sedang dia pelajari tersebut, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yang kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yang ada di kalangan para fuqaha’. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yang luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuan kita terlebih dahulu dengan cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum mazhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya.

Itu mengapa kami tuliskan judul artikel ini sebagai, “Haruskah Aku Bermazhab?” dan bukan, “Haruskah Kita Bermazhab?” untuk mengingatkan bahwa hukum untuk setiap orang dalam masalah ini berbeda, apakah dia seorang awam kaum muslimin yang tidak ingin mendalami ilmu fikih, atau apakah dia adalah seorang penuntut ilmu yang ingin menaiki tangga ilmu fikih dengan mudah dan selamat dari rapuhnya pondasi ilmu dan berbagai kontradiksi ketika berfatwa, bi-idznillah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu menuntut ilmu syar’i demi meraih rida-Nya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

sumber: Muslim.or.id

Tanda dan Keutamaan Qolbun Salim

Kali ini kita akan menyebutkan apa saja tanda dan keutamaan القَلبُ السَّلِيم hati yang bersih (hati yang selamat) ?

1. Hati yang memiliki ketentraman.

هُوَ ٱلَّذِیۤ أَنزَلَ ٱلسَّكِینَةَ فِی قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ لِیَزۡدَادُوۤا۟ إِیمَـٰنࣰا مَّعَ إِیمَـٰنِهِمۡۗ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).” (QS.Al-Fath:4)

2. Hati yang tenang dengan mengingat Allah.

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Ra’d:28)

3. Hati yang khusyuk di saat mengingat Allah.

أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah.” (QS.Al-Hadid:16)

Itulah beberapa ayat yang menceritakan tentang keutamaan Qolbun Salim.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Tiga Kebijaksanaan yang Harus Dimiliki Guru menurut Syekh Abdul Qadir Jailani

Syekh Abdul Qadir Jailani sejak muda adalah sosok yang sangat mencintai ilmu. Hal itu ditunjukkan dengan dia pergi ke berbagai pelosok negeri untuk berguru kepada puluhan ulama di zamannya, di bidang fiqih, ‘aqaid, tafsir, adab, ilmu thariqat, dan sebagainya. Pada umur 17 tahun, Abdul Qadir muda pergi belajar ke Baghdad di Jamia Nizamiyah.  

KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, pelajaran yang diselami puluhan tahun diperoleh dari guru-guru besar yang terkenal di zamannya dan mempunyai urutan yang bersambung dari misalnya Al-Qadli Abi Said al-Mubarak bersambung pada Syekh Abi Hasan Ali bin Abi Yusuf Al-Quraisyi hingga Abil Qasim Junaidi al-Baghdadi hingga Abu al-Hasan Ali Ar-Ridla, Musa al-Kazim, Ja’far as-Shadiq sampai kepada Muhammad al-Baqir dan Zainal Abidin yang langsung dari Sayyidina Ali, dimana yang belakangan ini memperolehnya dari Rasulullah SAW.

Ucapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang sangat terkenal di antaranya: “Tidak layak bagi seorang guru yang hendak mengajarkan ilmunya kepada orang banyak sebelum menguasai kebijaksanaan tiga perkara; pertama: ilmu al-ulama (pengetahuan ukuran ulama), kedua: siyasat al-muluk (pengetahuan politik raja-raja), dan ketiga: hikmat al-hukama (hikmat kebijaksanaan para hukama). (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 41)

Riwayat singkat Syekh Abdul Qadir Jailani Nama lengkap Syekh Abdul Qadir Jailani adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Syekh Abdul Qadir dilahirkan di Desa Nif atau Naif, termasuk pada distrik Jailan (disebut juga dengan Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil), Kurdistan Selatan, terletak 150 kilometer sebelah timur laut Kota Baghdad, di selatan Laut Kaspia, Iran.

Wilayah ini dahulunya masuk ke bagian wilayah Thabarishtan, sekarang sudah memisahkan diri, dan masuk menjadi suatu provinsi dari Republik Islam Iran.   Ia dilahirkan pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Abdul Qadir lahir dari pasangan yang taat. Ayahnya bernama al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW. Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma’i, seorang sufi terkemuka waktu itu.

Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai kepada Nabi Ibrahim melalui kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.  

Ia lahir sebagai anak yatim. Ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan. Dia tumbuh di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Kehidupan Abdul Qodir sangat sederhana dan dikenal sangat jujur. Ia diakui sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah, yang memiliki banyak jamaah dan menyebar dari Nigeria sampai Tiongkok.

Ia juga menulis setidaknya tujuh karangan dan yang paling terkenal adalah Al-Fath al-Robbani yang berisi 60 khutbahnya sepanjang tahun 545-546 Hijriah. Beliau meninggal di Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiuts-Tsani 561 H/14 Februari 1166 M di usia 91 tahun.  

Tarekat pertama kali muncul di Nusantara diperkirakan pada paruh kedua abad ke-16 dan diperkenalkan oleh Syekh Hamzah Fansuri di Aceh. Ia penganut tarekat Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir Jailani.  

Dari Aceh, tarekat Qadiriyah kemudian menyebar ke Banten dan Jawa Barat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, dalam Tradisi Rakyat Cirebon, Syekh Abdul Qadir Jailani dipercaya pernah datang ke Jawa dan meninggal di pulau tersebut. Bahkan orang-orang dapat menunjukkan makamnya.  

Dan kepada murid-muridnya, Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan tujuh hal, yakni taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, rida, dan jujur.  

Penulis: Fathoni Ahmad Editor: Muchlishon

NU orid

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 10): Berilmu Jangan Lupa Beradab

Baca pembahasan sebelumnya pada artikel Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 9): Sabar Belajar, Sabar Mengajar

Bismillah…

Jika Anda diminta memilih, antara bersahabat dengan orang berilmu tapi tidak punya adab, dengan orang yang pas-pasan dalam keilmuan, tapi beradab. Anda akan nyaman bersama siapa?

Kita sama, karena jiwa kita lebih nyaman berteman dengan orang baik adabnya, walaupun pas-pasan ilmunya.

Siapa yang nyaman berteman dengan orang pintar, tapi pembohong, pintar tapi tidak amanah, pintar tapi egois, pintar tapi culas, atau pintar tapi jago korupsi. Semua tidak nyaman berteman dengan orang yang seperti ini.

Ilmu yang ada pada orang yang tak beradab, menjadi tertutupi oleh gelapnya adabnya. Sehingga ilmu tak lagi membuatnya bersinar dan tak lagi mengangkatnya. Tak ada artinya ilmu tanpa adab yang baik. Bisa dikatakan, hasil dari ilmu adalah adab dan akhlak yang baik. Ilmu seseorang bisa disebut tak bermanfaat saat tak dapat membuatnya berakhlak baik.

Benar apa yang dipesankan Makhlad bin Husain kepada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم

“Kita lebih butuh pada banyak adab daripada banyak ilmu.”

Seorang pujangga Arab membuat syair,

والمرء لا يسمو بغير الأدب

وإن يكن ذا حسب و نسب

“Seorang tak akan bisa mulia tanpa adab.

Meski dia memiliki kedudukan dan berdarah bangsawan.”

Di samping itu, ilmu yang benar-benar berkah dan manfaat itu, tak akan berkenan bersemayam di dalam hati orang yang tak punya adab. Jika benar ada ilmu yang ada padanya, itu hanya sebatas wawasan, bukan ilmu yang sebenarnya. Karena ilmu yang berkah akan membentuk karakter yang mulia pada diri pembawanya.

Yusuf bin Husain pernah mengatakan,

بالأدب تفهم العلم

“Hanya dengan adab, Anda akan memahami ilmu.”

Seorang guru, sebelum dia mengajarkan ilmunya, akan melihat mana murid yang layak ia berikan ilmunya. Ukuran kelayakan itu adalah: adab.

Dan guru akan lebih ikhlas mengajarkan ilmu, kepada murid yang beradab baik kepadanya. Sehingga ini menjadi wasilah keberkahan ilmu yang didapatkan oleh sang murid.

Oleh karenanya, para salafus shalih dahulu sangat perhatian kepada adab. Sebanding dengan besarnya perhatian mereka terhadap ilmu. Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan,

كانوا يتعلمون الهدى كما يتعلمون العلم

“Para ulama dahulu, mereka belajar adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”

Bahkan mereka lebih mendahulukan penanaman adab sebelum penanaman ilmu. Imam Malik rahimahullah pernah memberi nasihat kepada anak muda dari suku Quraisy,

يا ابن أخي تعلم الأدب قبل أن تعلم العلم

“Wahai saudaraku, belajarlah adab sebelum belajar ilmu.”

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Madarijus Salikin menekankan tentang pentingnya adab bagi pelajar atau penuntut ilmu,

أدب المرأ عنوان سعادته وفلاحه, وقلة أدبه عنوان شقاوته وبواره, فما استجلب خير الدنيا والآخرة بمثل الأدب, ولا استجلب حرمانهما بمثل قلة الأدب

“Adab seseorang adalah tanda kesuksesan dan kebahagiaannya. Kurang adab adalah tanda kegagalan dan kesedihan. Tak ada karunia yang paling bisa mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, melebihi adab. Dan tak ada musibah yang paling bisa menghalangi seorang dari kebaikan dunia dan akhirat, melebihi kurangnya adab.” (Madarijus Salikin)

Wallahulmuwaffiq.

Penyusun: Ahmad Anshori

Atikel: Muslim.or.id

Ucapan “Salam” Bukan “Assalamu’alaikum” Apakah Berpahala?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang ucapan “salam” bukan “assalamu’alaikum” apakah berpahala?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz izin bertanya, saya mahasiswa, dikalangan mahasiswa sekitar saya, sering sekali megucapkan salam hanya dengan ucapan “Salam” bukan “Assalamu’alaykum” apakah boleh dan berpahala atau tidak?
Jazaakillahu Khairan.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Ucapan salam Islam telah diajarkan dalam ajaran Islam yang mulia, ketika bertemu seorang muslim, yang dikenal maupun tidak, maka haknya adalah mengucapkan salam.

Pernah suatu ketika tiga pria menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa waktu yang berbeda, semuanya mengucapkan salam kepada Nabi, tapi pahala ketiganya berbeda-beda.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ جَلَسَ، فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : «عَشْرٌ ». ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ. فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ، فَقَالَ: « عِشْرُونَ ». ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ، فَقَالَ « ثَلاَثُونَ » صحيح رواه أبو داود والترمذي وغيرهما

Dari ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: as-Salâmu ‘alaikum (semoga keselamatan dari Allah tercurah untukmu).
Lalu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam membalas salam orang tersebut, kemudian orang tersebut duduk dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Dia mendapatkan) sepuluh kebaikan”.
Kemudian datang orang lain kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: as-Salâmu‘alaikum warahmatullah (semoga keselamatan dan rahmat dari Allah tercurah untukmu). Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membalas salam orang tersebut, kemudian orang tersebut duduk dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Dia mendapatkan) dua puluh kebaikan”.
Kemudian datang lagi orang lain kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: as-Salâmu‘alaikum warahmatullahi wabarakâtuh (semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan dari Allah tercurah untukmu). Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas salam orang tersebut, kemudian orang tersebut duduk dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Dia mendapatkan) tiga puluh kebaikan”
(Hadits shahih. HR Abu Dawud, no. 5195 & Tirmidzi, 5/52).

Maka ungkapan salam ketika bertemu dengan seorang muslim, hanya dengan ucapan ‘salam’ saja, bukan dengan ucapan ‘ as-Salâmu ‘alaikum’ (semoga keselamatan dari Allah tercurah untukmu), sebagai sebuah salam standar minimal adalah tidak bernilai pahala, dan tidak perlu dicontoh.
Ikutilah apa yang diajarkan oleh Rasul kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena inilah sebaik-baik petunjuk, dan semoga mendapat pahala balasan dari Allah Yang Maha pemurah.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 13 Rabiul Awal 1442 H / 29 oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM