Kisah Sufi Masuk Surga Karena Selamatkan Kucing Kedinginan

Di berbagai tempat kita miris dengan aneka perilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugerah Allah. Lihat saja kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan.

Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dari nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu, tanpa rasa kasih mereka nekat membunuh sesamanya dengan sadis. Tidak peduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya, atau bahkan anak dan orang tuanya sendiri.

Mengapa kekerasan ini makin menjadi-jadi? Jawabannya berpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendiri dalam memberikan keteladanan kasih sayang kepada rak yatnya. Apakah kaum elite yang mengatakan sudah menyuarakan rakyat dan keadilan telah dibuktikan untuk membela negara dan rakyatnya? Justru, rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elite tanpa sadar telah melakukan dosa.

Berapa banyak peraturan yang mereka legitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena diadang oleh berbagai kasus korupsi.

Dikisahkan, sang sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Syibli konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya, berdialog dengan Allah SWT. “Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku ?” Tanya Allah SWT pada Syibli. “Sholat tepat pada waktunya,” jawab Syibli. “Bukan,” kata Allah SWT menimpali. “Zakat, puasa, dan hajiku yang menyebabkan dosaku diampuni,” lanjut Syibli. “Bukan juga,” cetus Allah SWT. 

Syibli pun heran, “Kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku, lalu apa yang telah Kau ridhai dariku,” tanya Syibli penasaran. “Aku meridai dan mengampuni seluruh dosamu lantaran engkau telah menolong seekor kucing yang sedang kedinginan dan kelaparan.” 

Kisah di atas dimonumentalkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab syarah Nashaih al- I’bad. Benar dan tidaknya kisah ini dari sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dari kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin hari dirasakan jauh dari rasa kasih dan kekeluargaan.      

Oleh karena itu, kisah sufi di atas seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) yang amat berharga bagi kita untuk membiasakan diri menanamkan kasih sayang yang bermanfaat ke pada siapa pun makhluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolis saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan, tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridai.

Rasa kasih sang sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa pun dan siapa pun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantar kan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju, dan beradab.         

KHAZANAH REPUBLIKA

Faedah sifat Qana’ah

Sudah sangat jelas kebutuhan manusia di zaman kiwari ini kepada sifat dan sikap Qana’ah. Namun untuk memotivasi diri kita memiliki sifat tersebut maka perlu dijelaskan hasil dan manfaat yang diperoleh pemilik sifat Qana’ah ini. Berikut ini sebagian dari hasil dan manfaat tersebut

1. Mendapatkan kebahagian, kemudahan, keamanan dan ketentraman didunia.

2. Hati (kalbu) pemilik sifat ini dipenuhi dengan iman dan rasa percaya penuh kepada Allah. Juga dipenuhi perasaan ridha dengan takdir dan pemberian Allah. Hal ini karena orang yang qana’ah dengan rezeki Allah, maka ia beriman dan yakin penuh bahwa Allah telah menjamin rezeki pada hamba dan membaginya diantara mereka. Walaupun pemilik sifat qana’ah ini tidak memiliki apa-apa.

Lihatlah pernyataan para pemilik sifat ini! Abdullah bin Mas’ud menyatakan: Sungguh aku menjadi orang yang paling berharap rezeki apabila mereka menyatakan: Di rumah tidak ada tepung terigu sama sekali.

Sedang imam Ahmad bin Hambal menyatakan: Hari-hariku yang paling berbahagia adalah hari di pagi harinya aku tidak memiliki sesuatu.

Al-Fudhail bin ‘Iyaadh menyatakan: dasarnya Zuhud adalah ridho dari Allah. Beliau juga berkata: Qana’ah adalah zuhud dan ia adalah kekayaan.

Al-Hasan al-Bashri menyatakan: Sungguh diantara lemahnya keyakinanmu adalah ketika kamu lebih percaya dengan yang ada di tangamu dari pada yang ada ditangan Allah.

3. Pemilik sifat ini mendapatkan kehidupan yang baik, berdasarkan firman Allah ta’ala:

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(an-Nahl:  97).

Kholifah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abas dan al-Hasan al-Bashri menafsirkan firman Allah “حَيَوةً طَيِّبَةً” dengan sifat Qana’ah.

Tentang pengertian ini ibnul jauzi menyataka: Siapa yang qana’ah maka hidupnya bahagia dan siapa yang tama’ (rakus) maka lama sengsaranya.

4. Pemilik sifat Qana’ah telah mewujudkan syukur nikmat kepada Allah. Hal ini karena orang yang qana’ah dengan rizeki Allah akan selalu mensyukurinya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

 وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ

  1. Mendapatkan janji Rasulullah yang ada dalam sabda beliau :

“طوبى لمن هدي إلى الإسلام، وكان عيشه كفافًا، وقنع”

Beruntunglah orang yang mendapatkan petunjuk kepada Islam dan kehidupannya pas-pasan dan berqana’ah.
(HR Ahmad dan At-tirmidzi).

Juga janji Rasulullah :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya.”

6. Terjaga dari dosa yang mematikan kalbu dan menghilangkan kebaikan, seperti hasad, ghibah, namimah (adu domba), dusta dan lain-lainnya

Demikianlah sebagian hasil dan manfaat yang bisa didapatkan pemilik sifat Qana’ah. Tentunya kita semua sangat membutuhkan hasil ini. Oleh karena itu marilah kita berusaha mendapatkan sifat qana’ah ini.

Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
Jum’at, 11 Rabiul Akhir 1442 H/ 27 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Jangan Khawatir Bro, Islam Terjaga dengan Baik

YA, jangan merisaukan Agama Islam, bagaimanapun usaha kaum kafirin, kaum munafikin, dan siapapun yang mengikuti jejak mereka untuk menjatuhkan dan menghinakan Islam. tidak akan berhasil.
Sungguh Islam takkan terpengaruh, Islam akan tetap terjaga dengan baik, karena Allah telah menjamin untuk menjaganya. Allah telah berfirman (yang artinya): “Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Alquran), dan Kami pula yang benar-benar akan menjaganya”. (QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah menjaga kemurnian Alquran, Allah juga akan menjaga kemurnian Islam, karena kandungan Alquran, tidak lain adalah Islam yang murni. Kita lihat hari-hari ini, seringkali sosok yang ditokohkan merendahkan sebagian syariat Islam, seperti: jenggot, cadar, celana di atas mata kaki, Alquran disebut kitab paling porno, teknologi zaman ini disebut lebih hebat dari mukjizat nabi, haji sebaiknya dihentikan karena pemborosan, dan statement-statement lainnya.

Tentu kita sebagai muslim geram dengan itu semua, tapi tenanglah, sejukkan hati anda, dan yakinlah bahwa usaha mereka akan sia-sia, mereka semua akan hilang sebagaimana para pendahulunya, dan Islam akan tetap tegak berdiri di muka bumi ini.

Allah telah berfirman (yang artinya): “Mereka ingin memadamkan ‘cahaya Allah’ dengan mulut mereka, namun Allah menolak kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang orang kafir membencinya”. (QS. Attaubah: 32).

Yang dimaksud “cahaya Allah” dalam ayat ini adalah petunjuk dan agama hak yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (Tafsir Ibnu Katsir: 4/136).

Lihatlah bagaimana agungnya agama ini, agama yang dijamin Allah akan selalu hidup sempurna di muka bumi, sehingga tidak perlu kita mengkhawatirkannya lagi.

Justru yang perlu kita takutkan adalah diri kita, sudahkah kita menerapkan agama ini dalam hidup kita? sudahkah kita peduli dengan agama kita? Sungguh Islam tidak akan rugi tanpa kita, namun kita akan rugi total tanpa Islam.

Justru mereka yang berusaha merendahkan Islam itulah yang harusnya waspada, karena tindakan mereka itu hanya merugikan dan membinasakan diri mereka sendiri, Allah taala berfirman (yang artinya): “Maka harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul itu takut akan tertimpa bencana atau terkena adzab yang pedih”. (QS. Annur: 63).

Terakhir, yang harus digaris bawahi di sini, bahwa ketika kita tidak merisaukan Islam, bukan berarti kita tidak membela dan memperjuangkan Islam. Namun, harusnya kita tetap berusaha mendakwahkan Islam, karena Allah telah memerintahkan kita untuk terus berdakwah memperjuangkan Islam.

Sepantasnya kita berusaha menjadikan diri sebagai pejuang Islam, karena kalau bukan kita, pasti Allah memilih orang lain untuk mengisinya. Dan ingatlah bahwa semakin kita berjuang untuk Islam, maka semakin banyak kemuliaan yang kita dapatkan darinya, wallohu alam. [Ustaz Musyaffa Ad Darini Lc., MA/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Baca Shalawat Syafiyah Ini Agar Diringankan Beban Hidup

Shalawat Syafiyah merupakan bentuk sighat shalawat yang dianjurkan untuk dibaca oleh setiap kaum Muslim. Shalawat ini disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam kitabnya Afdhalus Shalawat ‘ala Sayyidis Sadat. Mengenai keutamaan shalawat Syafiyah ini, beliau bertakata, ‘Jika seseorang yang dilanda kesusahan atau kesulitan membaca shalawat Syafiyah dengan jumlah yang banyak, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dan kesulitannya.’

Adapun lafadz shalawat Syafiyah adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيــِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَبِــيْبِ الْـمَحْبُوْبِ شَافِى فِى الْعِلَلِ وَمُفَرِّجِ الْــكَرْبِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allohumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin habibil mahbubi syafi fil ‘ilal wa mufarrijil karbi wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad Saw yang menjadi kekasihnya Zat yang mengashihi dan Zat yang menyembuhkan segala penyakit dan Zat yang menghilangkan segala kegundahan (kesusahan), juga atas keluarganya dan sahabatnya, dan limpahkanlah mereka keselamatan.”

BINCANG SYARIAH

Mengapa Ya Ayyuhalladzina Amanu Disebutkan Berulang Kali dalam Surat Al-Hujurat?

Baru ditinjau dari segi kebahasaannya saja, keistimewaan Al-Qur’an langsung terlihat dan tak dapat terelakkan. Bahkan pada zaman Rasulullah Saw., para penyair kondang yang sempat mencoba membuat syair tandingan untuk menyaingi bahasa Al-Qur’an pun semuanya dibuat takluk. Karena bahasa Al-Qur’an memang tidak hanya indah dari segi zahirnya saja, tetapi dari segi batin pun terkandung makna yang sangat penuh. (Baca: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12; Menjauhi Prasangka Buruk Terhadap Sesama)

Misalnya, di antara keistimewaan bahasa Al-Qur’an yang berpengaruh terhadap maknanya ialah adanya pengulangan lafal dalam Al-Qur’an. Kita dapat menjumpai berbagai pengulangan penyebutan suatu ungkapan dalam Al-Qur’an, meski sebenarnya telah disebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah penyebutan panggilan (nida’) kepada orang-orang beriman, dengan redaksi ya ayyuhalladzina amanu yang disebutkan lima kali dalam surah Al-Hujurat.

Panggilan berupa ya ayyuhalladzina amanu dalam surah Al-Hujurat [49] itu masing-masing disebutkan pada ayat 1, ayat 2, ayat 6, ayat 11, dan ayat 12. Karena pengulangan panggilan tersebut, mungkin saja timbul sekelumit pertanyaan terkait mengapa redaksi panggilan perlu disebutkan berulang kali dan ditegaskan kembali, padahal orang yang dituju masih sama? Bukankah andai tanpa adanya pengulangan, serta dengan sekali panggilan saja sudah cukup mewakili?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri penafsiran ulama ahli tafsir menyangkut alasan pengulangan redaksi tersebut. Di antaranya ialah penafsiran Syekh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri, dalam kitab tafsir beliau yang berjudul Hasyiyah ash-Shawi. Menurut beliau, tujuan pengulangan tersebut ialah supaya orang-orang mukmin memberikan perhatian lebih terhadap urusan dan keadaan mereka, baik menyangkut perintah maupun larangan Allah yang berada setelah redaksi pemanggilan.

Penafsiran tersebut beliau kemukakan berdasar pada ungkapan Luqman, ketika ia memberikan beberapa nasihat kepada anaknya. Supaya mendapat perhatian lebih, Luqman memanggil anaknya berulang kali, yakni setiap sebelum menyampaikan nasihatnya. Panggilan yang dimaksud ialah lafal “ya bunayya” (wahai anakku), sebagaimana termaktub dalam surah Luqman [31] ayat 13, ayat 16, dan ayat 17.

Penjelasan serupa, disertai uraian contoh lebih lengkap, juga dapat ditemukan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar-Razi, serta kitab tafsir karya Syekh Ibnu Asyur yang berjudu Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.

Selain alasan di atas, baik Imam Ahmad ash-Shawi maupun Imam Fakhruddin ar-Razi, juga memberikan alasan lain terkain pengulangan panggilan kepada orang-orang beriman. Yaitu untuk menghilangkan salah sangka, bahwa seruan tersebut berlaku pada selain orang yang dimaksud, yaitu selain orang mukin.

Alasam tersebut mereka kemukakan dengan penguat bahwa di antara beberapa panggilan khusus berupa “ya ayyuhalladzina amanu”, terdapat panggilan yang sifatnya umum kepada seluruh manusia, yaitu dengan redaksi “ya ayyuhannas”.

BINCANG SYARIAH

Mahar Rasulullah Saat Menikahi Zainab Binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah Saw yang terkenal dengan kedermawanan dan kepeduliannya terhadap orang-orang miskin hingga beliau mendapatkan gelar ummul masakin. Ia adalah putri Khuzaimah bin Harits bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir Al-Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.

Dalam kitab-kitab sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw menikahi Zainab binti Khuzaimah di bulan Ramadhan pada tahun ketiga hijriah setelah perang Uhud. Hal ini karena suaminya, Abdullah bin Jahsy, wafat dalam perang Uhud. Karena merasa kasihan dan menghormati kebaikan dan ketakwaannya, kemudian Rasulullah Saw menikahinya setelah beliau menikah dengan Hafshah dan sebelum menikah dengan Maimunah binti Al-Harits.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Rahiq Al-Makhtum berikut;

والذي يهمّنا أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوّجها مواساة لها فيما أصابها من فقدها لأزواجها ، ومكافأة لها على صلاحها وتقواها وكان زواجه صلى الله عليه وسلم بها في رمضان من السنة الثالثة للهجرة بعد زواجه بحفصة رضي الله عنها ، وقبل زواجه بميمونة بنت الحارث

Yang perlu diketahui oleh kitab bahwa Nabi Saw menikahi Zainabi binti Khuzaimah karena kasihan terhadap musibah yang menimpanya setelah ditinggal oleh suaminya, juga karena menghargai kebaikan dan ketakwaannya. Pernikahan Nabi Saw dengan Zainab terjadi di bulan Ramadhan pada tahun ketiga hijriyah setelah beliau menikah dengan Hafshah dan sebelum beliau menikah dengan Maimunah binti Al-Harits.

Adapun mahar Rasulullah saat menikahi Zainab binti Khuzaimah adalah empat ratus dirham. Dan pada saat menikah dengan Zainab binti Khuzaimah, Rasulullah mengadakan walimah dengan menyembelih unta. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Rahiq Al-Makhtum berikut;

وذُكر أن النبي صلى الله عليه وسلم خطبها إلى نفسها فجعلت أمرها إليه ، فتزوجها وأصدقها  أربعمائة درهم ، وأَوْلَمَ عليها جزوراً، وقيل إن عمّها قبيصة بن عمرو الهلالي هو الذي تولّى زواجها

Disebutkan bahwa Nabi Saw meminang langsung kepada Zainab binti Khuzaimah dan ia kemudian memasrahkan urusan dirinya pada beliau. Lalu beliau menikahinya dengan mahar empat ratus dirham dan mengadakan walimah dengan menyembelih unta. Sebagian ulama mengatakan bahwa paman Zainab, yaitu Qabishah bin Amr Al-Hilali, yang mengurus pernikahannya.

BINCANG SYARIAH

Kisah Orang yang Disiksa Sebab Meremehkan Dua Dosa Ini

Pada suatu hari Rasulullah saw bersama dua sahabatnya melewati kuburan. Ketika sampai di pertengahan jalan tiba-tiba Rasulullah berhenti. Sontak, dua sahabatnya pun bertanya kepada Rasululullah, Mengapa engkau menghentikan perjalanan ini, Rasul?” Rasulullah menjawab pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya tersebut, “Aku mendengar dua orang penghuni kubur yang sedang disiksa dengan siksaan yang sangat pedih.” Kemudian Rasulullah menerangkan tentang apa yang diberitahukan Allah perihal siksa kubur. Beliau bersabda,

يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ ، ثُمَّ قَالَ بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ

 “Kedua orang tersebut disiksa bukan karena sebab melakukan dosa besar”, lalu beliau melanjutkan sabdanya, “Benar (sebenarnya itu adalah dosa besar), salah satunya disiksa karena tidak menjaga diri saat buang air kecil dan yang satu lagi disiksa karena namimah (adu domba). (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Bari, ketika menjelaskan hadis ini, memaparkan pemahaman redaksi “wa maa yu’addzibaani fii kabiir”. Maksudnya adalah dua dosa tersebut menurut mereka (dua orang yang disiksa kubur) bukanlah dosa besar. Dua dosa itu dianggap dosa kecil dan remeh. Padahal menurut Allah dua dosa itu adalah merupakan dosa yang besar.

Anggapan meremehkan dosa itu pernah dilukiskan Allah dalam firmannya yang berbunyi,

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

 “Kamu mengira bahwa hal itu adalah remeh padahal di hadapan Allah sangat besar” (QS. An-Nur: 15)

Dua dosa yang dianggap remeh namun sebenarnya merupakan dosa yang sangat besar dan menyebabkan siksa yang amat pedih. Dua dosa itu adalah tidak menjaga diri dari kencing dan namimah.

Menurut sebagian ulama, dosa tidak menjaga diri dari kencing diarahkan kepada tidak menutup aurat saat buang air kecil. Namun, menurut pendapat yang lebih Mu’tamad (dijadikan pedoman) adalah tidak menjaga diri dan pakaian pada waktu buang air kecil sehingga terciprat oleh air kencing.

Akibatnya, tubuh dan pakiaannya terkena najis dan shalat yang ia lakukan menjadi tidak sah. Karena di antara syarat sahnya shalat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat shalat dari najis.

Pada zaman ini, perkara menjaga diri dan pakaian dari air kencing sudah menjadi perkara yang remeh. Tak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat sendiri di pusat perbelanjaan atau tempat-tempat umumsering kali yang tersedia adalah tempat buang air kecil yang tidak representatif, atau berupa urinoir yang membuat orang sulit menghindari cipratan air kencing.

Selain karena faktor fasilitas, faktor “kemalasan” juga menjadi hal yang dominan dalam diri kita. Selepas buang air kecil tidak beristinja’ (cebok) dengan baik, bahkan ada yang tanpa merasa berdosa setelah buang air kecil langsung memasukkanya tanpa beristinja’ terlebih dahulu. Akibatnya, pakaian terkena najis.

Yang kedua adalah namimah; mengadu domba antara dua orang atau pihak agar saling bermusuhan. pada zaman ini, hal ini juga merupakan perkara yang sering dinggap remeh. Karena alasan karir, dua orang diadu. Karena alasan bisnis, dua pesaing dibuatnya bermusuhan. Karena alasan politik, fitnah dihujamkan agar dua pihak saling berlawanan.

Di era teknologi ini, namimah sepertinya bukanlah menjadi sesuatu yang ditakuti lagi, padahal dosa ini di sisi Allah merupakan dosa yang sangat besar yang mengakibatkan pelakunya mendapatkan siksa yang sangat pedih kelak di alam barzakh.

Semoga kita dilindungi dan diampuni oleh Allah dari segala dosa yang kita lakukan baik sengaja ataupun tidak. Amin.

BINCANG SYARIAH

Hari Perhitungan Telah Dekat, Bersiaplah !

Allah Swt Berfirman :

ٱقۡتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمۡ وَهُمۡ فِي غَفۡلَةٖ مُّعۡرِضُونَ – مَا يَأۡتِيهِم مِّن ذِكۡرٖ مِّن رَّبِّهِم مُّحۡدَثٍ إِلَّا ٱسۡتَمَعُوهُ وَهُمۡ يَلۡعَبُونَ

“Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat). Setiap diturunkan kepada mereka ayat-ayat yang baru dari Tuhan, mereka mendengarkannya sambil bermain-main.” (QS.Al-Anbiya’:1-2)

Ayat ini mengabarkan kepada kita bahwa hari perhitungan itu sangat-sangat dekat karena setiap detik yang kita hadapi adalah sebuah kemungkinan bahwa itu adalah detik terakhir kita hidup di dunia.

Kematian adalah perpindahan dari ruang kita untuk beramal (dunia) menuju ruang perhitungan atas semua amal yang kita lakukan (akhirat). Imam Ali bin Abi tholib pernah berpesan :

اليوم عمل ولا حساب، وغداً حساب ولا عمل

“Hari ini (kehidupan dunia) adalah amal tanpa hisab dan besok (akhirat) adalah hisab tanpa amal.”

Ketika berbicara tentang kematian, Al-Qur’an seringkali memperingatkan tentang hasil yang sangat mengerikan apabila kita menyambutnya tanpa bekal.

وَأَنِيبُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُواْ لَهُۥ مِن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلۡعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ – وَٱتَّبِعُوٓاْ أَحۡسَنَ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلۡعَذَابُ بَغۡتَةٗ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS.Az-Zumar:54-55)

Seringkali Al-Qur’an menggunakan kalimat “siksa / adzab” ketika berbicara tentang kematian. Sebagai pengingat selalu bahwa kematian yang disambut dengan tangan kosong tanpa bekal akan membuat seseorang hanya akan merasakan kesengsaraan demi kesengsaraan di hari perhitungan.

Kita tak pernah tau kapan jatah waktu kita habis. Lalu tiba-tiba hari perhitungan itu datang kita tak punya kesempatan yang kedua kecuali mempertanggung jawabkan semuanya.

وَهُمۡ فِي غَفۡلَةٖ مُّعۡرِضُونَ

“Sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat).”

Mereka hidup dalam kelalaian dan jauh dari realitas yang nyata. Mereka hidup dalam khayalan dan menolak semua seruan kebenaran.

مَا يَأۡتِيهِم مِّن ذِكۡرٖ مِّن رَّبِّهِم مُّحۡدَثٍ إِلَّا ٱسۡتَمَعُوهُ وَهُمۡ يَلۡعَبُونَ

“Setiap diturunkan kepada mereka ayat-ayat yang baru dari Tuhan, mereka mendengarkannya sambil bermain-main. (QS.Al-Anbiya’:2)

Orang-orang semacam ini tidak pernah punya komitmen dalam merespon seruan kebenaran. Mereka hanya meresponnya dengan bersenda gurau.

Begitulah para Nabi berjuang menyampaikan dan mengajak manusia menuju kebenaran. Tapi tak semua hati mampu menerimanya.

Mereka mendengar seruan para Nabi dengan bercanda dan megolok-olok. Dalam hati mereka tidak ada keinginan untuk mengikuti cahaya kebenaran. Karenanya kita harus selalu siap setiap saat bahwa ajal bisa datang kapan saja. Maka persiapkan bekalmu sekarang juga.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Apa Yang Perlu Dipikirkan Ketika Shalat?

Satu hal yang perlu direnungkan untuk memperbaiki kualitas shalat kita, yaitu apa sebenarnya yang harus dipikirkan ketika shalat?

Apa itu konten shalat ?
Konten shalat berarti unsur shalat, dan itu ada 2 yaitu, gerakan dan bacaan. Karena itu, fokus terhadap isi shalat berarti fokus memikirkan gerakan dan bacaan dalam shalat.

Pertama:
Fokus memikirkan gerakan shalat berarti memikirkan bagaimana agar kita bisa melakukan gerakan shalat yang sesuai sunnah. Bagaimana caranya sedekap yang benar, cara rukuk yang benar, bagaimana mengatur arah pandangan ketika shalat, dimana posisi tangan ketika sujud, bagaimana posisi duduk sesuai sunnah, dst.
Karena itu, seorang hamba dituntut untuk mempelajari tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu sesuaikan gerakan dia dalam shalat dengan gerakan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Prinsipnya adalah jadikan gerakan shalat kita berdalil. Sesuaikan dengan dalil, maka kita akan bisa khusyuk dalam shalat.
Termasuk bagian dari fokus memikirkan gerakan adalah merenungkan dan memahami arti dari gerakan shalat. Seperti, merenungkan mengapa harus berdiri, mengapa harus rukuk, atau mengapa posisi sujud seperti itu, dst.

Kedua:
Fokus memikirkan bacaan shalat. Bentuknya adalah dengan merenungkan makna setiap bacaan yang dilantunkan dalam shalat. Seperti, memahami makna takbiratul ihram, memahami makna doa iftitah, merenungi bacaan al-Fatihah, memahami makna doa rukuk, dst.
Fokus dibagian ini lebih rumit untuk dilakukan, karena orang yang shalat harus mengerti bahasa arab, dan mampu memahami maknanya.

Ketika seorang hamba fokus memikirkan 2 hal tersebut, berarti sang hamba telah fokus memikirkan isi shalat, dan itulah jatah khusyuknya dalam shalat.

Allahu a’lam.

MUSLIMAHorid

Beda Antara Tidak Tahu Haramnya Suatu Perbuatan Dengan Tidak Tahu Konsekuensi Dari Perbuatan Tersebut

Alhamdulillah, was solatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala aalihi wa sohbihi wa ba’du.

Pelaku perbuatan dosa besar, jika ia jahil/tidak tahu bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang haram, tidak ada tuntutan apapun atas dirinya, akan berbeda jika sejatinya ia tahu bahwa perbuatan itu  memang haram dan terlarang, namun ia tidak tahu dengan konsekuensi dan hukuman dari perbuatan tersebut, maka tetaplah hukuman dari perbuatan itu wajib ditimpakan kepada pelakunya, alasan ketidaktahuannya tidak mendapat toleransi.

Beberapa sandaran dalil dari paparan di atas adalah kisah Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang merajam sahabat Maiz, padahal beliau (Maiz) tidak tahu bahwa hukum had zina adalah rajam, namun Maiz tahu bahwa zina hukumnya haram, sebagaimana Nabi dalam kesempatan lain mewajibkan bagi sahabat yang berhubungan biologis dengan istrinya di siang hari ramadan dengan pembayaran kaffarah, padahal juga dia mengaku tidak tahu bahwa konsekuensi bersenggama di siang hari ramadan adalah membayar kaffarah, akan tetapi dia tahu betul bahwa perbuatan itu haram hukumnya.

Syaikh Muhammad bin Solih al-Utsaimin menjelaskan:

هنا توجد مسألة انتبهوا لها، إذا كان الإنسان يعلم الحكم ولكن لا يدري ماذا يترتب عليه، فلا يعذر، فلو فرضنا أن رجلاً محصناً متزوجاً وزنى وهو يعلم أن الزنا حرام لكنه لا يعلم أنه يرجم، هل نرجمه أم لا نرجمه؟! نرجمه؛ مع أنه يقول: لو علمت أن الإنسان يرجم ما فعلت، نقول: جهلك بالعقوبة ليس عذراً.

“Ada satu permasalahan, perhatikanlah dengan seksama, jika ada seseorang yang mengetahui hukum suatu permasalahan namun ia tidak tahu konsekuensinya, ia tidak mendapat udzur, taruhlah misalnya ada seorang lelaki muhson (sudah menikah) kemudian ia berzina, ia tahu betul bahwa zina itu haram, tetapi ia tidak tahu bahwa hukumnya adalah rajam, apakah kita merajamnya ataukah tidak?
Jawabannya adalah tetap dirajam. Walaupun ia mengatakan: jika saya tahu bahwa seseorang yang berzina mendapatkan hukum rajam, niscaya saya tidak akan berzina, kita jawab: ketidaktahuanmu atas hukuman/konsekuensi perbuatan tidak mendapat udzur.

كذلك رجل جامع زوجته في نهار رمضان، وقال: ما علمت أن في الجماع كفارة مغلظة، ظننت أن الإنسان يقضي يوماً وينتهي، ولو علمت أن فيه الكفارة المغلظة ما فعلت، هل يعذر أم لا يعذر؟! لا يعذر، بل يجب أن يكفر، المهم أن الجهل للعقوبة ليس عذراً، ما هو العذر؟ الجهل بالحكم هذا هو العذر، ولهذا لو جامع إنسان زوجته في نهار رمضان وقال: لا أدري أنه حرام، إنما ظننت أن الأكل والشرب هو الحرام فقط، نقول: ما عليك شيء لا قضاء ولا كفارة” انتهى من لقاء الباب المفتوح – 206/23 

Contoh yang lainnya seperti seorang yang bersenggama dengan istrinya di siang hari bulan ramadan, kemudian ia berkata: saya tidak tahu bahwa hubungan ini hukumannya adalah membayar kaffarah yang berat, saya kira hukumannya hanyalah mengqada puasa sehari saja dan selesai, andai saya tahu bahwa hukumnya adalah kaffarah berat niscaya saya tidak akan berbuat. Apakah yang demikian mendapat udzur ataukah tidak?
Tidak mendapat udzur, justru wajib baginya membayar kaffarah. Point pentingnya, bahwa orang yang jahil dengan hukuman dari suatu perbuatan bukanlah suatu udzur, lantas apa yang dikatakan udzur?
Mendapatkan udzur jika seorang tidak tahu menahu hukum perbuatan tersebut, oleh karenanya, jika ada seorang lelaki menggauli istrinya di siang hari bulan ramadan, dia berkata: saya tidak tahu kalau perbuatan ini haram, saya kira yang terlarang hanyalah makan dan minum saja. Kita tanggapi: tidak ada tuntutan atas dirimu, tidak melakukan qadha, juga tidak membayar kaffarah”.
(Liqa al-Baab al-Maftuh 23/206)

Contoh yang lain, hal demikian juga berlaku dalam masalah talak , jika ada seseorang yang sudah pernah mentalak istrinya sampai talak dua misalnya, kemudian ia merujuknya, si suami menganggap bahwa ketika dia rujuk maka talak yang sudah pernah terjadi menjadi terhapus, dia anggap talak yang sudah pernah dilakukan menjadi hilang ketika ia merujuk istrinya, padahal tidak demikian, talak yang pernah jatuh tetap terhitung dan terakumulasi.

Dalam fatwa dari al-Lajnah al-Daimah dikatakan:

إذا راجع الرجل من طلقها طلقة أو طلقتين، صار له معها ما بقي من الثلاث، طلقتان في الحالة الأولى، وواحدة في الحالة الثانية‏.‏ وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم‏.‏

“Jika seorang suami merujuk istri yang ia talak 1 atau talak 2, maka talak yang dimiliki suami atas istrinya hanya tinggal yang tersisa dari jatah 3 talak, jika dia mentalak 1 (kemudian rujuk)  baginya masih punya 2 talak,  dan hanya tersisa 1 talak jika ia sebelumnya mentalak 2, semoga Allah memberi taufiq, dan semoga Salawat & salam tercurah kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya”.
Lihat: Fatwa di web Al Iman

Jika demikian adanya, semisal ada suami yang sebelumnya sudah mentalak 2 untuk istrinya, kemudian setelahnya terjadi rujuk, namun dimasa yang akan datang dia mentalak lagi istrinya sekali, maka terhitung baginya telah mentalak 3 kali, karena rujuk tidak menghapuskan talak sebelumnya, justru semua tetap terhitung, sehingga konsekuensi dari talak si suami yang ketiga ini mengharuskan bagi mereka (suami-istri) untuk berpisah, dan tidak bisa rujuk lagi kecuali mantan istri menikah dengan lelaki lain, terjadi senggama diantara keduanya, lantas terjadi perceraian antara mantan istri dengan suami barunya secara alami (bukan setingan) ini berdasar pada firman Allah ta’ala:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ 

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
(al-Baqarah:230)

Andai saja si suami berkilah bahwa ia tidak tahu konsekuensi dari ucapan talaknya yang ke 3, namun sejatinya dia tahu bahwa itu adalah talak, tidak ada udzur baginya, konsekuensi hukum harus tetap dijalankan, ia wajib berpisah dengan istri yang ia cintai, kalaupun ia tetap paksakan untuk rujuk lagi, tinggal bersama lagi dengan tanpa menempuh skema yang dijelaskan oleh syariat, maka hubungan mereka adalah hubungan haram dan terlarang, karena sejatinya si perempuan sudah bukan istrinya lagi.

Disebutkan dalam fatwa dari markaz fatwa “al-syabakah al-islamiyah” doha, Qatar :

فالجاهل بحكم الطلاق العالم بمعناه يقع طلاقه، لأنه قد تلفظ بالطلاق قاصدا مختارا، ولكنه جهل العقوبة والجهل بالعقوبة لا يعذر به صاحبه. 

“Seorang yg jahil dengan hukum talak (konsekuensinya), tetapi dia tahu/paham bahwa itu adalah talak, talaknya tetap terhitung (jatuh), karena ia telah mengeluarkan talak atas maksud dan pilihan ia sendiri, tetapi ia jahil dengan konsekuensi talaknya, dan kejahilan atas konsekuensi suatu perbuatan pelakunya tidak ditolerir”.
Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/151613/ 

Ini sebagian contoh kasus saja, bisa diterapkan dalam masalah-masalah lain, jika ada seseorang yang sejatinya tahu hukum suatu permasalahan, namun hanya saja ia tidak tahu konsekuensi hukum dari masalah tersebut, ketidaktahuannya pada konsekuensi tidak mendapatkan toleransi, justru tetap wajib baginya untuk ditimpakan hukuman dan dampak dari apa yang ia kerjakan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Selasa, 09 Rabiul Akhir 1442 H/ 24 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM