Hukum Mencukur Jenggot Jenazah

Syariat Islam mengajarkan bagaimana kita memperlakukan jenazah dengan baik dan santun mulai dari proses memandikan, mengkafani, mensalati sampai menguburkannya. Bahkan semua pekerjaan tadi wajib dilakukan hal ini sudah dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai karya. Abu Bakar al-Hishni dalam kitab Kifayatu al-Akhyar (h. 159) misalnya mengatakan,

لَا خِلَافَ أَنَّ الْمَيِّتَ الْمُسْلِمَ يَلْزَمُ النَّاسَ الْقِيَامُ بِأَمْرِهِ فِي هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ وَالْقِيَامُ بِهَذِهِ الْأَرْبَعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ بِالْإِجْمَاعِ ذَكَرَهُ الرَّافِعِيُّ وَالنَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُمَا

“Para ulama sepakat bahwa masyarakat wajib(fardu kifayah) melakukan 4 hal (memandikan, mengkafani, mensalatkan, dan menguburkan) untuk mayat muslim sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam ar-Rofi’i, Imam an-Nawawi, dan lainnya.”

Dan sudah lumrah dikenal masyarakat jika di saat salah satu diantara kita wafat tentu mereka akan melakukan cara-cara tadi sampai tuntas. Hal ini didasari pada ajaran agama bahwa manusia atau bani Adam harus dihormati baik dia masih hidup ataupun sudah meninggal. Sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah surat  al-Isra’ [17]: 70 berikut;

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan

Namun dalam proses memandikan jenazah ternyata ada sebagian masyarakat yang bertanya tentang hukum mencukur jenggot jenazah. Apakah jenazah yang sudah dimandikan boleh dicukur jika memiliki janggut atau rambut yang lain?

Berikut ini penjelasan tentang hukum mencukur jenggot jenazah, seperti dikutip dari Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (j. 35 h. 233-234) dan Muhammad bin ‘Abd al-Hamid Hasunah dalam kitab al-Lihyah fi al-Kitab wa as-Sunnah wa Aqwaal Salaf al-Ummah (h. 91) (buku dapat diunduh secara legal dan gratis di waqfeya.com),

Menurut Mazhab Hanafi; menyisir rambut jenazah, mencukur, dan mencabutnya hukumnya makruh karena semua itu tidak diperlukan.

Sementara ulama mazhab Maliki masih dirinci; bila rambut itu tidak haram dicukur saat masa hidupnya seperti rambut kepala maka makruh mencukurnya saat wafat. Sedangkan bila saat hidup memang haram dicukur seperti bulu jengggot maka haram pula dicukur ketika meninggal dunia

Sementara menurut mazhab Hanbali menyisir rambut mayat hukumnya makruh baik itu rambut kepala ataupun jenggot sebab itu akan berakibat tercabutnya beberapa rambut padahal menyisir rambut tidak dibutuhkan. Dan menurut mereka, mencukur jenggot jenazah serta rambut kepalanya hukumnya haram.

Sedangkan mazhab Syafi’i; menyisir rambut mayat tidak haram dan merupakan tindakan yang baik sebab demi menghilangkan kotoran-kotoran, dan bekas-bekas daun bidara yang menempel di pangkal-pangkal rambut. Menyisir rambut bisa dilakukan dengan menggunakan sikat gigi yang disikatkan ke jenggot dengan cara yang lembut agar meniminalisir rotoknya rambut.

BINCANG SYARIAH

Shalat Menjadi Kesenangan Hati (Bag. 1)

Salat merupakan penyejuk hati dan penenang jiwa. Momen untuk bermunajat bagi orang-orang yang hatinya sedang gundah dan jiwanya sedang resah adalah saat salat, terutama di dalam sujud. Posisi sujud itulah saat terdekatnya seorang hamba dengan Rabbnya. Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة

“Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 7892).

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa istirahat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang cinta kepada Allah Ta’ala terletak pada salat. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka dia tidak merasakan kenikmatan tersebut. Bahkan mereka merasakan salat sebagai sesuatu yang sangat berat dilaksanakan, ibarat mereka sedang berdiri di atas bara api. Oleh karena itu, mereka sangat ingin segera menyelesaikan salatnya dikarenakan tidak adanya kesenangan di hatinya dan tidak ada istirahat baginya di dalam salat tersebut.

Jika seseorang senang terhadap sesuatu dan hatinya merasa bisa istirahat dengan hal tersebut, maka hal yang paling berat adalah berpisah dengannya. Sebaliknya, orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang tidak disenanginya akan sangat bahagia ketika berpisah dengan sesuatu tersebut. Orang yang merasa terpaksa melaksanakan salat akan tersiksa dengan lamanya salat, sekalipun dia memiliki waktu luang dan badan yang sehat.

Enam hal yang perlu dihadirkan saat shalat

Salat bisa menjadi qurratul ‘ain (kesenangan hati) dan istirahatnya hati ketika salat tersebut menghadirkan 6 hal, yaitu: (1) ikhlas, (2) kejujuran dan ketulusan, (3) mengikuti dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) ihsan, (5) menyadarri anugerah dari Allah Ta’ala, (6) merasa kurang dalam amalan.

Pada artikel ini akan kami bahas empat poin yang pertama. Tiga poin terakhir insyaallah akan kami bahas pada artikel selanjutnya.

Ikhlas

Hal yang membawa dan mendorong orang yang ikhlas dalam salatnya untuk melaksanakan salat adalah harapannya kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, mencari rida-Nya, mendekat kepada-Nya, mencari cinta-Nya dan karena melaksanakan perintah-Nya. Hamba tersebut mendirikan salat sama sekali bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dunia.

Kejujuran dan ketulusan

Hamba yang jujur dan tulus dalam salat akan memusatkan hatinya dalam salat untuk Allah Ta’ala dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan secara lahir maupun batin. Secara lahir, seorang hamba akan berusaha agar gerakan dan ucapan dalam rangkaian salat bisa sesempurna mungkin. Adapun secara batin, seorang hamba akan berusaha supaya bisa khusyuk dan merasa senantiasa dilihat oleh Allah Ta’ala. Aspek batin ini ibarat ruh salat, sedangkan gerakan dan ucapan dalam salat ibarat badannya.

Jika salat kosong dari ruh, maka salat tersebut seperti badan yang tidak memiliki ruh. Adapun salat yang sempurna secara lahir dan batin, maka dia akan diberikan cahaya seperti cahaya matahari. Allah Ta’ala akan meridainya, dan salat itu berkata kepada orang yang salatnya sempurna tersebut, “Semoga Allah Ta’ala menjagamu sebagaimana Engkau telah menjagaku.”

Mengikuti dan mencontoh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam

Seorang hamba harus bersungguh-sungguh melaksanakan salat, sebagaimana salat Rasululllaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia berpaling dari hal-hal baru yang dibuat manusia dalam salat, baik berupa penambahan maupun pengurangan yang sama sekali tidak ada nukilan dari Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam maupun seorang pun dari para sahabat.

Ihsan

Ihsan yakni beribadah kepada Allah Ta’ala dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya. Hal ini bisa bisa terwujud bagi hamba yang sempurna keimanannya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sampai seolah-olah dia melihat Allah beristiwa’ di atas Arsy, berbicara dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, mengatur urusan makhluk Nya, semua perkara turun dari sisi-Nya dan juga naik kepada-Nya, amalan hamba dan ruh hamba akan dihadapkan kepada-Nya ketika matinya. Dia menyaksikan semua itu dengan hatinya. Menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluk dan terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, memerintah dan melarang, mencintai dan membenci, rida dan murka, melakukan apa yang dikehendaki, menghukumi dengan apa yang diingini-Nya, dan mengetahui seluruh perbuatan hamba yang lahir maupun batin.

Ihsan ini merupakan pokok bagi seluruh amalan hati. Jika hamba beribadah kepada Allah Ta’ala dengan keadaan seolah-olah melihat-Nya, maka akan muncul sifat malu, mengagungkan Allah, rasa takut, cinta, kembali kepada Allah dengan bertaubat dan mengikhlaskan amal, tawakal, menghinakan diri di hadapan-Nya, memotong bisikan setan serta mengumpulkan tujuannya untuk Allah Ta’ala.

Kadar kedekatan hamba kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kadar ihsannya. Oleh karena itu, salat yang dilakukan oleh setiap orang memiliki kadar yang berbeda-beda pula karena kadar ihsan setiap orang berbeda. Bisa jadi salat dua orang terlihat sama namun nilai keutamaannya jauh berbeda ibarat jauhnya langit dengan bumi.

[Bersambung]

Sumber:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat  hal. 83-87, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al fadhiilah.

* * *

Penulis: Apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

MUSLIMorid

Macam-Macam Hubungan dengan Allah di dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menyebutkan macam-macam hubungan manusia dengan Allah Swt yang menciptakannya, memberinya rezeki dan mengatur segala urusannya.

Dalam kajian ini kita akan menyebutkan tiga bentuk hubungan antara seorang hamba dengan Allah Swt :

1. Hubungan yang berdiri dengan dasar penentangan kepada Allah dan melampaui batas-batas sebagai seorang hamba.

Al-Qur’an menyebut hubungan ini adalah hubungan yang melampaui batas.

Allah swt berfirman :

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ – أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS.Al-‘Alaq:6-7)

2. Hubungan yang dibangun dengan dasar perasaan berjasa karena telah memeluk Islam.

Allah Swt berfirman :

يَمُنُّونَ عَلَيۡكَ أَنۡ أَسۡلَمُواْۖ قُل لَّا تَمُنُّواْ عَلَيَّ إِسۡلَٰمَكُمۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيۡكُمۡ أَنۡ هَدَىٰكُمۡ لِلۡإِيمَٰنِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ

“Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (QS.Al-Hujurat:17)

3. Hubungan yang dibangun dengan dasar penghambaan, rasa cinta, rasa takut dan harap kepada Allah Swt.

Kecintaan itu melahirkan ketaatan dan kekhusyu’an dihadapan Allah Swt. Dan ini adalah hubungan yang sehat antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang akan mengantarkan seseoeang menuju kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Hubungan inilah yang akan menjaga seorang hamba dari perasaan ujub, congkak dan sombong sehingga akan menyelamatkannya dari siksa Allah Swt.

Dan Al-Qur’an telah menyebutkan banyak sekali ayat tentang hubungan yang satu ini. Yaitu disaat menceritakan para Nabi ataupun disaat memberikan sifat bagi orang-orang mukmin yang sejati.

Seperti dalam Firman-Nya ketika menceritakan para Nabi :

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS.Al-Anbiya’:90)

Dan Firman-Nya ketika menyifati kaum mukminin. :

إِنَّ ٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ خَشۡيَةِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ – وَٱلَّذِينَ هُم بِـَٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ يُؤۡمِنُونَ – وَٱلَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمۡ لَا يُشۡرِكُونَ – وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ – أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ

“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Tuhannya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Tuhannya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS.Al-Mu’minun:57)

Itulah beberapa hubungan antara seorang hamba dengan Allah Swt yang disebutkan didalam Al-Qur’an.

Semoga bermanfaat

KHAZANAH ALQURAN

Alasan Hidup Harus Penuh Pahala: Kita Hidup 1,5 Jam Saja?

Hidup di dunia merupakan ladang mencari pahala akhirat

Hidup dunia hanya sementara dan akhirat selama-lamanya. Hidup di dunia yang sementara ini butuh bekal begitu pun dengan akhirat butuh bekal banyak daripada hidup di dunia. 

Jadi, kata Maharani dalam bukunya “Kesalahan Persepsi dalam Al-Qur’an” mengatakan, bahwa hidup di dunia ini adalah untuk berjuang supaya bisa selalu taat sehingga menghasilkan pahala.  

Hidup di dunia ini sungguh sangat singkat seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Mu’minun ayat 112-114:  

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ # قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ #قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? A”Mereka menjawab , “kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari maka tanyakan kepada mereka yang menghitung. Dia Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu benar-benar mengetahui.” Allah juga berfirman dalam surat as-Sajdah ayat 5: 

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi kemudian urusan itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadar lamanya adalah seribu tahun menurut perhitungan.”  

Tentang berapa lama manusia hidup di dunia Maharani menghitungnya, 1 hari di akhirat  sama dengan seribu tahun di dunia. Bila mengambil patokan usia Rasulullah 63 tahun dan 24 jam itu sama dengan seribu tahun maka dengan usia 63 tahun manusia berarti hanya hidup 1,5  jam di dunia ini. 

“Betapa sebetarnya! Kalau direnungkan, memang benar betapa cepatnya waktu berlalu. Masa-masa sekolah dasar, SMP SMA, kuliah, sampai memiliki keluarga, kemudian menjadi tua sungguh sangat cepat,” katanya.  

Jadi pada akhirnya, kata Maharani, manusia akan mati, sesuai firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 185: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”    

KHAZANAH REPUBLIKA

Masa Remaja Nabi SAW

Umat Islam patut terus menggali sirah Rasulullah dari berbagai aspek dan masa.

Pada masa kecil, Rasulullah SAW  tumbuh sangat pesat. Malahan, dikatakan bahwa pertumbuhannya sehari setara dengan sebulan manusia biasa. Ketika berumur dua tahun, beliau tumbuh menjadi anak yang kuat dalam pangkuan Halimah As-Sa’diah. 

Memasuki usia empat tahun, terjadi peristiwa Syaqqus Shadr (pembelahan dada) oleh malaikat Jibril. Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan dalam kitabnya,  Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, kejadian ini merupakan salah satu indikasi kenabiannya dan bukti bahwa Allah SWT. memilih dan menyiapkannya untuk mengemban tugas yang agung kelak (HR. Muslim). 

Setelah kejadian tersebut, Halimah pun merasa khawatir akan terjadi hal-hal lain padanya. Lalu, dia bergegas mengembalikan Muhammad kepada  ibunda Siti Aminah. Namun Sang Ibunda juga tak begitu lama membersamainya. Saat Muhammad berusia enam tahun,  Siti Aminah wafat, dan meninggalkan Muhammad hidup tanpa kehangatan kedua orang tuanya. 

Selepas kepergian ibunda, ia diasuh oleh kakeknya,  Abdul Muthalib. Ia sungguh mencintai dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, ketika usia Muhammad  tepat  delapan tahun dua bulan dan sepuluh hari, kakeknya pun wafat. Kemudian pengasuhan Muhammad  beralih kepada pamannya,  Abu Thalib.

Pada masa pengasuhan Abu Thalib inilah, beliau menjalani masa remaja. Ketika Muhammad  berusia 12  tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi ke Syam (sekarang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Lebanon) untuk berbisnis. 

Tatkala kafilahnya sampai di Bushra, mereka berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Dia mulai memperhatikan Muhammad,  menghampiri dan berbicara dengannya. Tak lama, ia menengok ke Abu Thalib dan bertanya “Apa hubunganmu dengan anak kecil ini ?” “Ia anakku,” jawabnya. “Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup,” kata Buhaira. 

Abu Thalib pun mengakui bahwa dia adalah keponakannya. Pendeta itu lalu meminta kepada Abu Thalib untuk membawanya  pulang kembali, takut akan orang-orang Yahudi yang hendak menyakitinya. Lantas ia pun membawanya kembali ke Mekkah. 

Setelahnya, Ahmad (nama lain Nabi SAW)  menjalani masa remajanya dengan menggembala kambing, kendati upah yang didapat hanya beberapa qirath (satu qirath:  0,2 g berlian) (HR. Bukhari). Tidak lain kecuali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu paman yang menanggung banyak anak. 

Layaknya remaja zaman itu, banyak sekali yang rusak akibat perbuatan maksiat. Tapi dengan izin Allah, Ahmad muda nan gagah terjaga dari perbuatan yang merugikan kebanyakan kawan sebayanya. Sampai suatu ketika Nabi bercerita tentang dirinya, bahwa dia pernah dua kali duduk mendengarkan pesta perkawinan ketika zaman jahiliah, tapi Allah tutup telinganya hingga tertidur dan terbangun esoknya dengan terik matahari. “Setelah itu, aku tidak pernah lagi berniat (mengikuti) perbuatan buruk.” (HR. Thabrani).

Ketika Muhammad menginjak usia 20  tahun, di Mekkah terjadi peristiwa Harbul Fijar (Peperangan Fijar). Perang yang meletup antara Kabilah Quraisy bersama Bani Kinanah melawan Qais dan ‘Aylan. Beliau pun ikut berperang dengan paman-pamannya dan menyiapkan anak panah untuk mereka.

Pasca kemenangan Kabilah Quraisy  dalam peperangan tersebut, disepakatilah perjanjian yang diabadikan dengan istilah Halful Fudhul. Bertambahlah pengalamannya dalam masalah diplomasi dan negosiasi. Sedemikian terkesannya, beliau berkata — setelah diutus menjadi Rasul — “Aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’an perjanjian yang lebih aku sukai daripada unta merah [kendaraan elit waktu itu], dan sekiranya aku diundang pada momen yang sama pada hari ini, tentu aku memenuhinya.”

Menjelang usia dewasa yang matang, Muhammad  semakin menekuni dunia bisnis. Menurut Syeikh Mubarikfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum,  Nabi berdagang dengan mitra terbaiknya Saib bin Abi Saib. Barulah ketika berumur dua puluh lima tahun, Muhammad menjalin kerja sama bisnis dengan Siti Khadijah, wanita kaya raya nan mulia.  

Mengenal lebih jauh pribadi Nabi SAW  bukan hanya ketika peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan 12 Rabiul Awwal setiap tahun. Namun, kewajiban kita sebagai umatnya patut terus menggali sejarah kehidupannya (sirah) dari berbagai aspek dan masa.  

Kiranya, gambaran masa remaja Rasulullah tersebut dapat menguatkan hati kita untuk lebih mencintai  dan menjadikannya panutan dalam merangkai kehidupan. Juga menceritakannya kepada keluarga dan sanak saudara serta masyarakat luas. Apalagi disaat Rasulullah dinistakan oleh Presiden Perancis Macron dan para pembeci Islam beberapa waktu lalu. 

Allahu a’lam bishowab.

Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Menghormati Keturunan Nabi?

Di tengah-tengah arus media sosial yang kian hari kian gencar. Muncul isu-isu baru yang melanda dunia sosial. Yaitu isu tentang pro-kontra terhadap sikap seorang Habib di negara yang demokrasi ini. Gelagat demikian tentu sangat krusial yang oleh umat muslim harus disikapi sebaik mungkin. Sebab, membiarkannya malah justru akan menimbulkan kubu perpecahan.

Habib atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan Zurriyatun Nabi adalah mereka yang secara garis keturnanannya berasal dari Nabi. Tepatnya dari Fatimah (putri Nabi) dengan Sayyidina Ali. Jadi siapapun mereka yang lahir dari keturunan keduanya (Hasan dan Husein) disebutlah seorang Habib. Lalu pertanyaanya, bagaimana kewajiban kita sebagai umat Muslim terhadap Habib?

Dalam kitab Syarhu al-Aqidah at-Thaháwiyah lil a-Barak, bab Minhaj Ahlisunnah fi Azwaji an-Nabi, juz 1, halaman 377, diterangkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menjaganya, atau sekurang-kurangnya menghormati sebegitu hormatnya, tanpa menyakiti, apalagi melecehkan satu sama lainnya. Sebab mereka yang lahir dari keturunan Nabi, tentu dipastikan hasil dari benih yang suci dari segala ketidakbaikan (ar-rijsu). Tapi sekali lagi, kesucian para keturuan Nabi tersebut bukan secara mutlak. Sebab bisa jadi, meski keturunan Nabi, ada juga yang katakanlah tidak berpibadi baik ala Nabi (maaf tanpa mengurangi rasa hormat saya) seperti suka mencaci orang lain, mendoakan orang lain tidak baik, bersikap angkuh dan sombong merendahkan fisik orang lain, dan lain-lain. Jelasnya, begini menurut Imam at-Thaháwi dalam kitabnya tersebut:

قال الطحاوي: (وذرِّيَّاته المقدسين من كل رجس) ليس على إطلاقه؛ لأن فيهم المحسن والمسيء،

Dari ibarat di atas ini tentu menunjukkan kepada kita, bahwa di antara keturuan Nabi sekalipun, bukan lantas kemudian dinyatakan baik. Tetapi ada juga keturunan Nabi yang secara sikap bisa dikatakan tidak baik sepertihalnya Nabi. Tidak lembut tuturnya, tidak menyayangi umat manusia, atau apalah yang menjadi teladan dari semua sosok Nabi. Maka konsukuensinya, tidak boleh kemudian menisbahkan ketidakbaikan Habib tersebut (yang secara nasab bersambung kepada Nabi namun secara perilaku tidak sama sekali) kepada keturunan Nabi. Atau dengan bahasa lain, menisbatkan tipikal demikian, jelas bukan suatu yang dibenarkan. Lebih jelasnya, berikut ibarah tersebut:

وقال: [وذرياته المقدسين من كل رجس] ، وهذا ليس ثابتاً لكل ذرية النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، إنما المقصود أن من عرف منهم بالتقوى والإيمان فإنه هو الذي يُحسن فيه القول، وأما من استوجب القول السيئ فإنه يثبت له، لكن من دون أن ينال من نسبه ولا من اتصاله بالنبي صلى الله عليه وسلم.

Maaf pendek kata, teks di atas ini sekurang-kurangnya mengajarkan kepada kita bahwa perilaku yang sama sekali melenceng dari kepribadian baik Nabi, bagi penulis, bukan hal sepenuhnya disandarkan kepada predikat penyematan keturunan Nabi. Sebab sudah menjadi aksioma, Nabi adalah sosok teladan manusia sedunia. Lelaki yang sangat penuh kasih sayang terhadap segala umat manusia. Bukan suka membenci, menghardik, apalagi mencaci maki sesama umatnya.

Hal ini selaras dengan pendapat Dr. Rasyid bin Hasan al-Alma’ei dalam kitabnya, Man Hum Ahlu al-Bait? Yang mengatakan begini:

وأهل السنة يحبونهم ويكرمونهم؛ لأن ذلك من محبة النبي -صلى الله عليه وسلم- وإكرامه، وذلك بشرط أن يكونوا مستقيمين على الملة، كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه وعلي وبنيه، أما من خالف السنة ولم يستقم على الدين فإنه لا تجوز موالاته ولو كان من أهل البيت

Artinya: Ahlusunnah mencintai dan memuliakan para Ahlu al-Bait (keturunan Nabi), karena mencintai Ahlul al-Bait termasuk mencintai Rasul dan memuliakanya.  Dengan syarat, mereka (Ahlu al-Bait) tetap berada di agamanya, sebagaimana para pendahulunya seperi Abbas dan keturunan-keturunannya. Dan jika mereka tidak berada di sunnah-sunnah Nabinya, (meski keturunan Nabi) maka tidak boleh mengikutinya.

Ulama kontemporer Mesir memaknai kata “Muwálah” dengan bersahabat. Sebagian ada yang memberikan makna dengan “menolong, atau membantu”. Ringkasnya, jika ketidakbaikan itu muncul meski dari keturunan Nabi, maka kita sebagai umat Islam harus benar-benar pintar jeli dan teliti. Bukan malah membantu terhadap ketidakbaikan tersebut, kemudian menyulutkan api kebenciaan di tengah-tengah persaudaran seagama ini dengan bentuk caci-mencaci. Apakah kita masih mau menghormati keturunan nabi yang suka mencaci-maki?

ALIF.id

Rasulullah Mendamaikan Umat Manusia dengan Islam: Tafsir QS. Ali ‘Imran [3]: 103

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Manhaj Al-Salaf fi Fahmi Al-Nushush baina Al-Nadhriyyah wa Al-Tathbiq (tt., 9) menyebutkan bahwa Islam datang untuk mengajak umat manusia agar saling asih, mencintai, menyayangi, dan melarang untuk saling berpecah belah. Bahkan beliau menyebutkan bahwa bercerai berai adalah menjadi sebab segala fitnah dan musibah. Lebih lanjut, bercerai berai melahirkan permusuhan dan kebodohan.

Upaya untuk menelaah pandangan para mufassir sangat penting untuk mendapatkan rumusan pemahaman yang tidak terputus dari wacana-wacana terkait dengan pemahaman para ulama dalam bidang al-Qur’an dan tafsir. Meskipun sebenarnya, argumen Sayyid Muhammad al-Maliki di atas telah menggunakan pendekatan wacana para mufassir, namun dalam kesempatan kali ini adalah untuk membuka lebih jelas lagi.

Persaudaraan, persatuan, dengan kerangka berfikir Sayyid Muhammad al-Maliki di atas, adalah poin penting dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103 disebutkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imran [3]: 103)

Menurut keterangan dari Al-Zamakhsyari (467-538 H) dalam Tafsir Al-Kasysyaf (1998: Vol. 1, 601), ayat ini adalah sebuah larangan untuk bercerai-berai sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyyah, yaitu saling bermusuhan satu sama lain hingga terjadi peperangan di antara mereka. Ayat ini juga adalah larangan untuk mengucapkan kata-kata yang menyebabkan perpecahan.

Dalam sejarah Arab, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Baidhawi, disebutkan bahwa suku Aus dan Khazraj adalah dua saudara namun anak keturunannya mengalami pemusuhan hingga terjadi peperangan antara keduanya selama 120 tahun sampai Allah memadamkan api peperangan dan kebencian diantara mereka dengan perantara agama Islam (Al-Qaujawi: 1999, Vol, 3, 136).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan banyak riwayat terkait dengan pembahasan ayat ini, diantaranya adalah riwayat dari Qatadah bahwa maksud dari ayat “wadzkuru ni’matallah ‘alaikum idzkuntuntum a’da’an fallafa baina qulubikum” adalah yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu adalah saling membunuh, orang-orang yang kuat akan menindas yang lemah sehingga. dengan datangnya Islam melalui perantara Nabi mereka berubah menjadi saudara yang saling mengasihi satu sama lain, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya saling mengasihi adalah rahmat dan perpecahan adalah adab (Al-Qurthubi: 2001, Vol. 5, 650).

Di sini jelaslah bagi kita bahwa Islam ketika awal kemunculannya adalah untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah. Yang diungkapkan oleh Sayyid Muhammad di atas adalah otentisitas Islam, yaitu sebagai agama yang melarang dan membendung sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan atau menyebabkan perpecahan. Karena perbedaan bukan menjadi alasan untuk bertikai dan berpecah belah, melainkan, sebagaimana dalam istilah al-Qur’an, adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

Sejarah yang disampaikan oleh Chaiwat Satha-Anand tentang sikap Nabi ketika mengajak perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat bersama-sama sorban yang di atasnya terdapat hajar aswad, sebagai dasar argumentasi aktivia nir-kekerasan adalah sangat beralasan dan kredibel. Bahkan Satha Anand tidak hanya melihat dari perspektif Islam dalam menggelorakan semangat nir-kekerasan, melainkan dari kombinasi berbagai ajaran agama.

Kesimpulannya adalah bahwa Islam secara dasariah adalah perdamaian. Pandangan diatas dan informasi bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi penting untuk disadari terutama oleh umat muslim Indonesia maupun dunia. Bahkan rahmat Nabi juga sangat banyak tersebar di berbagai keterangan perihal kemuliaan sifat Nabi dalam kitab-kitab shirah al-nabawiyyah.

Sehingga semestinya arah pemahaman memurnikan agama adalah dengan menjadikan agama sebagai amunisi untuk berdamai dengan orang lain bukan malah dengan agama memecah belah persaudaraan dan kesatuan. Tekanan untuk beragama dalam konteks Indonesia adalah agar setiap warganya menjalin persaudaraan dan menjaga persatuan bukan membenturkan satu sama lain dengan nama agama. Sehingga, trauma yang dirasakan oleh yang menolak untuk beragama terobati, karena agama telah kembali kepada asalnya sebagai juru damai dan pemersatu umat manusia.

MADANINEWS

Makan dan Minum yang Sehat Menurut Islam

Makanan dan minuman era milineal serba cepat tapi belum tentu sehat apalagi halal dan thayyib. Lantas bagaimana kita bersikap terhadap makan dan minuman yang ideal?  

Meski lahir lebih 14 abad, Islam telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, yang ujungnya bermanfaat bagi manusia. Tidak hanya cara bersuci, bahkan cara makan pun Islam mengajarkan.

Sebagai muslim ataupun muslimah, ada cara yang sebenarnya memang telah menjadi bagian dalam lingkup syariat Islam. Kita sendiri kadang tidak menyadarinya. Padahal Rasulullah ﷺ sudah memberikan bocorannya sejak berabad-abad lalu.

Tidaklah sekali-sekali manusia penuhi suatu wadah juga yang lebih beresiko dari perutnya. Cukuplah untuk anak Adam sebagian suap makanan untuk menegakkan badannya. Bila ia mesti mengisinya, maka sepertiga ( sisi lambung) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, serta sepertiga lagi untuk nafasnya ( hawa).” (HR Tirmidzi)

Untuk selalu terjaga terkait makan dan minum serta diberkahi oleh Allah, maka ada beberapa adab yang perlu dilakukan, diantaranya:

Pertamaniatkan makan minum itu datangnya rezeki dari Allah yang dibarakahi

Luruskanlah niat sebelum melakukan makan dan minum. Niatkan hanya kepada Allah subhna hua ta’ala agar  tubuh kita lebih sehat dan jauh dari berbagai macam penyakit. Selain itu pola makan kita juga akan lebih terjaga baik waktunya maupun kuantitas makanan yang dikonsumsinya menjadi sesuai dengan kebutuhan tubuh dan tidak berlebihan.

Kedua, melaksanakan Puasa Wajib dan Sunah

Puasa wajib adalah ibadah puasa yang dilakukan saat datangnya bulan Ramadhan. Sedangkan puasa sunnah adalah ibadah puasa yang dilakukan dihari-hari tertentu seperti puasa Senin dan Kamis maupun puasa Daud. Namun jangan pernah menitik beratkan niat ibadah puasa hanya untuk menurunkan berat badan. Niatkanlah murni karena Allah subhana hua ta’ala.

Puasa adalah cara terefektif untuk mengatur pola makan dan sebagai treatment untuk mengistirahatkan organ pencernaan kita sehingga setidaknya dengan berpuasa tumpukan lemak-lemak penyebab kelebihan berat badan dapat kita minimalisir.

Ketiga, makan secukupnya

Makanlah makanan secukupnya saja, jangan berlebihan karena islam sendiripun tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Bahkan dalam Islam sendiri menganjurkan untuk makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Karena ketika lapar kita akan cenderung makan dalam jumlah yang banyak, begitupun jika makan harus menunggu sampai perut terasa kenyang terlebih dahulu sebelum berhenti. Padahal bagian perut kita tidak hanya harus menmpung makanan saja, tapi harus disisakan untuk menampung air beserta udara untuk mencerna makanan dan memfungsikan organ tubuh lainnya.

Mengenai hal ini, Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Araf ayat 31 yang artinya:

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS:  Al-A’raf: 31)

Keempat, memakan makanan halal dan sehat

Dalam surat an-Nahl ayat 114 Allah berfirman tentang perintah untuk mengkonsumsi makanan halal.

فَكُلُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَٱشْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS:  An Nahl: 114)

Keempat, tidak tidur setelah makan berat

Kebiasan buruk yang sering kali dilakukan oleh manusia adalah tidur setelah melahap banyak makanan. Hal ini memang saling berkaitan saat kelaparan kita akan makan dengan jumlah yang lebih banyak karena perut menuntut diisi hingga penuh atau kenyang, namun kemudian akibatnya adalah perut menjadi terlalu kenyang dan mata berat atau mengantuk, lalu seterusnya adalah setan yang membujuk untuk istirahat dan tidur.

Kelima, selalu bersyukur kepada Allah Subhanahua Ta’ala

Ikhtiar dan doa adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Termasuk dalam hal bersyukur atas nikmat yang telah diberkahi Allah dengan segala hal yang telah kita makan dan minum.

Lebih lanjut dalam makanan dan minuman itu agar berkah, maka Islam memberikan adabnya pula; diantaranya:

  1. Minum Sambil Duduk

Terlepas dari perbedaan pendapat yang sudah dijelaskan oleh para ulama tentang hukum makan atau minum sambil berdiri, setidaknya secara medis sudah dijelaskan bahwa minum sambil duduk itu dianggap lebih baik daripada minum sambil berdiri atau sambil tiduran.

Bahkan secara adat-istiadat, di sebagian tempat mungkin makan dan minum sambil berdiri itu dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan.

2. Mengucapkan Basmalah

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha, “Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia mengucapkan Bismillah (menyebut nama Allah Ta’ala). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaknya ia mengucapkan: “Bismillahi awwalahu wa aakhirotu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Tirmidzi).

3. Makan dan Minum dengan Tangan Kanan

Dari Umar bin Abi Salamah, ia berkata, “Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah ﷺ, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Ghulam, sebutlah nama Allah (bacalah “Bismillah”), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada dihadapanmu.” Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.” (HR. Bukhari, dalam kitab Al-Ath’imah Bab At-Tasmiyyah ‘ala Ath-Tha’am wa Al-Akhlu bi Al-Yamin).

4. Tidak Meniup Makanan atau Minuman

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma dijelaskan tentang larangan meniup untuk mendinginkan makanan atau minuman yang masih panas, “Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi Muhammad Saw melarang pengembusan nafas dan peniupan (makanan atau minuman) pada bejana,” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

5. Minum dengan Tiga Tegukan

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian minum seperti minumnya hewan. Tetapi minumlah kalian dengan dua atau tiga kali, dan jika kalian minum sebutlah nama Allah (membaca basmallah), kemudian pujilah Dia (membaca hamdalah), ketika kalian mengangkatkan (selesai minum).” (HR: At-Tirmidzi).

6. Menuangkan Air Ke Gelas Secukupnya

Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qibrah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).

7. Mengucapkan Hamdallah

Sebagaimana yang sudah dipraktikkan Rasulullah, ketika beliau selesai dari makan atau minum, beliau membaca, “Puji syukur kepada Allah yang telah memberi makan dan memberi minum kepada kami serta menjadikan kami termasuk orang-orang Islam.” (HR. Abu Dawud).

Ini adalah sebagian dari petunjuk dan tuntunan dalam hal makan dan minum menurut ajaran Islam. Islam memberikan tuntunan agar bisa dijalankan manusia agar terhindar dari kemurkaan dan selalu terjaga rezeki dan keberkahan makan dan minumannya.

MADANINEWS

Sahabat Nabi yang Termasuk Assabiqunal Awwalun

Assabiqunal Awwalun adalah sebutan untuk sahabat-sahabat yang dahulu dan pertama menerima dakwah Nabi Saw dan mereka masuk Islam mendahului lainnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sahabat yang termasuk Assabiqunal Awwalun. Imam Al-Dzahabi menyebutkan lima puluh sahabat, sementara Ibnu Ishaq hanya menyebutkan dua puluh satu sahabat.

Namun demikian, yang disepakati para ulama sebagai Assabiqunal Awwalun adalah sembilan sahabat. Yaitu, Sayidah Khadijah binti Khuwailid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Al-Shiddiq, Utsman bin Affan, Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyah berikut;

السابقون الأولون فئة من المسلمين والمسلمات بادرت إلى الاستجابة لدعوة النبي صلى الله عليه وسلم، فآمنت برسالته وصدقته. وأولهم زوج النبي صلى الله عليه وسلم أم المؤمنين خديجة بنت خويلد رضي الله عنها، وحِبُّه زيد بن حارثة، وابن عمه علي بن أبي طالب رضي الله عنهما، وكان صبيًا يعيش في كفالة الرسول صلى الله عليه وسلم، وصديقه الحميم أبو بكر الصديق رضي الله عنه . كل هؤلاء أسلموا في بداية الدعوة النبوية  وبفضل جهد أبي بكر رضي الله عنه في الدعوة أسلم عثمان بن عفان، والزبير بن العوام، وعبد الرحمن بن عوف، وسعد بن أبي وقاص، وطلحة بن عبيد الله رضي الله عنهم. وهؤلاء هم الرعيل الأول لا خلاف في ذلك أما غيرهم فقد اختلف رواة السيرة في تعيينهم وحصر عددهم

Assabiqunal Awwalun adalah sekolompok sahabat dari kalangan laki-laki dan perempuan yang segera menerima dakwah Nabi Saw, kemudian mereka beriman kepada kerasulan dan kejujuran beliau. Yang pertama adalah Sayidah Khadijah binti Khuwailid, kesayangan Nabi Saw Zaid bin Haritsah, anak paman Nabi Saw Ali bin Abi Thalib, ia sejak kecil diasuh oleh Nabi Saw, dan teman Nabi Saw Abu Bakar Al-Shiddiq.

Mereka semua masuk Islam di awal dakwah kenabian. Kemudian dengan kegigihan Abu Bakar dalam berdakwah, Sayidina Ustman masuk Islam, juga Al-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka adalah generasi pertama yang masuk Islam, tidak ada perbedaan dalam hal itu. Adapun selain mereka, maka ulama sirah berbeda pendapat mengenai penentuan dan jumlah mereka.

BINCANG SYARIAH

Mahakarya Hamka dari Penjara

Dari penjara, Hamka melahirkan mahakarya.


Dari balik jeruji penjara, seorang ulama menyelesaikan sebuah karya besar. Tafsir Al-Azhar. Itulah salah satu mahakarya dari Buya Hamka, yang ia kerjakan di dalam penjara. Karya tersebut dihargai dengan gelar profesor dari Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Tafsir 30 juz isi Alquran dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Menakjubkan, karena ia menyelesaikannya di dalam penjara.

Tanpa melalui pengadilan, ia dipenjara oleh sahabatnya, Bung Karno. Seorang presiden dan juga panglima besar revolusi Indonesia. Buya dipenjara karena tidak setuju dengan pemikiran Soekarno soal Nasakom, atau kepanjangan dari nasionalisme, agama (Islam), dan komunisme. “Bagi saya, agama Islam tak dapat dicampur dengan komunis. Tidak mungkin,” kata Buya Hamka. Ia pun menentang keras pemikiran Soekarno melalui kampanye terbuka, baik saat berdakwah maupun dalam pertemuan-pertemuan terbuka.

Buya Hamka juga terus-menerus mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) waktu itu. Majalah yang dibentuknya, Panji Masyarat, pun pernah dibredelSoekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.

Sampailah pada suatu ketika, saat sedang memberikan pengajian kepada ratus an ibu-ibu pada bulan Ramadhan, ia ditangkap aparat keamanan atas perintah Presiden Soekarno. Pengalaman itu menerbitkan rasa pahit pada Hamka. Namun, ia mudah memaafkan dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Ia tetap menjalin silaturahim dengan keluarga Bung Karno.

Ketika Bung Karno wafat, Buya Hamka memberanikan diri untuk menjadi imam shalat jenazah bagi masyarakat yang telah berduyun-duyun memadati Wisma Yoso (Kini Museum Satria Mandala, Jakarta). Ia tak dendam pada Bung Karno yang pernah memenjarakannya tanpa pengadilan. Ia juga tak takut pada pemerintahan baru pimpinan Jenderal Soeharto. Saat ada yang bertanya, mengapa dia mau memimpin shalat jenazah bagi orang yang pernah menzaliminya? Buya Hamka menjawab, “Karena Bung Karno sahabat saya.”

Hamka memang bukan sekadar ulama besar, ia juga sastrawan dan wartawan. Karyanya, antara lain, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj, dan Merantau ke Deli. Banyak karya Hamka tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional seperti Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang, tetapi juga diterbitkan di beberapa negara asing. Bahkan, dirilis juga di berbagai situs, blog, dan media informasi lainnya.

Siapa pun tak bakal menyangka jika seorang yang pada awalnya belajar secara otodidak, belakangan justru banyak menda patkan gelar profesor dan doktor honoris causa dari beberapa perguruan tinggi terkemuka. Karya-karyanya terutama di bidang sastra telah melambungkan nama bangsa dan mengharumkan nusantara hingga ke mancanegara.

Hamka merupakan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975- 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai ketua umum MUI. Mantan menteri agama Mukti Ali mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”

Ia turut mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatra Barat. Pada 1950-an, dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Salah satu statemen yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat antara lain tatkala politik menjadi panglima sekitar 1950-an, dia mengatakan, “Kursi-kursi banyak dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi, kursiku adalah buatanku sendiri.”

Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai ketua umum MUI menyampaikan masukan kepada Presiden Soeharto soal toleransi antarumat beragama. Menurutnya, kalau hendak menciptakan kerukunan antarumat beragama, orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.

Sampailah suatu masa, ketika Hamka menulis surat kepada Menteri Agama Letjen Alamsyah Ratuperwiranegara, tertanggal 21 Mei 1981. Isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI.

Apa alasan Hamka? Ia mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharamkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain, misa, kebaktian, dan sejenisnya.

Fatwa itu sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai menteri. Fatwa itu sebenarnya wajar saja, namun keburu bocor dan heboh. Melihat kehebohan itu karena ada desakan pencabutan fatwa, Hamka bersikap. “Tidak tepat kalau Saudara Menteri Agama yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh. Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi, sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka.

Dua bulan setelah itu, ulama besar Hamka wafat di Jakarta pada Jumat, 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia 73 tahun. Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik dalam arti yang luas, sudah lama meninggalkan kita. Namun, pengabdian, karya, dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini.

Kemarin, akhirnya pemerintah menobatkan tujuh pahlawan nasional. Tiga di antaranya tokoh Islam ternama, yakni Buya Hamka, Sjafruddin Prawiranegara dan Idham Chalid. Buya Hamka bukan cuma dikagumi di dalam negeri, di Malaysia, misalnya, ia menjadi anutan bagi pemuka-pemuka agama. Bahkan, Museum Hamka di tanah kelahirannya, justru dibangun oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), bukan oleh pemerintah negeri ini. Ironis.

Begitulah sosok seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA, ulama besar kelahiran Negeri Sungai Batang, di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau, Sumatra Barat. Seorang ulama yang hingga kini menjadi ikon pendakwah besar yang tak mau digaji oleh pemerintah dan berani menentang dua presiden, Soekarno dan Soeharto.

Oleh Selamat Ginting / Jurnalis Senior Republika

KHAZANAH REPUBLIKA