Bahaya Minuman Memabukkan (Khomr) (1)

Dalam sebuah hadits disebutkan,

عن سعيد بن أبي بردة عن أبيه عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن فسأله عن أشربة تصنع بها فقال وما هي قال البتع والمزر -فقلت لأبي بردة ما البتع قال نبيذ العسل والمزر نبيذ الشعير- فقال كل مسكر حرام

Dari Sai’id bin Abi Burdah dari ayahnya dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengutusnya ke negeri Yaman maka ia pun (Abu Musa) bertanya kepada Nabi tentang hukum minum-minuman yang dibuat di Yaman. Nabi pun bertanya kepadanya, “Apakah minum-minuman tersebut?” ia menjawab, Al-Bit’ (Dengan mengkasroh huruf ba’ dan mensukun huruf ta’, dan terkadang dengan memfathah huruf ta’. Fathul Bari, 10/42) dan dan Al-Mizr (Dengan mengkasroh huruf mim dan mensukun huruf zay, Umdatul Qori, 18/3). -Aku (Sa’id bin Abi Burdah) bertanya kepada Abi Burdah, “Apakah itu Al-Bit’?”, ia berkata, “Al-Bit’ adalah nabidz (Dikatakan seseorang membuat nabidz dari kurma atau dari anggur jika ia meletakkan kurma atau anggur tersebut di sebuah bejana yang berisi air hingga memekat hingga akhirnya memabukkan (Lisanul Arab, 3/512) madu dan Al-Mizr adalah nabidz gandum”-. Maka Nabi bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Al-Bukhari, 4/1579 no. 4087 dan 5/2269 no. 5773, Muslim 3/1586 no. 1733)

Sekelompok salaf berkata bahwasanya peminum khomr melalui suatu waktu di mana ia tidak mengenal pada waktu tersebut Rabbnya, padahal Allah hanyalah menciptakan mereka (para peminum khomr) untuk mengenal-Nya, mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, dan taat kepada-Nya. Maka perkara apa saja yang mengantarkan kepada terhalanginya seorang hamba dengan tujuan-tujuan penciptaannya dan menghalangi antara hamba dari mengenal dan mengingat serta bermunajat kepada Rabbnya maka hukumnya adalah haram, dan perkara tersebut adalah mabuk. Dan hal ini berbeda dengan tidur, karena Allah telah menjadikan hamba-hambaNya memiliki sifat tersebut dan menjadikan mereka harus membutuhkan hal itu, tidak ada penegak untuk menegakkan tubuh-tubuh mereka kecuali dengan tidur karena tidur merupakan istirahat dari keletihan dan kelelahan. Tidur merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar kepada hamba-hambaNya. Jika seorang mukmin tidur sesuai dengan kebutuhannya lalu bangun dari tidurnya untuk mengingat Allah dan bermunajat kepada-Nya serta berdoa kepada-Nya maka tidurnya itu merupakan penolong baginya untuk shalat dan berzikir. Oleh karena itu sebagian salaf berkata, “Aku mengharapkan pahala dari Allah dengan tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dengan shalat malamku.” (Jami’ul Ulum, 1/421)

Akal adalah anggota tubuh yang membedakan antara hewan dan manusia, akal merupakan tempat memahami, dengan akal seseorang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan batil. Oleh karena itu agama Islam sangat memperhatikan penjagaan akal dan menjadikan sebagai tempat digantungkannya “taklif” (beban untuk menjalankan hukum-hukum syariat) dan Islam menjatuhkan taklif bagi orang yang kehilangan akal sebagaimana sabda Nabi:

رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

“Pena Diangkat dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)” (HR. Abu Daud, 4/140 dan ini adalah lafal dari Abu Dawud, Ibnu Majah. 1/658, Ibnu Hibban. 1/356, Ibnu Khuzaimah, 4/348)

Jika kita menelusuri ayat-ayat al-Qur’an maka kita akan dapati bahwa penyebutan tentang akal berulang-ulang hingga 49 kali dengan metode penyebutan yang bervariasi. Diantaranya:

1. Dengan pertanyaan untuk menghinakan أَفَلاَ تَعْقِلُونَ dan ayat seperti ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 15 kali, diantaranya:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?.” (QS. al-Baqarah [2]: 44)

Allah memberikan pertanyaan ini yang tujuannya adalah untuk menghinakan mereka akibat mereka tidak menggunakan akal mereka untuk memikirkan ayat-ayat Allah, padahal Allah telah memberikan mereka karunia akal dan Allah menurunkan kepada mereka ayat-ayat yang bisa dipahami dengan akal mereka. Pada akhirnya di akhirat kelak mereka baru merasakan pentingnya menggunakan akal mereka sebagaimana penyesalan yang mereka ungkapkan kelak tatkala mereka di neraka,

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Mulk [67]: 10)

2. Datang penyebutan akal juga dalam konteks لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون dan ini berulang dalam al-Qur’an delapan kali, diantaranya:

فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, agar kamu mengerti. (QS. al-Baqarah [2]: 73)

Demikian juga firman Allah:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukumNya), supaya kamu memahaminya.” (QS. al-Baqarah [2]: 242)

Dari bentuk penyebutan akal yang kedua ini jelas kita pahami bahwa Allah menurunkan dan menampakkan ayat-ayatnya adalah agar manusia menggunakan akal mereka untuk merenungi kebesaran Allah

3. Penyebutan akal juga dalam konteks لاَ يَعْقِلُونَ dan ini berjumlah 11 kali, diantaranya firman Allah:

أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. al-Baqarah [2]: 170)

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ

“Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. al-Baqarah [2]: 171)

4. Penyebutan akal dalam al-Qur’an juga datang konteks يَعْقِلُونَ dan ini berjumlah 8 kali, diantaranya firman Allah:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. al-Baqarah [2]: 164)

Perhatikanlah, Allah dalam ayat ini sebelumnya menyebutkan terlebih dahulu ayat-ayat kauniyah yang Allah hamparkan di penjuru alam sebagai ‘ibroh (pelajaran) bagi mereka yang menggunakan akal mereka

5. Penyebutan tentang akal juga datang dalam al-Qur’an dalam konteks إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ dan ini berjumlah dua kali.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali Imran [3]: 118)

قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Musa berkata: “Rabb yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya (Itulah Rabbmu) jika kamu mempergunakan akal.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 28)

Yaitu jika kalian adalah orang-orang yang berakal maka terbitnya matahari di timur dan terbenamnya di barat menunjukkan bahwa tidak ada yang menguasainya kecuali Allah –padahal hal ini juga diketahui oleh orang yang jahil-

6. Penyebutan tentang akal juga datang dalam al-Qur’an dalam konteks عَقَلُوهُ dalam ayat berikut:

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (البقرة:75)

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. al-Baqarah [2]: 75)

7. Penyebutan tentang akal juga datang dalam al-Qur’an dalam konteks يَعْقِلُهَا dalam ayat berikut:

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu. (QS. al-Ankabut [29]: 43).

Ini adalah sekilas tentang bentuk-bentuk penyebutan akal dalam al-Qur’an. Penyebutan akal berulang-ulang dalam Al-Qur’an dengan jumlah yang banyak ini menunjukkan urgensinya akal, karena ia adalah tempat memahami dan tempat digantungkannya taklif (beban). Jika akal menempati kedudukan yang sangat penting ini, maka syariat telah memerintahkan untuk menjaga akal bahkan ia termasuk dari Ad-Dhoruriat Al-Khomsah (agama, jiwa, akal, harta, keturunan) yang patut dijaga dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu perbuatan kriminal seseorang terhadap akalnya dengan meniadakan fungsi akal dan menghentikan aktivitas akal maka orang tersebut pantas untuk dihukum akibat perbuatan kriminalnya tersebut walaupun pada hakikatnya orang tersebut telah berbuat kriminal terhadap dirinya sendiri di mana ia telah menutup akalnya, sehingga jadilah ia seperti hewan atau lebih parah, ia menjadi makhluk yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan karena alat yang digunakannya untuk membedakan telah ia rusakkan fungsinya.

Apakah merupakan tindakan seorang yang memiliki akal untuk -dengan pilihannya- berusaha untuk menghilangkan fungsi akalnya??. Akal merupakan alat yang sangat teliti yang mampu mencatat masa lalunya dengan baik serta membuatnya berjalan dalam jalan yang teratur, serta memberikan gambaran yang baik di masa depan, apakah ada orang yang berakal yang ingin menghilangkan fungsi akalnya??. Sesungguhnya orang yang menghilangkan fungsi akalnya dengan sengaja, perbuatannya itu menunjukkan bahwa ia merasa mampu tanpa akalnya, ia tidak butuh dengan akalnya, ia ingin berjalan di atas muka bumi dengan keadaannya yang tanpa akal, dia ingin seperti hewan-hewan yang tidak bisa membedakan, atau seperti benda-benda mati yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi di daerah sekitarnya. (Lihat pembahasan Syaikh Sa’d Nida dalam majalah Jami’ah Islamiyah no. 54, hal 123-131)

Sebagian salaf berkata, “Aku heran dengan orang yang berakal yang sengaja dengan meminum khomr untuk menggabungkan dirinya dalam golongan orang-orang yang tidak berakal (gila).”

Ibnu Abi Dunya menyebutkan bahwa ia melewati seorang yang sedang mabuk lalu orang mabuk tersebut kencing di kedua telapak tangannya kemudian ia berbuat seakan-akan orang yang sedang berwudhu lalu berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Islam sebagai cahaya dan menjadikan air sebagai penyuci.” !!??

***

Penulis: Ust. Abu Abdil Muhsin Firanda, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/595-bahaya-minuman-memabukkan-khomr-1.html

Nilai-nilai dalam Shalat: Sudahkah Anda Mempraktikannya?

Ada banyak nilai-nilai dalam shalat yang dipahami sebagai sebuah perintah suci yang harus dilaksanakan sebagai tanda atau bukti kepatuhan seorang hamba dengan Sang Pencipta yakni Allah Swt.

Shalat tidak hanya bernilai esoteris yakni ketuhanan di mana seorang manusia berusaha membangun hubungan dengan Allah Swt. Selain esoteris, shalat juga memiliki nilai eksoteris yakni kemanusian di mana seorang manusia berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan diri dan masyarakat.

Nilai-nilai dalam shalat tersebut mengisyaratkan bahwa shalat mengajarkan bagaimana seorang hamba mesti memiliki kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Swt. Selain itu, juga shalat  mengajarkan kepatuhan, persatuan dan kesatuan kepada sesama manusia.

Jika dilihat dari sisi syariat, shalat adalah medium paling efektik untuk “mengingat” dan “mendekatkan” antara “hamba” dengan “Khaliq”. Allah Swt, berfirman dalam QS. Thaha (20) ayat 14 sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha : 14)

Shalat dan Nilai-Nilai Kehidupan

Saat ada pertanyaan tentang mengapa banyak orang taat dalam melaksanakan shalat tapi dalam kehidupannya tidak mencerminkan perilaku yang baik, maka di situlah letak permasalahan sesungguhnya. Tak banyak orang yang memahami bahwa nilai-nilai dalam shalat semestinya sudah terpatri dalam diri sebelum da sesudah melaksanakan shalat.

Quran Surat Al-‘Ankabut Ayat 45

 ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Utlu mā ụḥiya ilaika minal-kitābi wa aqimiṣ-ṣalāh, innaṣ-ṣalāta tan-hā ‘anil-faḥsyā`i wal-mungkar, walażikrullāhi akbar, wallāhu ya’lamu mā taṣna’ụn

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Ankabut, 29: 45)

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa apabila seorang Muslim melaksanakan shalat, maka ia dituntut shalat harus mampu mengaktualisasikan ibadah shalatnya dalam bentuk tindakan yang positif. Nilai-nilai dalam shalat mesti dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika nilai-nilai ini diterapkan diluar shalat, maka secara otomatis prilaku yang dilarang Agama tidak akan terjadi. Nilai-nilai yang di maksud seperti yang tercantum dalam buku Quraish Shihab yang berjudul Menjawab Seputar Shalat, 1001 Soal KeIslaman Yang Patut Anda Ketahui (2008) sebagai berikut:

Pertama, nilai kebersihan.

Meninjau shalat dari ilmu fiqih, maka siapa pun yang melaksanakan shalat maka akan dituntut untuk bersih secara badan, pakaian dan tempat. Apabila seorang Muslim yang melaksanakan shalat tidak melaksanakan hal tersebut, maka secara otomatis shalat yang dilaksanakan pun menjadi tidak sah.

Hal tersebut membuktikan bahwa seyogiyanya shalat mengajarkan setiap Muslim untuk menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan tidak hanya dilakukan pada saat shalat, tapi juga harus bisa diterjemahkan dalam diri, lingkungan sosial, dan masyarakat secara umum.

Kedua, nilai kedisiplinan.

Kedisiplinan dalam shalat mengajarkan umat Islam untuk disiplin juga dalam menjalani hidupnya. Jika dikulik lebih jauh, shalat memiliki nilai plus apabila dilaksanakannya di awal waktu.

Ada ancaman dengan neraka “wail” apabila lalai dalam shalat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, seorang Muslim dituntut untuk mampu menerapkan kedisiplinan dalam diri dan masyarakat secara umum.

Ketiga, nilai keadilan.

Pelaksanaan shalat adalah wujud dari keadilan. Orang kaya yang menjadi makmum shalat berada pada barisan di belakang imam yang bisa saja bukan orang kaya. Begitu juga dengan orang yang biasa-biasa saja, mereka akan berada di belakang imam, siapa pun orangnya.

Imam shalat tidak ditentukan bahwa hanya pemimpin pemerintahan dan pejabat saja yang boleh jadi imam dan berada dalam barisan paling depan. Imam shalat adalah orang yang kompeten dan dipercaya oleh masyarakat. Dalam konsep tersebut, shalat sesungguhnya mengajarkan tentang keadilan baik dalam diri maupun sosial politik.

Keempat, nilai kesejahteraan.

Shalat mengajarkan pertemuan sesama Muslim dalam lima kali sehari dan pertemuan satu kali seminggu dalam ruang lingkup yang lebih besar pada hari Jumat. Pertemuan tersebut mengajarkan persatuan dan kesatuan, perdamaian, kesejahteraan sosial-politik, keselamatan dan kerukunan.

Kelima, nilai kepemimpinan.

Dalam melaksanakan shalat, pihak yang berhak bertindak menjadi Imam adalah orang yang memiliki kualifikasi ilmu dalam Fiqih. Hal tersebut berarti bahwa imam shalat adalah imam yang terpilih setelah melakukan sebuah seleksi yang ketat.

Imam shalat juga mesti tercatat sebagai orang yang paling berilmu yakni memliliki pengetahuan agama yang memadai. Sebab, seorang imam adalah pemimpin dalam membawa makmum ke arah satu tujuan yang sakral yani menyembah Allah Swt.

Karena itulah, seorang Imam Shalat harus memiliki jiwa kepemimpinan yang dituntut untuk melaksanakan rukun shalat dengan tertib, mulai dari syarat yang pertama yakni bahwa seseorang yang ditujuk menjadi Imam Shalat adalah orang berilmu, fasih bacaannya dan seterusnya.

Selain itu, Imam Shalat juga dituntut untuk adil dalam semua gerakan shalat dan bacaan shalat. Apabila seoang imam tidak melakukan salah satu dari syarat tersebut, maka imam akan diancam dengan dosa makmum yang akan turut diembannya.

Maka, imam yang adil dan jujur mustahil akan mengurangi rakaat dalam shalat termasuk membaca bacaan yang lain saat tidak terdengar oleh makmum. Begitu juga sebaliknya, jika makmum memiliki sifat adil dan jujur maka ia akan patuh kepada aturan yang sudah ditetapakan.

Imam dan makmum pada shalat berjamaah terlihat sangat teratur dan rapi. Pada waktu imam memberikan aba-aba untuk mulai shalat dengan kalimat takbir, makmum mengikuti dibelakang dengan taat.

Keadilan dan kejujuran antara Imam dan Makmum terlihat ketika dalam gerakan dan bacaan shalat. Imam dan makmum tidak berani untuk tidak membaca Surah al-Fatihah meskipun tidak terdengar.

Hal tersebut membuat keduanya mustahil untuk melakukan korupsi ata mengurangi rakaat dalam shalat, termasuk membaca bacaan yang lain selain Surah al-Fatihah.

Sampai di sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa jika keadilan dan kejujuran dalam shalat tersebut mampu diterapkan dalam kehidupan, baik dalam konteks masyarakat dan pemerintahan, maka seyogiyanya perilaku yang dilarang agama mustahil akan dikerjakan.

Ada banyak kasus yang terjadi setelah melakukan shalat, setelah turun dari masjid sering terjadi kehilangan entah sengaja ataupun tidak sengaja. Ada pula perilaku korupsi yang merajalela. Korupsi terjadi karena kejujuran dalam shalat tidak bisa diterjemahkan dalam konteks sosial-politik.

Dalam ranah sosial-politik, jika kepemimpinan dalam shalat dilaksanakan dalam diri dan sosial pemerintahan dengan baik, maka bisa dipastikan seorang Muslim akan mencapai puncak keberhasilan yang tidak bisa dipungkiri.

Contoh nyata adalah kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. pada saat hidup di negara Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai seorang pemimpin agama dan negara yang mampu membawa kemaslahatan dalam semua aspek.

Pada waktu itu, beliau tidak hanya membawa kemaslahatan di Madinah, tapi juga diluar Madihah. Pada akhirnya, ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. pun tidak hanya mengajarkan satu sisi saja, tapi berbagai sisi pun Rasulullah Saw. mampu melaksanakannya.

Sisi-sisi yang dimaksud adalah mulai dari tata cara pendekatan kepada Tuhan melalui shalat dan pendekatan kepada sesama dengan akhlak sebagaimana banyak diajarkan dalam shalat seperti jujur, adil, toleransi dan lain sebagainya.

Keenam, nilai tawadhu’.

Seperti yang kita ketahui bersama, sifat tawaddu’ adalah lawan dari sifat sombong. Kesombongan adalah sebuah sifat yang paling buruk sebab pelakunya diancam akan masuk neraka. Kesombongan jugalah yang  menyebabkan iblis diusir dari surga oleh Allah Swt.

Kenapa sifat sombong sangat dilarang?

Rasulullah Saw. menjawab: alkibru batarul haqqi waghamtunnasi yang atinya adalah: “Kesombongan menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. Sifat meremehkan dan menolak kebenaran, meskipun mutlak dibenarkan syariat, tertolak dikarenakan ada kesombangan sekalipun hanya terlintas dalam hati.

Rasulullah SAW. kemudian mengancamnya: “La yadkhulul jannata mangkanafi qalbihi misqalujarratin mingkibri” tidak masuk surga orang ada dalam hati kesombongan walaupun itu dalam ukuran palingkecil.

Kesombongan, keangkuhan dan kebanggaan diri akan bisa teratasi dan dihilangkan dalam pelaksanaan shalat sebab seyogiyanya shalat adalah ibadah rutin yang mengajarkan rendah diri, mulai dari Takbiratul Ihram yang pertama sampai dengan salam.

Shalat menekankan seorang Muslim untuk selalu merendah di hadapan Sang Maha Besar, sebab kekuatan, kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki semata-mata kekuatan dari yang Maha Kuasa.

Hal tersebut memiliki makna bahwa jika kita mampu menerapkan nilai-nilai dalam shalat di kehidupan sehari-hari, maka tidak akan ada lagi manusia yang saling meremehkan, saling menjatuhkan, dan saling memfitnah.

Tak akan ada lagi orang yang merasa paling kuat. Sehingga, peperangan pun tidak akan terjadi. Tidak ada lagi orang yang merasa paling pintar kemudian meremehkan orang lain.

Mari kita belajar tawaddu’ dalam shalat untuk melawan kesombongan dalam diri dan kelompok yang akan menjerumuskan kepada tempat yang paling mengerikan yakni neraka jahannam.[]

BINCANG SYARIAH.com

Mengapa Kota Madinah Disebut Sebagai Tanah Haram?

Allah SWT menjadikan Madinah sebagai kota haram sebagaimana Allah menjadikan Makkah juga kota haram. Dan apa yang dimaksud dalam Tanah Haram itu?

Dikutip dari buku Bekal Haji karya Ustadz Firanda Andirja, Nabi Muhammad  ﷺ bersabda sebagai berikut:  

اِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِيْنَةُ “Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah tanah haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah tanah haram”, (HR Muslim).

Maksud haram di sini yakni diharamkan di Kota Makkah dan Madinah memotong pohon yang berdiri, membunuh binatang buruan, dan mengangkat senjata untuk tujuan menumpahkan darah atau berperang. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: 

إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيْ الْمَدِيْنَةِ أَنْ يُقْطَعَ عَضَاهُهَا أَوْ يُقْتَلَ صَيْدُهَا “Sesungguhnya aku mengharamkan memotong pohon yang berdiri dan membunuh hewan buruan di Madinah.” (HR Muslim). Dalam riwayat lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya aku mengharamkan kota Madinah yang batas wilayahnya antara dua gunung yang ada di kota Madinah agar tidak menumpahkan darah, tidak membawa senjata untuk berperang, dan tidak mengugurkan daun-daun pohon yang ada di Kota Madinah, kecuali untuk makanan ternak.” (HR Muslim).  

IHRAM

Ingatkan Hatimu dengan Al-Qur’an

Setiap manusia memiliki sisi Nafsu Ammarah yang mendorong pada keburukan.

Allah Swt berfirman :

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.Yusuf:53)

Disaat manusia ingin berbuat kebaikan, nafsunya berusaha untuk menahannya. Disinilah kita ingin belajar bagaimana cara melawan bisikan ini dengan Al-Qur’an agar kita mampu menaklukkan Nafsu Amarah dalam diri kita. Karena Al-Qur’an mengajarkan seperti dalam firman-Nya :

فَذَكِّرۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ

“Maka berilah peringatan dengan Al-Qur’an kepada siapa pun yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS.Qaf:45)

Misalnya :

1. Ketika nafsu dalam dirimu berkata :

“Istiqomah dalam membaca Al-Qur’an itu susah sekali !”

Maka ingatkan dirimu dengan firman-Nya :

وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٖ

“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk di ingat, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS.Al-Qamar:17)

2. Ketika nafsu dalam dirimu berkata :

“Kamu sangat sibuk sekali, kenapa masih meluangkan waktu untuk beribadah ? “

Maka ingatkan dirimu dengan firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS.Al-Munafiqun:9)

3. Ketika dirimu merasakan rasa berat dan malas untuk membaca Al-Qur’an.

Maka ingatkan dirimu dengan firman-Nya :

فَٱقۡرَءُواْ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِۚ

“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (QS.Al-Muzzammil:20)

4. Ketika nafsu dalam dirimu berkata :

“Kenapa kau capek-capek bangun untuk sholat dan membaca Al-Qur’an ?”

Ingatkan dirimu dengan firman-Nya disaat memuji hamba-Nya yang beribadah :

كَانُواْ قَلِيلٗا مِّنَ ٱلَّيۡلِ مَا يَهۡجَعُونَ

“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam.” (QS.Adz-Dzariyat:17)

5. Ketika nafsu dalam dirimu berkata :

“Kamu akan lupa ddngan apa yang kau hafalkan, mengapa kamu menyusahkan diri sendiri?”

Maka ingatkan dirimu dengan firman-Nya :

وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Hud:115)

Maka teruslah berjuang dan berusaha melawan bisikan nafsu dalam diri kita, kemudian tunggulah janji Allah bagi mereka yang mau berusaha.

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Ankabut:69)

Ya Allah jadikanlah kami termasuk dalam golongan yang dekat dengan Al-Qur’an. Yang selalu membacanya, belajar untuk memahaminya dan berusaha untuk mengamalkannya.

KHAZANAH ALQURAN

Pentingnya Mempelajari Ilmu Hakikat Menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili

Mempelajari ilmu hakikat, atau oleh sebagian ulama disebut ilmu billah, bagi sebagian masyarakat, khususnya di pesantren masih dianggap sesuatu yang tabu karena dianggap ‘membahayakan’ tatanan syariat. Narasi demikian sengaja dibangun oleh sebagian Ulama dan berkembang di tengah-tengah masyarakat demi melindungi mereka agar tidak tersesat karena terlalu dalam masuk ke wilayah ilmu yang sifatnya batin. Dampaknya, banyak masyarakat yang enggan terlalu dalam mempelajari ilmu hakikat dan mencukupkan diri pada ilmu syariat.

Narasi diatas sebenarnya mendapatkan legitimasi dari perkataan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq r.a yang sangat masyhur “Kesadaran akan ketidakmampuan mencapai pengetahuan (tentang Allah) sejatinya adalah pencapaian pengetahuan (tentang Allah) dan membahas tentang Zat Allah adaah bentuk kekufuran dan kesyirikan”. Hanya saja, pengamalan kita terhadap dawuh Sayyidina Abu Bakar tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud yang seharusnya.

Yang sering kita jumpai, justru perkataan tersebut dijadikan dalil untuk tidak mempelajari ilmu hakikat, padahal tidak demikian. Dawuh Sayyidina Abu Bakar diatas semata harus dipahami sebagai larangan untuk mengetahui keadaan zat Allah yang sebenarnya. Karena, setiap usaha untuk mengetahui, melihat dan mendeteksi kesejatian zat Allah akan sia-sia. Justru yang terjadi adalah orang tersebut akan jatuh pada penyerupaan Allah dengan sesuatu, nauzubillah.

Itu sebabnya, Imam Ahmad Bin Hambal r.a memperingatkan “Apapun yang terlintas di hatimu tentang Allah, maka itu bukan Allah”. Dan, lintasan hati dan pikiran tentang Allah terjadi karena kita memikirkan zat Allah. Itulah yang dilarang oleh Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq r.a, bukan larangan mempelajari ilmu hakikat.

Sebagian ulama memang melarang kita mempelajari ilmu hakikat. Namun, larangan tersebut menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, dalam kitab Marotibul Wujud (hal 38), bukan karena mempelajari ilmu hakikat itu tidak boleh. Tapi, karena menghindarkan orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan berpikir dari kesesatan akibat salah memahami perkataan ulama-ulama ahli hakikat.

Beliau berkata, “Adapun larangan yang datang dari sebagian Ahlullah (ulama ahli hakikat) terhadap murid-murid mereka untuk mempelajari kitab-kitab hakikat, karena murid yang tidak memiliki kecerdasan berpikir dikhawatirkan akan memahami perkataan-perkataan ahli hakikat tidak sesuai yang dikehendaki. Akhirnya, mereka akan mengamalkan menurut pemahaman yang salah, lalu mereka jatuh ke dalam kebinasaan. Atau, setidaknya mereka telah menyia-nyiakan umur mereka dengan mempelajari kitab-kitab hakikat tanpa adanya faidah yang mereka dapatkan. Maka melarang murid yang seperti ini dari mempelajari kitab-kitab hakikat adalah kewajiban seorang Syaikh, supaya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih bermanfaat”

Adapun orang yang memiliki akal yang cerdas, pemahaman yang tinggi dan keimanan yang kuat maka, menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, mempelajari kitab-kitab hakikat dan merengkuh maksud yang terkandung di dalamnya sangat dianjurkan. Beliau lalu berkata “Dan sungguh saya melihat di zaman kita sekarang orang-orang dari  Arab, Persia, India, Turki dan negara-negara lain, mereka dapat mencapai ilmu hakikat sebagaimana wali-wali Allah karena sebab mempelajari kitab-kitab hakikat”

Beliau melanjutkan, “Maka, sungguh saya telah melihat saudara-saudara seperjuangan saya yang masih muda-muda, mereka mencapai tingkatan hakikat dalam tempo yang sangat singkat sebab mempelajari kitab-kitab hakikat. Hal mana, capaian tersebut tidak mampu dicapai oleh orang-orang tua yang telah bermujahadah 40-50 tahun. Padahal, merekalah yang memasukkan anak-anak muda tadi ke dalam tarikat. Akan tetapi, ketika mereka, orang-orang tua, hanya berkutat pada suluknya dan anak-anak muda tidak hanya mengamalkan suluk tetapi mempelajari dan memahami kitab-kitab hakikat, maka jadilah anak-anak muda tadi bagaikan orang tua (matang) dan  orang-orang tua seperti anak muda (belia) dalam masalah ilmu hakikat”.

Syaikh Abdul Karim Al-Jili r.a, masih dalam kitab Maratibul Wujud, menukil perkataaan Syaikh Ahmad Al-Rifa’i r.a, beliau berkata “Pelajarilah ilmu ini (ilmu hakikat) karena jadzabat al-haq (tarikan-tarikan ketuhanan) di zaman kita sekarang sudah sedikit”. Yang dimaksud dengan jadzabat adalah orang-orang majdzub, yakni orang-orang yang kesadaran kemanusiaannya seringkali ditarik oleh Allah sehingga hanya berfokus pada penyaksian terhadap-Nya.

Terkadang, secara lahir tampak seperti orang gila, namun sebenarnya mereka adalah wali-wali Allah. Akan tetapi, tidak berarti setiap orang gila adalah orang-orang majdzub yang mendapatkan tarikan ketuhanan, begitupula tidak semua orang yang majdzub berpenampilan dan berprilaku seperti orang gila.

Orang-orang majdzub ini menurut Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, di zaman beliau dahulu sudah sangat sedikit apalagi zaman kita sekarang ini. Sebabnya adalah minimnya kepedulian orang-orang terhadap nafahat Ar-Rahman (hembusan-hembusan ketuhanan), yakni pengetahuan-pengetahun ketuhanan yang Allah ilhmakan kepada para kekasih-Nya.

Akan tetapi, mungkin saja yang dimaksud sedikitnya orang-orang majdzub menurut Syaikh Ahmad Al-Rifa’i r.a adalah sedikitnya dari mereka yang menampakkan diri pada orang lain, bukan karena orang-orang majzub itu sendiri sedikit. Karena, Allah senantiasa bertajalli (bermanifestasi) dengan ragam tajalli kepada hamba-Nya.

Pun juga, Allah senantiasa memperlihatkan kepada makhluk-Nya bekas-bekas dari pengaruh nama-nama dan sifat-sifatNya. Dan orang-orang majdzub adalah orang-orang yang mendapatkan curahan tajalli Al-Haq tersebut, sehingga jumlah mereka tetap banyak sampai akhir zaman.

Para Muhaqqiqin (orang-orang ahli hakikat), menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, bahkan mengatakan bahwa mempelajari kitab-kitab ilmu hakikat lebih utama daripada mempelajari kitab-kitab selain ilmu hakikat. Karena, ilmu hakikat menjelaskan tentang keesaan Allah dan tidak ada yang lebih utama daripada mengetahui tentang keesaan Allah Swt. Adapun yang lebih utama dari mempelajari kitab-kitab ilmu hakikat adalah bergaul dengan orang-orang ahli hakikat itu sendiri dengan penuh adab dan tatakrama. Wallahu a’lam bisshowab

BINCANG SYARIAH

Beramal Pahalanya Diberikan pada Orang Lain, Boleh?

Sewaktu kecil, saya lebih banyak dirawat nenek, karena orangtua sibuk bekerja. Sekarang nenek sudah wafat, dan saya ingin membalas budinya.

Bagaimana cara dan usaha terbaik kami dalam beramal tapi amalan tersebut kami tujukan untuk nenek? Apa yang mesti kami lakukan sebagai cucu untuk membalas budinya?

 Z di kota S

 Jawab:

 Kakek atau nenek memang tidak sama dengan orangtua (ayah atau ibu). Akan tetapi secara hirarkis, kedudukan mereka dalam nasab sangat dekat. Kakek bisa menjadi wali ketika ayah tidak ada atau berhalangan, demikian juga sebaliknya. Dalam hal waris, juga demikian.

Anda sangat beruntung. Ketika orangtua Anda sibuk bekerja, maka nenek yang merawat, membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh kasih sayang.

 Setelah nenek wafat, ada beberapa amalan yang bisa dilakukan, di antaranya:

Pertama, mendoakan. Selain mendoakan orangtua, jangan lupa juga kakek nenek. Lafaznya bisa sama dengan doa untuk orangtua, hanya saja diniatkan untuk nenek.

 Doa untuk orang yang sudah wafat itu tidak terbatas hanya untuk keluarga, tapi makbul juga untuk semua orang yang telah meninggal dunia.

Rasulullah SAW bersabda, 

دَعْوةُ المرءِ المُسْلِمِ لأَخيهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابةٌ، عِنْد رأْسِهِ ملَكٌ مُوكَّلٌ كلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بخيرٍ قَال المَلَكُ المُوكَّلُ بِهِ: آمِينَ، ولَكَ بمِثْلٍ” رواه مسلم

“Doa seorang Muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab. Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya itu ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan malaikat tersebut akan berkata: “Amin”. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (Riwayat Muslim).

 Kedua, bersedekah atas namanya. Semua ulama sepakat bahwa pahala sedekah yang diniatkan untuk orang lain, terutama untuk orangtua, termasuk kakek atau nenek, juga anak-anak, tidak terhalang atau diterima Allah SWT.

Dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah SAW bersabda:

 أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Suatu hari ibu dari Sa’ad bin Ubadah RA meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. “Wahai Rasulullah, ibu telah meninggal dunia sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya, apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?” Nabi menjawab, “Ya, bermanfaat.” Kemudian Sa’ad berkata, “Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya.” (Riwayat Bukhari).

 Ketiga, membadalkan haji dan umrah atas namanya. Syaratnya, anak atau cucu sudah melaksanakan haji atau umrah atas dirinya sendiri. Bisa juga meminta bantuan orang lain untuk menghajikan orangtua, anak, atau kakek neneknya.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».

Dari Ibnu Abbas, ada seorang wanita yang pernah bertanya pada Nabi SAW mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.”… (Riwayat Bukhari dan Muslim).

 Keempat, membayar utang nazarnya. Jika ahli waris mendapati orangtua, kakek nenek, atau anaknya pernah bernazar dan itu belum dilaksanakan, maka mereka berkewajiban untuk memenuhinya. Nazar adalah utang, dan utang kepada Allah SWT lebih utama untuk didahulukan.

 Sa’ad bin Ubadah RA pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, 

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Ibuku telah meninggal dunia, namun dia memiliki nazar (yang belum ditunaikan).”

Nabi lantas bersabda:

 اقْضِهِ عَنْهَا

 “Tunakan nazar ibumu.”  (Riwayat Bukhari).

 Kelima, amalan shalih dari anak yang shalih. Diniatkan atau tidak, semua amal shalih yang dilakukan anak yang shalih, termasuk cucu yang shalih, sangat bermanfaat bagi orangtua yang telah meninggal dunia. Amal shalih ini merupakan investasi yang pahalanya akan mengalir kepadanya. Berbahagialah orangtua yang memiliki anak shalih yang berbuat shalih.

 Dari A’isyah RA, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.. Dan anak merupakan hasil jerih payah orangtua.” (Riwayat Abu Daud dan an-Nasa’i).*

*Anggota Dewan Pertimbangan DPP Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at karena Menunggu Barang

Assalamu’alaikum wr.wb. Saya seorang pemuda tinggal di Jakarta. Pekerjaan saya sering dilakukan di luar kantor, seperti di mall dan kafe bersama teman-teman. Selama Senin sampai Kamis tidak ada masalah. Muncul masalah ketika hari Jum’at. Ketika itu kami berempat. Kalau Jum’atan semua, maka agak ribet karena harus mengemasi barang, sementara usai Jum’atan pekerjaan harus dilanjutkan. Belum tentu kami dapat tempat duduk yang strategis seperti sediakala dimana kami berempat nyaman bekerja.

Maka, dibagi dua. Dua orang Jum’atan dua orang lainnya menjaga barang, dan menjalankan shalat dzuhur seperti biasa. Nah, bagaimana seharusnya menurut syariat dengan apa yang kami alami? Terimakasih atas bimbingannya.

Hernando | Jakarta

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Jawab:

Suatu kesyukuran bagi Anda yang selalu mempertimbangkan aspek syariat dalam menyikapi fenomena kehidupan dalam rangka melaksanakan yang paling tepat untuk mendapat ridha Allah SWT. Kerja adalah bagian dari kewajiban mensyukuri potensi yang Allah berikan serta bagian dari upaya menjaga kehormatan dari meminta-meminta.

Alhamdulillah- Anda jalani dengan tetap konsisten menjaga ibadah utama yaitu shalat fardhu. Begitu pula Anda meninggalkan transaksi jual beli sebagai bentuk pengamalan dari QS. Al-Jumu’ah ayat 9.

Dalam kondisi normal, shalat Jum’at wajib bagi laki-laki dewasa. Namun kewajiban tersebut gugur dengan beberapa alasan. Wahbah al-Zuhailiy menyebutkan ada enam alasan di mana seseorang yang mendapatkan keringanan untuk tidak shalat Jum’at, tetapi cukup dengan melaksanakan shalat dzuhur.(al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, II/1188)

Enam hal tersebut adalah (1) Sakit yang terasa berat untuk melaksanakan shalat Jum’at. (2) Hujan, lumpur, dingin yang menggigit dan gelap yang pekat. (3) Sedang menahan buang air kecil maupun air besar. (4) Mulut berbau akibat mengonsumsi makanan yang berbau menyengat seperti bawang mentah, petai, dan sebagainya. (5) Terpenjara atau semakna hingga tidak dapat keluar menuju tempat shalat Jum’at. Dan ke (6) adalah adanya kekhawatiran bahaya yang menimpa dirinya, hartanya, atau kehormatannya.

Tampak bahwa alasan yang relevan dengan kondisi Anda adalah alasan terakhir, di mana Anda mengalami kekhawatiran gangguan terhadap harta dagangan yang Anda miliki, jika semua tim meninggalkan tempat. Sebagai dasar atas alasan ini adalah hadits Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi bersabda:
مَنْ سَمِعَ المُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْه مِنْ اتبَاعِه عُذْرٌ فَلَا صَلَاةَ لَهُ قالوا: و ما العُذْر؟ قال : خَوْفٌ أو مَرَضٌ
“Barang siapa mendengar seruan tukang adzan kemudian tidak ada udzur yang menghalangi untuk mengikuti seruan itu, maka tiada shalat baginya. Mereka bertanya: ”Apa udzur itu?” Nabi menjjawab:” Takut atau sakit” (HR. al-Hakim)

Atas dasar ini, ketidakhadiran Anda dalam shalat Jum’at dapat dibenarkan, apalagi dilakukan dengan cara bergantian.

Tetapi, sebagai Muslim yang merindukan kesempurnaan ibadah pada penghulu hari (sayyidul ayyam), perlu diniatkan bahwa Jum’at siang itu untuk ibadah hingga tidak terkendala dengan udzur menunggu barang dagangan. Wallahu a’lam.

Ustad Abdul Kholiq, LC, MA, Anggota Majelis Syariah Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Isra Mi’raj Momentum Teladani Akhlak Mulia Nabi Muhammad

Isra dan Mi’raj merupakan momentum untuk meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad.

Peringatan Isra Miraj merupakan momentum meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam (SAW). Isra dan Miraj menjadi peringatan tahunan yang jatuh pada tanggal 27 Rajab tahun hijriyah.

“Semoga di momentum ini kita dapat mengikuti dan meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad SAWdan meningkatkan keimanan dan rasa ukhuwah islamiyah sesama Muslim,” kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin pada Kamis (11/3).

Azis mengucapkan selamat memeringati Isra Mi’raj 1442 Hijriah kepada seluruh umat Muslim di Indonesia dan dunia. Isra Mi’raj merupakan sebuah perjalanan suci Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga dibawa malaikat Jibril sampai menembus ke “Sidratul Muntaha” untuk mendapatkan perintah shalat lima waktu.

Dirinya bermunajat agar peringatan Isra Mi’raj tahun ini bangsa Indonesia dapat terlepas dari pandemi Covid-19. “Semoga kita selalu diberikan kesehatan dan lindungan dari Allah S.W.T sehingga bangsa Indonesia dapat kembali bangkit dan pulih kembali.”

Isra Mi’raj merupakan peristiwa besar yang dialami Nabi Muhammad SAW. Di mana Nabi Muhammad SAW dalam satu malam melakukan perjalanan suci dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga menuju Sidratul Muntaha.

Isra dan Mi’raj adalah dua peristiwa yang berbeda. Menurut Ustadz Jeje Zainuddin, perjalanan Isra dan Mi’raj terdiri dari dua bagian peristiwa yang penting. Pertama, peristiwa Isra, yaitu perjalanan Nabi di malam hari yang mengagumkan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina yang ditempuh hanya dalam hitungan jam.

“Dinamakan Isra, karena memang perjalanan di waktu malam,” kata dia.

Sedangkan bagian kedua adalah peristiwa Mi’raj. Menurut Jeje, Miraj berarti naik, yaitu naik ke langit tertinggi yang disebut Sidratul Muntaha, puncak pencapaian tertinggi yang tidak ada lagi setelahnya.

Lalu kapan Isra dan Mi’raj itu terjadi? Menurut Jeje, terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ilmuwan dan sejarawan Muslim tentang kepastian tanggal dan bulannya. Tetapi mayoritas kaum Muslimin meyakini riwayat yang menerangkan terjadi pada bulan Rajab tanggal 27 dan itulah yang secara luas diakui riwayat paling masyhur.

“Terjadinya peristiwa Isra Mi’raj adalah suatu kepastian yang dialami Nabi dalam perjalanan dakwahnya. Sebagaimana secara jelas dan tegas disebutkan secara eksplisit dalam Quran Surat Al Isra dan An Najmu,” kata Jeje.

Tentu saja, peristiwa satu malam ini menguji keimanan umat Islam kala itu. Jarak Masjidil Haram dengan Masjid Aqsa di Baitul Maqdis adalah sekitar 1.500 Km atau memerlukan perjalanan sekitar 40 hari menggunakan unta. 

Sehingga banyak orang Quraish saat itu menganggap perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi hanyalah bualan belaka. Namun, tidak dengan Abu Bakar, ia adalah sahabat yang pertama kali menerima dan meyakini cerita Nabi tentang perjalanan suci itu.

Perjalanan Isra dan Mi’raj disebut juga sebagai sarana Allah dalam menghibur Nabi Muhammad yang tengah bersedih, karena kematian orang-orang tercinta. Istrinya Siti Khadijah dan Abu Thalib sebagai paman yang selama ini melindungi dan membelanya.

Dikutip dari buku Kisah Isra Mi’raj Rasulullah SAW terjemah dari kitab Qishotul Mi’raj karya Syeikh Najmuddin al-Ghaithi, dikisahkan ketika Rasulullah sedang berada di Ḥijr Ismail yang terletak di dekat Ka’bah, tiba-tiba Jibril dan Mikail mendatanginya. 

Didatangkanlah Buraq lengkap dengan kendali dan tali kekang. Buraq merupakan seekor binatang berwarna putih yang tingginya lebih daripada keledai dan lebih pendek daripada bighal. Rasulullah berangkat menggunakan Buraq diapit oleh Jibril di sebelah kanan dan Mikail di sebelah kiri.

Sumber : Antara

REPUBLIKA.id

Melakukan Perbuatan yang Dianggap Halal, Kemudian Diketahui Haram, Apakah Kita Berdosa?

Sebuah pepatah Arab mengatakan, al-insān mahallul khatha’ wannisyān, “manusia tempatnya salah dan lupa”. Pepatah ini termasuk yang sangat masyhur. Tak hanya dari kalangan orang-orang berilmu, bahkan yang tak pernah mencium bau sekolah pun hafal bunyi pepatah Arab tersebut. Kendati mungkin tak pernah melihat teks aslinya. Sampai-sampai banyak yang menduganya sebagai Hadis Rasulullah SAW. Bagaimana bila kita melakukan perbuatan yang dianggap halal kemudian setelah sudah selesai kita baru tahu hal itu haram? Apakah kita berdosa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kami ingin menegaskan bahwa pepatah di atas, tidak sedang menekankan bahwa manusia adalah makhluk serba salah dan lupa, tetapi menegaskan bahwa bila selalu salah dan lupa bukanlah manusia namanya. Begitu pula bila tiada kesalahan dan kelupaan sama sekali.

Penentuan salah-benar dan dosa-pahala bukanlah ranah manusia, melainkan ranah Allah SWT. dan rasul-Nya. Ini menurut pendapat golongan al-Asy’ariyah. Sementara golongan al-Mu’tazilah berpandangan, salah-benar dan dosa-pahala cukup merujuk pada keputusan akal sehat. Bila baik menurut akal, maka baik dan berpahala apa yang dilakukan, dan begitu sebaliknya. Jadi, penilaiannya cukup dengan akal tanpa menunggu keputusan syariat.

Pendapat ketiga-sebagai penengah dua pendapat di atas-adalah pendapat yang digawangi oleh imam As’ad bin Ali az-Zanjiy dari mazhab Syafi’iyah, imam Abu al-Khithab dari mazhab Hanabilah, dan Abu Hanifah sang founder mazhab Hanafiyah. Mereka mengatakan, menyangkut salah-benar, cukuplah akal sebagai hakimnya, namun untuk urusan dosa-pahala, harus Tuhan (syari’) yang menentukan. Silang pendapat ini dapat dijumpai dalam kitab Gayah al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul (hal. 7) karya Abu Yahya Zakaria al-Anshariy.

Yang penting dicatat, bahwa pertentangan di atas, berlaku ketika perbuatan yang dilakukan telah diyakini sebagai kesalahan atau kebenaran, sekaligus merupakan sebuah kesalahan atau kebenaran secara realitas. Jadi, jika satu perbuatan diyakini sebagai kesalahan, misalnya, dan benar-benar merupakan laku kesalahan yang berdampak buruk secara realitas, maka berlakulah silang pendapat tersebut.

Namun, bila laku satu perbuatan yang dianggap halal -secara realitas- diduga atau diyakini sebagai sebuah ketaatan, atau perbuatan halal maka hukum melakukannya di-ma’fu, alias ditoleransi. Maksudnya, tidak dihukumi sebagai ketaatan berdasarkan dugaannya, juga tak ditetapkan sebagai laku kemaksiatan sebab kenyataan dampak buruk yang ditimbulkan.

Untuk mempermudah pemahaman, mari kita contohkan seperti seseorang memakan nasi atau roti yang ia duga miliknya, ternyata malah milik temannya. Maka hukum memakannya di-ma’fu (al-ma’fuw ‘anhu). Yaitu, pelakunya tidak berpahala dan juga tidak berdosa sebab memakan yang bukan miliknya. Namun, tetap dibebani kewajiban mengganti, karena berkaitan dengan hak orang lain (al-huqūq al-insāniyah).

Hal ini sebagaimana dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (juz 1 hal. 22) karya monumental syekh Izzuddin bin Abdussalam. Berikut redaksi lengkapnya:

من أتى ما هو مصلحة في نفسه وهو مفسدة في نفس الأمر كمن أكل مالا يعتقده لنفسه أو وطئ جارية يظن أنها في ملكه أو لبس ثوبا يعتقده لنفسه أو سكن دارا يعتقدها في ملكه أو إستخدم عبدا يعتقده لنفسه ثم بان أن وكيله أخرج ذلك عن ملكه فلا إثم عليه لظنه ولا يتصف فعله بكونه طاعة ولا معصية ولا مباحا وإنما هو معفو عنه كأفعال الصبيان والمجانين

“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan dirinya, namun merugikan yang lain, seperti memakan, menyetubuhi seorang budak perempuan, mengenakan baju, menempati satu rumah atau meminta pelayanan pada seorang budak yang diduga dan/atau diyakini sebagai miliknya, ternyata si wakil telah mengeluarkan semua itu dari kuasa si empunya, maka si pelaku tak diganjar pahala, dan yang ia lakukan bukanlah laku ketaatan, kemaksiatan, dan tak juga dihukumi mubah, melainkan di-ma’fu sebagimana anak kecil dan orang gila.”

Contoh lebih ekstrem lagi, yaitu seperti berhubungan badan dengan seorang wanita yang diyakini sebagai istri sahnya. Ternyata, ia adalah istri tetanga, misalnya, maka si pelaku tidak diganjar pahala, juga tak dihitung berdosa sebagaimana orang berzina.  Dalam literatur fikih, kasus ini dikenal dengan wathi’ syubhat (hubungan badan dalam kesamaran).

Syekh Izzuddin menjelaskan contoh kedua ini dalam kitab dan pembahasan yang sama, ia mengatakan:

وكذلك لو وطئ أجنبية يعتقدها زوجته أو أمته فإنه لا يأثم ويلزمه مهر مثلها

“Demikian halnya bila menyetubuhi seorang wanita yang diyakini sebagai istrinya atau budak perempuannya, maka tidaklah berdosa, namun wajib membayar mahar mitsil wanita tersebut.”

Yang banyak bersentuhan dengan kehidupan kita terkait melakukan perbuatan yang dianggap halal yang ternyata haram, seperti menyantap hidangan makanan di sebuah restoran kancah nasional, bahkan internasional. Di mana pelanggannya tak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga non muslim, baik dalam negeri maupun mancanegara. Mengikuti konsep di atas, maka tidaklah berdosa bila seorang muslim memakan daging babi yang diduganya daging sapi atau lainnya. Begitu juga bila meminum khamar yang diduga Fanta atau minuman bersoda halal lainnya.

Kesalahan dan kelupaan yang diampuni Allah SWT. merupakan karunia besar umat Nabi Muhammad SAW. Bahkan menjadi keistimewaan tersendiri (khushushiyah ummat Muhammadiyah). Mengingat, umat-umat terdahulu tak pernah mendapatkan perlakuan sedemikian mulia dari Tuhannya. Terbukti, segala bentuk kedurhakaan mereka, baik yang tak disengaja (al-khatha’ wa an-nisyan) apalagi disengaja, tetap saja dihukum dan dihisab. Semoga kita dapat mensyukuri nikmat besar ini. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Daftar Amalan Sunah pada Hari Jumat Bagi Umat Islam

Sejumlah amalan sunah dianjurkan untuk dikerjakan oleh umat Islam pada hari Jumat. tirto.id – Jumat merupakan hari paling mulia dalam seminggu. Selain itu, diriwayatkan bahwa malam Jumat adalah malam paling utama setelah malam lailatul kadar. Selain itu, Allah SWT juga menciptakan Nabi Adam pada hari Jumat. Pada hari Jumat juga, Adam diturunkan dari surga.

Pada hari Jumat pula, Nabi Adam dan istrinya, Hawa dipertemukan kembali di Muzdalifah setelah diturunkan ke bumi secara terpisah. Keutamaan hari Jumat juga tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sebaik-baik hari ketika matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukkan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat,” (H.R. Muslim).

Karena keutamaan Jumat itulah, Nabi Muhammad SAW mempunyai amalan-amalan sunah tertentu pada hari tersebut yang sebaiknya diteladani umat Islam.

Sejumlah amalan sunah di hari Jumat itu tidak terbatas pada ibadah individual, tapi juga ibadah sosial. Apa saja amalan sunah untuk umat Islam pada Jumat? Laman NU Online merangkumnya sebagai berikut:

1. Mandi Jumat Aktivitas yang sebaiknya dilakukan di hari Jumat adalah mandi, bagi laki-laki maupun perempuan. Saking ditekankannya, bahkan sebagian ulama menyatakan derajat mandi Jumat adalah wajib. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id Alkhudri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Mandi pada Jumat hukumnya wajib bagi orang yang sudah balig,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Baca selengkapnya di artikel “Daftar Amalan Sunah pada Hari Jumat Bagi Umat Islam”, https://tirto.id/f61j

2. Memperbanyak Salawat Salawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah amalan sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan pada hari Jumat, sebagaimana tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Perbanyaklah salawat kepadaku pada malam dan hari Jumat, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali,” (H.R. Baihaqi).

3. Membaca Surah Al-Kahfi Sejak malam Jum’at, umat Islam dianjurkan untuk membaca surah Al-Kahfi. Ganjaran pahala bagi yang mengerjakannya amat besar, sebagaimana tergambar pada sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah,” (H.R. Ad-Darimi).

4. Memperbanyak Doa Allah SWT menetapkan salah satu waktu pada Jumat sebagai waktu yang mustajab untuk berdoa. Namun, tidak diketahui kapan tepatnya waktu yang makbul untuk dikabulkan doa tersebut. Karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak doa pada hari Jumat, dengan harapan bahwa doa yang dipanjatkan bertepatan dengan momen dikabulkannya doa tersebut, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “… ‘Di dalamnya [Jumat], terdapat waktu tertentu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’, lalu beliau [Nabi Muhammad SAW] mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

5. Membaca Surah Yasin Salah satu amalan sunah yang dianjurkan dilakukan pada malam Jumat adalah membaca surah Yasin, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa membaca surah Yasin dan As-Shaffat di malam Jumat, Allah SWT mengabulkan permintaannya,” (H.R. Abu Daud). Hadis di atas tergolong hadis lemah karena sanadnya terputus. Namun, karena berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-a’mal), maka dianggap tetap disunahkan untuk dikerjakan. 6. Memperbanyak Kebaikan Amalan kebajikan secara umum akan dilipatgandakan pahalanya jika dikerjakan pada hari Jumat.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga melakukan ibadah sosial, misalnya mempererat silaturahmi, menjenguk orang sakit, menghadiri akad nikah, dan mengunjungi orang yang meninggal. Hal ini tergambar dalam paparan Imam Suyuthi dalam kitab Amal Yaum wa Lailah menyebutkan bahwa: “Beliau [Nabi Muhammad SAW] mengunjungi saudaranya, menjenguk orang sakit, menghadiri penyelenggaraan jenazah, atau menghadiri akad nikah.”

Baca selengkapnya di artikel “Daftar Amalan Sunah pada Hari Jumat Bagi Umat Islam”,

TIRTO