Hukum Meminjam Uang di Bank Untuk Modal Usaha

Dalam membangun usaha tentu kita membutuhkan modal. Nah, salah satu cara simpel dan cepat untuk mendapatkan modal yakni dengan cara meminjam uang kepada bank. Kita ketahui bahwa transaksi dengan bank tidak lepas dengan yang namanya ‘bunga bank’. Dengan demikian, lalu ada sebuah pertanyaan bagaimana hukum meminjam uang di bank untuk modal usaha?

Para ulama baik klasik (mazhab yang empat) maupun kontemporer sepakat bahwa riba dalam Islam hukumnya adalah haram.

Namun, yang menjadi poin kita sekarang apakah bunga bank masuk dalam kategori riba? Yuk kita bahas lebih lanjut!

Para ulama kontemporer berbeda pendapat terkait hukum bunga bank.

Kelompok pertama mengatakan bahwa bunga bank hukumnya haram karena termasuk riba. Kelompok ini dipelopori oleh Yusuf Qardhawi, Mutawalli Sya’rawi dan Muhammad al-Ghazali. (Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, hal 5-11)

Dalil diharamkannya riba adalah surah al- Baqarah :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al- Baqarah ayat 275)

Begitupun dalam hadis juga melarang riba.

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (H.R Muslim)

Kelompok kedua mengatakan bahwa bunga bank hukumnya adalah boleh dan bukan termasuk riba. Kelompok ini dipelopori oleh Syekh Ali Jum’ah, Sayyid Thanthawi dan Mahmud Syaltut.  Pendapat ini juga sesuai dengan Majma’ al-Buhuts al- Islamiyyah :

إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ

“Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang sudah menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya adalah halal menurut syariat dan tidak apa-apa.” (Fatwa Majma’ al-Buhuts al- Islamiyyah. Terbit 23 Ramadhan 1423 H)

Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992 juga  menyuarakan tentang hukum bunga bank sebagai berikut:

Pertama, pendapat yang menyamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.

Kedua, pendapat yang tidak menyamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat.

Dengan demikian, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal bunga bank. Ada yang mengatakan riba ada juga yang tidak.

Oleh karena itu, mengingat persoalan meminjam uang di bank merupakan interaksi yang sulit dihindari di zaman sekarang, maka hukum meminjam uang di bank boleh-boleh saja dan tidak terjebak riba. Ikut pendapat yang mengatakan bunga bank bukan riba.

Namun, kalau masih ada opsi lain selain meminjam kepada bank maka hal itu lebih baik demi bersikap hati-hati.

Semoga bermanfaat, wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Mengingat Kembali Peristiwa Nakba: Penjajahan dan Pengusiran Orang Palestina dari Tanah Airnya

HARI ini adalah peringatan ke-73 peristiwa Nakba. Nakba yang bermakna kehancuran atau malapetaka ini diperingati setiap tahun pada tanggal 15 Mei. Peristiwa Nakba adalah duka rakyat Palestina secara khusus dan umat Islam sedunia secara umum.

Tragedi Nakba adalah peristiwa teror, pembersihan etnis dan pengusiran besar-besaran orang Palestina dari tanah air mereka, sehubungan dengan diplokamirkannya negara penjajah ‘Israel’ pada 14 Mei 1948. Sedikitnya ada sekitar belasan juta orang-orang Palestina yang tersebar di seluruh dunia memperingati peristiwa Nakba.

Saat ini lebih dari tujuh juta pengungsi Palestina yang terusir dari rumah dan lahannya sejak peristiwa Nakba masih berharap bisa kembali ke tanah suci Palestina. Kebanyakan mereka menolak usulan pertukaran tanah.

Bahkan, banyak dari keluarga yang meninggalkan Palestina masih memegang kunci rumah mereka setelah dipaksa pergi dari lahan dan rumahnya di bawah todongan senjata. Peristiwa Nakbah ini terjadi selama bulan Mei 1948.

Apa saja yang terjadi dalam peristiwa Nakba?

Tragedi Nakba adalah kolonialisme, pengusiran, perampasan dan pembantaian penjajah atas rakyat Palestina. Peristiwa Nakba adalah pengingat bagi Palestina akan hak-hak mereka dan kekejaman penjajah ‘Israel’.

Sejak awal penjajahan, ‘Israel’ tidak pernah memberi kesempatan Palestina untuk mengumumkan pada dunia tentang penjajahan yang sedang mereka alami. Penjajah ‘Israel’ telah mengerahkan segenap upaya untuk menyebarkan propaganda dusta dan mengambil kendali pusat-pusat pembuat keputusan, serta media internasional untuk mendukung penjajahan mereka.

Sekitar 85% orang-orang Palestina diusir di bawah todongan senjata dan terpaksa hijrah ke Tepi Barat, Gaza dan negara-negara Arab. Penjajah juga memakai 78% tanah Palestina untuk mendirikan negara ‘Israel’.

Selama tragedi Nakba gerombolan serdadu penjajah Zionis telah melakukan 70 lebih pembantaian atas warga Palestina dengan korban tewas lebih dari 15.000 jiwa. ‘Israel’ menyita lebih dari 1,718 Hektar lebih tanah rakyat Palestina.

Sebelum peristiwa Nakba, warga Palestina menempati 1.300 desa dan kota di Palestina. Namun, saat tragedi Nakba penjajah mengambil alih 774 desa dan kota, dimana 531 di antaranya hancur total.

Jumlah penduduk Palestina sebelum terjadi tragedi Nakba Palestina 1948 adalah sekitar 1,4 juta jiwa, sedangkan jumlah warga Yahudi hanya 605.000, yakni 30% dari jumlah total penduduk di Palestina.

Saat ini jumlah keseluruhan penduduk di wilayah Palestina yang luasnya 27 ribu meter persegi sekitar 11,8 juta. Sekitar 51% di antaranya adalah pemukim ilegal Yahudi dan mereka mengeksploitasi lebih dari 85% tanah Palestina.

Berikut ini infografis 17 fakta sejarah tentang peristiwa Nakba Palestina* Rofi Munawwar

HIDAYATULLAH

Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin?

Pembahasan mengenai golongan orang yang termasuk fakir atau miskin ini terkait dengan banyak hal. Diantaranya masalah zakat, fidyah, dan kafarah. Lalu siapa saja yang tergolong orang miskin atau fakir?

Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no.1039).

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdalam hadis di atas adalah orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

إنَّما المِسْكِينُ الذي يَتَعَفَّفُ، واقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ: {لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافًا}

“Sesungguhnya orang miskin adalah yang menjaga kehormatannya. Bacalah firman Allah ta’ala: [mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa] (QS. Al-Baqarah: 273)” (HR. Bukhari no. 4539).

Dalam riwayat lain,

ولَكنَّ المسْكينَ المتعفِّفُ وفي زيادةٍ ليسَ لَهُ ما يستغني بِهِ الَّذي لا يسألُ ولا يُعلمُ بحاجتِهِ فيتصدَّقَ عليْهِ

Orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan) adalah yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak meminta-minta, tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya” (HR. Abu Daud no. 1632, didha’ifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Daud).

Namun ‘ala kulli haal, dari hadis ini, para ulama menyimpulkan kaidah umum tentang patokan miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith,

المِسْكِينُ : من ليس عنده ما يكفي عياله، أَو الفقير

“Miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Disebut juga dengan fakir”.

Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah juga disebutkan,

الذي لا يجد قوته، وقيل: هو الذي لا يملك قوت يومه والفقير من لا يملك قوت سنته، لكن على كل حال حكمهما واحد

“Orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian ulama mengatakan: orang yang tidak dapat memenuhui kebutuhan pokoknya untuk sehari. Sedangkan fakir adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya untuk setahun. Namun ‘ala kulli haal, fakir dan miskin dianggap sama dalam hukum”.

Contohnya, orang yang kebutuhan pokoknya sehari adalah 100 ribu rupiah, namun penghasilannya hanya 75 ribu rupiah. Maka orang ini tergolong miskin.

Dan cara mengetahui apakah seseorang itu termasuk miskin atau tidak boleh dengan dua cara:

  1. Diketahui secara pasti bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya
  2. Berdasarkan ghalabatuz zhan (sangkaan kuat) bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya

Al-‘Allamah Al-Buhuti rahimahullah menjelaskan,

ولا يجوز دفع الزكاة إلا لمن يعلم أنه من أهلها و يظنه من أهلها؛ لأنه لا يبرأ بالدفع إلى من ليس من أهلها، فاحتاج إلى العلم به لتحصل البراءة، والظن يقوم مقام العلم؛ لتعذر أو عسر الوصول إليه

“Dan tidak boleh memberikan zakat kecuali kepada orang yang diketahui pasti bahwa ia termasuk yang berhak menerimanya, atau disangka kuat ia termasuk yang berhak menerimanya. Maka di sini dibutuhkan pengetahuan yang pasti sehingga muzakki bisa dikatakan lepas dari tanggungan zakat. Atau sangkaan kuat yang kadarnya selevel dengan ilmu, jika memang ada uzur dan kesulitan untuk memastikan” (Kasyful Qina’, 2/339).

Perbedaan antara fakir dan miskin

Ulama khilaf tentang perbedaan antara fakir dan miskin, dan manakah yang lebih membutuhkan antara keduanya?

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أن المراد بالفقير: المحتاج المتعفف الذي لا يسأل، والمسكين: المحتاج المتذلل الذي يسأل

“Yang dimaksud fakir adalah orang yang membutuhkan dan ia menjaga kehormatannya dengan tidak minta-minta. Sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan yang menghinakan dirinya dengan minta-minta” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/308).

Berbeda lagi dengan Al-Khathabi rahimahullah, beliau menjelaskan Abu Hurairah di atas, dengan mengatakan,

في الحديث دليل على أن المسكين – في الظاهر عندهم والمتعارف لديهم- هو السائل الطواف

“Hadis ini menunjukkan bahwa miskin adalah orang yang suka berkeliling minta-minta (berdasarkan apa yang dipahami oleh para salaf)” (Ma’alimus Sunan, 2/232).

Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 144) disebutkan: “fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhan pokok dirinya dan kebutuhan pokok keluarganya, berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Ia tidak mendapati apa-apa. Atau ia mendapat kurang dari 50% kebutuhan pokoknya. Maka orang seperti ini hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh.

Miskin adalah orang yang mendapati penghasilan yang mencukupi 50% kebutuhan pokoknya atau lebih (namun tidak sampai genap 100%). Seperti orang yang penghasilannya 100 riyal, namun ia butuh 200 riyal. Maka orang seperti ini juga hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh”.

Ringkasnya, khilaf ulama dalam masalah ini menjadi 3 pendapat:

Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa fakir itu lebih parah dan membutuhkan daripada miskin.

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa miskin itu lebih parah dan membutuhkan daripada fakir.

Pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa fakir dan miskin itu sama.

Yang rajih, fakir dan miskin itu jika disebutkan bersendirian maka ia sama, namun ia jika disebutkan bergandengan maka fakir lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Perbedaan antara fakir dan miskin, jika keduanya disebutkan bersamaan, maka fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Karena kata ‘fakir’ diambil dari kata al-faqr yang artinya: tidak ada apa-apa. Orang Arab biasa berkata: hadza ardhun faqrun, maksudnya: ini tanah yang kosong tidak ada tumbuhan … adapun jika disebutkan bersendirian maka maknanya sama ” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3/206).

Baik fakir maupun miskin, keduanya sama-sama berhak diberi zakat, fidyah dan juga kafarah. Karena mereka berdua sama secara hukum. Syekh Abdul Aziz bin Baz, mengatakan,

المسكين هو الفقير الذي لا يجد كمال الكفاية، والفقير أشد حاجة منه، وكلاهما من أصناف أهل الزكاة

“Miskin adalah orang fakir yang penghasilannya tidak sampai kadar mencukupi. Dan fakir itu lebih butuh daripada miskin. Namun keduanya termasuk golongan penerima zakat” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 14/265).

Orang yang punya aset harta apakah disebut miskin?

Jika ada orang yang mengaku miskin, namun ia memiliki rumah, atau memiliki smart phone, atau memiliki mobil, dan semisalnya, apakah ia tetap dianggap miskin dan boleh menerima zakat dan fidyah?

Allah ta’ala menyebutkan perkataan Nabi Khidhir ‘alaihissalam,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Dalam ayat ini disebutkan orang-orang miskin mereka memiliki perahu. Padahal kita tahu perahu adalah kendaraan yang harganya tidak murah. Namun mereka gunakan perahu ini untuk mencari penghasilan. Maka tetap mengubah status mereka sebagai orang miskin.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

وجملة ذلك أنه إذا ملك مالا تتم به كفايته من غير الأثمان، فان كان مما لا تجب فيه الزكاة كالعقار ونحوه لم يكن ذلك مانعا من أخذها. نص عليه أحمد فقال في رواية محمد بن الحكم: إذا كان له عقار يستغله أو ضيعة تساوي عشرة آلاف أو أقل أو أكثر لا تقيمه يأخذ من الزكاة، وهذا قول الثوري والنخعي والشافعي وأصحاب الرأي

“Kesimpulannya, jika ia memiliki harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan bukan berupa uang, jika harta tersebut termasuk harta yang tidak wajib dizakati, seperti al ‘aqar (aset pasif) atau semisalnya, maka ini tidak menghalangi dia untuk menerima zakat. Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dalam riwayat dari Muhammad bin Al-Hakam, Imam Ahmad berkata: “Jika ‘aqar itu terus ia manfaatkan atau ia memiliki tanah yang disewakan seharga 10.000 riyal atau kurang dari itu atau lebih dari itu maka ia boleh menerima zakat”. Ini juga pendapat Ats-Tsauri, An-Nakha’i, Asy-Syafi’i dan Ash-habur Ra’yi (Hanafiyah)” (Asy-Syarhul Kabir, 2/687).

Dari penjelasan beliau, bisa kita simpulkan beberapa poin:

  1. Jika orang miskin memiliki aset, dan aset tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghasilannya tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia tetap dikatakan orang miskin dan boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki rumah dan tanah, namun rumah dan tanah tersebut ia gunakan untuk tempat tinggalnya. Maka ia boleh menerima zakat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz juga pernah ditanya, “Apakah boleh saya memberi zakat mal kepada seorang yang sudah menikah, ia memiliki anak perempuan yang masih kecil, dan ia memiliki mobil taksi. Mobil taksi tersebut ia gunakan untuk mencari penghidupan rata-rata sebesar 700 junaih. Dan terkadang di bulan yang lain ia tidak gunakan mobil tersebut karena ia juga bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji 150 junaih”.

إذا كنت تعلمين أنه فقير، وأنه عرض له حاجة وفقر فلا بأس، وإلا فالذي عنده أسباب تقوم بحاله لا يعطى الزكاة

“Jika anda tahu pasti dia adalah orang yang fakir, dan ia memang orang yang membutuhkan, maka tidak mengapa memberi zakat kepadanya. Jika tidak demikian, dan orang tersebut punya sebab-sebab lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia tidak diberi zakat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15/326).

  1. Jika orang miskin memiliki aset yang sifatnya sekunder atau tersier, bukan untuk kebutuhan primernya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki mobil namun bukan untuk mencari penghasilan, orang yang memiliki rumah lain selain rumah tinggalnya, orang yang memiliki tanah selain yang ia tinggali, dan semisalnya.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz ditanya tentang orang yang punya banyak hutang, namun ia baru membeli rumah baru, apakah ia boleh diberi zakat sebagai gharim (orang yang berhutang)? Beliau menjawab,

إذا كان اشترى البيت الجديد للتجارة أو لمزيد الدنيا وعنده بيت يكفيه فلا يستحق الزكاة، بل يبيع بيته الجديد ويوفي ما عليه من الدين، أو يلتمس ذلك من جهات أخرى؛ لأنه ليس فقيراً

“Jika orang tersebut membeli rumah yang baru untuk usaha atau untuk menambah perbendaharaan dunia dia, sedangkan ia sudah memiliki rumah lain yang mencukupinya (untuk tempat tinggal), maka ia tidak berhak menerima zakat. Bahkan seharusnya ia menjual rumah barunya tersebut dan melunasi hutangnya. Atau mencari uang dengan cara lainnya. Karena ia bukan orang fakir” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15/330).

  1. Jika orang miskin memiliki aset yang wajib dizakati, seperti emas dan perak, barang dagangan yang nilainya besar, dan semisalnya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat.

Maka jelaslah bahwa orang mengaku miskin namun ia memiliki aset harta tidak bisa dipukul rata statusnya. Ada yang tetap berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima zakat.

Jika yang diberi zakat ternyata orang yang berkecukupan

Ketika seseorang sudah membayarkan zakatnya kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang layak menerima zakat, kemudian jika setelah itu baru diketahui ternyata si penerima zakat tersebut adalah orang berada dan bukan orang miskin. Bagaimana status zakatnya?

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وذهب بعض أهل العلم : إلى أنه إذا دفعها إلى من يظن أنه أهل بعد التحري ، فبان أنه غير أهل فإنها تجزئه ؛ حتى في غير مسألة الغني ؛ أي: عموما ؛ لأنه اتقى الله ما استطاع لقوله تعالى: ( لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) البقرة/ 286 ، والعبرة في العبادات بما في ظن المكلف بخلاف المعاملات فالعبرة بما في نفس الأمر، ويصعب أن نقول له : إن زكاتك لم تقبل مع أنه اجتهد، والمجتهد إن أخطأ فله أجر، وإن أصاب فله أجران

وهذا القول أقرب إلى الصواب أنه إذا دفع إلى من يظنه أهلا مع الاجتهاد والتحري فتبين أنه غير أهل فزكاته مجزئة

“Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan ia berhak. Kemudian jika setelah dibayarkan, baru diketahui fakta bahwa ia orang yang tidak berhak menerima zakat, maka zakatnya tetap sah. Dan kaidah ini berlaku juga untuk masalah-masalah lain, secara umum. Karena orang yang membayar zakat tadi telah berusaha bertakwa kepada Allah semaksimal kemampuannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya) : “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. Al-Baqarah: 286). Dan yang dianggap dalam ibadah adalah keadaan yang diketahui oleh mukallaf. Berbeda dengan urusan muamalah, yang dianggap adalah fakta senyatanya. Sehingga sulit untuk mengatakan “zakat anda tidak sah”. Padahal ia telah berijtihad. Dan orang yang berijtihad itu jika keliru maka dapat satu pahala, dan jika benar ia dapat dua pahala.

Ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu bahwa jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan, kemudian ternyata si penerima tidak layak, maka zakatnya tetap sah” (Syarhul Mumthi‘, 6/264).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65814-siapakah-orang-yang-termasuk-fakir-miskin.html

Hukum Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin di Hari Lebaran

Ucapan “minal aidin wal faizin“ ghalib kita dengar saat lebaran. Ucapan ini diucapkan seseorang saat bertemu keluarga, teman, sahabat, dan saudara muslim lainnya. Sejatinya, ungkapan ini tradisi yang sudah mengakar sejak dahulu bagi masyarakat Indonesia.

Saban Lebaran ucapan ini akan selalu ternyiang di telinga kita. Nah dalam Islam bagaimana hukum mengucapkan minal aidin wal faizin di Hari Lebaran? Apakah ini sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam? Atau perbuatan bid’ah?

Ucapan minal aidin wal faizin— maksudnya; termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang—merupakan ungkapan tahniah. Para ulama menjelaskan pengertian tahniah adalah ungkapan atau harapan semoga seseorang selalu dalam kebaikan.

Syekh Ibnu Taimiyah dalam kitab al Majmu’ al Fatawa, pernah ditanya persoalan yang sama persis dengan pertanyaan di atas (baca: Ucapan minal aidin wal faizin) pada saat Idul Fitri.

Dalam kitab al Majmu’ al Fatawa, Jilid XXIVseseorang bertanya pada Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah terkait ucapan yang jamak diungkan saat Idul Fitri, misalnya, Ied Mubarok, atau perkataan yang menyerupainya (sepanjang tahun, semoga kamu beruntung dll). Si penanya melanjutkan, apakah ucapan tersebut ada dasarnya dalam syariat Islam?

Ibnu Taimiyah lantas menerangkan definisi tahniah terlebih dahulu. Ia menjelaskan bahwa tahniah adalah ungkapan yang diucapkan seseorang bagi orang lain setelah shalat Idul Fitri atau Adha. Ucapan tahniah itu misalnya; taqabbalollohu minna wa minkum, atau ahallaohu alaika.

Menurut Ibnu Taimiyah, ada riwayat yang menceritakan bahwa sekelompok sahabat yang mempraktikkan tahniah saat Hari Raya. Dan meriwayatkannya pelbagai ahli Hadis seperti Imam Ahmad dan beberapa ahli hadis selainnya.

Namun penting menjadi catatan, bahwa Imam Ahmad melanjutkan keterangannya, bahwa ia apabila berjumpa dengan seseorang saat Idul fitri tidak memulai mengucapkan tahniah tersebut. Ia tidak memulai mengucapkan tahniah pada seseorang ketika berjumpa sahabat, keluarga, atau koleganya.  Akan tetapi bila bila ada orang yang mengucapkan tahniah pada Imam Ahmad, maka ia akan menjawabnya.

Berangkat dari itu, maka Ibnu Taimiyah mengatakan menjawab tahniah tersebut hukumnya wajib. Ada pun memulai mengucapkan tahniah bukanlah sesuatu yang disunatkan padanya, dan bukan pula sesuatu yang dilarang mengucapkannnya (baca; tahniah). Maka barang siapa yang memperbuatnya, maka baginya telah memperbuat teladan, dan sebaliknya, siapa yang meninggalkan tahniat, maka ia juga telah mempraktikkan teladan.

Berikut kutipan teks al Majmu al FatawaJilid XXIV,halaman 253 karya Ibnu Taimiyah;

 وسئل شيخ الإسلام ابن تيمية : هل التهنئة في العيد ما يجري على ألسنة الناس : عيدك مبارك ، وما أشبهه ، هل له أصل في الشريعة أم لا ؟ وإذا كان له أصل في الشريعة ، فما الذي يقال ، أفتونا مأجورين ؟

فأجاب : أما التهنئة يوم العيد يقول بعضهم لبعض إذا لقيه بعد صلاة العيد : تقبل الله منا ومنكم ، وأحاله الله عليك ، ونحو ذلك فهذا قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه ، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره ، لكن قال أحمد : أنا لا ابتدئ أحداً ، فإن ابتدرني أحد اجبته ، وذلك ؛ لأنه جواب التحية واجب ، وأما الابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمور بها ، ولا هو أيضاً مما نُهي عنه ، فمن فعله فله قدوة ، ومن تركه فله قدوة ، والله أعلم . اهـ .

 Artinya; di tanya Ibnu Taimiyah, aapakah tahniah pada saat Idul Fitri yang biasa dilaksanakan manusia, seperti mengucapkan “Ied Mubarok” atau seumpamanya, apakah tahniah tersebut ada asal perintahnya dalam syariat atau tidak? Apabila ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang akan kami katakan?

Maka aku (Ibnu Taimiyah) menjawab, adapun tahniah pada Idul Fitri atau Adha, adalah ucapan sebagian orang bagi yang lain, apabila mereka berjumpa setelah shalat Ied ; “ taqabbalollohu minna wa minkun” atau “ahallalohu alaika” dan ucapan semisal itu.

Maka persoalan ini, ada sekelompok sahabat yang meriwayatkan bahwa mereka mengamalkan tahniah setelah shalat Ied. Dan Imam Ahmad dan selainnya meringankan mereka akan riwayat ini. Akan tetapi Imam Ahmad mengultimatum, bahwa Ia tidak memulai tahniah apabila berjumpa seseorang pada Idul Fitri. Tetapi apabila seseorang mengucapkan tahniah padanya, maka ia akan menjawabnya.

Berangkat dari itu, maka menjawab tahniah itu wajib, sedangkan mengucapkan tahniah hukumnya boleh—bukan sunah memperbuatnya, tak dilarang juga melakukannya. Barang siapa orang yang memperbuat tahniah,, maka ia memperbuat teladan. Pun sebaliknya, maka siapa yang meninggalkanya, maka ia juga memperbuat teladan.

Sementara itu, dalam kitab al Mausuah Fiqhiyah al Kuwaitiah—enslikopedia Fiqh terbitan pemerintah Kuwait—, mengatakan tahniah pada saat Idul Fitri merupakan perbuatan yang disyariatkan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama fiqih.

Berikut penjelasan ulama fiqih yang terdapat dalam teks kitab al Mausuah Fiqhiyah al Kuwaitiah, jilid XIV, halaman 99;

ذهب جمهورُ الفقهاء إلى مشروعية التهنئة بالعيد من حيث الجملة

Artinya; mayoritas ulama fiqih sepakat bahwa tahniah, merupakan perkara yang disyariatkan, ini bila ditilik dari segi jumlah.

Demikian penjelasan terkait hukum mengucapkan minal aidin wal faizin di hari lebaran. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAHcom

Introspeksi Diri

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Meneliti, mengoreksi dan mengawasi gerak-gerik hati adalah perkara yang sangat penting. Karena hati merupakan sumber dan poros amalan.

Melalaikan urusan hati akan berakibat rusaknya amalan. Oleh sebab itu, seorang mukmin harus senantiasa mengintrospeksi diri sebelum dan sesudah melakukan amalan. Siapa tahu ada cacat dan penyakit yang tersembunyi di dalam amalnya, sementara dia tidak menyadarinya?

al-Hasan rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti mencermati keinginan hatinya -sebelum melakukan sesuatu-. Apabila niatnya untuk Allah maka dia akan teruskan, namun apabila untuk selain-Nya maka akan dia tunda -sampai niatnya benar-.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 111)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, bahwa beliau pernah berpesan, “Hisablah diri kalian sebelum kelak kalian akan dihisab -di hari kiamat-. Timbanglah amal-amal kalian sebelum kelak -amal- kalian ditimbang. Karena hal itu akan lebih ringan di timbangan kalian esok -di akherat- dengan kalian menghisab diri kalian pada hari ini -di dunia-. Dan hiasilah diri kalian -dengan takwa- untuk menyambut hari persidangan yang besar, yang pada hari itu kalian akan disidang dan tiada satu perkarapun yang tersembunyi dari kalian.” (lihat  Ighatsat al-Lahfan, hal. 106)

Menyembuhkan hati yang kerapkali terbius oleh bujukan untuk berbuat maksiat dan dosa adalah dengan dua buah terapi ini, yaitu dengan bermuhasabah/introspeksi diri dan menyelisihi keinginan hawa nafsu terhadap hal-hal yang diharamkan. Sesungguhnya hati akan menjadi binasa akibat kelalaian untuk mengintrospeksinya dan memperturutkan hawa nafsu (lihat al-Ighatsah, hal. 106)

Perkara yang akan membantu seorang hamba dalam mengintrospeksi dirinya adalah hendaknya dia memahami bahwa setiap kali dia bersungguh-sungguh dalam bermuhasabah di dunia ini maka niscaya kelak di akherat hisab yang akan dialaminya akan menjadi ringan. Sebagaimana pula apabila dia melalaikan muhasabah ini ketika di dunia maka di akherat dia akan mengalami hisab yang lebih berat (al-Ighatsah, hal. 110)

Selain itu, muhasabah akan semakin terasa mudah baginya tatkala dia menyadari bahwa sesungguhnya laba dari ‘perdagangan’ ini adalah mendapatkan ‘kapling’ di surga Firdaus dan merasakan nikmatnya memandangi wajah Allah ta’ala.

Adapun kerugian yang akan dirasakan olehnya ketika tidak menjalankan perdagangan ini dengan baik ialah masuk ke dalam neraka dan terhalangi dari memandang wajah Allah ta’ala. Apabila perkara-perkara ini telah tertanam kuat di dalam hatinya maka niscaya akan terasa ringan melakukan muhasabah ketika di dunia (al-Ighatsah, hal. 110)

Dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan, yaitu untuk siapa dan bagaimana caranya.

Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Adapun pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang komitmen untuk mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semuanya tentang apa saja yang mereka amalkan.” (QS. al-Hijr: 92-93).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka benar-benar Kami akan menanyai orang-orang yang rasul itu diutus kepada mereka dan Kami juga pasti akan menanyai para utusan itu, maka akan Kami kisahkan kepada mereka dengan penuh pengetahuan dan tidaklah Kami tidak menyaksikan -apa yang telah mereka lakukan-.” (QS. al-A’raaf: 6-7) (lihat al-Ighatsah, hal. 113).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Supaya Allah menanyai orang-orang yang jujur itu mengenai kejujuran mereka.” (QS. al-Ahzab: 8).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kalau orang-orang yang jujur saja ditanyai dan dihisab mengenai kejujuran mereka maka bagaimanakah lagi dengan para pendusta?” Yang dimaksud dengan orang jujur dalam ayat itu adalah para rasul dan orang-orang yang menyampaikan ajaran rasul itu kepada kaumnya, apakah mereka telah menyampaikan dengan sebagaimana mestinya. Kemudian Allah juga akan menanyai masyarakat yang menjadi sasaran dakwah para rasul itu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan pada hari itu Allah memanggil mereka dan berkata; ‘Apa yang sudah kalian penuhi dari ajakan para rasul itu?’.” (QS. al-Qashash: 65) (lihat al-Ighatsah, hal. 113).

Nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita -yang jumlahnya sedemikian banyak dan kita tak bisa menghingganya-, itupun akan ditanyakan, apakah kita sudah mensyukurinya dengan baik di jalan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian kalian benar-benar akan ditanyai mengenai nikmat yang telah diberikan itu.” (QS. at-Takatsur: 8).

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan bahwa Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap hamba tentang nikmat dan kewajiban dari-Nya yang dititipkan kepada dirinya.” (lihat al-Ighatsah, hal. 114).

Pendengaran, penglihatan, dan hati itu pun akan dimintai pertanggungjawabannya dari kita. Laporan pertanggung jawaban manakah yang lebih berat daripada laporan mengenai urusan pendengaran, penglihatan, dan gerak-gerik hati?

Laporan manakah yang lebih berat daripada laporan yang ditujukan kepada Rabb semesta alam Yang di tangan-Nya segala urusan Yang menguasai pada hari pembalasan Yang tidak tersembunyi darinya satu perkara pun?

Aduhai, betapa malangnya nasib kita jika dosa-dosa kita tidak diampuni oleh-Nya… Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36).

Apabila demikian kenyataannya, lalu sekarang apa yang membuat kita enggan bermuhasabah? Muhasabah adalah sebuah kewajiban.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dipersiapkan olehnya untuk hari esok/negeri akherat.” (QS. al-Hasyr: 18).

Allah ta’ala mengingatkan kita bahwa semestinya setiap kita melihat amalan apa yang telah disiapkan olehnya untuk menghadapi hari kiamat kelak, apakah amal salih yang menyelamatkan dirinya ataukah justru keburukan/dosa-dosa yang akan mencelakakan dirinya.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan, bahwa Qatadah rahimahullah berkata, “Rabb kalian senantiasa mengesankan dekatnya hari kiamat sampai-sampai Allah menjadikannya seperti seolah-olah ia akan terjadi besok.” Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa baiknya hati akan terwujud dengan senantiasa mengintrospeksi diri, dan rusaknya hati akan terjadi tatkala kita lalai untuk mengawasi gerak-geriknya dan membiarkannya berjalan begitu saja mengikuti keinginan-keinginannya (lihat al-Ighatsah, hal. 114)

Maka sekarang, kita bisa bertanya kepada diri kita; Apakah kita sudah bermuhasabah mengenai kewajiban-kewajiban kita -karena amal yang wajib itu adalah amal yang paling utama-? Dan apabila ternyata muhasabah itu pun termasuk perkara yang wajib dilakukan. Maka pertanyaan berikutnya; Sudahkah kita bermuhasabah mengenai muhasabah diri kita?

Sudahkah kita bermuhasabah? Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang disindir dalam sebuah ungkapan, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.” Coba, bandingkan diri kita dengan para salafus shalih, betapa jauhnya antara sikap kita dengan sikap mereka?

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang soleh, maka aku merasa bukan termasuk golongan mereka.” Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (lihat al-Ighatsah, hal. 115).

Ya Allah, bersihkanlah hati-hati kami…

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65812-introspeksi-diri.html

Idul Fitri; Kembali Pada Fitrah Manusia

Bila tak ada aral melintang, Rabu (12/5) umat Islam akan merayakan Idul Fitri. Saban Idul Fitri sebagai manusia kita dituntut untuk memahami pelbagai pesan moral yang terkandung di dalamnya. Idul Fitri sejatinya momentum untuk kembali ke fitrah manusia.

Idul Fitri terdiri dari dua suku kata; id dan al fitri. Adapun kata id berasal dari kata a’ud—kata memiliki makna kembali—, lebaran diidentik dengan kembali. Ada yang kembali mudik, ada juga yang arti kembali, yakni tiap tahun datang kembali.

Sementara itu, kata fitri—jamak disebut fitrah—, memiliki makna sifat awal tercipta manusia, tanpa ada setitik noda pun. Maka sejatinya, Fitri adalah kembali pada fitrah. Seorang yang fitri adalah  ia yang kembali pada esensi dasar manusia. Tak ada dosa. Tak kenal sumber dosa. Polos bak kertas putih belum tercemar noda tinta. Itulah manusia fitri.

Berangkat dari pengertian di atas, maka Idul Fitri sejatinya adalah kembalinya manusia kepada sifat dasarnya, ketika ia pertama diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Sifat lahiriyah manusia; tak berdosa, suci, dan bersih.

Pada sisi lain, Sufi besar Al Hallaj menyebutkan bahwa dalam diri manusia ada sifat; nasuth dan lahut. Sifat nasuth merupakan sifat insani yang tertanam dalam diri manusia sejak azali. Ia adalah sikap yang melekat dalam diri manusia. Sifat nasuth membuat manusia layaknya manusia biasa; makan, minum, pergi ke pasar, ingin kaya, ingin punya jabatan.

Sedangkan sifat lahut dalam pengertian manusia sejatinya memiliki sifat dasar ke-Tuhanan (lahut). Sifat lahut ini menjelma dalam diri manusia. Manusia akan memiliki kemuliaan tatkala sifat lahut ini mendominasi dalam dirinya. Seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, dan Maha cinta.

Idul Fitri ini sejatinya mengembalikan sifat lahut, yang ada dalam diri manusia. Pertarungan melawan nafsu birahi dan sifat kemanusiaan—selama puasa dalam diri manusia— hendaknya membawakan hasil, berupa kembalinya manusia kepada sifat aslinya.

Sementara itu, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam Islam Masa Kini, sifat asli manusia salah satunya pengabdi kepada Allah. Dalam Al-Qur’an Q.S al Dzariyat ayat 56 Allah berfirman;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya; Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Mengabdi kepada Allah taat adalah perwujudan dari pada iman manusia kepada-Nya. Iman yag tertanam dalam jiwa manusia. Pasalnya, manusia pada dasarnya adalah makhluk beriman. Keimanan manusia itu sudah terpatra sejak azali. Keimanan itu merupakan perjanjian primordial manusia dan Tuhan.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Artinya; Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Pada ayat tergambar karakter dasar manusia; pengabdi pada Allah. Perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan mengidinkasikan bahwa manusia adalah makhluk yang suci, taat, dan beriman. Dalam alam azali manusia telah berikhtiar dan mengaku bahwa Allah adalah pencipta dan Tuhannya.

Namun semua itu buyar, tatkala ruh bertemu jasad. Saat ruh yang suci, bercampur-baur dengan jasad, kemudian menghirup noda dunia, manusia menjadi makhluk asing. Pasalnya, ruh masih tetap pada watak asalnya; suci, pengabdi, taat. Sementara jasad manusia, telah terkontaminasi dengan pelbagai kenikmatan duniawi yang bersifat sesaat.

Dalam kondisi ini terjadi pertarungan. Saling tarik menarik antara ruh dan jasad. Terkadang ruh yang menang. Bila ruh yang dominan, manusia ingat akan perjanjian azali nya dengan Tuhan. Ia menjadi manusia taat. Pada sisi lain, terkadang jasad yang lebih dominan. Manusia lupa akan fitrahnya. Terjebak dalam luapan dosa.

Bulan Ramadhan adalah medium untuk mengembalikan manusia pada fitrah awal. Ramadhan sarana untuk menjaga manusia untuk kembalipada sifat aslinya. Dalam bulan Ramadhan, jasad manusia dilatih agar tunduk pada perintah Allah. Pendek kata, Ramadhan merupakan upaya mengembalikan manusia pada sifat asli, yakni fitri.

Momentum Idul Fitri ini diharapkan manusia mampu memahami jati dirinya sebagai insan Tuhan. Lebih jauh lagi, Idul Fitri diharapkan menjadi tongggak agar manusia mampu mereformasi dirinya,agar kembali menjadi manusia sejati. Tak tenggelam dalam lautan dunia tak bertepi. Dengan Idul Fitri ini pula, menjadi momentum untuk menjadi manusia yang berkualitas di hadapan Allah dan manusia lain.

Demikian penjelasan Idul Fitri; kembali pada fitrah manusia. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ini Doa Sebelum dan Sesudah Mandi Pada Saat Idul Fitri

Sudah maklum bahwa di antara perkara yang disunnahkan pada saat Idul Fitri adalah mandi. Adapun waktu mandi pada saat idul fitri, menurut sebagian ulama, dimulai sejak pertengahan malam Idul Fitri hingga terbenamnya matahari di hari Idul Fitri.

Kesunnahan bebersih pada saat Idul Fitri berlaku secara umum, baik bagi laki-laki maupun perempuan, masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, bagi orang merdeka maupun budak, baik mau menghadiri pelaksanaan shalat Idul Fitri atau tidak. Semuanya disunnahkan untuk mandi.

Dalil yang dijadikan dasar adalah sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa-nya sebagai berikut;

أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما كان يغتسل يوم الفطر، قبل أن يغدو إلى المصلى

Sesungguhnya Abdullah bin Umar selalu mandi di hari Idul Fitri sebelum ia berangkat ke tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Adapun doa sebelum mandi pada saat Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam kitab Biharul Anwar, adalah sebagai berikut;

اللَّهُمَّ إِيْماناً بِكَ وَتَصْدِيقاً بِكِتابِكَ وَاتِّباعَ سُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ

Allohumma iimaanan bika wa tashdiiqon bikitaabika wat tibaa-‘a sunnati nabiyyika muhammadin shollallaahu ‘alaihi wa aalih.

Artinya:

Ya Allah, dengan iman kepada-Mu, dengan membenarkan kitab-Mu, dan mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad Saw.

Kemudian setelah mandi, doanya adalah sebagai berikut;

اللَّهمَّ اجْعَلْهُ كُفَّارَةً لِذُنُوبِي، وَطَهِّرْ دِيْنِي اللَّهمَّ اذْهِبْ عَنِّي الدَّنَسَ

Alloohummaj’alhu kaffarotan li dzunuubii wa thohhir diinii. Alloohummadzhib ‘annid danas.

Artinya:

Ya Allah, jadikanlah mandi ini sebagai penebus terhadap dosa-dosaku, dan sucikanlah agamaku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dariku.

BINCANG SYARIAH

Santapan Hati Orang Beriman Agar Sehat Menurut Ibnu Qayyim

Hati seorang Muslim menurut Ibnu Qayyim bisa sakit bahkan mati

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitab Al-Jawab Al-Kafi Liman Sa’ala An Al-Jawab Asy-Syafi, menyampaikan penjelasan tentang santapan hati agar tetap hidup dan terhindar dari dosa. Sebab dosa ialah pembawa kehancuran. Dosa membawa bahan-bahan penghancur hamba di dunia dan akhirat. 

Dosa adalah penyakit. Ketika penyakit semakin kuat, maka penyakit tersebut harus dibunuh. Sama halnya saat tubuh sakit sehingga membutuhkan suatu penyembuh seperti asupan makanan yang bisa menjaga kekuatan tubuh dan membersihkan berbagai bahan yang rusak dan campuran yang buruk. 

Menurut Imam Ibnu Qayyim, Ketika tubuh menerima asupan makanan yang sehat seperti itu, maka tubuh menjadi bugar dan fit kembali, serta berfungsi sebagai pencegah dari berbagai hal yang merugikan. 

Demikian juga dengan hati. Hati menjadi mati tanpa ada iman dan amal sholeh. Dengan dua inilah, kekuatan hati terpelihara. Sedangkan untuk membersihkan hati yaitu dengan tobat yang sebenar-benarnya taubat. 

Pertaubatan seperti ini adalah cara membersihkan berbagai kerusakan di dalam hati. Selain itu juga dengan melakukan diet dari apa yang merusak kesehatan yang dalam hal ini yaitu dengan menghindari segala macam perbuatan maksiat.

Untuk mencapai itu semua harus dilalui dengan ketakwaan. Karena takwa mencakup semua, mulai dari membersihkan berbagai hal yang merusak hati, hingga mencegah diri dari perbuatan maksiat. Ini untuk menjaga kesehatan hati dan menghindari apa yang bertentangan dengannya.

Dosa membawa zat berbahaya yang bisa merusak hati sehingga harus dibersihkan. Dan untuk mencegah zat berbahaya itu kembali, maka dilakukan dengan taubat.

Karena itulah, tubuh yang sakit menandakan di dalamnya terdapat zat penyakit dan bahan campuran yang tidak baik untuk kesehatan tubuh. Semakin parah sakitnya bila tidak dibersihkan zat-zat tersebut, dan tidak pula dilindungi. Jika ini yang terjadi, bagaimana bisa melangsungkan kehidupan yang sehat?

Jika takut terhadap penyakit yang menyerang tubuh, maka sudah semestinya seorang Muslim lebih takut lagi pada dosa.

Siapapun yang menjalankan perintah Allah SWT (mengonsumsi makan sehat), menjauhi larangan-Nya (diet dari makanan tak sehat), dan bertobat dengan sebenar-benarnya tobat (obat penyembuh), dan ikhlas beramal sholeh, maka Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan kepadanya.

Sumber: islamweb  

KHAZANAH REPUBLIKA

Lupa Makan Saat Puasa, Batalkah?

DIANTARA kita sering dihinggapi penyakit lupa. Misalnya, bagun tidur, langsung menuju kulkas mengambil makanan atau minuman. Padahal kala itu sedang berpuasa di bulan Ramadhan. Apa hukumnya seperti ini?

Makan dan minumnya karena terlupa, sesungguhnya tidaklah membatalkan puasa. Bahkan makanan yang ia telan disaat lupa dianggap rizki dari Allah Subhanahu Wata’ala. Namun setelah teringat bahwa ia sedang berpuasa, maka orang tersebut harus melanjutkan puasanya pada hari itu hingga saat berbuka. Atau ketika dirinya ingat di saat tengah minum atau masih ada makanan di mulutnya, saat itu juga dia harus keluarkan alias dibuang.

Hal ini telah dijelaskan dalam Hadits yang disampaikan Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ. (متفق عليه

“Barangsiapa lupa bahwa ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka  hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya (pada waktu itu) Allah memberinya makan dan minum.” (HR Bukhari dan Muslim)

“Sebenarnya itu adalah rizki  yang diberikan Allah kepadanya, dan tidak ada kewajian qadha atasnya.” (HR Daruquthni)

Dalam lafal lain menurut riwayat Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim disebutkan: “Barangsiapa yang berbuka puasa Ramadhan karena lupa, maka tidak wajib qadha  atasnya dan tidak pula wajib membayar kafarat.”

Lupa tidak menyebabkan seseorang dihukum jika melakukan perbuatan terlarang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ya Allah janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah.” Lalu Allah menjawab, “Aku telah mengabulkannya.”

Adapun orang yang melihatnya, dia harus mengingatkannya, karena itu termasuk perbuatan mengubah kemunkaran dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini,

مَنْ رَاَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ. (رواه مسلم

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka hendaklah dia mencegah kemunkaran itu dengan tangannya (yaitu kekuasaannya). Jika tidak mampu, hendaklah mencegah dengan lisannya. Kemudian kalau tidak mampu juga, hendaklah mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Orang berpuasa yang makan dan minum di saat puasa termasuk kemunkaran, tetapi kemunkaran yang dimaafkan jika penyebabnya adalah lupa, karena orang yang lupa tidak mendapat hukuman. Adapun jika ada orang yang melihatnya, maka tidak ada udzur baginya untuk membiarkan kemunkaran tersebut.* [Diambil dari buku Tanya Jawab Puasa,  Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007]

HIDAYATULLAH

Beli Baju Lebaran Termasuk Sunah?

Bila tak ada aral melintang pada Kamis (13/5) mendatang umat Islam Indonesia akan merayakan Idul Fitri. Di Indonesia, Idul Fitri diidentik dengan lebaran. Ada pun lebaran, erat kaitan dengan kue, THR, mudik dan baju baru. Nah kali ini kita akan membahas terkait beli baju lebaran. Apakah dalam Islam beli baju lebaran termasuk Sunah?

Dalam pelbagai riwayat dijelaskan bahwa pada pagi hari Nabi dan para sahabat mandi terlebih dahulu  sebelum pergi melaksanakan shalat Idul Fitri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al MughniAbdullah bin Abbas mengatakan bahwa mandi pada pagi hari ini senantiasa dilaksanakan Nabi bukan saja pada Idul Fitri, tetapi juga ketika hendak melaksanakan Idul Adha.

Selain mandi, Nabi pun memakai pakaian baru dan baik  pada saat Idul Fitri. Berpakain baru di hari lebaran pun diikuti oleh para sahabat Nabi yang lain.  Dalam sebuah hadis riwayat oleh Imam Bukhari yang mengkisahkan Nabi dan sahabat berhias di dalamnya. Nabi bersabda:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Artinya: Sungguh Abdullah bin Umar, ia berkata : “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual di pasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah berkata kepada Umar: “sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian ”. (HR. Bukhari)

Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam buku Islam Masa Kini, mengatakan memakai wewangian dan memakai baju baru sudah menjadi kebiasaan pada masa Nabi. Pun Nabi sendiri terbiasa memakai minyak wangi dan menganjurkan untuk memakai wewangian.

Lebih lanjut, sunah memakai pakaian baru dan menggunakan wewangian, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub hal yang wajar. Pasalnya, pada Idul Fitri—itu terlebih dalam melaksanakan shalat Id—, akan berkumpul dan bercampur manusia dalam jumlah yang banyak, sehingga seyogianya seseorang tidak datang dengan membawa bau-bau yang tak sedap.

Inilah menurut KH. Ali Musthafa Yaqub, sebagai landasan sunah menggunakan wewangian dan baju baru. Dalam perkembangannya—baju baru dan wewangian—, menyebar ke seluruh dunia Islam, pun di Indonesia. Baju baru menjelma menjadi tradisi saat lebaran. Bahkan ada yang menganggap, lebaran tanpa baju baru  dan wewangian, maka seolah bukanlah Hari Raya.

Namun penting untuk dicatat, baju baru dan wewangian bukanlah inti utama dari Idul Fitri. Untuk mereka yang belum bisa membeli baju dan minyak wangi, tak usah bersedih hati. Pasalnya, itu bukan suatu yang wajib.

Ada satu hal yang lebih substansi di banding baju baru dan wewangian di lebaran, yakni kembali pada fitrah manusia. Sebulan berada di madrasah Ramadhan, diharapkan mampu membimbing jiwa rohani manusia kembali ke fitrahnya, yakni taat dan takwa pada Tuhan.

Demikian penjelasan terkait baju baru lebaran termasuk sunah? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH