Menjaga Stamina Ruhiyah di Akhir Ramadhan

Bulan Suci Ramadhan di tahun in sudah hampir berakhir, namun pemandangan keramaian justru banyak terlihat di pusat perbelanjaan daripada tempat beribadah. Padahal Rasulullah ﷺ pernah bersabda Bahwa “Adalah bulan Ramadhan, awalnya rahmat, pertengahannya maghfiroh dan akhirnya pembebasan dari api Neraka.”

Sepertiga malam terakhir merupakan malam yang teristimewa diantara malam – malam yang ada di semua bulan. Saking istimewanya, Nabi sendiri diceritakan oleh istri beliau Sayyidatina Aisyah bahwa “Nabi ﷺ ketika memasuki sepuluh hari terakhir ‘mengencangkan gamisnya’, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.”. Tidak ada kata kendor di malam – malam itu.

Selain sebagai pembebas api Neraka, sepuluh malam terakhir dalam Bulan ramadhan juga memiliki keistimewaan dengan adanya malam Lailatul Qadr.

لَيۡلَةُ الۡقَدۡرِ  ۙ خَيۡرٌ مِّنۡ اَلۡفِ شَهۡرٍؕ

تَنَزَّلُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ وَالرُّوۡحُ فِيۡهَا بِاِذۡنِ رَبِّهِمۡ‌ۚ مِّنۡ كُلِّ اَمۡرٍ

Artinya: “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” (QS: al Qadr ayat 3 – 4).

Dalam kitab Durratun Nasihin Syeikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir berkata bahwa Kata ‘qadar’ dalam Lailatul Qadar juga memiliki arti ‘sempit’. Pada malam itu, silih berganti malaikat turun ke bumi, sehingga bumi bagai sangat sempit dengan kehadiran malaikat.

Nabi berpesan : “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan).”

Namun sayangnya waktu – waktu mulia ini banyak disia-siakan oleh banyak orang dengan kegiatan belanja atau buka bersama hingga meninggalkan kegiatan tarawih atau membaca al-Quran. Ibarat sebuah perlombaan marathan, semakin mendekati finish, makin banyak yang mulai lemas berguguran di tengah jalan.

Sandiaga Uno dalam tulisannya “Hidup adalah Marathon” menulis sebuah filosofi menarik tentang marathon dan kehidupan.  “Dan saat berlari di ajang marathon pun, kita harus tetap disiplin menjaga fisik, mental dan emosi. Dari awal start saat badan masih segar kita tidak boleh terbawa emosi dan berlari terlalu kencang karena akan membuat stamina anjlok. Kita harus konsisten, menjaga nafas, menjaga kecepatan berlari agar saat kita sudah di km 30 ke atas, kita akan tetap kuat sampai finish. Mental merupakan tantangan berat saat lari marathon, bagaimana kita melawan diri sendiri.”

Maka sebagaimana marathon, Ramadhan juga merupakan aktifitas yang membutuhkan perisapan fisik dan juga mental. Jika ada fenomena masjid yang mendadak ramai di awal Ramadhan kemudian sepi di ujung, itu merupakan bahwa tanda bahwa banyak yang mentalnya jatuh atau sudah kehabisan nafas. Mereka memasuki ramadhan hanya dengan modal semangat tanpa ilmu dan persiapan yang matang. Akhirnya kesempatan yang mulia itu tidak bisa dimaksimalkan atau bahkan gagal hanya karena kurang persiapan. Padahal Rasulullah ﷺ Bersabda:

وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

“Celaka Orang yang berjumpa dengan bulan Ramadhan kemudian keluar dari bulan tersebut namun dosa dosanya tidak diampuni oleh Allah.”*

Penulis adalah santri peserta program Takhassus   Kuliyah Dirasah Islamiyyah Pandaan

Oleh: Abduh Rijal

HIDAYATULLAH

Tiga Macam Ilmu yang Bermanfaat

DI SEKELILING kita banyak orang cerdik dan pandai. Meski demikian, tidak semua orang pandai dapat menghasilkan ilmu bermanfaat. Menurut Islam, selain ada ilmu yang bermanfaat dan ada juga ilmu yang kurang manfaat.

Di bawah ini ada tiga macam ilmu yang bermanfaat dalam pandangan Islam:

Pertama, ilmu yang menyebabkan pemiliknya semakin dekat dengan Allah

Tujuan hidup manusia adalah menyembah Allah dan tidak mensyirikannya. Jika dia menuntut ilmu yang menyebabkan lebih dekat dengan Allah, serta bertambah keyakinan dan ibadahnya kepada Allah, maka ilmu tersebut bermanfaat baginya di dunia dan Akhirat. Ilmu ini mencakup ilmu dunia maupun ilmu agama. Ini sesuai dengan firman Allah.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS: Fathir: 27-28).

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang takut kepada Allah adalah para ulama, yaitu orang-orang yang mempunyai ilmu. Ilmu di sini mencakup ilmu yang menyebabkan pemiliknya bertambah takut kepada Allah sehingga dia akan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk di dalamnya ilmu agama dan ilmu dunia.

Tentang ilmu agama, bahwa seseorang yang mempelajari ajaran agama, mengenal tentang Allah melalui firman-firman-Nya, mengenal Asmaa-ul Husna (nama-nama-Nya yang indah) dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, mengetahui hukum halal dan haram akan menyebabkan dirinya dekat dengan Allah. Inilah yang disebut dengan Ayat-ayat Qur’aniyah.

Begitu juga ilmu dunia yang mempelajari ciptaan Allah, berupa  makhluk manusia dengan segala seluk beluknya, dari proses penciptaannya, waktu hidupnya hingga akhir hayatnya, banyak mengingatkan kita kepada kekuasaan Allah. Begitu juga ciptaan Allah berupa alam semesta yang membentang dari barat hingga timur juga menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Inilah yang disebut dengan Ayat-ayat Kauniyah.

Oleh karenanya, pada ayat-ayat di atas sebelum menyebut tentang kriteria ulama, Allah menyebutkan terlebih dahulu fenomena alam, dari proses turunnya hujan, tumbuhnya buah-buahan dan pepohonan dengan segala macamnya, gunung -gunung yang menjulang tinggi dengan berbagai warnanya, serta binatang-binatang darat, laut dan udara dengan berbagai jenisnya. Semuanya menunjukkan bahwa ulama yang takut kepada Allah tidak terbatas pada ulama agama, tetapi juga ulama yang mengetahui alam semesta dan ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya.

Kedua, ilmu yang diamalkan, diajarkan dan disebarkan, sehingga masyarakat merasakan manfaat darinya 

Oleh karena itu, orang berilmu dilarang menyembunyikan ilmunya dengan sengaja. Ini sesuai dengan firman Allah,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allâh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.” (QS: Ali Imran: 187).

Di dalam hadits  Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلَّا أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ

“Tidak ada seseorang yang hafal suatu ilmu, namun dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada hari kiamat dengan keadaan dikekang dengan tali kekang dari Neraka.” (Hadist Hasan & HR. Ibnu Majah).

Di dalam pepatah Arab disebutkan: “Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.”

Ketiga, ilmu yang manfaatnya langgeng, walaupun pemiliknya telah meninggal  

Ini sesuai hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia meninggal maka semua amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan untuknya.” (HR: Muslim)

Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang memulai untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam) maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu sampai hari Kiamat.” (HR: Muslim).*/Dr. Ahmad Zain an Najah, MA,  Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI). Website: www.ahmadzain.com

HIDAYATULLAH

Bila Ingin Bertemu Lailatul Qadar, Jangan Lupa Perbanyak Baca Doa Ini

Di dalam bulan Ramadhan terdapat malam yang dianggap paling baik dibanding malam lainnya. Malam itu penuh berkah dan ampunan. Malam sarat rahmat itu disebut dengan lailatul qadar. Tidak ada yang tahu kapan persis kejadiannya. Kehadirannya selalu ditunggu oleh setiap umat Islam.

Dikarenakan tidak ada yang mengetahui secara pasti kedatangannya, kita dianjurkan memperbanyak ibadah setiap saat, terutama sepuluh malam terakhir Ramadahan. Sebab, Rasulullah meningkatkan dan memperbanyak ibadah di sepuluh terakhir Ramadhan.

Dalam sebuah riwayat, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah. Beliau berkata

 يارسول اللَّه إن علمتُ ليلة القدر ما أقول فيها؟ قال:  قُولي: اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فاعْفُ عَنِّي

Aisyah pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, andaikan aku mengetahui lailatul qadar, apa yang bagus aku baca?’ Rasulullah menjawab, ‘Bacalah  Aisyah pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, andaikan aku mengetahui lailatul qadar, apa yang bagus aku baca?’ Rasulullah menjawab, ‘Bacalah Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku).’
. (HR: al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah)

Berdasarkan hadis ini, kita dianjurkan memperbanyak baca doa:

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’

Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku

Karena kita tidak mengetahui kepan waktu persis lailatul qadar, doa di atas boleh dibaca setiap hari selama bulan Ramadhan.

ISLAMIco

Ini Doa yang Dibaca Aisyah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa setiap amal itu yang paling penting adalah akhirnya. Begitu juga dengan amalan kita pada bulan Ramadhan. Dari awal baik, maka selayaknya diakhiri juga dengan hal-hal yang baik. Apalagi di akhir bulan Ramadhan terdapat malam Lailatul Qadar.

Semua orang pasti ingin mendapatkannya. Bagaimana tidak, beribadah semalam tapi keutamaannya lebih dari seribu bulan.

Aisyah, Ummul Mukminin pernah berdoa setiap penghujung bulan Ramadhan. Doa ini merupakan doa yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Aisyah.

أَللّهمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَريْمٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عنّا

Allahumma innaka afuwwun karim tuhibbul afwa fa’fu anna

“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf dan Maha Mulya, serta mencintai maaf, maka maafkanlah kami.”

Wallahu a’lam.

ISLAMIco

Kisah Ulama Yahya bin Ma’in: Tidak Kuat Beli Sandal, Harta Warisannya Didedikasikan Semua untuk Ilmu

Ini kisah Yahya bin Ma’in dan warisannya. Ilmu merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki setiap manusia di muka bumi ini. Karena ilmu merupakan penunjang juga kualitas diri untuk mencari masa depan yang lebih cerah. Dengan ilmu kita bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, mana kebaikan mana keburukan, mana keputusan yang baik untuk diambil mana yang tidak, juga dengan ilmu kita bisa melatih pemikiran dengan luas serta menjadikan kita pribadi yang lebih bertanggung jawab juga dewasa dalam mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan baik hidup ataupun pekerjaan. Jika hidup tanpa memiliki atau mencari ilmu, kita bagaikan manusia yang hidup enggan namun matipun tak mau. Intinya kita hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Menuntut ilmu bukanlah perkara mudah dan sederhana. Butuh pengorbanan dan kesabaran tingkat tinggi untuk menguasainya. Selain itu, godaan dalam proses mencari ilmu juga cukup banyak, beraneka ragam, dan datang silih berganti; baik godaan dari luar maupun dalam diri sendiri. Kesuksesan seorang pelajar sangat ditentukan oleh sejauh mana dia mampu mengusir setiap godaan dan sejauh mana dia berkorban.

Salah satu kisah pengorbanan demi ilmu di masa dahulu adalah kisah Yahya bin Ma’in. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Fattah Abu Gudah dalam Shafahat min Shabril Ulama, Yahya bin ma’in adalah pemuka para imam dalam ilmu Jarh wa Ta’dil sekaligus guru Imam Bukhari, Imam Muslim dan para imam hadis lainnya. Beliau hidup pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Suatu ketika ayah Yahya yaitu Ma’in diangkat menjadi sekretaris Abullah bin Malik. Beliau pun diberi kepercayaan untuk menangani pajak penduduk Rayy. Sebagai seorang sekretaris, tentu ayahnya Yahya mempunyai penghasilan yang banyak.

Namun pada suatu waktu, Ayahnya Yahya tersebut meninggal dunia dan meninggalkan banyak harta warisan berupa satu juta lima puluh ribu dirham. Yahya bin Ma’in yang mendapatkan warisan tersebut ternyata tidak menggunakannya untuk bersenang-senang dan membeli barang yang diinginkannya.

Beliau justru menggunakan seluruh harta tersebut untuk kepentingan kepentingan ilmu khususnya ilmu hadis, hingga tidak tersisa sedikitpun dari uang warisan tersebut. Bahkan untuk membeli sandal pun Yahya bin Ma’in tidak mampu, karena uangnya sudah digunakan semua untuk kepentingan ilmu.

Hingga akhirnya Yahya bin Ma’in meninggalkan banyak buku, mulai dari 114 qimathr (keranjang dari rotan untuk menjaga buku), empat gentong besar penuh dengan buku. Kemudian 20 hub (gentong besar lagi lebar) yang semuanya berisi buku.

Usaha dan pengorbanan memang tidak akan pernah menghianati hasil, termasuk dalam mencari dan menjaga ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik;

لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ

“Seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.”

Teruslah berjuang dan berkorban demi ilmu, karena apa yang kita korbankan hari ini adalah apa yang kita tanam hari ini. Sehingga di masa mendatang kita akan memetik hasil dari pengorbanan, perjuangan dan apa yang telah kita tanam hari ini.

Sebab mencintai ilmu lebih baik daripada mencintai harta benda yang ketika mati tidak bisa ikut dibawa. Sedangkan ilmu yang bermanfaat dan barokah bisa menyelamatkan manusia dari api neraka.

ISLAMIco

Heboh Pengusiran Jamaah Bermasker, Muhammadiyah Sayangkan Sikap Para Pelaku

Beberapa hari lalu masyarakat dihebohkan dengan peristiwa pengusiran jamaah bermasker Masjid Al Amanah Bekasi. Meski kasus ini telah berakhir damai, Muhammadiyah menyayangkan sikap kasar dan tak sesuai akhlak Islam oleh takmir dan dua orang pemuda di sampingnya.

TERKAIT

“Jadi kalau orang pakai masker masuk masjid justru bagus yang dianjurkan, di Makkah juga pakai masker, di Madinah juga pakai masker di pusat Islam. Kenapa ini kok diusir? Jadi aneh juga ya,” kata Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dadang Kahmad pada hari Senin (3/5) , menanggapi pengusiran jamaah bermasker yang viral, dikutip laman resmi Muhammadiyah.

Dadang juga merasa prihatin karena takmir yang mengaku ustaz itu tak memahami kaidah dasar agama (ushulud-din) di dalam maqashid syariah terkait masa darurat pandemi, yakni hifzu nafs (menjaga jiwa).

“Jadi terbalik, seharusnya orang yang tidak pakai masker yang dilarang. Saya kira jangan mengusir orang yang masuk ke masjid kecuali orang itu membahayakan keselamatan jiwa, keselamatan barang-barang masjid, orang gila,” imbuh Dadang. “Saya kira, semua orang setuju, para ulama baik MUI maupun semua, termasuk di Arab Saudi, di Turki di seluruh dunia sama bahwa kita perlu mempraktekkan protokol kesehatan dalam beribadah, pakai masker, jaga jarak, itu dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat pun apapun bisa dilaksanakan, salat sambil berdiri, sambil berbaring itu bisa kalau darurat. Atau di rumah saja bisa, atau di masjid dengan protokol kesehatan,” tambahnya.

Karena itu, Dadang pun berpesan agar semangat dalam beragama juga diikuti dengan pengetahuan (ilmu). “Jangan sampai melarang orang (pakai masker), jadi terbalik. Protokol kesehatan itu ikhtiar,” pungkasnya. *

HIDAYATULLAH

Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad (Bag. 1)

Salah kaprah: “semua orang kafir halal darahnya”

Ini keliru dalam memahami hadis,

كلُّ المسلمِ على المسلمِ حرامٌ مالُهُ وعِرْضُهُ ودَمُهُ

“Terhadap sesama Muslim, haram hartanya, kehormatannya, dan darahnya” (HR. Ibnu Majah no. 3192, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah. Asal hadis ini dalam Shahihain).

Para ulama ketika mensyarah hadis ini, mereka menjelaskan bahwa maknanya adalah terlarangnya menzalimi sesama Muslim dalam masalah harta, kehormatan, dan darah.

Bukankah mafhum mukhalafah hadis ini menunjukkan bahwa orang kafir halal darahnya? Benar, namun terdapat banyak nash yang menunjukkan terlarangnya membunuh orang kafir tanpa hak. Maka nash (dalil tegas) lebih kita dahulukan dari pada mafhum mukhalafah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“Janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak” (QS. Al An’am: 151).

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

وهي النفس المسلمة من ذكر وأنثى ، صغير وكبير ، بَر وفاجر ، والكافرة التي قد عصمت بالعهد والميثاق

“Maksudnya adalah dilarang membunuh jiwa seorang Muslim, baik laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa, orang salih maupun orang fajir, dan juga dilarang membunuh orang kafir yang dijaga jiwanya dengan adanya perjanjian dan kesepakatan” (Tafsir As-Sa’di, hal. 257).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

من قتل مُعاهَدًا لم يَرَحْ رائحةَ الجنَّةِ ، وإنَّ ريحَها توجدُ من مسيرةِ أربعين عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang ada perjanjian hidup rukun dengan kaum Muslimin), dia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Orang-orang kafir juga menjadi halal darahnya untuk ditumpahkan ketika ada hak untuk menumpahkan darahnya. Di antaranya ketika:

* perang melawan orang kafir di medan perang

* melakukan pembunuhan, maka ia di-qishash

* melakukan zina, maka ia dirajam

* melakukan jinayah (kriminal yang melukai orang), maka ia di-qishash

dan semisalnya.

Terlebih jika “orang kafir” di sini adalah kaum Muslimin yang dianggap kafir. Ini masuk dalam penyimpangan bermudahan dalam mengkafirkan sesama Muslim.

Bayangkan jika setiap orang bisa dengan mudah mengkafirkan orang lain (sesama Muslim), lalu dianggap halal darahnya, lalu boleh dibunuh, maka yang terjadi adalah kekacauan. Bisa jadi antar tetangga akan saling bunuh-membunuh dengan dalil ia sudah kafir!!

Salah kaprah dalam memahami dalil-dalil keutamaan jihad

Dalil-dalil keutamaan jihad dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat banyak sekali. Allah Ta’ala berfirman,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

“… Landasan dari segala perkara adalah Islam (tauhid), tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah” (HR. At Tirmidzi no. 2616, Ibnu Majah no. 3973, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Riyadhis Shalihin, no. 1522).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.

“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga. Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahan dengan sebab jihad” (HR. Ahmad no. 22680, dihasankan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Namun yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut adalah jihad syar’i. Bukan sembarangan jihad. Jihad yang syar’i lah yang pelakunya akan mendapatkan surga dan ampunan yang besar.

Betapa banyak hadis Nabi yang menyebutkan orang yang berjihad namun berakhir di neraka. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ,

“Sesungguhnya orang pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati karena istisyhad (mencari syahid) di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan yang dia dapatkan di dunia, lalu dia pun mengakuinya. Kemudian ditanya kepadanya, ‘Apa yang Engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang untuk-Mu Ya Allah, sampai-sampai aku mencari syahid’. Allah berkata kepadanya, ‘Engkau dusta! Engkau berjihad supaya dikatakan seorang yang pemberani. Dan itu telah dikatakan orang-orang’. Kemudian diperintahkan para Malaikat untuk menyeret orang itu atas wajahnya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka … “ (HR. Muslim no. 1905).

Dan hadis-hadis lainnya, yang menunjukkan tidak semua orang yang mengaku berjihad akan mendapatkan keutamaan jihad. Namun yang dimaksud adalah jihad yang syar’i yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap rida Allah lalu terbunuh dia akan masuk surga? Abu Musa menjawab, ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya, ‘Tidak demikian. Jika dia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap rida Allah dan menaati aturan Allah lalu terbunuh, barulah dia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

Salah kaprah: “kalau saya berjihad maka saya bisa memberi syafa’at kepada keluarga saya”

Benar bahwa orang yang syahid dalam jihad dia akan bisa memberi syafa’at kepada keluarganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

للشهيدِ عندَ اللهِ ستُّ خصالٍ : يُغفرُ لهُ في أولِ دفعةٍ، ويَرى مقعدَهُ منَ الجنةِ، ويُجارُ منْ عذابِ القبرِ، ويأمنُ منَ الفزعِ الأكبرِ، ويُوضعُ على رأسِهِ تاجُ الوقارِ، الياقوتةُ منها خيرٌ منَ الدنيا وما فيها، ويُزوَّجُ اثنتينِ وسبعينَ زوجةً من الحورِ العينِ، ويُشفَّعُ في سبعينَ منْ أقاربِهِ

“Bagi orang yang mati syahid di sisi Allah ada enam keutamaan: (1) dia diampuni tatkala pertama kali darahnya muncrat; (2) dia melihat tempat duduknya di surga; (3) dia diselamatkan dari siksa kubur; (4) dia diamankan tatkala hari kebangkitan; (4) kepalanya diberi mahkota kewibawaan, satu berlian yang menempel di mahkota itu lebih baik dari pada dunia seisinya; (5) dia dinikahkan dengan 72 gadis dengan matanya yang gemulai; (6) dia diberi hak untuk memberi syafa’at kepada 70 orang dari kerabatnya” (HR. At Tirmidzi, no. 1663. Disahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Namun yang dimaksud jihad di sini adalah jihad yang syar’i, bukan jihad yang serampangan sebagaimana sudah dijelaskan.

Dan seseorang tidak bisa seenak hati mengklaim akan dapat syafa’at dan mengklaim akan bisa memberi syafa’at. Karena syafa’at itu memiliki dua syarat, yaitu:

Pertama, orang yang memberi syafa’at, dia diizinkan oleh Allah.

Kedua, orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Siapa yang bisa memberi syafa’at di sisi Allah? Kecuali atas izin Allah” (QS. Al Baqarah: 255).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

“Hari ini tidak akan manfaat syafa’at kecuali bagi orang yang diizinkan oleh Ar-Rahman dan bagi orang yang diridai perkataannya” (QS. Thaha: 109).

Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahab dalam matan Al-Qawa’idul Arba’,

وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ، وَالشَّافِعُ مُكَرَّمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوعُ لَهُ مَنْ رَضِيَ اللهُ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإِذْنِ

“Syafa’at yang benar adalah syafa’at yang diminta kepada Allah dan (syaratnya) orang yang memberi syafa’at ia dimuliakan oleh Allah untuk memberi syafa’at, dan orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai perkataannya dan perbuatannya oleh Allah, jika memang Allah mengizinkan”.

Maka tidak semua orang yang mengaku berjihad itu bisa memberi syafa’at, kecuali jihadnya syar’i. Dan tidak semua keluarga mujahid mendapat syafa’at, kecuali mereka diridhai oleh Allah perkataannya dan perbuatannya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65657-salah-kaprah-pelaku-terorisme-berkedok-jihad-bag-2.html

Orang-Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab

Dalam hadits yang masyhur disebutkan bahwa ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Apakah mereka hanya berjumlah 70.000 orang saja? Simak pembahasan ringkas berikut ini.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, disebutkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ

“… ini adalah umatmu. Dan bersama mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab …” (HR. Bukhari no. 6541, Muslim no. 220).

Namun jumlah 70.000 orang dalam hadits ini bukanlah pembatasan. Karena disebutkan dalam hadits lain, dari Tsauban radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيدْخُلَنَّ الجنةَ من أُمتِي سَبعونَ ألفًا ، لا حِسابَ عليهم و لا عذابَ ، مع كلِّ ألْفٍ سَبعونَ ألفًا

“Akan masuk surga 70.000 orang dari umatku tanpa hisab dan tanpa adzab. Dan setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi” (HR. Ahmad [5/280-281], dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5366).

Dalam riwayat lain dalam Musnad Ahmad,

إنَّ ربِّي زادَني مع كُلِّ أَلْفٍ سَبعينَ أَلْفًا

“Sesungguhnya Rabb-ku menambahkan untuk setiap 70.000 ditambah 70.000 lagi …” (HR. Ahmad no. 23505, didhaifkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan lebih banyak lagi. Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وعدَني ربِّي أن يُدْخِلَ الجنَّةَ مِن أمَّتي سبعينَ ألفًا لا حسابَ علَيهِم ولا عذابَ ، معَ كلِّ ألفٍ سبعونَ ألفًا ، وثلاثُ حثَياتٍ مِن حَثَياتِه

“Rabb-ku menjanjikan kepadaku untuk memasukkan umatku ke surga sebanyak 70.000 orang tanpa hisab dan tanpa adzab. Dan setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi. Dan ditambah lagi dengan tiga tangkupan tangan Nabi” (HR. At-Tirmidzi no. 2437, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dari riwayat Abu Umamah ini para ulama menyimpulkan bahwa jumlah orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab itu banyak sekali dan tidak diketahui berapa jumlah pastinya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan,

فالذين يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب لا يحصيهم إلا الله

“Maka orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab itu tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah” (Mauqi’ Ibnu Baz, binbaz.org.sa/fatwas/40688).

Dan hadits-hadits di atas, dibawakan oleh para ulama dalam bab syafa’at. Maka maksud dari “setiap seribu orang dari mereka membawa 70.000 orang lagi” maksudnya adalah syafa’at yang diberikan kepada sesama Mukmin.

‘Ala kulli hal, hendaknya kita senantiasa memohon hidayah dan taufik kepada Allah Ta’ala agar bisa termasuk dalam golongan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65659-orang-orang-yang-masuk-surga-tanpa-hisab.html

Amalan Penting di 10 Hari Terakhir Ramadan

“Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut. (HR. Muslim) 

Penjelasan Hadis

Hadis ini menunjukkan keutamaan semangat beribadah di 10 hari terakhir Ramadan. Hadis ini menceritakan sosok baginda Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang paling giat dalam meraih ridha` Allah SWT dengan bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu-waktu penuh keutamaan dengan meningkatkan kualitas ketaatan, beribadah, bertaqarrub, beri’tikaf, dan mengajak anggota keluarga untuk beribadah. Kesungguhan beliau beribadah di 10 hari terakhir Ramadan melebihi kesungguhan beribadah di waktu selainnya. 

Kalimat “bersungguh-sungguh (beribadah) pada sepuluh hari terakhir” menunjukkan anjuran untuk tidak kendor dalam beribadah di akhir Ramadan sebagaimana fakta di masyarakat. Hadis ini menunjukkan keistiqamahan beliau dalam giat beribadah sepanjang Ramadan. Semua hari di bulan Ramadan sangat istimewa dan semua muslim disarankan untuk melakukan ibadah dengan baik. Namun, 10 hari terakhir Ramadan sangat istimewa. Ada banyak keutamaan di sepertiga bulan terakhir itu hingga Rasulullah pun mengencangkan ibadahnya. 

Setidaknya, kesungguhan beliau ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: 

Pertama, sepuluh hari terakhir merupakan penutup bulan Ramadan yang penuh berkah. Dan setiap amalan manusia dinilai dari amalan penutupnya. 

Kedua, 10 malam terakhir adalah malam-malam yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. 

Ketiga, kerinduan akan keindahan lailatul qadar atau malam kemuliaan yang keutamaan beribadahnya melebihi beribadah sepanjang 1000 bulan. 

Keempat, beliau memberikan contoh kepada umatnya agar tidak terlena dalam kesibukan mempersiapkan kebutuhan hari raya sehingga melupakan keutamaan beribadah di 10 hari terakhir. 

Kalimat “melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut” sebagai anjuran dan keteladanan Rasulullah SAW dalam memotivasi umatnya untuk menambah giat beribadah di 10 hari terkahir Ramadan dengan mencontohkan beberapa amalan utama, antara lain: 

1. Memperpanjang Shalat Malam 

Pada 10 malam terakhir, Rasulullah SAW tidak tidur, lambung beliau dan para sahabat amat jauh dari tempat tidur. Beliau menghidupkan malam-malam tersebut untuk beribadah, shalat, zikir, dan lain-lain hingga waktu fajar. Kebiasaan beribadah di 10 malam terakhir ditularkan kepada seluruh anggota keluarga beliau untuk sama-sama menikmati kesyahduan beribadah sepanjang malam. Sebagaimana penuturan Aisyah RA, 

“Rasulullah SAW biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau kencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

2. Memperbanyak Sedekah 

Meningkatkan sedekah menjadi salah satu amalan utama di 10 hari terakhir sebagai ungkapan syukur atas nikmat dipertemukan Ramadan, serta sebagai penyempurna ibadah puasa dan ibadah-ibadah individu lainnya. Karena tidaklah sempurna keimanan dan kualitas ibadah seseorang kecuali jika adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Sebagaimana firman Allah SWT, 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. As-Sajdah: 16). 

Bersedekah di 10 hari terakhir tidak hanya diterjemahkan dengan sedekah wajib berupa zakat fitrah dan zakal mal, tetapi juga dianjurkan memperbanyak sedekah sunnah dalam rangka berbagi kebahagiaan dan memberikan bekal makanan di hari raya Idul Fitri bagi dhuafa. Bersedekah dapat berbentuk harta, pangan, pakaian, paket sedekah untuk yatim dan dhuafa, dan lain sebagainya. 

3. I’tikaf 

I’tikaf berarti berdiam di masjid dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Tidaklah seseorang keluar dari masjid, kecuali untuk memenuhi hajatnya sebagai manusia. I’tikaf memiliki kekhususan tempat dan aktivitas yaitu masjid dengan aktivitas ibadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berdzikir, berdo’a, membaca Al-Quran, shalat sunnah, bershalawat, bertaubat, beristigfar, dan lainnya. I’tikaf dianjurkan setiap waktu, tetapi lebih ditekankan memasuki sepuluh malam terakhir Ramadhan sebagaimana penuturan Abdullah bin Umar RA, 

Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadan. (HR. Muttafaq ‘alaih) 

Di masa pandemi Covid19 ini, kemungkinan sebagian umat Islam tidak dapat beri’tikaf di masjid, akan tetapi seluruh aktivitas i’tikaf dapat dilakukan di rumah. Jika ingin tetap melakukan i’tikaf secara individu di masjid, maka hendaklah dilakukan dengan memenui protokol kesehatan seperti berbadan sehat, membawa sajadah sendiri, memakai masker, berwudhu kembali di masjid, dan tidak bersalaman. 

4. Tilawah Al Qur’an 

Meningkatkan membaca Al-Qur’an menjadi salah satu ibadah utama di 10 hari terakhir Ramadan. Tidak sedikit umat Islam yang larut dalam tilawah Al-Qur’an sepanjang malam baik di masjid maupun di rumah. Tilawah Al-Qur’an adalah ibadah ringan dan memiliki keutamaan yang besar.Tradisi mengejar khataman Al-Qur’an di akhir Ramadhan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pribadi muslim, khususnya mereka yang setiap hari bergulat dengan aktivitas pekerjaan, sehingga khataman Al-Qur’an sebanya satu kali menjadi target realistis. Apapun bentuk motivasinya, tilawah Al-Qur’an harus lebih digiatkan di 10 hari terakhir Ramadan. 

Itulah beberapa amalan penting di 10 hari terakhir bulan Ramadan. Marilah kita manfaatkan, karena detik-detik 10 malam terakhir amatlah mahal, janganlah dimurahkan dengan kelalaian. Mari kita giatkan beribadah baik di masjid maupun di rumah, dan sisipkanlah doa dalam munajatmu untuk bangsa Indonesia agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Aamiin 

Sekian, semoga bermanfaat. 

HSubhan Nur, Lc, M.Ag 

(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)

KEMENAG RI

Ceramah Ramadhan 2021: Ramadhan Bulan Taubat

Selain dikenal sebagai syahrul shiyamsyahrush shabrsyahrul Qur’an dan syahrul jihad, Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah. Ramadhan bulan taubat. Sebab Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.

Sebaik-baik taubat adalah taubat yang segera, tanpa menunggu dan menunda-nunda. Maka terkumpullah dua keutamaan jika kita bertaubat saat ini: keutamaan karena Ramadhannya dan keutamaan karena menyegerakan taubat.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu … (QS. Ali Imran: 133)

Allah Gembira saat hamba-Nya bertaubat

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat. Juga dalam ayat lainnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. (QS. At-Tahrim: 8)

Allah menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya mendapatkan ampunan dan surga.

وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

Dan Allah menyeru kalian kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah: 221)

Allah sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju ampunan dan surga-Nya. Allah sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat. Kegembiraan Allah bahkan lebih besar daripada seorang musafir yang menemukan kembali untanya setelah hilang di gurun sahara berikut segala perbekalan yang ada padanya.

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.  أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada seseorang yang menunggang untanya di tengah gurun sahara yang sangat tandus. Lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya. Ia putus harapan untuk mendapatkannya kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah mengucapkan karena sangat gembira. (HR. Muslim)

Apapun dosa kita, bertaubatlah

Ada dua titik ekstrem bagi orang yang berdosa. Ekstrem pertama adalah mereka yang merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa dari ampunan Allah. Maka, ia pun tidak kunjung bertaubat karena kekhawatiran taubatnya tidak diterima.

Ekstrem kedua adalah mereka yang merasa dosa-dosanya mudah terhapus. Merasa dosa-dosanya hanya dosa kecil. Sehingga membuatnya berlarut-larut dalam dosa demi dosa. Kalaupun bertaubat, ia hanya melakukan taubat sambal. Sekarang berhenti, besok kembali mengulangi. Tak pernah sungguh-sungguh melakukan taubat nasuha.

Untuk ekstrem pertama, lihatlah bagaimana seorang yang telah membunuh 99 nyawa. Saat ia bertanya kepada seorang ahli ibadah apakah ada kesempatan bertaubat, ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati di tangannya.

Niatnya bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun mengajukan pertanyaan serupa. Oleh sang alim ini dijawab kalau dosanya bisa diampuni. Dan sebagai upaya taubat nasuha, ia dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif bagi taubatnya.

Di tengah perjalanan, ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat rahmat dan malaikat azab, orang ini menjadi urusan siapa. Lalu datanglah malaikat lain yang diutus Allah untuk menyelesaikan perselisihan itu. “Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Mana yang jaraknya lebih dekat, apakah tempat maksiat atau tempat hijrahnya, maka ia yang berhak atas orang ini.”

Ketika diukur jaraknya, ternyata ia lebih dekat ke tujuan hijrah. Hingga ruhnya pun menjadi urusan malaikat rahmat. Dalam riwayat lain disebutkan, Allah memendekkan jarak laki-laki itu dengan tujuan hijrah.

Contoh lain dialami oleh seorang wanita dari Juhanah. Ia mengaku telah berzina dan kini ia hamil. Wanita itu bertaubat dan meminta ditegakkan hudud (rajam) atasnya. Rasulullah menyuruh wanita itu kembali untuk menjaga kandungannya sampai bayinya lahir. Setelah berselang beberapa lama dan bayinya telah lahir, wanita itu datang lagi meminta dirajam. Akhirnya ia dirajam. Rasulullah menshalatkan jenazahnya.

“Ya Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin Khatab meminta penjelasan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

Sungguh dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Ta’ala? (HR. Muslim)

Karenanya, apapun dosa kita, kita segera bertaubat. Kita perbanyak membaca istighfar.

Pembagian dosa

Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat:

1.   Sifat rububiyah (ketuhanan). Dari sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa

2.   Sifat syaithaniyah (kesetanan). Dari sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, menipu, berdusta, makar, kemunafikan, menyuruh pada kerusakan, dan lain-lain.

3.   Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan). Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks, mencuri, dan lain-lain.

4.   Sifat sabu’iyah (kebuasan). Dari sini muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan lain-lain.

Di antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyahBahamiyah yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah dan rububiyah.

Dari keempat jenis itu, menurut sasarannya, dosa dibagi menjadi dua, yakni dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Yang tidak diampuni adalah dosa syirik, sementara dosa yang lain akan diampuni oleh Allah, jika Dia Menghendaki.

Sedangkan dosa kepada sesama manusia akan diampuni oleh Allah jika hak itu telah dihalalkan atau ditegakkan qishash atasnya di akhirat nanti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الظلم ثلاثة فظلم لا يتركه الله وظلم يغفر وظلم لا يغفر فأما الظلم الذي لا يغفر فالشرك لا يغفره الله وأما الظلم الذي يغفر فظلم العبد فيما بينه وبين ربه وأما الظلم الذي لا يترك فظلم العباد فيقتص الله بعضهم من بعض

Kezaliman itu ada tiga: kezaliman yang Allah tidak meninggalkannya, kezaliman yang mendapat ampunan, dan kezaliman yang tidak mendapat ampunan. Kezaliman yang tidak mendapat ampunan adalah syirik, maka Allah takkan mengampuninya. Kezaliman yang mendapat ampunan adalah kezaliman antara hamba kepada Rabb-nya. Sedangkan kezaliman yang tidak akan ditinggalkan/dibiarkan Allah adalah kezaliman antar manusia, maka Allah akan memberi qashash sebagian atas sebagian lainnya. (HR. Thayalisi; hasan)

Yang paling umum, biasanya dosa dibagi menjadi dua: dosa besar dan dosa kecil. Jika kita telusuri hadits, dosa besar yang biasa disebutkan adalah syirik, sihir, riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukminah yang baik sebagai pezina. Tujuh jenis dosa besar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain disebutkan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, sedangkan dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan pula perkataan atau kesaksian palsu.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan pendapat Abu Thalib Al-Makki yang merinci dosa besar menjadi 17 jenis. Empat jenis di hati: syirik, fasiq, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari tipudaya-Nya. Empat jenis di lisan: kesaksian palsu, menuduh wanita mukminah, sumpah palsu, dan sihir. Tiga di perut: minum khamr, memakan harta yatim, dan riba. Dua di kemaluan: zina dan homoseks. Satu di kaki: lari dari medan perang. Dan satu di seluruh badan: durhaka pada orang tua.

Imam Adz Dzahabi menulis kitab Al Kabair. Dosa-dosa besar. Dalam kitab itu dijelaskan ada 70 dosa besar.

Jangan remehkan dosa kecil

Seringkali kita terjebak pada sikap meremehkan dosa kecil. Saat kita ghibah, bercanda yang sudah masuk kategori rafats (porno), bahkan bergaul dengan lawan jenis yang tidak islami, kita beralasan “itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”.

Padahal orang yang meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa. Siapakah yang ia maksiati? Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Besar dan Maha Keras adzab-Nya. Juga, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.

لَا صَغِيْرَةٍ مَعَ الْإِصْرَارِ

Tidak ada dosa kecil selagi terus dikerjakan. (HR. Dailami)

Ibarat sebuah bintik noda, dosa kecil pun akan mengotori hati. Semakin banyak dosa semakin banyak pula noda di hati.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِى قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ

Sesungguhnya, apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul bintik hitam dalam kalbunya. Kemudian jika ia bertaubat, meninggalkan dosa dan memohon ampun, maka hatinya bersih. Dan jika dosa-dosanya bertambah, bintik hitam itupun bertambah. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad; hasan)

Mari taubat sebelum terlambat

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum terlambat. Kini Allah menganugerahkan momentum yang luar biasa kepada kita untuk menjalani taubatan nasuha.

Ramadhan yang sangat kondusif dengan amal shalih dan minim pengaruh negatif dibandingkan bulan lainnya, adalah kesempatan berharga yang belum tentu datang lagi kepada kita. Bukankah kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kita akan tetap hidup sampai Ramadhan berikutnya jika kita menunda taubat saat ini? Lihatlah betapa banyak orang yang Ramadhan lalu masih ada, kini sudah tiada. Bahkan ketika terjadi pandemi Covid-19 seperti ini, betapa banyak orang yang kemudian meninggal setelah terjangkit virus corona.

Marilah kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Dan bukankah pintu taubat akan ditutup saat kita mengalami sakaratul maut?

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ia belum sekarat. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban; hasan)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang bermaksiat di siang hari bertaubat, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat maksiat di malam hari bertaubat. (Demikian itu tetap terjadi) sampai matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)

Baca juga: Niat Sholat Taubat

Syarat taubat

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memaparkan syarat bertaubat secara singkat dalam tiga langkah. Pertama, berhenti dari dosa yang dilakukan. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan. Dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi dosa itu. Ini jika bertaubat terhadap dosa yang berkaitan dengan hak Allah.

Sedangkan jika dosa berkaitan dengan hak manusia, maka syarat taubat ditambah satu lagi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia tersebut. Pembebasan ini tentu dengan penghalalan dari yang terzalimi atau mendapat keikhlasan darinya.

Maka orang yang minum khamr dalam kesendirian misalnya, untuk bertaubat cukup ia berhenti minum khamr, menyesalinya, dan tidak mengulanginya. Namun jika seseorang mencuri harta orang lain, selain tiga langkah tersebut ia harus mendapat maaf dari orang yang dicuri dengan mengembalikan hartanya atau mendapatkan kehalalan darinya.

Semoga Ramadhan yang juga dinamakan syahrut taubah ini kita manfaatkan bersama sebagai momentum taubatan nasuha. Dan karenanya Allah menganugerahkan ampunan dan surga-Nya kepada kita. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH