Zakat Fitrah untuk Janin

Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat fitrah itu wajib bagi laki-laki dan perempuan baik sudah baligh maupun belum baligh (bayi umur satu hari pun wajib dikeluarkan zakat fitrahnya), kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan janin yang berada di dalam kandungan? Apakah wajib dikeluarkan zakat fitrah atau tidak?

Jawabannya: zakat fitrah pada janin hukumnya Sunnah tidak wajib

Sebagian ulama menyebutkan bahwa memberikan zakat pada janin berdasarkan perbuatan sahabat Utsman bin Affan. Ibnu Hazm berkata,

ولا يعرف لعثمان في هذا مخالف من الصحابة

“Tidak diketahui dari perbuatan Utsman (menunaikan zakat fitrah janin) ini menyelisihi sahabat yang lainnya.” [Al-Muhalla 6/132]

Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa zakat janin wajib ketika berumur 120 hari karena telah ditiupkan ruh, akan tetapi pendapat ini kurang kuat karena janin belum tentu lahir dengan selamat dan bisa jadi mati dalam kandungan. Dalam Fatwa Al-Hindiyah dijelaskan:

ولا يؤذى عن الجنين لأنه لا يعرف حياته

“Tidak ditunaikan zakat fitrah dari janin, karena tidak bisa dipastikan janin tersebut hidup.” [Fatawa Al-Hindiyyah, kitab zakat hal. 211]

Pendapat terkuat bahwa zakat fitrah pada janin hukumnya sunnah, tidak sampai tahap wajib. Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ini adalah ijma’ ulama, beliau berkata,

أن ابن المنذر نقل الإجماع على أنها لا تجب عن الجنين، وكان أحمد يستحبه ولا يوجبه

“Ibnu Mundzir menukilkan klaim ijma’ bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin. Imam Ahmad menyatakan hukumnya sunnah dan tidak mewajibkannya.” [Nailul Authar 4/181]

Demikian juga pendapat ulama di zaman ini yaitu Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin, beliau berkata:

زكاة الفطر لا تدفع عن الحمل في البطن على سبيل الوجوب، وإنما تدفع على سبيل الاستحباب

“Zakat fitrah tidak perlu dibayarkan atas kandungan di perut dengan hukum wajib, tetapi dibayarkan karena hukumnya mustahab/sunnah.” [Majmu’ fatawa wa Rasail, kitab zakat fitri]


Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47048-zakat-fitrah-untuk-janin.html

Niat Zakat Fitrah Perlukah Dilafalkan?

Niat Zakat Fitrah, niat ikhlas dalam ibadah adalah bagian dari rukun diterimanya ibadah. Dan hal ini pun sudah sangat tegas disampaikan Rasulullah SAW agar ikhlaslah dalam beramal saleh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua amal tergantung pada niatnya.” (H.r. Bukhari dan Muslim). Jika seseorang beribadah namun tidak ikhlas, ibadahnya tidak diterima oleh Allah.

Niat adalah amal yang bertempat di hati. Dengan demikian, tidak boleh melafalkan niat dalam melakukan ibadah apa pun, termasuk ketika membayar zakat fitrah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –orang yang paling sempurna ibadahnya– tidak pernah mengajarkan maupun mengamalkan lafal niat, dalam ibadah apa pun.

Ustaz Ammi Nur Baits dalam laman Konsultasisyariah dikutip pada Selasa (4/5/2021) dikatakan berniat itu wajib dilakukan tetapi tidak boleh dilafalkan. Oleh karena itu, melafalkan niat termasuk perbuatan yang keluar dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hanya saja, untuk bisa mendapatkan pahala yang lebih, seseorang bisa menghadirkan hal yang lain. Di antara hal yang perlu dihadirkan dalam hati ketika hendak beribadah adalah:

1. ibadah ini dilakukan karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Zakat fitrah ini dalam rangka melestarikan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Ingin menunjukkan rasa cinta dan perhatiannya kepada orang miskin muslim yang membutuhkan.

4. Jika diberikan kepada kerabat maka hadirkan niat untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan dekat dengan keluarga.

Dengan menghadirkan beberapa niat di atas ketika beramal, seseorang akan mendapatkan pahala lebih.

Contoh tidak melakukan niat zakat

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, terdapat pertanyaan, “Apa hukum orang yang menyerahkan sedekah di bulan Ramadan, hanya saja tidak dimaksudkan untuk zakat fitrah (tidak niat zakat fitrah) , tetapi hanya sebatas sedekah untuk membantu orang yang membutuhkan? Apakah sedekah ini bisa menggantikan kewajiban zakat fitrah?”

Jawaban, “Zakat fitrah adalah ibadah, yang tidak sah kecuali dengan niat, sebagaimana yang telah dipahami. Orang yang mengeluarkan sedekah tersebut di bulan Ramadan –dengan tujuan membantu orang yang membutuhkan– tidak bisa disebut zakat fitrah, berdasarkan kesepakatan ulama, karena sedekah tersebut tidak bisa menggantikan kedudukan zakat fitrah.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 23506)

Fatwa ulama Hadramaut (sumber: mualm com)

Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim pernah ditanya, “Apakah disyaratkan adanya niat ketika membayar zakat fitrah, sebagaimana ibadah lainnya? Bolehkan niat ini dilafalkan?”

Beliau menjelaskan, “Termasuk syarat sah membayar zakat fitrah adalah niat karena niat merupakan amal yang agung dalam Islam. Sebagaimana kandungan hadis dari Umar bin Khaththab; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

‘Sesungguhnya, amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya (pahala) yang diperoleh seseorang sesuai niatnya.’ (H.r. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, suatu amal tidak akan diterima kecuali dengan niat; tempat niat itu di hati. Imam Nawawi telah menyebutkan dalam kitabnya, Al-Majmu’, bahwa jika seseorang berniat di dalam hatinya tanpa dilafalkan dengan lisannya maka amalnya sah, ulama menyepakati ini. Sebaliknya, jika ada orang yang melafalkan niat dengan lisannya –yaitu niat untuk menunaikan zakat fitrah– namun hatinya tidak berniat maka hampir semua ulama mengatakan amalnya tidak sah. Karena itu, niat itu bertempat di hati, dan tidak ada anjuran untuk melafalkannya karena tidak ada dalil tentang hal itu.” (Nafahatul Atrh fil Ijabati ‘ala As’ilati Zakatil Fitri, no. 6)

Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim adalah salah satu ulama barisan ahlus sunah dari Wadi ‘Amd, Hadramaut. Beliau merupakan khatib tetap di Masjid Khalid bin Walid Al-Mikla di Hadramaut. Beliau juga menjadi ketua “Majelis Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah” di Hadramaut.

OKEZONE

Fatwa Ulama: Hukum Memberikan Zakat kepada Saudara Kandung

Fatwa Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Pertanyaan:

Apakah saya boleh memberi zakat kepada saudara kandung saya?

Jawaban:

Saudara kandung boleh diberi zakat apabila dia termasuk orang fakir. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kerabat memiliki hak dalam harta selain dari zakat. Apabila harta Anda sedikit sehingga zakat yang Anda keluarkan pun sedikit, kemudian tidak memungkinkan untuk Anda memberi sebagian harta Anda (selain zakat) kepada kerabat tersebut, maka berikanlah zakat kepada dia. Bahkan mereka (kerabat) lebih utama untuk diberi zakat daripada selainnya.

Adapun jika harta Anda banyak, maka bagi kerabat ada hak-hak lain selain zakat. Janganlah seseorang menjadikan zakat sebagai tameng (alasan) untuk tidak memberikan hartanya (selain zakat) kepada kerabat. Sebagian manusia ada yang berlepas diri dari hak-hak yang mesti dia tunaikan, dengan alasan sudah memberi zakat. Mereka mengatakan, “Zakat itu pasti dikeluarkan. Apabila saya tidak berikan zakat kepada mereka, maka terpaksa akan memberikan mereka harta lain (nafkah) selain zakat. Namun jika saya hanya memberikan mereka zakat, maka harta saya akan tetap awet”. Seperti ini tidak boleh.

Tidak boleh seseorang menjadikan zakat sebagai perisai untuk hartanya. Ini semisal dengan orang yang memiliki piutang pada seseorang yang kesusahan membayar hutang. Kemudian dia anggap piutangnya tersebut sebagai zakat. Ia menghutangi orang-orang fakir dengan menganggap itu sebagai zakat yang akan dibayarkan kepada mereka. Ini juga tidak boleh.

Kesimpulannya, kerabat memiliki hak lain selain dari zakat. Apabila hartanya banyak, maka hendaknya dia memberi sebagian hartanya sebagai nafkah kepada kerabatnya dan tidak menjadikan zakat sebagai alasan untuk menjaga hartanya tetap awet.

Tidak diperbolehkan juga untuk seseorang untuk memotong takaran zakatnya dari piutangnya dari orang fakir. Contohnya dia berkata, “Kamu (orang fakir) punya hutang kepadaku sebesar 1000 riyal, padahal zakatnya sebesar 500 riyal. Aku sudah potong untukmu 500 riyal, jadi hutangmu tersisa 500 riyal”. Karena ini maknanya, dia mengambil pelunasan hutangnya dari zakat. Seharusnya, dia memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin, dan bukan menjadikan zakat sebagai pengganti hutangnya.

[Selesai]

Mufti:

Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala

(Ahli Hadis, Faqih, Guru di Masjid Nabawi Asy-Syarif. Rektor Universitas Islam Madinah [1384-1399 H])

Link Fatwa: http://iswy.co/e40k1

***

Penerjemah: Muhammad Fadhli, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/65727-fatwa-ulama-hukum-memberikan-zakat-kepada-saudara-kandung.html

Nabi Muhammad, Kaum Marginal dan Teguran Allah

Berikut kisah tentang Nabi Muhammad, kaum marginal dan teguran Allah.

Syahdan, suatu hari nabi tengah asyik bergumul dan bercengkrama dengan kalangan rakyat jelata. Sang pembawa pesan sedang mengajarkan Islam pada Bilal al Habsyi, Khubab bin Arrit, Abdullah bi Mas’ud, Shuaib al Rumi, dan Ammar bin Yasir. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi masih berada di Mekah.

Saat tengah asyik mengobrol, tetiba datang sekelompok bangsawan dari Quraisy. Mereka orang terpandang di suku Quraisy. Punya jabatan. Banyak harta. Berasal dari keturunan terpandang. Golongan Quraisy yang bertamu itu adalah Arqa bin Habis at Tamimi, Uyainah bin Hisnh al Fazari.

“Kami adalah orang terhormat dari kalangan suku Quraisy. Kami  berasal dari kaum terpandang. Apabila sempat ada yang melihat kami bertemu Anda, kami tak ingin suku kami melihat kami duduk bersama orang seperti Bilal, suhaib dan kawan-kawan, “ celetuk pemimpin Quraisy itu, seperti dicatat Profesor KH. Musthafa Yaqub dalam Islam Masa Kini.

Pembesar Quraisy enggan duduk bersama para kaum marginal di Kota Mekkah itu. Meraka menganggap diri mereka mulia. Tak sepantasnya sepanggung dengan kaum marginal dari kalangan rakyat jelata. Turun muruah dan harga. Begitu pikir dan pinta mereka.

Lantas apa yang diperbuat Nabi? Beginda pun menyetujui permintaan mereka. Nabi mengamini permintaan konyol itu. Sang pembawa pesan mengiyakan pinta pembesar dan bangsawan Quraisy tersebut. Pasalnya, Nabi berharap langkah ini akan membawa angin segar dalam dakwahnya. Ia berkeinginan supaya tokoh ini masuk Islam.

Terenyuh sudah hati kaum marginal Mekah itu. Sedari tadi para sahabat itu mengintai dan mendengar dialog sang Nabi dengan bangsawan. Sadar diri, tanpa diminta Nabi mereka bak undur-undur surut ke belakangan. Kemudian duduk di sudut.

“Kaum Marginal nan terpinggirkan tak pantas satu majelis dan satu tempat duduk dengan kelas elit dari bangsawan Quraisy,” begitu nian pikir Bilal dan sahabat lain.

Tak puas diri, kaum Quraisy masih meragukan komitmen Muhammad. Mereka mengaharapkan lebih, bukan sekadar lisan. Tinta hitam di atas putih. Itulah yang mereka tagih. Bukan sebatas retorika semata-mata.

Mereka ingin ada perjanjian tertulis; “Bila bangsawan Quraisy datang dan duduk satu majelis dengan Nabi, maka kelompok marginal Bilal dan kawan-kawanya harus pergi dan menyinggir” begitu perjanjiannya.

Terkait perjanjian tertulis ini, apa sikap Nabi? Apakah ia mengamini juga? Atau mengabaikan perjanjian rasis ini? Ternyata Nabi  tak mengambil sikap lain. Ia mengiyakan perjanjian itu. Baginda lantas meminta Ali bin Abi Thalib untuk menulis butir demi butir perjanjian itu. Resmi sudah perjanjian itu.

Tak berselang lama—setelah perjanjian itu usai diresmikan—, tiba-tiba Allah menurunkan Q.S an Na’am. Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub, ayat ini tutun sebagai teguran dan kritik atas peristiwa pengusiran kaum marginal, Bilal dan kawan-kawan. Ayat itu berbunyi;

وَلَا تَطْرُدِ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَىْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَىْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Wa lā tarudillażīna yad’na rabbahum bil-gadāti wal-‘asyiyyi yurīdna waj-hah, mā ‘alaika min isābihim min syaiiw wa mā min </em><em>ḥ</em><em>isābika 'alaihim min syaiin fa tarudahum fa takna minaālimīn

Arti: Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)

Tersentak Baginda menerima ayat ini. Wahyu ini berupa teguran terhadap sikap Nabi Muhammad. Lantas beliau segera menyeru Ali bin Abi Thalib. “Berikan naskah perjanjian itu kepada ku,” perintah Nabi kepada Ali. Naskah itu pun seketika beliau robek-robek lalu dibuang ke tempat sampah.

Di pojok Bilal dan sahabat yang lain masih tengah duduk. Nabi menjumpai mereka. Ia temui satu demi satu sahabat tadi. Sahabat yang setia dan membersamai perjuangannya meskipun mereka dari golongan marginal. Dengan perasaan menyesal dan bersalah, Nabi meranggul dan memeluk satu persatu.

Menurut Profesor Ali Musthafa Yaqub, awalnya ini adalah strategi Nabi untuk meranggul orang Quraisy yang senantiasa mengancam dakwah beliau. Pergitungan awal, bila pembesarnya masuk Islam, sudah barang tentu yang di belakangan akan mengikut. Namun, kalkulasi itu keliru.

Allah tak meridhai perlakuan diskriminatif tersebut. Di sisi Allah, orang-orang yang beriman seperti Bilal dan  kawan-kawan justru lebih mulia di banding para sekelompok gedongan yang tak beriman tersebut. Allah tak memandang seseorang dari jenis ras, warna, kulit, dan keturunan. Iman adalah kunci yang mampu membuka pintu Ilahi. Imanlah yang membuka Kasih dan Cinta Ilahi.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unā wa ja’alnākum syu’baw wa qabā`ila lita’āraf, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Demikian sekilas kisah Nabi Muhammad, kaum marginal, dan teguran Allah.

BINCANG SYARIAH

Gerakan Wakaf Kapal Selam

BANGSA INDONESIA  baru saja berduka berupa musibah yang menimpa 53 kru KRI Nenggala-402. Bagi kru yang muslim, semoga Syahid di jalan-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, bahwa ada beberapa kematian yang mendapatkan pahal mati syahid. Salah satunya adalah yang disebabkan karena tenggelam.

Mereka digelari oleh Nabi ﷺsebagai syahid. Namun jenazahnya disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan (kecuali jika jenazahnya tidak diketemukan, pen).

Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah. Semoga mereka semua termasuk dalam golongan ini.

Reaksi publik terhadap peristiwa ini beraneka ragam. Kesedihan mendalam, tentu mewarnai anak bangsa bangsa. Do’a juga terucap, dan tersebar diberbagai media.

Namun ternyata, tidak cukup disitu. Ada yang menggugat dan mempertanyakan kejadian ini. Jangan-jangan ini bukan kecelakaan biasa. Akan tetapi ada rekayasa (by design).

Bahkan ada yang sengaja menghancurkan. Buktinya, ada tumpahan minyak dan menurut keterangan Kapuspen TNI, kapal selam itu terbelah menjadi 3 (tiga) bagian dan hancur, dlsb.

Termauk juga, mempertanyakan status usia kapal selam itu, 40 tahun, dimana terakhir di overhaul pada tahun 2015. Dan setelah itu tidak lakukan perawatan lagi.

Padahal idealnya dilakukan overhaul setiap 3 (tiga) tahun sekali. Dan berbagai reaksi lain, yang memenuhi ruang media sosial. Semoga juga segera ketemu root cause-nya.

Kapal Selam Indonesia

Jika kita telisik dari data yang ada, saat ini Indonesia mempunya 5 kapal selam. Kini tinggal 4 buah. Kalah dari beberapa negara kecil lain. Vietnam 6 buah. Singapura 20 buah. Bahkan China 79 kapal selam. Kita unggul dari Malaysia yang punya 2 kapal selam. Sementara Thailand dan Philipina tidak punya kapal selam.

Dari 5 (lima) buah kapal selam yang ada itu, 2 buah didatangkan jaman predisen Soeharto. Yaitu KRI Cakra 401 dan KRI Nenggala-402, yang keduanya di pesan tahun 1977 di Howaldtswerke-Deutsche Werft Jerman dan datang tahun 1981.

Kemudian membeli lagi 3 (tiga) buah kapal selam kelas Jang Bogo Type 209/1200, dibeli di jaman Presiden Susio B Yudhoyono. Yaitu KRI Nagapasa 403, KRI Alugoro 405 dan KRI Ardadeli 404 yang di pesan tahun 2011 dan dibuat oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co.Ltd (DSME), dan kemudian dikirim pada tahun 2014 dan 2015. Ketiga kapal selam ini proses produksinya dikerjasamakan antara DSME Korea Selatan dengan PT PAL Surabaya.

Secara berturut-turut ketiganya, telah dilakukan commissioning pada tahun 2017, 2018, 2019. Harga ketiga kapal selam tersebut adalah  1,07 Milyar USD. Atau rata-rata per-unit seharga  356,7 juta USD.

Dan pada tahun 2019 sudah ada komitmen yang sama dengan pabrik Korsel itu, untuk membeli 3 (tiga) unit kapal selam lagi sekelas KRI Nagapasa ini. Dengan nilai kontrak lebih murah, yaitu senilai 1,02 Milyar USD. Tetapi belum terealisasi hingga kini.

Sehingga nyaris pemerintahan yang berkuasa saat ini, belum menambah kapal selam sebiji-pun. Padahal kehadirannya sangat strategis sebagai benteng pertahanan NKRI.

Mengapa tidak beli lagi? Apakah tidak ada dana? Berdasarkan RUU APBN Tahun Anggaran 2021, anggaran Kemenhan adalah Rp. 136,9 Trilyun.

Secara berurutan sebagai berikut, pada 2016 sebesar Rp 98,1 triliun. Pada 2017 Rp 117,3 triliun, pada 2018 menurun menjadi Rp 106,7 triliun. Kemudian kembali meningkat untuk anggaran tahun 2019 yang sebesar Rp 115,4 triliun, tahun 2020 Rp 117,9 triliun dan APBN 2021 Rp 136,9 triliun.

Mengapa tidak bisa beli kapal selam? Padahal, pada tahun 2011 Anggaran untuk Kemenhan “hanya” sebesar 45,2 bisa beli 3 (tiga) kapal selam. Dengan logika itu, seharusnya bisa beli lebih banyak lagi, agar minimal sejajar atau lebih kuat dari Singapura.

Mengingat kawasann laut kita, jauh lebuh luas dari negeri jiran itu, tentu lebih membutuhkan armada keamanan laut seperti kapal selam  ini.

Sebagaimana penjelasan di atas, harga satu unit kapal selam adalah 356,7 juta USD atau sekitar Rp, 5,2 T. Sebuah harga yang bisa terjangkau dengan melihat postur anggaran militer/TNI(kemenhan) yang cukup besar itu. Bahkan minimal per tahun bisa beli 1 atau 2 unit. Atau mungkin ada prioritas lain, yang lebih mendesak?

Wakaf adalah solusi

Adalah Masjid Jogokariyan memberikan teladan. Dengan melakukan penggalangan dana untuk membeli kapal selam. Dari poster yang tersebar, jelas tertulis Infak Bantuan Pembelian Kapal Selam Pengganti KRI Nenggala 402.

Ini sebuah pukulan telak bagi negara, yang tidak mau mengalokasikan anggaran untuk pertahanan negaranya sendiri. Maka, Masjid Jogokaryan memberikan contoh, bagaimana wujud cinta terhadap NKRI itu. Bukan hanya lip service, atau hanya slogan semata. Akan tetapi Masjid Jogokaryan memberikan teladan berupa aksi nyata.

Tetapi menurut saya ada satu lagi pilihan solusi paling tepat untuk penggalangan dana ini. Yaitu menggunakan instrumen wakaf uang. Mengapa demikian? Sebab saat gerakan wakaf uang (GWU) diluncurkan Presiden pada, 25 Januari 2021, dinyatakan bahwa potensi wakaf pertahun adalah 2.000 T, sedangkan potensi wakaf uang sendiri adalah 188 T per tahun.

Tetapi menurut KNEKS (Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah), realisasi wakaf uang baru sekitar 800 milyar rupiah. Masih sangat jauh dari potensi yang ada.

Jika ini dapat menjadi program Badan Wakaf Indonesia (BWI) beserta dengan nazhir-nazhir yang telah teregistrasi oleh BWI, akan menjadi tonggak yang fenomenal, sekaligus menunjukkan nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI. Para pewakif-pun, in syaa Allah juga akan berbondong-bondong mendatangi nadzir. Karena jelas dan strategis peruntukannya (obyeknya). Sedangkan mauquf ‘alaih-nya adalah seluruh  rakyat Indonesia.

Demikian juga, hal ini akan menepis kecurigaan selama ini, bahwa dana wakaf akan masuk APBN. Tetapi ini benar-benar wakaf yang ada wujudnya, dan memiliki nilai strategis. Saya usulkan gerakan ini dinamakan dengan Gerakan Wakaf Kapal Selam (GWKS). Wallahu a’lam

Pembina Baitul Wakaf

HIDAYATULLAH

Takkan Lari Rezeki Dikejar

INI  kisah ruhani dari seorang sopir angkot, mikrolet. Sudah sehari penuh ia berkeliling kota mencari penumpang.

Dari satu terminal ke terminal lain yang jaraknya lebih dari 5 km itu penumpangnya yang nyangkut tidak lebih dari satu dua orang. Ia mengeluh karena bahan bakarnya makin susut, sementara uang setoran juga belum ia dapatkan. Setengah furstasi, ia memutuskan untuk menghentikan kendaraanya di tengah perjalanan, sambil melepas lelah.

Tanpa disangkanya sama sekali serombongan orang mendekatinya dan bermaksud mencarter menuju ke suatu tempat. Sesampai di sana, sekumpulan orang yang sama telah menunggunya dengan sedikit berceloteh.

“Kenapa sih bang, kok lama sekali,” kata salah seorang di antara mereka yang telah merasa penat menunggu angkutan yang juga tak kunjung muncul. Pak Sopir masih belum bisa menjawab selain dengan untaian senyum demi senyum. Rasa lelah yang membalut seluruh persendiannya seperti sirna seketika.

Itulah rezeki. Kedatangan dan kepergiannya sering sulit sekali untuk dipahami. Ketika datang ia mengalir begitu deras laksana air bah yang datang melimpah.

Membendungnya bahkan terasa sulit. Bergerak sedikit saja, dengan melakukan pekerjaan yang tidak berbilang memakan banyak energi dan pikiran, semuanya serba menghasilkan uang.

Ibarat orang berjalan, baru bergerak sedikit ke depan keuntungan didapatkan, bergeser sedikit ke kanan laba sudah menunggu. Begitu pula ketika menoleh ke kiri di sana yang ada rezeki melulu.

Sebaliknya, bila Allah menghendaki menutup kran rezeki itu, meskipun kerja keras sudah kita lakukan sedemikian rupa, badan terasa pegal semua, otot-otot menjadi linu, tulang-tulang terasa ngilu dan otakpun sangat amat lelahnya, rezeki yang ditunggu-tunggu mengalir hanya satu dua saja.

Tidak cuma itu. Allah juga masih menguji dengan tambahan ujian yang lain dengan sakitnya keluarga, kehilangan, dan bentuk musibah lainnya.

Tidak Perlu Gengsi

Nabi menghapuskan semua pikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja. Bahkan beliau sangat menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk bekerja apa saja agar dirinya tidak menggantungkan keperluannya kepada orang lain.

Pesan Nabi justru agar kita tidak menjadi rendah diri dengan jalan berusaha. Agar kita punya martabat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari no. 2074).

Banyak ragam jenis pekerjaan di dunia ini. Manusia tinggal memilih dan melakukannya sesuai dengan kemampuannya.

Berdagang, menjadi pegawai ataupun karyawan bukanlah pekerjaan hina, selama pekerjaan tersebut tidak dipenuhi dengan cara yang haram, membantu perbuatan haram, atau bersekutu dengan haram. Bercocok tanam juga pekerjaan mulia. Sembari menunggu keuntungan kita bahkan dapat bersedekah, seperti yang disampaikan Rasulullah,

Dari Anas  bahwa Nabi ﷺ bersabda:

٧. اَ ْلاَوَّلُ : هَنْ اَنَسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ,, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرُسُ غَرْسًا اَؤيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرُ اَؤاِنْسَانٌ اَؤبَهِيْةٌ اِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةُ

”Seorang mulim yang menanam atau menabur benih, lalu ada sebagian yang dimakan oleh burung atau manusia, ataupun oleh binatang, niscaya semua itu akan menjadi sedekah baginya.“ (HR: Imam Bukhari)

Jika demikian halnya tidak dibenarkan kalau kita menggenggam tangan dan berasyik-asyik dengan kemalasan. Kaum muslimin semestinya tampil sebagai orang yang paling sibuk di lingkungannya di mana dia tinggal dan bekerja.

Muslim tidak seharusnya tampil dengan format yang sebaliknya. Kita punya motivasi hidup yang berlandaskan kemuliaan. Agar dalam hidup ini tidak ada celah yang dibiarkan kosong karena pengangguran.

Setiap saat irama hidup yang dijalani termotivasi oleh program pengabdian. Termasuk di dalamnya adalah berusaha dan bekerja keras secara maksimal.

Rasulullah ﷺ membenci para penganggur, karena bukan saja membuat pemandangan tidak indah, tapi akan membuat hati menjadi keras keji dan membeku.

Imam Ahmad pernah ditanya : Apa pendapatmu mengenai orang yang duduk-duduk di rumahnya atau masjid dan ia berkata “Aku tidak akan bekerja biarlah rizqi menghampiriku.” Beliau menjawab : Orang itu bodoh, tidakkah ia mendengar hadits Nabi :

إِنَّ اللهَ جَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي

“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah bayang-bayang tombak-ku.” (HR Ahmad).

Dan tatkala menceritakan burung maka Nabi menyebutkan :

تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang”. (HR: Turmudzi).

Beliau menyebutkan bahwa burung itu pagi-pagi terbang untuk mencari rizki. Dan Para sahabat berdagang, baik yang di darat maupun yang di laut dan ada yang bekerja di kebun kurma dan mereka itu semua adalah panutan (kita). (Ihya Ulumuddin).

Urwah bin Zubar ketika ditanya “Apakah yang paling jelek di dunia ini?”, Ia menjawab : “Al-Bithalah” (menganggur). [Az-Zuhd Li Abi Dawud] Dan dalam hadits disebutkan :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ

“Sesungguhnya Allah mencintai mukmin yang bekerja.” (HR: Thabrani).

Tuhan tidak akan pernah terlambat dalam memberi jatah rezeki kepada hamba-Nya. Ia tidak akan pernah lalai dalam memberikan bekal-bekal kehidupan kepada kekasih-Nya. Itu semua karena kehadiran semua makhluk di muka bumi ini adalah bukan karena kehendak mereka, melainkan karena kehendak-Nya dan karena ke-Mahabesaran-Nya.

Bumi yang luas ini bukan saja gudangnya pekerjaan tapi juga wadahnya rezeki untuk manusia melangsungkan kehidupannya. Rezeki akan habis bila jatah hidup manusia yang Allah berikan juga telah habis masanya. Kran karunia-Nya akan dihentikan seiring dengan habisnya masa pengabdian makhluk kepada Sang Pencipta. Jumlah jatah napasnya seimbang dengan jatah rezekinya. Itulah ke-Mahaadilan Allah yang diberikan kepada setiap makhluk-Nya.

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan ke dalam benakku bahwa jiwanya tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencahariaanmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Abu Dzar dan al Hakim).*

HIDAYATULLAH

Doa Mustajab Malam Lailatul Qadar

Saat ini kita berada di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Para ulama berkata, di malam 10 hari terakhir Ramadhan, ada satu malam yang sangat mulia. Malam itu adalah malam lailatul qadar. Malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Nah di malam itu kita dianjurkan berdoa malam lailatul qadar. Berikut doa mustajab malam Lailatul Qadar;

اللَّهمَّ إنَّكَ عفوٌّ تحبُّ العفوَ فاعفُ عنِّي

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Pemurah, maka maafkanlah kesalahanku.”

اللهمَّ إنِّي أسألُكَ مِنَ الخيرِ كلِّهِ عَاجِلِه وآجِلِه ما عَلِمْتُ مِنْهُ وما لمْ أَعْلمْ، وأعوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كلِّهِ عَاجِلِه وآجِلِه ما عَلِمْتُ مِنْهُ وما لمْ أَعْلمْ، اللهمَّ إنِّي أسألُكَ من خَيْرِ ما سألَكَ مِنْهُ عَبْدُكَ ونَبِيُّكَ، وأعوذُ بِكَ من شرِّ ما عَاذَ بهِ عَبْدُكَ ونَبِيُّكَ، اللهمَّ إنِّي أسألُكَ الجنةَ وما قَرَّبَ إليها من قَوْلٍ أوْ عَمَلٍ، وأعوذُ بِكَ مِنَ النارِ وما قَرَّبَ إليها من قَوْلٍ أوْ عَمَلٍ، وأسألُكَ أنْ تَجْعَلَ كلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لي خيرًا

Artinya: Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kebaikan seluruhnya yang disegerakan di alam dunia maupun yang ditangguhkan kelak di akhirat,  terkait apa yang kuketahui maupun yang tidak kuketahui sama sekali. Dan daku berlindung kepada Mu ya Tuhan dari keburukan yang disegerakan di alam dunia, maupun yang ditangguhkan kelak di akhirat, segala apa kuketahui atau tidak kuketahui.

Ya Allah, daku meminta kepada kebaikan yang diminta oleh hamba & Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang hamba dan Nabi-Mu berlindung kepada-Mu darinya.

Ya Allah, Ya Tuhan ku, Daku meminta kepada Mu, masukkan aku ke surga dan segala hal yang mendekatkan daku  ke syrga mu; baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku berlindung kepada Mu, jauhkan aku dari neraka, dan pelbagai hal yang mendekatkan kepadanya; baik berupa ucapan maupun perbuatan. Dan aku memohon kepada-Mu agar menjadikan setiap ketetapan (takdir) yang Engkau tetapkan untukku sebagai (takdir) kebaikan.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكَسَلِ وَالْهَرَمِ وَالْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْغِنَى وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْفَقْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ عَنِّي خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّ قَلْبِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَبَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas, kepikunan, kesalahan dan terlilit hutang, dan dari fitnah kubur serta siksa kubur, dan dari fitnah neraka dan siksa neraka dan dari buruknya fitnah kekayaan dan aku berlindung kepada-Mu dari buruknya fitnah kefakiran serta aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.

Ya Allah, bersihkanlah pelbagai kesalahanku dengan air salju dan air embun, sucikanlah hatiku dari kotoran-kotoran sebagaimana Engkau menyucikan baju yang putih dari kotoran. Dan jauhkanlah antara diriku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat.

Demikian penjelasan doa mustajab malam lailatul qadar. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sejarah Wabah dan Kondisi Masjid Pada Saat Itu

TAHUN 18 H

Imam At-Thabari mengisahkan bahwa pada saat terjadi Tha’un Amwaas di negeri Syam, wabah tersebut telah merenggut jiwa banyak orang, termasuk gubernur Syam kala itu, yaitu Abu Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah, dan kemudian juga merenggut jiwa gubernur selanjutnya yaitu sahabat Mu’az bin Jabal.

Tatkala sahabat ‘Amr bin Al-Ash ditunjuk sebagai gubernur, beliau berkhutbah dan berkata kepada penduduk Syam:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ، فتجبلوا منه في الجبال

“Wahai masyarakat sekalian, sesungguhnya wabah penyakit ini bila telah melanda, maka akan cepat menyebar bagaikan api yang berkobar-kobar, maka dari itu hendaknya kalian pergi ke gunung gunung.”

Mendengar anjuran sang gubernur ini, sahabat Watsilah Al-Huzali berkata: “Engkau salah besar, sungguh demi Allah, aku telah menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan engkau (wahai ‘Amr) ketika itu masih dalam kondisi lebih buruk dibanding keledaiku ini (masih kafir).”

Mendapat sanggahan ini, sahabat ‘Amr berkata: “Sungguh demi Allah aku tidak akan membantah ucapanmu, sungguh demi Allah aku tidak akan menetap/berdiam diri di kota ini.”

Kemudian sahabat ‘Amr bin Al-Ash segera bergegas mengasingkan diri di pegunungan, dan masyarakatpun segera berhamburan mengikutinya, dengan menyebar ke pegunungan. Tak selang berapa lama, Allah mengangkat wabah Tha’un dari negeri Syam.

Tatkala berita tentang sikap sahabat ‘Amr bin Al-Ash ini sampai kepada Khalifah Umar bin Al-Khatthab, sungguh demi Allah beliau tidak mengingkarinya. (At-Thobari dengan sanad yang lemah)

Walaupun lemah sanadnya, namun ini bukan riwayat yang berkaitan dengan hukum, dan biasanya para ahli sejarah sangat toleran dalam membawakan riwayat semacam ini dalam hal hal sejarah dan yang serupa, karena tidak berkaitan dengan halal dan haram.
Apalagi tindakan sahabat ‘Amr bin Al-Ash di atas masih dapat ditoleransi sebagai bentuk upaya mencegah penyebaran penyakit, yang diajarkan dalam sunnah yaitu membatasi interaksi sosial masyarakat.

Bila mereka pergi ke gunung gunung, maka itu berarti mereka meninggalkan masjid-masjid dan tidak berjamaah di masjid.

TAHUN 448 H

Imam Az-Zahabi mengisahkan bahwa pada tahun 448 H, di negeri Mesir dan Andalusia terjadi paceklik dan wabah yang dahsyat, bahkan tidak pernah terjadi kekeringan dan wabah yang lebih dahsyat dari yang terjadi kala itu di negeri Qordoba dan Isybiliya (Sevilla), sampai-sampai seluruh masjid ditutup, tanpa ada seorangpun yang mendirikan sholat di dalamnya. Dan tahun itu dikenal dengan tahun kelaparan dahsyat. (Siyar A’alam An-Nubala’ 13/438)

TAHUN 449 H

Ibnu Jauzi juga mengisahkan bahwa pada tahun 449 H, terjadi wabah yang sangat dahsyat di negri Ahvaz, Wasit dan sekitarnya. Sampai sampai 20 hingga 30 orang dikuburkan dalam satu lubang.

Banyak dari kaum fuqara’ yang terpaksa makan daging anjing, bahkan sebagian mereka sampai makan daging mayat manusia.

Dikisahkan, banyak keluarga yang masih menyimpan khamr, anggota rumah tersebut mati secara bersamaan.

Begitu dahsyatnya wabah yang melanda, sehingga masjid-masjid menjadi kosong, tidak ada yang mendirikan shalat di dalamnya.

Masyarakat setempat bersegera bertaubat, menyedekahkan harta mereka, menumpahkan khamr, mematahkan alat-alat musik, memperbanyak baca Al-Qur’an. (Al-Muntazham oleh Ibnu Al-Jauzi 16/17-18)

TAHUN 827 H

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengisahkan kejadian pada awal tahun 827 H, bahwa di kota Makkah terjadi wabah yang dahsyat. Setiap hari rata-rata berjatuhan korban meninggal sekitar 40 orang. Pada bulan Rabi’ul Awwal saja, korban meninggal ditaksir mencapai 1700 jiwa.

Dikisahkan bahwa imam shalat yang mendirikan shalat di depan Maqam Ibrahim, yang memimpin shalat para pengikut mazhab As-Syafii hanya diikuti oleh 2 orang saja. Sedangkan imam-imam jamaah pengikut mazhab lainnya sama sekali tidak mendirikan jamaah, karena tidak seorangpun yang mengikuti shalat mereka. (Inba’ul Ghumri bi Abna’il Umri oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani 3/326)

Dan masiih banyak kisah yang lainnya.

Kawan, ini adalah sejarah, selanjutnya silahkan Anda yang berusaha mengambil faedahnya.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36304-sejarah-wabah-dan-kondisi-masjid-pada-saat-itu.html

Tarawih Raka’at Sedikit tapi Panjang atau Banyak tapi Singkat?

Assalamualaikum…

Ust mau tanya, lebih baik shalat tarawih sedikit raka’at tapi bacaan nya surat yang panjang-panjang, atau banyak raka’at nya tapi yg dibaca surat2 pendek atau ayat-ayat singkat?

Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini:

Pertamabanyak raka’at lebih afdol.

Pendapat ini pendapat salah satu pendapat fikih di Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali.

Berdalil dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء

“Kondisi terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud. Maka perbanyaklah doa di saat sujud.” (HR. Muslim)

Dengan memperbanyak raka’at, maka seorang akan memperbanyak sujud.

Keduamemanjangkan bacaan lebih afdol walau raka’at sedikit.

Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama Mazhab Hanafi dan Maliki.

Dalilnya adalah hadis dari sahabat Mughiroh bin Syu’bah beliau menceritakan,

إنْ كان النبي صلى الله عليه وسلم ليقوم ليصلِّي حتى ترم قدماه – أو ساقاه – فيقال له ، فيقول : ( أفلا أكون عبداً شكوراً )

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering sholat malam sampai telapak kaki atau paha beliau bengkak. Lalu ada bertanya kepada beliau mengapa sholat malam sampai bengkak seperti itu kakinya?

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah aku layak menjadi menjadi hamba Allah yang bersyukur?!” (HR. Bukhori dan Muslim)

Ketigakeduanya sama afdol.

Pendapat Mazhab Hambali.

Dasarnya adalah hadis Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فافتتح البقرة، فقلت يركع عند المائة، ثم مضى فقلت يصلي بها في ركعة، فمضى فقلت يركع بها، ثم افتتح النساء فقرأها، ثم افتتح آل عمران فقرأها يقرأ مترسلاً إذا مر بآية فيها تسبيح سبح، وإذا مر بسؤال سأل، وإذا مر بتعوذ تعوذ، ثم ركع فجعل يقول: سبحان ربي العظيم فكان ركوعه نحوا من قيامه ثم قال: سمع الله لمن حمده، ربنا لك الحمد ثم قام قياماً طويلاً قريباً مما ركع، ثم سجد فقال: سبحان ربي الأعلى فكان سجوده قريباً من قيامه

“Pada suatu malam, saya sholat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau membuka sholat dengan membaca surah al-Baqarah. Aku menduga mungkin Nabi akan ruku’ pada ayat ke-100, namun Nabi tetap melanjutkan bacaannya. Aku berkata sepertinya beliau akan menghabiskan surat al-Baqarah di satu raka’at. Setelah selesai satu surat ini, saya menduga beliau akan ruku’. Ternyata beliau melanjutkan membaca surah an-Nisaa’ . Kemudian membaca surah Ali Imran. 

Beliau membaca dengan lambat. Apabila beliau bertemu dengan ayat tasbih maka beliau bertasbih. Apabila beliau bertemu dengan ayat yang mengandung doa maka beliau berdoa. Apabila beliau bertemu dengan ayat ta’awwudz maka beliau memohon perlindungan kepada Allah, kemudian beliau rukuk dan mengucapkan ‘subhaana robbiyal ‘adzhiim’.

Lamanya beliau rukuk kurang lebih sama dengan lama berdirinya beliau. Kemudian beliau (bangkit dari rukuk) mengucapkan ‘sami-allahu liman hamidah, robbanaa lakal hamd’. 

Kemudian beliau berdiri lagi (i’tidal) dengan berdiri yang lama, sama dengan lama beliau ketika rukuk. Kemudian beliau sujud, beliau mengucapkan (dalam sujud beliau) ‘subhaana robbiyal a’laa. Lamanya sujud beliau sama mendekati lama waktunya berdiri beliau.” (HR. Muslim)

(Sumber rangkuman tiga pendapat di atas: islamqa)

Pendapat yang Kuat (Rajih)

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat ketiga -wallahu a’lam-, yaitu antara panjang raka’at dengan banyak raka’at, sama-sama afdolnya.

Alasannya adalah:

Karena pada kedua hal tersebut (sujud dan berdiri), masing-masing memiliki keistimewaan yang tidak ada pada yang lainnya.

Sujud memiliki keistimewaan yang hanya ada pada sujud, yaitu sujud adalah posisi sholat yang paling afdol.

Sementara berdiri (qiyam) juga mengandung keistimewaan yang hanya ada pada posisi berdiri saat sholat saja, yaitu bacaan Qur’an. Dzikir yang paling afdol di dalam sholat adalah membaca Al-Qur’an. Dan ini hanya boleh dilakukan saat berdiri, tidak boleh dilakukan ketika sujud.

Sehingga sholat yang afdol adalah sholat yang seimbang antara panjang raka’at dengan lamanya sujud. Jika bacaan panjang, seyogyanya sujud dan juga ruku’nya panjang. Sebagaimana sifat sholatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diceritakan di dalam hadis Hudzaifah,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ. ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا. ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ

“Pada suatu malam, saya sholat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau membuka sholat dengan membaca surah al-Baqarah. Aku menduga mungkin Nabi akan rukuk pada ayat ke-100, namun Nabi tetap melanjutkan bacaannya. Aku berkata sepertinya beliau akan menghabiskan surat al-Baqarah di satu raka’at. Setelah selesai satu surat ini, saya menduga beliau akan rukuk. Ternyata beliau melanjutkan membaca surah an-Nisaa’ . Kemudian membaca surah Ali Imran. 

Beliau membaca dengan lambat. Apabila beliau bertemu dengan ayat tasbih maka beliau bertasbih. Apabila beliau bertemu dengan ayat yang mengandung doa maka beliau berdoa. Apabila beliau bertemu dengan ayat ta’awwudz maka beliau memohon perlindungan kepada Allah” (HR. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,

وقد تنازع الناس , هل الأفضل طول القيام ؟ أم كثرة الركوع والسجود ؟ أو كلاهما سواء ؟ على ثلاثة أقوال : أصحها أن كليهما سواء , فإن القيام اختص بالقراءة , وهي أفضل من الذكر والدعاء , والسجود نفسه أفضل من القيام , فينبغي أنه إذا طوَّل القيام أن يطيل الركوع والسجود

“Orang-orang berbeda pendapat manakah yang lebih afdol, apakah memanjang berdiri (baca Quran) ketika sholat atau memperbanyak rukuk dan sujud? Atau keduanya sama afdol? Pendapat yang paling tepat adalah: keduanya sama-sama afdol. Karena berdiri ketika sholat memiliki kekhususan yaitu bacaan Al-Qur’an yang merupakan sebaik-baik dzikir dan doa. Sementara sujud sendiri lebih afdol daripada posisi berdiri. Maka seyogyanya ketika seorang memperpanjang berdiri ketika sholat hendaknya juga memperlama rukuk dan sujud.” (Sumber: Fatawa Al-Kubro 2/120, penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiyah th 1408 H / 1987 M)

Wallahu a’lam bis showab.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36923-tarawih-rakaat-sedikit-tapi-panjang-atau-banyak-tapi-singkat.html

Agar Harta Zakat Bertransformasi Menjadi Alokasi Produktif

Berikut penjelasan agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif, bukan sekadar seremonial semata.

Syahdan, zakat merupakan rukun Islam. Saban muslim yang mampu, berkewajiban untuk menunaikan zakat. Zakat ini didistribusikan bagi pelbagai golongan yang berhak menerimanya. Dalam Q.S at Taubah Allah berfirman;

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya; Sesungguhnya zakat hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.

Ibadah zakat merupakan ajaran Islam yang erat kaitannya dengan dimensi sosial-ekonomi. Pasalnya, dalam praktiknya, zakat digunakan sebagai medium untuk menolong  masyarakat mengalami kesulitan sosial-ekonomi. Zakat berperan sebagai penjamin perlindungan sosial. Sejatinya, itulah peran yang ingin di sasar zakat.

Namun dalam fakta lain di lapangan tak menunjukkan, angka orang miskin dan fakir masih relatif tinggi. Lantas muncul soal, apakah ini karena masyarakat muslim yang kaya, enggan mengeluarkan zakat? Atau sebaliknya, distribusi dan alokasi pengelolaan zakat yang kurang efektif dan tak tepat sasaran?

Pendapat pertama, bisa saja terjadi. Namun, penulis tak akan membahas masalah itu di sini. Nanti akan ada pembahasan tersendiri. Namun, yang  menarik untuk ditilik adalah persoalan kedua.  Distribusi dan alokasi produktif harta zakat.

Dalam sebuah hadis Nabi, dikisahkan seorang sahabat bernama Muadz bin Jabal diutus Nabi ke negeri Yaman. Hadis  yang bersumber dari riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan Rasululullah berpesan pelbagai  hala kepada Muadz, di antaranya adalah memungut zakat dari orang-orang kaya.

  عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Artinya; Dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya nabi SAW mengutus Muadz r.a, ke Yaman, beliau bersabda, “ajaklah mereka untuk mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan mengakui bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka menerima itu, beritahukanlah bahwa Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika ini telah mereka taati, sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara mereka.

Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub dalam buku Islam Masa Kini, hadis inilah yang menjadi dasar argumen para ulama, bahwa zakat sepenuhnya menjadi hak orang fakir dan sejenisnya. Harta zakat itu diberikan kepada mereka, dan mereka (miskin, fakir dll) memutuskan untuk apa zakat itu dipergunakan. Pasalnya, menurut mereka zakat itu dikembalikan kepada orang-orang yang fakir tersebut.

Pada sisi lain, hadis ini juga dipahami sekelompok orang, bahwa memindahkan harta zakat dari wilayah wajib zakat, ke wilayah lain, tidak diperbolehkan. Kelompok ini berargumen, pasalnya menurut Nabi harta zakat itu dikembalikan pada para fakir dan miskin yang mereka mustahik zakat.

Imbas dari pemahaman hadis secara tekstual ini pun, menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub menjadikan zakat  selalu dialokasikan dalam bentuk-bentuk konsumtif. Mustahik zakat diberikan zakat berupa makanan, uang, dan kebutuhan pokoknya.

Akhirnya, zakat pun hanya sebatas aktivitas rutin saban tahun, sementara ia kehilangan peran sebagai penunjang dalam menaikan martabat golongan ekonomi lemah. Yang miskin tetap miskin, meskipun zakat telah disalurkan.  Itulah imbas dari zakat hanya bersifat konsumtif.

Untuk itu kemudian, Profesor KH. Musthafa Yaqub mengusulkan alternatif penyaluran zakat dalam bentuk produktif. Terlebih penyaluran zakat Mal. Pasalnya, zakat mal yang wajib dizakati itu memiliki illat (kausalitas dominan), yaitu al nama’ (dapat berkembang atau dikembangkan). Ini merupakan pertanda, bahwa harta zakat tak akan dapat berkembang bila hanya dialokasikan padahal yang konsumtif belaka.

Dalam rangka menunjang alokasi produkti harta zakat itu, maka harta harta zakat itu bisa disalurkan dalam bentuk investasi (istitsmar), agar mustahik zakat dan harta zakat lebih berkembang.

Si mustahik zakat misalnya mempunyai keahlian berwiraswasta, ia tidak saja diberi harta zakat dalam bentuk alat-alat yang diperlukan untuk berwiraswasta, lebih dari itu, ia juga dapat diberikan modal dari harta zakat itu agar ia dapat mengembangkan usahanya.

Dalam pengertian ini, zakat telah bertransformasi, dari sekadar konsumtif beralih pada alokasi tepat sasaran. Si mustahik zakat, tak sekadar diberikan uang atau makanan pokok belaka. Ia juga dibina dan diberikan modal untuk melanjutkan usahanya bila ia  memiliki bakat dalam dagang. Si petani dibelikan bibit dan modal, agar ia mampu memanen hasil yang maksimal.

Apakah ini bertentangan dengan ajaran Islam? Apakah ini menyalahi fiqih Islam? Apakah zakat model begini dibenarkan dalam Islam? Pasalnya, banyak yang tak setuju dalam pemahaman tersebut. Golongan ini terjebak dalam tekstualitas hadis, lantas mengabaikan kontekstualitas zakat itu sendiri.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, apabila fakir dan miskin (mustahik zakat) orang yang sudah biasa bekerja— mempunyai keterampilan—, maka harta zakat yang diberikan kepadanya untuk modal yang bisa ia pergunakan untuk bekerja atau membeli pelbagai alat yang menunjang kinerjanya. Sekiranya, dengan modal dan alat itu, kelak hasil kerjanya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berikut kutipan Imam Nawawi dalam al Majmu’ Syarh al Muhadzab, Jilid VI, halaman 194;

ال اصحابنا فان كان عادته الاحترف اعطي ما يشتري به حرفته او آلات حرفته  قلت قيمة ذلك ام كثرت  ويكون قدره بحيث يحصل له من ريحه ما يفى بكفايته غالبا تقريبا

Artinya; Ashab (penerus Imam Syafi’i) mengatakan apabila si mustahik zakat (faqir dan miskin dll) telah mempunyai profesi (biasa bekerja dan memiliki kemampuan), maka ia diberikan zakat untuk tambahan modal atau membeli alat-alat pekerjaannya, aku berkata; baik itu harga yang biasa (murah) atau mahal. Dan adapun ukurannya ialah sekiranya dengan keuntungan dari pekerjaannya dapat mencukupi pelbagai kebutuhan hidupnya secara layak.

Pada sisi lain, Syekh Al Bajuri dalam Kitab Hasyiyah al Bajuri, Jilid I, mengatakan pemerintah juga dapat membelikan ladang/sawah untuk faqir dan miskin dari harta zakat. Ini apabila si mustahik zakat tak mempunyai kemampuan atau keterampilan. Akan tetapi bila si fakir dan miskin mempunyai keterampilan, maka ia diberikan harta zakat yang dapat dipakai untuk membeli alat alat keterampilan itu.

Misalnya, orang-orang miskin dan fakir mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka ia diberikan modal untuk berdagang. Orang yang memiliki keterampilan bertani, maka ia diberikan modal untuk bercocok tanam. Kelak, keuntungan dari zakat itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Para ulama klasik dan kontemporer sejatinya telah memunculkan ide terkait alokasi harta zakat produktif. Ini merupakan agar zakat lebih terasa dampaknya bagi kaum miskin dan fakir yang membutuhkan. Dan diharapkan alokasi zakat produktif mampu mengangkat martabatnya. Lebih dari itu, agar zakat tak sekadar konsumtif belaka.

Demikian penjelasan terkait agar harta zakat bertransformasi jadi alokasi produktif. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH