SIKAP ISLAM TERHADAP ISTRI YANG DURHAKA
Di antara salah satu permasalahan yang dibahas oleh para ulama ketika mengkaji fikih nikah adalah nusyuz atau kedurhakaan dan ketidak-taatan istri kepada suami, yang mana hal ini merupakan salah satu bentuk ujian rumah tangga yang harus dihadapi suami. Lalu apa batasannya sehingga seorang istri dikatakan nasyiz/ durhaka? Dan apa yang mesti dilakukan suami ketika istri tidak lagi taat/patuh padanya?
Nusyuz secara bahasa berarti “tinggi”. Dikatakan seperti itu karena ketika istri sedang berbuat nusyuz, dia merasa tinggi sehingga tidak menaati suaminya, serta merasa sombong (tinggi) terhadap apa yang Allah Ta’ala wajibkan kepadanya. Oleh karena itu, istri yang tidak taat kepada suaminya dikatakan nasyiz.
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menyebutkan,
المرأة الناشز هي المرأة المرتفعة على زوجها ، التاركة لأمره ، المعرضة عنه ، المبغضة له
“Seorang perempuan yang An-Naasyiz adalah seorang perempuan yang merasa tinggi (durhaka) terhadap suaminya, meninggalkan perintahnya, berpaling darinya, serta membencinya.”
Kapan Seorang Istri Dikatakan Nasyiz?
Adapun kapan seorang wanita dikatakan nasyiz, maka para ulama berbeda pendapat. Adapun menurut mazhab Syafi’iyyah, istri yang durhaka adalah istri yang tidak mau menaati suaminya. Di antara contohnya adalah keluar dari rumah tanpa seizin suami, menolak ajakan suami ke kasur, ataupun istri tersebut menutup pintu di depan muka suaminya. Di dalam mazhab Syafi’iyyah, tidak dibedakan antara tidak menaati perkara yang sudah menjadi kewajibannya ataupun perkara yang bukan menjadi kewajibannya. Hal ini karena keduanya sama-sama merupakan bentuk meremehkan dan menyepelekan suami. Dan hal ini berlaku juga baik itu kedurhakaan yang bisa diselesaikan oleh suami dengan pemaksaan ataupun tidak.
Hukum Durhaka terhadap Suami
Tidak diragukan lagi bahwa durhakanya istri kepada suami hukumnya haram, karena dua hal:
Pertama: karena di dalamnya terdapat pembangkangan dan tidak taatnya istri kepada suami. Padahal menaati suami telah diperintahkan baik di dalam Qur’an maupun hadis, dan mentaati suami hukumnya wajib. Maka, meninggalkan kewajiban hukumnya haram, bahkan Adz-Dzahabi rahimahullah menjadikan kedurhakaan istri sebagai salah satu dosa besar yang tidak akan diampuni, kecuali dengan bertobat. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan istri kepada suami adalah:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)
Di dalam hadis lain disebutkan:
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah di mana posisimu darinya. Maka, sesungguhnys suamimu (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasa’i, dan Ahmad)
Hadis ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memperhatikan hak suami yang harus dipenuhi istrinya karena suami adalah surga dan neraka bagi istri. Apabila istri taat kepada suami, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan istri terjatuh ke dalam jurang neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa menunaikan hak suami juga merupakan kunci agar diri kita bisa menunaikan hak Allah Ta’ala,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّها حَتَّى تُؤَدِّى حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sampai ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Kedua: Allah Ta’ala mengancam dengan hukuman bagi mereka yang mendurhakai suaminya, apabila ia tidak bisa dinasihati dan tidak mempan pula dengan hajr. Dan Allah Ta’ala tidaklah memberi hukuman, kecuali perbuatan tersebut adalah perbuatan haram ataupun meninggalkan perkara wajib. Allah Ta’ala berfirman,
وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)
Bahkan, dalam masalah berhubungan suami istri pun, jika sang istri menolak ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si istri menolaknya [sehingga malam itu suaminya murka], maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan telah kita ketahui bersama bahwa jika amalan/ perbuatan yang diancam dengan sebuah hukuman ataupun pelakunya mendapatkan laknat, maka itu merupakan pertanda bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa kedurhakaan istri terhadap suami merupakan salah satu dosa besar. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita darinya.
Bagaimana Menyikapi Istri yang Nasyiz (Durhaka)?
Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Tidak ada suatu permasalahan di dalam kehidupan, kecuali sudah Allah Ta’ala ajarkan solusinya, tidak terkecuali di dalam pernikahan. Islam telah menunjukkan untuk mereka yang sedang diuji dengan durhakanya istri dengan beberapa jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisa’: 34)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, urutannya dimulai dari hal berikut ini:
Pertama, Memberi Nasihat
Menasihati istri dengan nasihat yang baik, menunjukkan mereka dengan rasa kasih sayang dan penuh ketulusan, mengingatkan mereka terkait akibat dan hukuman dari perbuatan durhakanya, serta mengingatkan istri akan kewajiban yang harus dilakukan istri untuk suaminya.
Jika istri telah menerima nasihat tersebut dan telah berubah, maka suami tidak boleh menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Namun, jika nasihat belum mendapatkan hasil, maka suami menempuh langkah berikutnya yaitu hajr (boikot).
Kedua, Hajr (Boikot)
Hajr (memboikot istri) memiliki berbagai macam bentuk, di antaranya adalah pisah ranjang, ataupun tidak menyapanya, bisa juga dengan tidak mengajak bicara dengan durasi tidak boleh lebih dari 3 hari. Tujuan dari perlakuan kita tersebut adalah agar istri kita menjadi belajar dan mengetahui bahwa yang ia lakukan terhadap suaminya itu merupakan perkara yang besar dan berbahaya, bukan sebagai ajang menghinakannya ataupun balas dendam.
Di antara yang harus diperhatikan dalam masalah Hajr adalah:
- Tidak melakukannya di depan anak-anak kita, sehingga akan mempengaruhi psikis mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak serta menjadikan mereka anak yang broken home.
- Tidak boleh memboikot istri, kecuali di rumahnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah Engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya, serta jangan melakukan hajr, selain di rumah” (HR. Abu Daud)
Namun, jika terdapat maslahat melakukan hajr di luar rumah, maka boleh untuk dilakukan. Karena Nabi pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.
- Lama masa hajr yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama’, yaitu sampai waktu istri kembali taat dan sudah tidak nusyuuz, karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita mengamalkannya secara mutlak tanpa pembatasan.
Ketiga, Memukul Istri
Saat kita sudah tidak dapat memperbaiki nusyuuz istri dengan teguran ataupun boikot, maka kita bisa mengambil jalan keluar dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan ataupun melecehkan ataupun menyiksa.
Disyaratkan juga agar pukulan tersebut tidak dilakukan dengan cara brutal dan tidak melukai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas.” (HR. Muslim)
Dan juga tidak diperbolehkan memukulnya di bagian wajah, serta yakin bahwa memukulnya tersebut akan bermanfaat untuk membuat istri tidak berbuat nusyuuz kembali.
Jatuhnya Kewajiban Menafkahi Istri bagi Suami Jika Istri Nasyiz/ Durhaka
Mengenai hal ini, Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya, lalu beliau menjawab,
“Tidak diragukan lagi bahwa istri yang durhaka tidak memiliki hak nafkah atas suaminya hingga ia kembali taat kepada suaminya jika durhakanya tersebut tidak memiliki alasan yang benar. Sedangkan batasan waktunya, maka ini dikembalikan kepada hakim. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian hakim di mana mereka menjatuhkan kewajiban nafkah untuk istri dan menahan istri dalam jaminan suami bertahun-tahun, maka aku tidak pernah mengetahui ada dalilnya. Dan pada perkara tersebut terdapat kezaliman terhadap istri, dan bisa jadi durhakanya istri itu salah satunya karena perlakuan buruk suami terhadap dirinya. Maka, yang sudah sepantasnya dilakukan dalam perkara seperti ini adalah meneliti dan melihat sebab-sebab kedurhakaan istri sehingga bisa adil di dalam menyelesaikan pertikaian tersebut.” Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.