Bahaya Melaknat dan Menuduh Orang Kafir Menurut Al-Ghazali

Pada era ini, tengah ada tren di kalangan masyarakat menuduh orang lain sebagai kafir dan melaknat mereka. Padahal Imam Ghazali menyebutkan terkait bahaya melaknat dan menuduh orang Kafir menurut Al-Ghazali. 

Secara garis besar, Islam datang bukan hanya untuk merubah akidah dan syariat yang melenceng dari jalan yang diridhai oleh Allah Swt. Melainkan juga sebagai konseptor, penata ulang kehidupan manusia yang direpresentasikan melalui tingkah laku Nabi Saw sehari-hari sebagai suri tauladan umat.

Namun, alih-alih substansinya yang diikuti, kebanyakan orang malah terjebak untuk hanya mengikuti hal-hal yang sifatnya lahiriah ada pada diri Nabi itu sendiri dan menghiraukan hal-hal yang sifatnya lebih esensial diikuti. 

Sehingga di zaman sekarang, diantaranya banyak orang Islam yang mengaku-ngaku mengikuti Nabi tapi kemudian sama sekali tidak mencerminkan perilaku Nabi itu sendiri. Seperti orang-orang yang suka melaknat dan menuduh kafir kepada sesama muslim, semisal. Sedang ia tidak tahu bagaimana dampak ucapannya tersebut.

Bahaya melaknat atau menuduh kafir pun terhadap orang lain sangat besar. Rasulullah Saw bersabda:

لا تلاعنوا بلعنة الله ولا بغضبه ولا بجهنم

Jangan kalian saling melaknat dengan laknat Allah, ghadab Allah, juga tidak dengan jahannam

Bahkan Hudzaifah berkata:

لا تلاعن قوم قط إلا حق عليهم القول

Tidak mengucap laknat suatu kaum kecuali ucapan tersebut kembali kepadanya

Secara harafiah perbuatan melaknat ialah sebuah ungkapan yang isinya menjauhkan orang yang diucapkan dari rahmat Allah. Dan hal tersebut tidaklah diperbolehkan kecuali kepada orang yang memang memiliki sifat yang menjauhkan dirinya dari Allah.

Sebagaimana yang dijelaskan Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Ad-Din: “sifat yang menuntut laknat itu ada 3: kufur, bid’ah dan fasik”.  Dan dari ketiga hal tersebut pun Al-Ghazali mewanti-wanti untuk tidak mengucapkan sembarangan kepada orang lain.

Meski orang yang dikatakan memang bersifat demikian. Kecuali memang orang-orang tertentu yang secara syariat sudah ditetapkan mati dalam keadaan kufur, seperti Fir’aun, Abu Jahal dan lain sebagainya.

Selain orang-orang yang telah ditetapkan tersebut tidaklah patut bagi kita untuk melaknat ataupun menuduh kafir kepada orang lain karena ketidak tahuan kita akan akhir hayat orang tersebut. Apalagi kepada sesama muslim.

Hal tersebut, lebih lanjut sebagaimana yang dijelaskan Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Ad-Din Jilid V hal 446, sebagai berikut:

وأما شخص بعينه فى زماننا, كقولك: زيد لعنه الله, وهو يهودي مثلا..فهذا فيه خطر, فإنه ربما يسلم فيموت مقربا عند الله, فكيف يحكم بكونه ملعونا؟!

Adapun seseorang tertentu di zaman kita, seperti ucapanmu: Zaid la’anahullah, sedang ia Yahudi, seumpama. Ucapan tersebut mengandung kebahayaan. Karena bisa saja ia masuk Islam dan mati dalam keadaan mendekatkan diri kepada Allah. Maka bagaimana mungkin ia dihukumi dengan demikian?!”.

Maka dengan alasan apapun, orang-orang yang dengan seenaknya melaknat atau menuduh kafir kepada orang lain bukanlah representasi dari ajaran Islam maupun suri tauladan Nabi Saw. Apalagi sebagai agama rahmat, Islam juga mengajarkan toleransi antar umat beragama.

Terkait toleransi umat beragama tersebut, Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahanah/:8-9 berikut:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (8)

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Indonesia merupakan bangsa besar yang terdiri dari berbagai suku, etnis dan agama. Dengan konsensus pancasila maka telah jelas substansi keragaman tersebut menjadikan bangsanya musti bersikap moderat dan mengedepankan toleransi kepada sesama.

Demikian penjelasan terkait bahaya melaknat dan menuduh orang kafir menurut Al-Ghazali. Semoga kita terhindar dari dari menuduh orang lain sebagai kafir.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Surah Al-Fatihah (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Keutamaan Surah Al-Fatihah (Bag. 1)

ismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Keutamaan surah Al-Fatihah selanjutnya, yaitu:

Keutamaan Kelima: Membaca Al-Fatihah adalah Rukun Salat

Tidaklah sah salat seseorang yang sengaja tidak membaca Al-Fatihah, padahal ia mampu membacanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“Tidaklah sah salat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ini adalah mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, serta generasi setelahnya.

Keutamaan Keenam: Al-Fatihah adalah Surat Paling Utama Dalam Alquran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أُنْزِلَتْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا

“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah diturunkan dalam At-Taurah, Al-Injil, Az-Zabur, dan Al-Furqan (Alquran), semisal (semulia) Al-Fatihah.” (HR. At-Tirmidzi, sahih)

Keutamaan Ketujuh: Al-Fatihah Disebut sebagai As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-Ulang)

Allah Ta’ala brfirman dalam surah Al-Hijr ayat 87,

وَلَقَدْ اٰتَيْنٰكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْاٰنَ الْعَظِيْمَ<

“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca) berulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung.”

Dan salah satu tafsir dari As-Sab’ul Matsani di sini adalah Al-Fatihah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Dalam hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan surah yang paling agung dalam Alquran,

 الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي ، وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ

Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin (surah Al-Fatihah) adalah As-Sab’ul Matsani dan ia adalah Alquran Al-‘Azhiim yang dianugerahkan kepadaku.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang makna As-Sab’ul Matsani. Beberapa pendapat tersebut yaitu:

-Tujuh ayat yang diulang-ulang dalam setiap rakaat salat.

– Surah yang kandungannya pujian kepada Allah Ta’ala.

– Surah yang dikhususkan hanya diturunkan kepada umat Islam ini, dan tidak diturunkan kepada umat-umat sebelumnya.

Dan semua pendapat di atas diambil dari kata “Matsani”.

Keutamaan Kedelapan: Mengandung Doa Terpenting dan Sebab Terkabulkannya Doa

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarijus Salikin menjelaskan bahwa Al-Fatihah menggabungkan antara dua macam sebab dikabulkannya sebuah doa, yaitu:

Tawassul dengan memuji Allah dan mengagungkan-Nya,

Tawassul dengan penghambaan kepada Allah dan pengesaan-Nya.

Baru setelah itu adalah doa yang terpenting dan harapan paling bagus, yaitu meminta hidayah kepada Allah Ta’ala. Disebutkannya doa ini setelah dua macam tawassul tersebut, merupakan sebab dikabulkannya oleh Allah Ta’ala. Doa yang dimaksud oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah adalah,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Sedangkan dua macam tawassul tersebut ada pada ayat-ayat setelahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan bahwa doa yang paling bermanfaat adalalah doa yang terdapat dalam Al-Fatihah, yaitu memohon pertolongan untuk mendapatkan keridaan-Nya, yaitu:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.”

Keutamaan Kesembilan: Al-Fatihah Mengandung Bantahan ke Seluruh Ahli Kebatilan dari Berbagai Aliran Non-Islam serta Bantahan terhadap Ahli Bid’ah di antara Umat Ini

Dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, hal itu karena Ash-Shiroth Al-Mustaqiim (jalan lurus) dalam Al-Fatihah mengandung ilmu yang hak dan ketundukan kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkannya, mendakwahkannya serta berjihad di jalan Allah memerangi musuh-musuh-Nya. Sedangkan jalan lurus ini adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Adapun seluruh ahli kebatilan dari berbagai aliran non-Islam serta ahli bid’ah di antara umat ini, tentunya melanggar ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sinilah dikatakan bahwa Al-Fatihah mengandung bantahan ke seluruh ahli kebatilan dari berbagai aliran non-Islam serta bantahan terhadap ahli bid’ah di antara umat ini.

Keutamaan Kesepuluh: Surat Al-Fatihah Mengandung Makna Seluruh Kitab-Kitab Allah yang Diturunkan Secara Garis Besar

Hal ini disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Guru beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ul Fatawa menukilkan perkataan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah,

فمن علم تفسيرها كان كمن علم تفسير جميع كتب الله المنزلة

“Barangsiapa yang mengetahui tafsirnya (Al-Fatihah), seolah-olah ia mengetahui tafsir seluruh kitab-kitab Allah yang diturunkan.”

Hal ini dikarenakan Alquran menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, sedangkan Al-Fatihah merupakan induk Alquran yang mengandung dasar dari seluruh perincian Alquran dan maksud-maksud terbesarnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).” QS. (An-Nahl : 89)

Pakar Tafsir di kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdullah bin Ma’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, “Allah telah menjelaskan dalam Alquran ini semua pengetahuan dan segala perkara.”

Ibnu Katsir rahimahullah setelah menukilkan ucapan Abdullah bin Ma’ud radhiyallahu ‘anhu dalam kitab Tafsirnya, lalu mengatakan, “Karena sesungguhnya Alquran mencakup semua ilmu bermanfaat dari khabar yang telah lalu dan pengetahuan yang akan datang, hukum setiap yang halal-haram, serta segala yang dibutuhkan manusia dalam urusan dunia, agama, hidup dan nasib mereka di akhirat.”

Kesimpulan:

Surah Al-Fatihah adalah kunci seluruh kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Baca Juga:

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Referensi:

https://Islamqa.info/ar/answers/132386

https://www.Islamweb.net/ar/article/204127/

dan sumber-sumber lainnya.

Sumber: https://muslim.or.id/72132-keutamaan-surat-al-fatihah-bag-2.html

Definisi Iman Menurut Ahlus Sunnah

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana definisi iman menurut ahlus sunnah wal jama’ah, dan apakah iman tersebut bisa bertambah dan berkurang?

Jawaban:

Definisi iman

Iman menurut ahlus sunnah wal jama’ah adalah, “Ikrar (keyakinan) di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan.” Sehingga terkandung tiga perkara:

Pertama, ikrar (keyakinan) dengan hati;

Kedua, ucapan dengan lisan;

Ketiga, amal dengan anggota badan.

Jika demikian, maka iman tersebut bisa saja bertambah dan berkurang. Hal ini karena keyakinan dengan hati itu bertingkat-tingkat (tidak sama). Keyakinan yang didasarkan atas berita (khabar) itu tidak sama dengan keyakinan karena melihat secara langsung dengan mata kepala. Demikian pula, keyakinan karena berita satu orang itu tidak sama dengan keyakinan karena berita dua orang. Dan demikian seterusnya.

Oleh karena itu, Nabi Ibrahim ‘Alahis salaam berkata,

رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِـي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن قَالَ بَلَى وَلَـكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

“’Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman, ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab, ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)’” (QS. Al-Baqarah: 260).

Maka, iman itu bertambah dari sisi keyakinan dan kemantapan dari dalam hati. Seseorang bisa mendapati kondisi itu dari dirinya sendiri. Ketika seseorang menghadiri mejelis ilmu, disebutkan di dalamnya nasihat-nasihat, (disebutkan pula) surga, dan neraka, maka bertambahlah imannya. Sampai-sampai seolah-olah dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan ketika dia lalai, sehingga tidak menghadiri majelis ilmu tersebut, maka berkuranglah keyakinan tersebut dari dalam hatinya.

Demikian pula, iman bertambah dari sisi ucapan lisan. Siapa saja yang berzikir menyebut nama Allah Ta’ala sepuluh kali, itu tidak sama dengan yang menyebut seratus kali. Maka yang kedua itu bertambah dengan berlipat-lipat (keimanannya). Demikian pula, orang yang mendirikan suatu ibadah dalam bentuk yang sempurna itu keimanannya lebih tinggi daripada orang yang mendirikan ibadah dalam bentuk yang tidak sempurna.

Demikian pula amal perbuatan. Ketika seseorang beramal dengan anggota badannya lebih banyak dari orang lain, maka imannya lebih tinggi daripada orang yang lebih sedikit beramal. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu tentang bertambah dan berkurangnya iman.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَاناً

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya” (QS. Al-Muddatsir: 31).

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كَافِرُونَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS. At-Taubah: 124-125).

Dalam hadis yang sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian” (HR. Bukhari no. 304).

Sebab bertambahnya iman

Oleh karena itu, iman itu bisa bertambah dan berkurang. Akan tetapi, apa sebab bertambahnya iman? Sebab bertambahnya iman ada beberapa hal:

Sebab pertama, mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (ma’rifatullah). Setiap kali pengenalan terhadap nama dan sifat Allah bertambah, maka akan bertambah pula keimanannya tanpa diragukan lagi. Oleh karena itu, engkau jumpai para ulama yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah yang tidak diketahui oleh selain mereka, keimanan mereka lebih tinggi dari orang lain dari sisi ini.

Sebab kedua, merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyyah. Seseorang yang merenungkan ayat kauni, yaitu makhluk ciptaan Allah Ta’ala, maka keimanannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).

Ayat-ayat yang menunjukkan hal ini sangat banyak. Maksudnya, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa jika manusia merenungkan dan memperhatikan ayat-ayat kauniyah, maka bartambahlah keimanannya.

Sebab ketiga, banyaknya ketaatan. Setiap kali seseorang memperbanyak ketaatan, maka bertambahlah imannya, baik ketaatan itu berupa ucapan ataupun perbuatan. Zikir bisa menambah kualitas dan kuantitas iman, demikian pula salat, puasa, haji.

Baca Juga:

Sebab berkurangnya iman

Adapun sebab berkurangnya iman adalah kebalikan dari perkara-perkara tersebut, yaitu:

Sebab pertama, kebodohan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala akan menyebabkan berkurangnya iman. Hal ini karena seseorang yang berkurang pengenalan (pengetahuannya) terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala, maka akan berkurang pula imannya.

Sebab kedua, berpaling dari merenungi ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun syar’iyyah. Hal ini merupakan sebab berkurangnya iman, atau minimal iman tersebut stagnan (statis) dan tidak bertambah.

Sebab ketiga, mengerjakan maksiat. Maksiat itu memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan juga iman. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Seorang pezina tidak sempurna imannya ketika sedang berzina” (HR. Bukhari no. 2475 dan Muslim no. 57).

Sebab keempat, meninggalkan ketaatan. Meninggalkan ketaatan merupakan sebab berkurangnya iman. Akan tetapi, jika ketaatan tersebut adalah perkara wajib dan dia meninggalkan tanpa uzur, maka imannya berkurang, dia pun dicela dan berhak mendapatkan hukuman. Jika ketaatan tersebut tidak wajib, atau wajib namun dia meninggalkan karena uzur (syar’i), maka imannya berkurang, namun tidak dicela. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut para wanita sebagai orang yang kurang akal dan agamanya. Beliau memberikan alasan kurangnya agama wanita karena jika mereka haid, mereka tidak salat dan tidak puasa. Padahal, mereka tidaklah dicela karena meninggalkan salat dan puasa ketika haid, bahkan hal itu diperintahkan. Akan tetapi, ketika mereka terlewat dari mengerjakan ibadah yang dikerjakan oleh kaum lelaki, maka di situlah sisi berkurangnya agama mereka.

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 28 Jumadil akhirah 1443/ 31 Januari 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 32-35, pertanyaan no. 8.

Sumber: https://muslim.or.id/72139-definisi-iman-menurut-ahlus-sunnah.html

Sederet Kendala Jamaah Umroh Saat Kembali ke Tanah Air

Anggota Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri) Eko Kusumawan menyebutkan beberapa kendala yang kerap dialami jamaah umroh ketika kembali ke tanah air. Salah satu masalah yang paling sering ditemui adalah sulit dan lamanya proses pemesanan hotel karantina dan masa karantina. “Hasil tes PCR juga lama, bahkan tidak tentu. Ini sering membuat jamaah cemas,” ujar Eko kepada Republika.co.id, Jumat (4/2/2022).

Dia juga menyayangkan sikap petugas bandara yang menurutnya kurang ramah saat menyambut kedatangan para jamaah. “Jamaah umroh dan haji, pelaku perjalanan luar negeri, TKI, adalah warga negara yang sedang pulang ke negaranya sendiri, maka perlu disambut dengan ramah dan bersahabat,” kritiknya.

“Buat warga Indonesia bahagia pulang ke tanah airnya,” sambung Eko. 

Kendala lain yang dikeluhkan Eko adalah perlunya melampirkan salinan sertifikat vaksin. Dia menyayangkan belum terintegrasinya data di aplikasi PeduliLindungi, yang membuat proses pendataan masih dilakukan secara manual dan kurang efisien. 

“Mengapa masih sering ditanya salinan sertifikat vaksin? Padahal sudah ada di PeduliLindungi, artinya ini masih belum terintegrasi sehingga masih tidak efisien,” keluhnya. 

Selain mengandalkan hotel karantina dan wisma atlet, Eko juga berharap agar wisma haji Pondok Gede dapat pula difungsikan sebagai pusat karantina, dimana tersedianya ruang terbuka untuk olahraga, juga masjid, sehingga jamaah dapat lebih leluasa saat beribadah.  

“Kalau bisa, embarkasi selain Jakarta juga dibuka, agar tidak ada penumpukan jamaah,” sambungnya. 

“Penambahan embarkasi keberangkatan diperlukan untuk memudahkan, menjaga stamina jamaah, efisiensi waktu maupun biaya. Kontrol bisa melalui siskopatuh yang sudah menjadi sistem Kemenag,” kata Eko.

Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi juga menyarankan hal serupa. Menurutnya, pembukaan bandara dan embarkasi di luar Jakarta memang telah lama dinantikan oleh para penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU). 

Pembukaan ini, kata dia, akan mempermudah anggota penyelengara haji dan umroh (PHU) daerah dalam memberangkatkan jamaah mereka. Syam juga memberikan beberapa rekomendasi bandara dan embarkasi yang perlu dibuka untuk memudahkan akses perjalanan umroh bagi jamaah di luar Jabodetabek. 

“Permintaan untuk memperbanyak dibukanya embarkasi dan bandara keberangkatan dan kepulangan jamaah umrah, oleh PPIU dan asosiasi agar para anggota BPU di luar soeta juga bisa memberangkatkan dari kota terdekatnya, seperti Surabaya, Solo, Makassar, Medan. Sehingga dapat memecah penumpukan jamaah dan mempermudah jamaah dari luar Jakarta, untuk dapat berangkat dari bandara terdekat di wilayah mereka,” ujarnya. 

Selain mempermudah perjalanan jamaah umroh, dibukanya bandara-bandara dan embarkasi di luar Jakarta, kata Syam juga dapat memecah kepadatan di Bandara Soekarno Hatta, yang selama ini menjadi satu-satunya pintu keberangkatan dan kepulangan jamaah umroh. Kepadatan pusat-pusat karantina di Jakarta juga dapat diminimalisir dengan membuka sejumlah bandara dan embarkasi di luar Jakarta, sambung Syam.

“Ini tentu dapat mempermudah agar jamaah di luar Jabodetabek agar tidak terlalu kelelahan karena durasi perjalanan yang jauh ke Jakarta, baik keberangkatan maupun kepulangan. Upaya ini juga diharap dapat memecah agar proses karantina dapat dilakukan di wilayah masing masing, karena kita tau, pusat pusat karantina di Jakarta sudah banyak yang penuh, baik wisma atlet maupun hotel karantina. Pembukaan embarkasi dan bandara di luar Jakarta ini juga dapat mengurangi kepadatan di Bandara Soeta, Embarkasi dan pusat pusat karantina di Jakarta,” tuturnya. 

Kabid Umroh Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Zaky Zakaria Anshary mengatakan, saat evaluasi bersama Kemenag dua hari lalu, semua asosiasi travel umrah mengusulkan dibukanya bandara lain untuk pemberangkatan dan kepulangan jamaah umrah. Diantara yang diusulkan adalah bandara Juanda di Sidoarjo, serta bandara di Medan dan Makassar, kata dia. 

Dia menegaskan, usulan tersebut ditujukan untuk mengurangi penumpukan pemberangkatan maupun kepulangan jamaah umrah. Saat ini rata-rata pemberangkatan umrah setiap harinya da 500 orang. Jumlah ini setara dengan seperempat PPLN yang masuk ke Indonesia yaitu rata-rata 2.000 orang setiap harinya.

Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) merespons permintaan travel supaya bandara lain dibuka untuk perjalanan umrah langsung ke Saudi. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief mengatakan penggunaan bandar selain Soekarno-Hatta untuk pemberangkatan dan pemulangan jamaah umrah adalah kewenangan Satgas Covid-19.

“Sebab pembukaan akses kedatangan PPLN terkait dengan kesiapan fasiltias bandara serta layanan karantinanya,” ujarnya. 

“Kementerian Agama akan bersurat ke BNPB untuk mengusulkan pembukaan bandara di kota lainnya sebagai tempat pemberangkatan dan pemulangan jamaah umroh,’’ sambungnya.

Menurutnya, pertimbangannya adalah untuk mencegah penumpukan atau over load di bandara Soekarno-Hatta. Hilman mengatakan saat ini jumlah jamaah umrah yang berangkat sudah mencapai 8.000 lebih.

IHRAM

Berdakwah tidak Harus Mencerca Keyakinan Orang Lain

Haruskah meyakinkan orang lain dengan cara merusak keyakinan orang lain? Haruskah memperkuat keimanan kelompok kita dengan cara menyerang keyakinan orang lain? Kenapa kita harus merasa kuat iman dengan cara melemahkan keimanan orang lain? Tidakkah kita memiliki keimanan yang kuat, tanpa tergantung dengan keyakinan orang lain?

Rasanya masih banyak pertanyaan penting terkait fenomena keumatan hari ini yang seolah ingin berdakwah, tetapi dengan cara harus merusak keyakinan orang lain. Nampaknya kita merasa minder dengan keyakinan iman kita. Merasa keyakinan yang lain kuat sehingga harus dilemahkan untuk memperkuat keimanan kita.

Sungguh ironi. Al-Quran telah memperingatkan : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Surat al- An’am ayat 108).

Sebab turunnya ayat tersebut bahwa dahulu ada seorang muslim yang menghina sesembahan kaum musyrik (berhala). Dan hinaan tersebut berujung kemudharatan, lantas Allah menurunkan ayat tersebut. Dahulu di jaman Rasulullah, beberapa sahabat menyebarkan Islam dengan cara menghina sesembahan kaum musyrik. Mengetahui hinaan tersebut, kaum musrik merasa terganggu karena merasa tuhannya direndahkan, maka merekapun mengancam para sahabat, jika cara dakwah mereka tetap seperti itu maka mereka juga tak akan segan untuk berbalik memaki Allah.

Islam dengan tegas melarang umatnya menghina, mengolok-olok, mencela, menista dan mencaci-maki agama lain diluar Islam. Larangan tersebut merupakan bagian dari toleransi yang diajarkan Islam. Larangan memaki agama lain diturunkan karena makian akan berbuah makian pula.

Sayangnya belakangan ini media sosial kita ramai memberitakan bahwa ada seseorang yang mengaku muslim menendang sesajen yang disiapkan umat agama lain untuk pemujaan terhadap Tuhannya. Dalam surat di atas di katakan bahwa sekedar memaki saja umat muslim dilarang untuk melakukannya, apalagi ini sampai di tendang.

Karena itulah, landasan ilmu itu sangat penting dimiliki oleh setiap muslim. Sesajen sebenarnya sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, karena memang agama yang dianut oleh nenek moyang kita adalah agama Hindu dan Budha. Dalam penyebaran Islam di Indonesia, Wali Songo tidak pernah melakukan hal yang buruk kepada umat agama lain, karena dalam penyebaran Islam sendiri, menghormati sejarah dan tradisi yang ada sebelum masuknya Islam. Dahulu orang Jawa memakai sesaji dan diletakkan di sawah, tindakan tersebut memiliki tujuan supaya sesaji yang disajikan tersebut dimakan oleh penunggunya.

Namun jika kita mau berfikir dari segi logikanya, pada akhirnya yang memakan adalah burung, ayam dan binatang-binatang yang lainnya. Bukankah berbagi dengan sesame makhluk hidup juga penting untuk dilakukan? Dahulu juga para wali dalam menyebarkan Islam tidak pernah mengkafir-kafirkan tradisi sesajen seperti itu. Justru tradisi sesajen dimodifikasi dengan mengubahnya menjadi sedekah ke tetangga tetangga.

Kultur yang sudah ada sebelum Islam masuk itu tidak perlu untuk dilawan, namun cukup dengan diubah caranya supaya bisa berjalan beriringan. Masyarakat Indonesia kini banyak yang sedang mabuk agama namun landasannya saja mereka tidak tahu, sampai-sampai sering kita jumpai aksi-aksi frontal dari sebagian kelompok yang secara sekilas dianggap benar sebagian orang yang mengedepankan emosional.

Di antara isu yang mudah untuk diangkat dan di godok adalah isu keagamaan. Sebagian besar dari kelompok tersebut tidak memahami atau menolak paham konsekuensi dari penetapan suatu hukum, dengan tidak mengesampingkan tindakan preventif. Bertindak tanpa mempertimbangkan dampak dan akibat, justru malah akan memunculkan masalah baru yang mudharatnya bisa saja lebih besar.

Sebagai umat islam tentunya boleh-boleh saja mengamini sebuah kebenaran, namun seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang ekstrem apalagi tanpa landasan ilmu yang benar. Seharusnya seorang muslim yang mengimani Allah sebagai Tuhannya, mampu mengikuti apa yang diperintahkannya dengan cara menyayangi semua makhluk yang diciptakan oleh-Nya.

ISLAM KAFFAH

KDRT Harus Didiamkan karena Aib Pasangan?

Dalam berumah tangga pasti kita tidak akan terlepas dari masalah yang melibatkan konflik antar pasangan. Timbulnya masalah pastinya juga bisa muncul dari sang suami maupun sang istri. Konflik seperti ini lumrah hukumnya karena pada dasarnya suami maupun istri meski sudah terikat pernikahan, namun tetap saja mereka adalah dua manusia yang memiliki sisi pemikiran yang berbeda.

Sebagai pasangan yang bijaksana, seharusnya jika terdapat konflik yang terjadi dalam rumah tangga, mereka tidak harus menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Karena secara tidak disadari, konflik yang terjadi dalam rumah tangga tersebut merupakan salah satu aib pasangan yang harus kita jaga.

Menutupi aib seperti halnya menutupi bagian tubuh seseorang yang pakaiannya tersibak saat tidur. Aib adalah sesuatu yang membuat kita malu, tetapi itu tidak akan membahayakan dan merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT: “… mereka (istri-istrimu) merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka…,” (QS Al-Baqoroh : 187)

Fungsi suami istri sebagai pakaian yang saling melindungi kala hujan, meneduhkan saat panas, menjaga kehormatan dan menutupi hal-hal yang terlarang untuk diketahui orang lain terabaikan begitu saja. Tidak menceritakan aib pasangan dengan menjaga hubungan yang baik. Selagi masih memilih bersama, cukup saling perbaiki.

Namun baru-baru ini telah beredar video seorang artis Oki Setiana yang viral karena menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan aib suami yang harus dijaga oleh istri. Namun, bukankah Islam sangat memuliakan perempuan?

Dalam membangun sebuah keluarga memang suami maupun istri harus mampu untuk mengatasi masalah yang timbul dalam rumah tangga berdua saja. Namun, perlu untuk diingat bahwa, terkadang pertikaian yang ada dalam rumah tangga begitu kompleks dan besarnya masalah yang timbul diperlukan adanya pihak ketiga untuk memediasi pasangan tersebut supaya mereka bisa menyelesaikan masalahnya, termasuk kekerasan, istri maupun suami wajib melaporkan hal tersebut ke ranah hukum.

Untuk menjadi istri yang solehah bukan berarti menutub aib suami, namun tidak memerdekakan dirinya sendiri. Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebenarnya bukanlah suatu aib yang wajib untuk di tutupi, justru malah tindakan kekerasan tersebut harus melaporkannya bukan hanya kepada orang tua saja, namun kepada pihak yang berwajib.

Namun terkadang suami yang melakukan KDRT pun selalu mencari pembenaran atas sikapnya, dalam Surat An-Nisa ayat 34, Allah berfirman “Istri-istri yang kamu khawatirkan akan nusyuz (durhaka) maka nasehatilah mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur, dan pukul mereka.”

Padahal dalam ayat ini maksudnya untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan membangkang harus dimulai dengan memberi nasihat. Jika nasihat tidak bermanfaat, barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, jika tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas atau pukulan yang keras. Jika cara pertama ada manfaatnya, janganlah digunakan cara yang lain dan seterusnya.

Cara diam dan menutupi sebenarnya hanya akan memperburuk kondisi istri. Saat mendapat perlakukan kasar secara fisik hingga menyebabkan luka, justru akan semakin parah jika ditutupi. Ini karena perlakuan kasar yang memberlakukan emosi di dalamnya jika didiamkan akan membuat suami merasa apa yang dilakukannya tidak salah atau tidak apa-apa. Padahal kekerasan dalam bentuk fisik juga mampu melukai psikis yang dapat menyebabkan korban trauma, cemas, bahkan depresi.

Coba kita renungkan kembali, bukankah esensi dari sebuah pernikahan adalah untuk mencari pasangan hidup dan memperoleh kasih sayang, rasa nyaman dan aman ketika bersama pasangan? “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (ar-Rum : 21).

ISLAM KAFFAH

Doa Setelah Adzan Shubuh

Selain doa adzan yang sudah umum dibaca setelah adzan, kita juga dianjurkan untuk membaca doa yang lebih khusus setelah adzan Shubuh. Doa setelah adzan Shubuh ini hampir mirip dengan doa setelah adzan Maghrib. Berikut doa setelah adzan Shubuh;

اللهم هذا اقبال نهارك وادبار ليلك واصوات دعاتك فاغفرلي اللهم اني اسألك العافية في الدنيا والاخرة

Allohumma hadzaa iqbaalu nahaarika wa idbaaru lailika wa ashwaatu du’aatika faghfirlii. Allohumma innii as-alukal ‘aafiyata fid dunyaa wal aakhiroti.

Ya Allah, ini (waktu) datangnya malam-Mu, perginya siang-Mu, dan suara-suara panggilan-Mu, maka ampunilah aku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat.

Doa ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiatul Jamal ‘ala Al-Minhaj berikut;

ويقول كل منهما بعد اذان الصبح اللهم هذا اقبال نهارك وادبار ليلك واصوات دعاتك فاغفرلي واكد الدعاء كما في العباب سؤال العافية في الدنيا والاخرة كان يقول اللهم اني اسألك العافية في الدنيا والاخرة

Disunnahkan bagi orang adzan dan orang yang mendengar setelah adzan Shubuh; ‘Allohumma hadzaa iqbaalu nahaarika wa idbaaru lailika wa ashwaatu du’aatika faghfirlii.’ Doa yang paling dikuat sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Ubab adalah memohon kesehatan dunia dan akhirat, seperti berucap; ‘Allohumma innii as-alukal ‘aafiyata fid dunyaa wal aakhiroti.’

BINCANG SYARIAH

Doa Jika Terlanjur Melakukan Ghibah

Ghibah atau dalam bahasa populernya menggosip adalah perbuatan yang sulit dihindari. Perkumpulan yang terjadi sering tak luput dari membicarakan keburukan orang lain. Padahal semua tau, betapa dosa ghibah ini tidak main-main. Bagaimana jika sudah terlanjur melakukan ghibah dalam suatu obrolan atau perkumpulan?

Dalam Alquran, ghibah diseumpakan dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al-Hujurat ayat 12,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Ayat ini menegaskan tentang dosa mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing. Manusia memang pada umumnya cenderung mudah sekali melihat kesalahan yang ada pada orang lain tapi sulit menemukan kesalahan pada diri sendiri. Perumpamaan ini mengarah pada perbuatan keji dan menjijikkan, sama halnya dengan ghibah, ia merupakan perbuatan hina.

Selain berusaha untuk menghindari obrolan tidak bermanfaat dan menggunjing orang lain, bagaimana jika kita sudah terlanjur terlibat dalam percakapan itu? Ternyata Rasulullah telah mengajarkan sebuah doa penghapus ghibah yang dibaca setelah melakukan perkumpulan yang di dalamnya terdapat perkataan-perkataan dosa.

Dalam hadis disebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ‏.‏ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِكَ ‏”‏

Artinya: dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallama, “sesiapa yang duduk dalam suatu perkumpulan kemudian di dalamnya banyak melakukan perkataan dosa, maka bacalah doa sebelum berdiri (pergi) dari perkumpulan itu: Subhaanakallahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilayka (Maha Suci Engkau dan Maha Terpuji Engkau, aku bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepadaMu), kecuali akan diampuni dosanya dalam majlis tersebut.

Syekh Syarifuddin at-Thayyibi (W. 1342) mengartikan lafaz “لَغَط” sebagai perbuatan mengolok-olok dan mengucapkan perkataan yang tidak berguna. Maka ghibah juga termasuk di antara perbuatan ini. Untuk itulah, dianjurkan untuk membaca doa ini jika terlanjur melakukan ghibah atau perkataan-perkataan yang tidak berguna.

BINCANG MUSLIMAH

Bacalah Doa Ini Setelah Adzan Agar Bisa Masuk Surga Tanpa Hisab

Selain doa adzan yang sudah umum dibaca setelah adzan, kita juga dianjurkan untuk membaca doa khusus setelah adzan yang diajarkan oleh para ulama. Doa setelah adzan yang dimaksud adalah sebagai berikut;

لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهٗ لاَشَرِيْكَ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلاَّوَجْهَهُ. اَللّٰهُمَّ اَنْتَ الَّذِىْ مَنَنْتَ عَلَىَّ بِهٰذِهِ الشَّهَادَةِ وَمَاْشَهِدْتُهَا اِلاَّلَكَ وَلاَيَقْبَلُهَا مِنِّىْ غَيْرُكَ فَاجْعَلْهَا لِىْ قُرْبَةً عِنْدَكَ وَحِجَابًا مِنْ نَارِكَ وَاغْفِرْلِىْ وَلِوَالِدَىَّ وَلِكُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ بِرَحْمَتِكَ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lahu, kullu syai-in haalikun illaa wajhahu. Allaahumma antal ladzii mananta ‘alayya bihaadzihis syahaadati wamaa syahidtuhaa illaa laka walaa yaqbaluhaa minnii ghairuka faj’alhaa lii qurbatan ‘indaka wahijaaban min naarika waghfirlii wa liwaalidayya wa likulli mu’minin wa mu’minatin birohmatika innaka ‘alaa kulli syai-in qodiir.

Tidak ada Tuhan selain Allah, Dzat Yang Maha Esa, tak ada sekutu bagi-Nya. Segala sesuatu akan binasa kecuali Dzat-Nya. Ya Allah, Engkaulah yang telah memberi karunia kepadaku dengan kesaksian ini, dan tidaklah aku memberi kesaksian kecuali bagi-Mu, dan tak ada yang dapat menerima kesaksian dariku selain Engkau.

Karena itu, jadikanlah kesaksianku itu sebagai pendekatan diriku kepada Engkau dan sebagai hijab (penghalang) dari neraka-Mu. Ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan setiap orang mukmin laki-laki dan perempuan, dengan rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Disebutkan bahwa siapa saja yang membaca doa di atas setelah adzan atau mendengar adzan selesai dikumandangkan, maka Allah memasukkan dirinya ke surga tanpa hisab. Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

وذكر أبو محمد بن سبع في شفاء الصدور: وأن من قال إذا فرغ المؤذن من أذانه: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، كل شئ هالك إلا وجهه. اللهم أنت الذي مننت علي بهذه الشهادة وما شهدتها إلا لك، ولا يقبلها مني غيرك، فاجعلها لي قربة عندك وحجابا من نارك، واغفر لي ولوالدي ولكل مؤمن ومؤمنة برحمتك، إنك على كل شئ قدير أدخله الله الجنة بغير حساب.

Abu Muhammad bin Sabi’ dalam kitab Syifa-us Shudur menyebutkan bahwa siapa saja yang mengucapkan setelah muadzin selesai adzan ‘Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lahu, kullu syai-in haalikun illaa wajhahu. Allaahumma antal ladzii mananta ‘alayya bihaadzihis syahaadati wamaa syahidtuhaa illaa laka walaa yaqbaluhaa minnii ghairuka faj’alhaa lii qurbatan ‘indaka wahijaaban min naarika waghfirlii wa liwaalidayya wa likulli mu’minin wa mu’minatin birohmatika innaka ‘alaa kulli syai-in qodiir’, maka Allah memasukkan dirinya ke surga tanpa hisab.

Demikian penjelasan bacaan doa setelah adzan agar bisa masuk surga tanpa hisab. Semoga doa setelah adzan ini memberikan jalan lebar buat kita memasuki surga Allah.

BINCANG SYARIAH

Transgender Berwasiat Diurus Sesuai Jenis Kelamin Barunya, Sahkah?

Belum lama ini, publik dihebohkan dengan permintaan (wasiat) Bunda Dorce agar kelak ketika meninggal, diurus seperti halnya jenazah perempuan. Padahal sudah jamak diketahui bahwasanya beliau merupakan seorang transgender, kira-kira bagaimana fikih menyikapi hal demikian, bolehkah transgender diurus sesuai jenis kelaminnya yang sekarang?

Pada prinsipnya, wasiat itu hanya diperbolehkan pada 2 hal, yaitu: pentasarrufan harta dan pada perkara mubah. Adapun mengenai wasiat transgender agar diurus sesuai kelamin barunya, itu tidak bisa dilaksanakan, sebab tidak memenuhi syarat. 

Persoalan transgender adalah kontemporer, namun berikut adalah keterangan yang hampir mirip dengan konteks permasalahan ini dalam kitab Tuhfat al-Habib Ala Syarh al-Khatib, biasa dikenal dengan Hasyiyah Bujairomi Alaa Al-Khatib;

وَوَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا لَوْ تَصَوَّرَ وَلِيٌّ بِصُورَةِ امْرَأَةٍ أَوْ مُسِخَ رَجُلٌ امْرَأَةً هَلْ يَنْقُضُ أَوْ لَا ؟ فَأُجِيبَ عَنْهُ : بِأَنَّ الظَّاهِرَ فِي الْأَوَّلِ عَدَمُ النَّقْضِ لِلْقَطْعِ بِأَنَّ عَيْنَهُ لَمْ تَنْقَلِبْ ، وَإِنَّمَا انْخَلَعَ مِنْ صُورَةٍ إلَى صُورَةٍ مَعَ بَقَاءِ صِفَةِ الذُّكُورَةِ ، وَأَمَّا الْمَسْخُ فَالنَّقْضُ بِهِ مُحْتَمَلٌ لِقُرْبِ تَبَدُّلِ الْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ يُقَالُ فِيهِ بِعَدَمِ النَّقْضِ أَيْضًا لِاحْتِمَالِ تَبَدُّلِ الصِّفَةِ دُونَ الْعَيْنِ ع ش عَلَى م ر .

Ada pertanyaan “Kalau ada seseorang menyerupai perempuan atau seorang lelaki dirubah menjadi perempuan, apakah membatalkan wudhu bagi lelaki lain saat menyentuhnya ?

Jawabannya : tidak batal secara pasti karena (dirubah bagaimanapun) kesejatian dirinya tidak bisa diganti, yang dapat ditanggalkan hanyalah satu bentuk pada bentuk lain, sedang sifat kelelakiannya (bisa saja) masih ada, andaikan sifatnya pun juga berubah tetap saja tidak membatalkan wudhu.

Keterangan serupa dengan redaksi yang hampir mirip, terdapat di Hasyiyah Al-Baijuri (1/69), Nihayat al-Muhtaj (1/116) dan Hawasyi Syarwani wa al-Ubbadi (1/137). 

Jadi, transgender ini diurus sesuai kelamin aslinya. Baik  perempuan atau laki-laki, sebab yang berubah hanyalah bentuknya saja, sejatinya ia tetap sebagaimana asalnya. 

Menimbang dalam fikih itu ada kajian fikih dakwah, maka ketika ada yang minta demikian (transgender meminta diurus dengan jenis kelamin barunya), baiknya diiyakan saja. Sebab jika ditolak, maka ia akan sakit hati. Toh nanti ketika diurus, dia tidak bisa menolak.

Meskipun demikian, bisa saja keinginan Bunda Dorce dituruti, sebab perbedaan dalam pengurusan mayyit itu kebanyakan pada tataran khilafiyah. Mari kita runtut bahasannya.

Pertama, problem memandikan adalah dilarang lawan jenis kecuali keluarga. Tinggal keluarganya saja yang memandikannya. kedua,  problem mengkafani itu cuma beda model. Laki-laki bisa lima lapis tambah surban (bisa jadi kerudung) dan baju/celana. Toh bungkus luarnya ya kafan panjang.  

Ketiga, Problem salat ada khilafiah. Satu versi imam di pantat jenazah satu versi tetap di kepala. Toh juga sunah. Mengenai niat bisa ditakwil, semisal dalam bunda dorce, ia seharusnya diniati ala hadzal mayyiti (laki-laki), nanti bisa ala hadzihil mayyiti, yang mana maknanya dialihkan pada seseorang.

Yang demikian adalah fikih dakwah, jadi harus bisa memgkompromikan keadaan, antara literatur fikih dan perasaan seseorang. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH