Masjid Istiqlal Osaka Wujud Harapan Komunitas Muslim Indonesia

Masjid Istiqlal Osaka didesain dan direncanakan untuk menjadi pusat syiar Islam di Jepang, khususnya Kota Osaka. Berdirinya masjid tersebut adalah wujud dari impian dan harapan masyarakat Muslim Indonesia yang tinggal di Negeri Sakura.

Namun, masjid yang baru berdiri tersebut masih membutuhkan bantuan untuk menjadi pusat syiar Islam. Osaka adalah kota yang dihuni 2,7 juta penduduk, yang sekitar 3.500 orang di antaranya adalah Muslim.

Tak sedikit masyarakat Muslim Indonesia tinggal di sana. Bahkan, ribuan wisatawan Muslim setiap tahunnya mengunjungi Osaka.

Ketua Yayasan Masjid Istiqlal Osaka Ustaz Herizal Adhardi menceritakan proses berdirinya masjid yang penuh tantangan tersebut tapi selalu mendapatkan bantuan dari Allah SWT lewat para dermawan. Awalnya, kata dia, Muslim Indonesia sering ikut melaksanakan shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha di masjidmasjid yang dibangun oleh Muslim dari Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka.

Akibatnya, sering kali umat Islam yang membangun masjid itu tidak kebagian tempat shalat. Sebab, tempat shalat dipenuhi jamaah dari Indonesia. Ustaz Herizal mengaku sering mendapat pertanyaan dari umat Islam negara lain, mengapa Muslim Indonesia tidak membangun masjid? Nah, pertanyaan itulah yang kemudian menjadi motivasi bagi Muslim Indonesia untuk membangun masjid sendiri.

“Kita berpikir, kita akan bangun masjid Indonesia yang dikelola masyarakat Indonesia di Osaka,” kata Ustaz Herizal di Osaka saat dihubungi Republika, Selasa (18/1/2022) 

Pada tahun 2019, umat Islam Indonesia di Kota Osaka menyewa ruangan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Waktu itu, terkumpullah sekitar 2.500 Muslim, kemudian diumumkan bahwa Muslim Indonesia akan membangun masjid sekaligus Islamic Center.

Ustaz Herizal menceritakan, di awal rencana pembangunan masjid, terkumpul dana sekitar Rp 180 juta. Setelah melewati proses panjang dengan berbagai ujian dan tantangan, pada 12 Januari 2022 gedung yang dibeli untuk masjid seharga Rp 28 miliar berhasil dilunasi. 

Awalnya, masjid itu akan diberi nama Masjid Indonesia. Namun, masjid yang berada di pusat Kota Osaka itu adalah tempat bagi Muslim dari berbagai negara. Maka, dibuatlah nama masjid yang identik dengan Indonesia.

Ketika Masjid Istiqlal Osaka diuji coba untuk shalat Subuh pada hari kerja, ada sekitar 30 jamaah yang melaksanakan shalat Subuh. Kemudian, diuji coba lagi pada Ahad, ada sekitar 100 jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah. Saat shalat Jumat, jumlah jamaahnya bisa mencapai 400 orang.

IHRAM

Keutamaan Surah Al-Fatihah (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Keutamaan surah Al-Fatihah demikian besar dan banyak, di antaranya adalah:

Keutamaan Pertama: Surah Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab

Ada beraneka ragam nama untuk Al-Fatihah, Imam As-Suyuthi rahimahullah sampai menyebutkan ada 25 nama. Dan termasuk nama Al-Fatihah yang paling masyhur adalah Ummul Qur’an (Induk Alquran) & Ummul Kitab (Induk Kitabullah).

Dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحمدُ للَّهِ ربِّ العالمينَ أمُّ القرآنِ، وأمُّ الْكتابِ، والسَّبعُ المثاني

“(Surah) Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (yaitu Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab serta As-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).” (HR. Abu Dawud, Sahih)

Alasan Al-Fatihah disebut sebagai Ummul Qur’an dan Ummul Kitab adalah:

Alasan Pertama: Al-Fatihah mengandung dasar dari seluruh perincian Alquran dan sumbernya

Jadi, nasihat, hukum, kisah, khabar, dan surah-surah selainnya dalam Alquran, semuanya kembali kepada surah Al-Fatihah. Itulah hakikat sesuatu berstatus “induk”, bahwa sesuatu yang lainnya kembali kepadanya. Oleh karena itu, setiap surah dalam Alquran, pasti ada isyaratnya dalam surah Al-Fatihah. Ini adalah mukjizat yang sangat mengagumkan yang tidak didapatkan dalam kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Semua ini menunjukkan kesempurnaan lafaz dan makna Al-Fatihah, Allahu Akbar!

Berikut contoh-contohnya:

– Surah Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Maidah, dan At-Taubah mengandung pembahasan tentang kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani. Dan ini berarti perincian tentang ayat:

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

-Surah Al-Anbiya’, Al-Mukminun, dan Asy-Syu’ara’ mengandung berita para Nabi ’alaihimush shalatu wassalam. Maka, hakikatnya ini adalah penjelasan dari ayat:

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

-Surah Al-Qiyamah, At-Takwir, Al-Infithar, dan Al-Insyiqaq mengisahkan tentang Hari Akhir. Berarti ini adalah penjelasan dari ayat:

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

-Surah An-Nisa’ menyebutkan hak-hak anak, pria, dan wanita, sedangkan manusia itu -sebagaimana makhluk selainnya- semuanya lemah, mereka membutuhkan pertolongan kepada Allah Ta’ala agar bisa beribadah kepada Allah semata. Maka, ini mengisyaratkan kepada ayat:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Alasan kedua: Al-Fatihah sebagai pembuka Alquran dalam urutan surah-surah di mushaf Alquran dan menjadi surah pertama kali yang dibaca di dalam salat

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata,

وسميت (أم الكتاب) لأنه يبدأ بكتابتها في المصاحف، ويبدأ بقراءتها في الصلاة

“(Al-Fatihah) dinamakan Ummul Kitab, karena penulisan Alquran dimulai dengannya dan bacaan Alquran dalam salat dimulai dengannya.”

Keutamaan Kedua: Mengandung Maksud-Maksud Alquran Al-Karim yang Terbesar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي ، وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ

“(Surah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, ia disebut As-Sab’ul Matsani dan disebut juga Alquran Al-‘Azhim yang dianugerahkan kepadaku.”

Baca Juga: Membaca Surat Al-Kahfi dan Cahaya dari Dua Jumat

Al-Fatihah di dalam hadis yang mulia ini disebut As-Sab’ul Matsani dan Alquran Al-‘Azhim. Disebut dengan Alquran Al-‘Azhim” karena meskipun surah ini pendek, namun mengandung maksud Alquran Al-Karim yang terbesar.

Beraneka ragam ungkapan ulama rahimahumullah tentang penentuan maksud-maksud Alquran yang terbesar. Di antara mereka ada yang menyatakan tiga, empat, dan ada pula yang lebih dari empat maksud-maksud Alquran yang terbesar.

Maksud-maksud Alquran yang terbesar, yaitu:

Pertama: Penetapan tauhid, pada ayat:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Kedua: Janji dan ancaman, pada ayat:

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Ketiga: Perintah dan larangan Allah (ibadah), pada ayat:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ

Keempat: Jalan kebahagiaan dan bagaimana melaluinya, pada ayat:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ  *  صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Kelima: Kisah-kisah orang yang melanggar hukum Allah, pada ayat:

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Keutamaan Ketiga: Surah Al-Fatihah Mencakup Tiga Macam Tauhid: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat

Dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa meskipun pendek, surah Al-Fatihah mencakup tiga macam tauhid sekaligus.

Tauhid Rububiyyah pada ayat:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Tauhid Uluhiyyah pada ayat:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Tauhid Asma’ dan Sifat pada ayat:

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Keutamaan Keempat: Al-Fatihah Mencakup Obat bagi Hati dan Badan

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa status Al-Fatihah obat bagi hati, karena inti penyakit hati itu ada dua, yaitu: rusaknya ilmu dan rusaknya niat/kehendak. Keduanya mengakibatkan dua bahaya, yaitu: kesesatan, karena rusaknya ilmu, dan murka Allah, karena rusaknya niat/kehendak. Maka, Ash-Shirath Al-Mustaqim mengandung obat dari kesesatan dan obat untuk menghindari dari kemurkaan Allah. Adapun status Al-Fatihah sebagai obat bagi badan, maka hal itu terdapat dalam hadis sahih dan terbukti dalam pengalaman.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72130-keutamaan-surat-al-fatihah-bag-1.html

3 Tips Pilih Pesantren dari Kemenag, Harus Ada Kiai hingga Inklusif

Orang tua dapat menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren. Melalui pendidikan pesantren, anak-anak dilatih mandiri dan memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih dalam.

Orang tua tak perlu ragu lagi menyekolahkan anaknya di pesantren. Pasalnya di Indonesia banyak pesantren yang berkontribusi besar dalam dunia pendidikan dan menjadi tempat mengenyam ilmu bagi tokoh agama dan pemimpin besar di Indonesia.

Tokoh-tokoh itu adalah KH Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, hingga menteri dan kepala daerah yang pernah menjadi santri pesantren. Sebagaimana disinggung Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani soal pesantren sebagai tempat yang tepat untuk pengembangan anak.

“Ini sesungguhnya memberikan fakta bahwa pesantren adalah tempat yang aman, layak, dan tepat untuk pengembangan anak bangsa,” kata Dhani yang dikutip dari laman Kementerian Agama, Jumat (4/2/2022).

Walaupun beberapa waktu ini eksistensi pesantren sempat terganggu akibat adanya isu kekerasan seksual dan terorisme yang muncul di pesantren. Hal itulah yang menjadi kekhawatiran untuk sebagian orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren.

Dhani berpendapat orang tua tidak perlu khawatir lagi apabila mereka benar-benar memahami bagaimana keadaan pesantren sesungguhnya.

“Saya ingin mengingatkan bagi seluruh anak bangsa, terutama kepada seluruh orang tua yang hari ini ingin menitipkan anaknya dalam proses pendidikan pondok pesantren perlu melihat apakah lembaga yang menyebut dirinya pesantren memiliki arkanul ma’had (rukun pesantren),” ujar Dhani.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang disebut Dhani perlu diperhatikan oleh orang tua sebelum memilih pesantren. Berikut ulasan selengkapnya.

1. Ada Sosok Kiai Pengajar
Ada lima hal yang menjadi rukun pesantren. Salah satunya yaitu sosok kiai yang menjadi figur teladan dan pengasuh yang dapat membimbing santri.

“Lihat sanad keilmuannya. Sanad keilmuannya jelas, ada kiainya. Jangan menitipkan ke pesantren yang gurunya hanya satu tunggal,” kata Dhani.


2. Memiliki Fasilitas yang Mumpuni
Rukun pesantren yang harus terpenuhi selanjutnya yaitu santri mukim. Santri mukim ini mencakup pondok atau asrama, masjid atau mushola, dan juga ada kajian kitab kuning.

“Jadi perhatikan, sanad keilmuannya, ada kiainya, memiliki fasilitas yang baik, dan ada pembelajaran kitab kuning,” terang dia.

3. Pesantren yang Inklusif
Dhani mengatakan pesantren harus bersifat inklusif. Atau dalam artian, pesantren yang dipilih orang tua adalah pesantren yang memberikan izin terbuka bagi orang tua dalam berkunjung ke pesantren.

“Dan tentu saja pesantren bersifat inklusif. Orang tua boleh nengok, masyarakat boleh lihat. Dengan demikian saya bisa mengatakan pesantren aman dan layak menjadi tempat orang tua menitipkan pendidikan anak,” tutupnya.

HIKMAHDetik

Bersalaman Setelah Sholat, ini Penjelasannya

Ulama asal Kanada Syekh Ahmad Kutty menjelaskan jika ada yang berpikir bahwa mengatakan,  Taqabbalallah (semoga Allah menerima sholat anda) setelah sholat berjamaah adalah bagian dari sholat, percaya bahwa sholat tidak lengkap tanpanya, maka itu sama saja dengan melembagakan  bidah. 

“Kami akan mengatakan tidak ada yang salah dengan berjabat tangan dan saling menyapa setelah sholat. Hukum ini berlaku jika kita melakukannya dengan maksud agar doa saudaranya diterima,”ujar dia.

Ini karena fakta bahwa agama adalah apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada ritual seperti itu yang telah ditentukan oleh mereka. Sebaliknya, jika apa yang dikatakan tidak demikian, maka tidak dapat menganggapnya sebagai bidah.

Jika seseorang memberi tahu “semoga Allah menerima doa kami”, bagaimana itu bisa menjadi bid`ah ? Jika kita menerapkan logika ini, maka mengucapkan kata-kata yang baik, atau bersikap ramah terhadap satu sama lain menjadi  bidah, dengan dalih bahwa Nabi (SAW) dan para sahabatnya tidak pernah melakukan atau mengatakan demikian secara tepat pada waktu dan tempat yang tepat. Namun bukan itu maksud dan tujuan larangan terhadap bidah.

Oleh karena itu, jika mengatakan,  Taqaballallah adalah tindakan yang tidak bersalah, membalasnya, bagaimanapun, memang merupakan tindakan yang baik. 

“Kita harus membalas kebaikan dengan apa yang lebih baik atau setidaknya dengan yang serupa,”ujar dia.

 Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 86,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.

Namun, jika seseorang sedang shalat, lebih baik menunggu sampai dia menyelesaikan  shalatnya dan kemudian berjabat tangan dengannya atau mengucapkan, taqaballallah.

IHRAM

Larangan Menjadi Munafik, ini Penjelasannya

Islam sangat melarang manusia menjadi bermuka dua atau munafik. Bahkan Agama Islam mengancam orang-orang munafik dengan siksaan yang pedih atau neraka jahanam.

حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنِي ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kalian akan menjumpai seburuk-buruk manusia, yaitu orang yang bermuka dua, dia datang ke sini dengan satu sikap dan bila datang ke yang lain dengan sikap yang lain.” (HR Muslim)

Maksud hadist ini, Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa manusia akan menjumpai manusia paling buruk yaitu orang bermuka dua atau munafik. Terkait hal ini dalam hadist lain maknanya sama hanya redaksinya berbeda.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

Abu Hurairah mengatakan mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang bermuka dua, dia datang ke sini dengan satu sikap dan bila datang ke yang lain dengan sikap yang lain.” (HR Muslim)

وَسَلَّمَ تَجِدُونَ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

IHRAM

Makna Pemukulan Terhadap Istri dalam Islam

Baru-baru ini viral di Twitter, seolah ada pembiaran KDRT berupa pemukulan terhadap istri, lantaran dianggap aib sehingga tidak boleh diceritakan. Nah, bagaimana Islam makna pemukulan terhadap istri dalam Islam? 

Lebih lanjut, Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus. Dan kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan terdapat 8.234 kasus. 

Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Di dalamnya, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama, dengan 3.221 kasus (50%).

Kesadaran perempuan akan kemanusiaan yang masih tertutup itu dipicu oleh tradisi dan interpretasi agama. Budaya patriarki dan interpretasi agama yang dimonopoli oleh laki-laki adalah keterpaksaan syari’ dalam melegitimasi etos sosial kala itu yang tidak sedikit berujung diskriminasi dan operasi di masa ini.

Sehingga gradualisme Islam ini diyakini satu-satunya cara efektif dalam mengubah peradaban yang haus akan keadilan.

Kekerasan berupa pemukulan oleh suami kepada istri lantaran istri membangkang, yang seakan-akan dilegitimasi oleh agama. Kasus ini dikenal dengan istilah nusyuz, yang berakibat pada gugurnya kewajiban suami terhadap istri. 

Tetapi mengapa di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hanya ada pasal mengenai nusyuz istri, tidak ada mengenai nusyuz suami? Padahal, di dalam Al-Qur’an sendiri, nusyuz dibahas dari dua arah. Ada nusyuz suami kepada istri (QS. An-Nisaa’ [4]: 128). 

nusyuz di sini diartikan berpaling, enggan atau tidak lagi memberi perhatian kepada sang istri. Bisa jadi, itu karena suami sudah tidak tertarik lagi, atau sudah mulai tertarik dengan perempuan lain.

Dalam kondisi ini, Allah menganjurkan pasutri untuk berdamai agar kembali pada komitmen bersama sebagai pasangan yang saling mencintai dan menguatkan satu sama lain dengan cara win-win solution, sekalipun masing-masing biasanya akan egois (syukh, kikir adalah bagian dari egois).

Inilah yang dimaksud shulh dalam ayat tersebut. Kemudian Allah meminta keduanya untuk meningkatkan perbuatan baik kepada pasangan. Inilah yang dimaksud ihsan itu.

Terakhir, Allah juga meminta agar keduanya menghentikan dan membentengi diri dari segala sikap, pernyataan dan tindakan buruk kepada pasangan. Dan inilah yang disebut takwa dalam ayat tersebut. Jadi, jika terjadi nusyuz maka solusi yang ditawarkan al-Quran adalah shulh, ihsan dan takwa. 

Ayat tersebut seharusnya menjadi norma dan prinsip dalam memahami ayat lain (QS. An-Nisaa’ [4]: 34) mengenai nusyuz istri kepada suami. Sehingga ketika istri nusyuz, tidak serta-merta suami boleh memukulnya. Sebab, inti dari pengelolaan nusyuz dalam al-Quran adalah bagaimana mengembalikan pada relasi semula yang saling mencintai dan mengasihi. 

Memukul adalah jauh dari substansi relasi yang dianjurkan al-Quran. Karena itu, banyak ulama tafsir klasik otoritatif yang menganggap memukul istri itu makruh, atau setidaknya khilaful awla (bertentangan dengan akhlak mulia), bahkan kata wadhribuhunna menurut Ahmad Ali dari Pakistan diterjemahkan dengan “melakukan hubungan seksual”, sebagaimana argumen ahli kamus terkemuka, ar-Raghib bahwa dharaba fahl an-naqata, artinya pasangan onta jantan dengan onta betina. 

Oleh karena itu, jika terjadi nusyuz maka berkomunikasilah dengan yang melakukan nusyuz secara baik-baik, agar ia dapat memahami, sadar dan bisa kembali memperbaiki hubungan. Inilah makna fa’izhuhunna dalam ayat 34 tersebut. 

Lalu, beri kesempatan untuk merenung, berpikir, dan berefleksi dengan cara tidur menyendiri agar tidak diganggu pasangan, sehingga diharapkan bisa kembali segar dan memegang kembali komitmen berpasangan seperti semula. Inilah makna wahjuruhunna fil madhaji’ pada ayat tersebut. 

Nasihat dan pisah ranjang ini merupakan tahapan dan proses untuk damai (shulh) yang disebutkan pada ayat lain (QS. An-Nisa’ [4]: 128). Untuk tujuan damai, ayat ini juga menekankan pentingnya berbuat baik yang simultan (ihsan) antara suami istri, dan menjaga diri dari penyelewengan yang bisa merusak hubungan. 

Dalam perspektif Islam, pemukulan atau segala jenis kekerasan apa pun itu selain menyimbolkan dominasi laki-laki juga sama sekali tidak direkomendasikan untuk menyelesaikan persoalan relasi pasutri.

Seperti kata Ibnu Hajar al-Atsqalani, alih-alih bisa memperbaiki hubungan antara suami dan istri, pemukulan malah bisa melahirkan sakit hati dan kebencian. 

Sementara itu, anak dari pasutri akan merekam semua tindakan kekerasan dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi rantai dan budaya kekerasan. 

Betapa besar dosa orang yang melakukan kekerasan ini kepada istri. Alih-alih efektif dengan tujuan menjadi lebih baik ternyata malah bikin runyam keadaan. Keburukan ini sudah diwanti-wanti oleh para psikolog, mengingat efek negatifnya yang berkepanjangan.

Dari pemaparan di atas, bisa ditarik beberapa poin berikut. Pertama, pemukulan terhadap istri tidak dibenarkan. Terkait derivasi kata “dhorb” dalam ayat di atas tidak relevan lagi kalau diartikan memukul. Kedua, KDRT itu harus dilaporkan karena sudah ada peraturannya (pelaksana, sanksi, dll).

Ketiga, KDRT bukan aib di mata mahkamah. Makanya harus segera dilaporkan. Keempat, kekerasan itu salah satu biang kerok tidak tumbuhnya sakinah, dan berpeluang besar bikin mawaddah bahkan rahmah infertil di lubuk hati. 

Demikian penjelasan terkait makna pemukulan terhadap istri dalam Islam. Semoga makna pemukulan terhadap istri tidak disalah artikan dan disalahgunakan oleh para suami.

BINCANG SYARIAH

Gus Nadir: KDRT Bukan Aib yang Harus Ditutupi oleh Istri

Tengah viral di media sosial ceramah seorang ustadzah soal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pasalnya, dalam ceramah tersebut penceramah tersebut menjelaskan  bahwa KDRT sebagai aib suami yang harus disembunyikan oleh istri.

Menanggapi video viral tersebut, Gus Nadir memberikan penjelasan bahwa kekerasan bukanlah yang harus disembunyikan.  Ia mengatakan jika ada kekerasan dalam rumah tangga seharusnya dilaporkan pada pihak kepolisian.

“Kasih tahu sama sang ustadzah, kalau suami mukul istri itu sebenarnya bukan aib yg harus ditutupi oleh istri. Itu KDRT. Harus lapor polisi. Cerita2 begini justru membuat istri dipaksa menerima kelakuan suaminya yg brengsek atas nama jaga aib suami. Istrimu bukan sasak tinju woy!,” tweet Gus Nadir, Kamis (3/2).

Lebih lanjut, Gus Nadir juga menjelaskan terkait aib boleh ditutupi istri. Ia mencontohkan, misalnya suami suka ngorok, ngupil, dan fans MU. “Itu semua aib”, kata Gus Nadhirsyah Hosen.  Akan tetapi berbeda kasus dengan kekerasan dalam rumah tangga yang harus ditutupi. “Tapi kalau nabokin bini, itu bukan aib yg harus ditutup. Itu KDRT yang harus diselesaikan, bukan disuruha ikhlas,”

KDRT tindakan zalim yang boleh dibuka

Imam al-Nawawi  dalam karyanya al-Adzkar li al-Nawawi, menjelaskan ada beberapa kondisi di mana seseorang diperbolehkan membuka aib orang lain. Salah satunya adalah ketika melaporkan sebuah kezaliman.

Dalam Islam, seorang yang dalam posisi dizalimi diperbolehkan melaporkan kepada penguasa, hakim atau pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas pihak yang menzalimi.

Termasuk dalam contoh kasus ini adalah pemukulan seorang suami pada istri. KDRT merupakan tindakan zalim yang harus diselesaikan lewat mekanisme hukum. Untuk itu, istri diperbolehkan mengatakan bahwa seseorang telah melakukan pemukulan terhadap dirinya, pencemaran nama baik atau hal-hal semacamnya.

BINCANG SYARIAH

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan bulan rajab ? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Amalan Bulan Rajab: Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut. Sehingga amalan bulan Rajab yang satu ini tidak perlu diamalkan.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Semoga dengan penjelasan ini, kita tidak sembarangan lagi mengamalkan amalan di bulan Rajab.

Amalan Bulan Rajab: Mengkhususkan Berpuasa

Amalan bulan Rajab yang selanjutnya yang harus kita cari tahu dulu dalilnya adalah mengkhususkan berpuasa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Setelah mengetahui penjelasan di atas, semoga kita tidak lagi sembarangan mengkhususkan amalan di bulan Rajab.

Amalan Bulan Rajab: Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang tidak mengerti agama dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan Penting

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]”.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran agar tidak keliru dalam mengerjakan amalan di bulan Rajab.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.

Sumber: https://muslim.or.id/853-amalan-di-bulan-rajab.html

Fatwa: Apakah Pelaku Syirik Kecil Kekal di Neraka?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu

Pertanyaan:

Apakah pelaku syirik kecil kekal di neraka?

Jawaban:

Pelaku dosa syirik kecil tidaklah kekal di neraka karena dosa tersebut tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama. Adapun dosa yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka -kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari hal tersebut-, adalah dosa syirik besar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَار

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72)

Namun, apakah dosa syirik kecil itu termasuk ke dalam dosa yang berada di bawah kehendak Allah (bisa Allah ampuni atau tidak di akhirat nanti apabila pelakunya belum bertobat –pen), seperti dosa-dosa selain syirik ataukah pelakunya tetap harus bertobat di dunia dari dosa syirik kecil yang dilakukan? Hal ini masuk dalam kandungan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” (QS. An-Nisa’: 48)

Syirik yang dimaksud pada ayat ini bermakna umum, baik syirik kecil atau besar, sehingga keduanya termasuk dosa yang tidak Allah Ta’ala ampuni. Akan tetapi, pelaku dosa syirik kecil tidak akan kekal di neraka.

Dapat dimaknai juga bahwasannya syirik yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik”, syirik yang dimaksud dalam penggalan ayat ini (yang tidak diampuni-pen) adalah syirik besar, sementara syirik kecil termasuk ke dalam dosa yang berada di bawah kehendaknya, sesuai firman-Nya (yang artinya)  “dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu”.

Dan karunia Allah Ta’ala lebih luas dari yang bisa kita bayangkan. Maka, kita pahami bahwa syirik kecil termasuk ke dalam dosa yang berada di bawah kehendak-Nya.

Juga terkait hal ini, saya (Syekh) ingin menyampaikan permasalahan terkait ayat ini, yaitu firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” Ada sebagian kelompok manusia yang meremehkan maksiat, ketika dilarang dari suatu perbuatan maksiat mereka berdalih, bahwa Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” Banyak dosa maksiat yang berada di bawah kehendak Allah Ta’ala. Namun, mereka, yaitu orang-orang yang meremehkan dosa maksiat, berdalil dengan ayat ini bahwa dosa yang mereka kerjakan bukan dosa syirik.

Maka, kami katakan, kalian adalah orang yang suka mencari-cari bahaya. Bagaimana kalian mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan mengampuni kalian!? Kalian tidaklah tahu! Boleh jadi Allah Ta’ala tidak mengampuni dosa-dosa kalian. Wahai kalian orang yang suka mencari bahaya! Bahaya itu Allah perintahkan untuk dijauhi. Bahkan, di ayat lain terdapat dalil yang jelas yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu wajibnya bertobat kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firman-Nya,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S An-Nur: 31)

Wallahu a’lam.

Sumber: https://muslim.or.id/72078-apakah-pelaku-syirik-kecil-kekal-di-neraka.html

Polemik Wasiat Dorce, Muhammadiyah: Boleh Dimakamkan Sebagai Perempuan

Artis transgender senior Dorce Gamalama beberapa waktu lalu dikabarkan jatuh sakit yang serius. Bahkan Dorce pun telah meninggalkan wasiat kepada keluarganya agar kalau ia wafat dimakamkan secara perempuan.

Wasiat itu langsung menimbulkan polemik. Banyak ulama yang menilai wasiat Dorce itu tidak boleh dilaksanakan. Pasalnya, ia kelak kalau ia meninggal dunia harus dimakamkan sesuai dengan jenis kelamin saat lahir.

Di tengah kontroversi itu, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr Hamim Ilyas MAg menilai Dorce Gamalama boleh dimakamkan sebagai seorang perempuan.

“Boleh,” kata Ustadz Hamim Ilyas dikutip dari Sindonews, Senin (31/1/2022).

“Mbak Dorce sudah operasi kelamin dan oleh hukum telah ditetapkan sebagai orang berjenis kelamin perempuan,” sambung Hamim Ilyas.

Oleh karena itu, kata Ustadz Hamim Ilyas, status jenis kelamin Dorce Gamalama sudah jelas perempuan. “Beliau (Dorce, red) memiliki hak dan kewajiban sebagai perempuan, termasuk hak atas doa dan pemakamannya,” ungkapnya

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Dorce Gamalama angkat bicara terkait tanggapan para alim ulama yang menyebut dirinya tidak bisa dimakamkan sebagai perempuan. Hal tersebut terungkap dalam sebuah video yang berbedar di media sosial.

Dari video yang diunggah akun Instagram @rumpi_gosip, Dorce Gamalama secara tegas mengatakan bahwa wasiat yang telah disampaikan kepada anak-anaknya itu akan menjadi urusannya dan keluarga, bukan masyarakat.

ISLAMKAFFAH