Doa dan Ucapan Saat Menyambut Tamu

Di antara ajaran Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw adalah menerima dan menghormati tamu. Nah berikut adalah doa dan ucapan saat menyambut tamu. 

Di samping itu , ketika ada tamu yang hendak bertamu kepada kita, maka kita harus mempersilahkannya masuk dan kita harus menghormatinya dengan baik, meskipun tamu tersebut berbeda agama keyakinan dan agama dengan kita.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam. siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menghormati tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.

Kemudian ketika kita menyambut kedatangan tamu, baik tamu tersebut atau rombongan, maka kita dianjurkan untuk menyambutnya dengan iringan doa dan ucapan berikut;

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

Marhaban bil wafd alladziina jaa-uu ghairo khozaayaa walaa nadaamaa.

Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkisah;

لَمَّا قَدِمَ وفْدُ عبدِ القَيْسِ علَى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَرْحَبًا بالوَفْدِ، الَّذِينَ جَاؤُوا غيرَ خَزَايَا ولَا نَدَامَى

Ketika datang utusan Abdul Qais kepada Nabi Saw, maka beliau menyambutnya dengan ucapan; Marhaban bil wafd alladziina jaa-uu ghairo khozaayaa walaa nadaamaa (Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal).

BINCANG SYARIAH

Kedudukan Vital Ikhlas dalam Beribadah, tak Terkecuali Haji

Ibadah haji adalah salah satu di antara ibadah agung yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya. Untuk mendapat pahala(mabrur) dari rukun Islam kelima ini perlu keikhlasan dalam mengerjakannya.

“Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, ibadah haji pun dipersyaratkan keikhlasan ketika ditunaikan agar menjadi haji mabrur yang diterima di sisi Allah SWT sebagai amal saleh,” tulis H Aswanto Muhammad, Lc dalam karyanya “Haji dan Keikhlasan” 

Menurutnya, hakikat keikhlasan adalah beribadah hanya kepada Allah tanpa mengharapkan penilaian dari orang lain dan tidak mengharapkan ganjaran kecuali dari-Nya.  

Dalam surat Al Kahfi ayat 110 Allah berfirman tentang keharusan ikhlas dalam beribadah, yaitu sebagai berikut: 

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا  

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”  

Berkenaan dengan ibadah haji Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 97 yaitu sebagai berikut ini:

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”  

Inilah yang dimaksud Rasulullah SAW, sebagai haji mabrur dalam sabdanya. Aswanto pun mengutip hadits Nabi yang berbunyi: 

المبرور ليس له جزاء إلا الجنة “Haji yang mabrur tak ada balasan yang patut bagi pelakunya kecuali surga.” (HR Bukhari).  

Makna haji yang mabrur adalah haji yang diterima di sisi Allah SWT, tidak terdapat kemaksiatan di dalamnya berupa syirik, riya’, harta haram, dan sebagainya.  Dengan demikian, untuk mendapatkan haji yang mabrur hendaknya menunaikannya dengan niat semata-mata menjalankan ketaatan kepada Allah, tanpa mengharapkan pujian dan balasan dari makhluk.

IHRAM

Muslim Harus Bergembira Menyambut Ramadhan

Bergembira Menyambut Ramadhan, Salah Satu Wujud Keimanan

Salah satu tanda keimanan adalah seorang muslim bergembira menyambut Ramadhan. Ibarat akan menyambut tamu agung yang ia nanti-nantikan, maka ia persiapkan segalanya dan tentu hati menjadi sangat senang tamu Ramadhan akan datang. Tentu lebih senang lagi jika ia menjumpai Ramadhan.

Hendaknya seorang muslim khawatir akan dirinya jika tidak ada perasaan gembira akan datangnya Ramadhan. Ia merasa biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Bisa jadi ia terluput dari kebaikan yang banyak. Karena ini adalah karunia dari Allah dan seorang muslim harus bergembira.

Allah berfirman,

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).

Lihat bagaimana para ulama dan orang shalih sangat merindukan dan berbahagia jika Ramadhan akan datang. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

“Sebagian salaf berkata, ‘Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal shalih di Ramadhan yang lalu) mereka.“[1]

Kenapa Harus Bergembira Menyambut Ramadhan?

Kegembiraan tersebut adalah karena banyaknya kemuliaan, berkah, dan keutamaan pada bulan Ramadhan. Beribadah semakin nikmat dan lezatnya bermunajat kepada Allah

Kabar gembira mengenai datangnya Ramadhan sebagaimana dalam hadits berikut.

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”[2]

Ulama menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kita harus bergembira dengan datangnya Ramadhan.

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan,

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﺸﺎﺭﺓ ﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﺑﻘﺪﻭﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺑﻘﺪﻭﻣﻪ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﺇﺧﺒﺎﺭﺍً ﻣﺠﺮﺩﺍً ، ﺑﻞ ﻣﻌﻨﺎﻩ : ﺑﺸﺎﺭﺗﻬﻢ ﺑﻤﻮﺳﻢ ﻋﻈﻴﻢ

‏( ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ .. ﻟﻠﻔﻮﺯﺍﻥ ﺹ 13 ‏)

ﺃﺗﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﻔﺘﺢ ﻓﻴﻪ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺔ ، ﻭ

“Hadits ini adalah kabar gembira bagi hamba Allah yanh shalih dengan datangnya Ramadhan. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi kabar kepada para sahabatnya radhiallahu ‘anhum mengenai datangnya Ramadhan. Ini bukan sekedar kabar semata, tetapi maknanya adalah bergembira dengan datangnya momen yang agung.“[3]

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,

ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻔﺘﺢ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺎﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺬﻧﺐ ﺑﻐﻠﻖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﻴﺮﺍﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺑﻮﻗﺖ ﻳﻐﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻳﺸﺒﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺯﻣﺎﻥ

“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan).[4]

Catatan: Hadits Dhaif Terkait Kegembiraan Menyambut Ramadhan

Ada hadits yang menyebutkan tentang bergembira menyambut Ramadhan, akan tetapi haditsnya oleh sebagian ulama dinilai dhaif bahkan maudhu’ (palsu)

ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ

“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka. (Nash riwayat ini disebutkan di kitab Durrat An-Nasihin)

Setelah dimulai dengan perasaan gembira menyambut Ramadhan, tahap selanjutnya adalah persiapan menyambut Ramadhan agar Ramadhan yang kita jalankan bisa maksimal.

Demikian semoga bermanfaat

@Yogyakarta Tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/29974-muslim-harus-bergembira-menyambut-ramadhan.html

Matan Taqrib: Cara Mandi Junub, Lengkap dengan Dalil, Wajib, dan Sunnahnya

Bagaimana cara mandi junub yang sesuai tuntunan, lengkap dengan dalil, wajib, dan sunnahnya? Yuk belajar lagi dari matan taqrib dan penjelasannya.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,

وَفَرَائِضُ الغُسْلِ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ النِّيَّةُ وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ عَلَى بَدَنِهِ وَإِيْصَالُ الماَءِ إِلَى جَمِيْعِ الشَّعَرِ وَالبَشَرَةِ.

Rukun/ fardhu mandi itu ada tiga, yaitu:

  1. Niat.
  2. Menghilangkan najis jika ada di badannya.
  3. Meratakan air ke seluruh rambut dan kulit.

Faedah dari Fath Al-Qarib dan kitab lainnya:

Rukun Mandi

Pertama: Niat

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Catatan dalam Fath Al-Qarib:

  • Niat di sini adalah orang yang junub berniat mengangkat hadats atau menghilangkan hadats besar atau semacamnya. Bagi wanita yang suci dari haidh dan nifas, maka niatannya adalah menghilangkan hadats haidh atau nifas.
  • Niat itu bersamaan dengan dimulainya mandi, yaitu mulai saat membasuh bagian badan paling atas (kepala) atau bawah (kaki).
  • Niat boleh dari bagian mana saja, karena badan orang yang junub dianggap satu badan.
  • Jika niatnya ketika telah membasuh satu bagian, maka wajib mengulangi niatnya.

Bagaimana menggabungkan niat mandi wajib dan mandi sunnah?

Menggabungkannya harus dengan niat. Jika diniatkan mandi Jumat dan berniat mengangkat hadats besar, maka ia akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Namun, jika diniatkan mandi sunnah saja tidaklah mendapatkan mandi wajibnya. Niat ini mesti ada sebelum memulai membasuh anggota badan. Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 43.

Kedua: Menghilangkan najis pada badan

Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berpendapat bahwa sebelum mandi hendaklah menghilangkan najis pada badan terlebih dahulu, sehingga tidak bisa dengan niatan sekaligus menghilangkan hadats dan najis.

Pendapat yang mu’tamad atau pendapat resmi madzhab Syafii dan juga menjadi pendapat Imam Nawawi rahimahullah bahwa menghilangkan najis itu cukup dengan satu kali basuhan sekaligus niatan menghilangkan hadats. Menghilangkan kotoran sebelum mengguyurkan air untuk mandi dihukumi sunnah. Lihat At-Tadzhiib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hlm. 27 dan juga Fath Al-Qarib, hlm. 7.

Najis yang dihilangkan di sini adalah najis yang ghairu ma’fu (tidak dimaafkan) atau pun najis yang ma’fu (yang dimaafkan, seperti darah yang sedikit).

Namun, ada rincian dalam Fath Al-Qarib (hlm. 7):

  1. Jika najis yang ada pada badan adalah najis hukmiyyah (najis yang tidak ada rasa, warna, bau, juga tidak tampak), maka cukup satu kali basuhan untuk niatan menghilangkan hadats dan najis sekaligus.
  2. Jika najis yang ada adalah najis ‘ainiyyah (najis yang memiliki warna, bau, rasa, dan tampak), maka wajib mencuci dua kali.

Dalil perintah menghilangkan najis pada badan sebelum mandi adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada kedua telapak tangan. Lalu beliau mencuci kemaluannya. Selanjutnya, beliau berwudhu. Lantas beliau mengambil air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut dengan jari-jarinya. Kemudian beliau menyiramkan air di kepala dengan mencedok tiga kali (dengan kedua telapak tangan penuh, pen.). Lalu beliau menuangkan air pada anggota badan yang lain. Kemudian, beliau mencuci kedua telapak kakinya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 248 dan Muslim, no. 316)

Juga dalam hadits Maimunah disebutkan,

ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ, فَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ, ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا اَلْأَرْضَ

“Kemudian beliau mencuci (menuangkan sambil air mengalir, pen.) kemaluannya dengan tangan kirinya, lalu beliau menggosok tangannya ke tanah.” (HR. Bukhari, no. 249 dan Muslim, no. 317)

Ketiga: Meratakan air ke seluruh rambut dan kulit.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i, no. 247. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,

هَذَا التَّأْكِيد يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيع جَسَدِهِ بِالْغُسْلِ

“Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.” (Fath Al-Bari, 1:361)

Catatan dari Fath Al-Qarib (hlm. 7):

  1. Yang dibasuh saat mandi adalah semua rambut, rambut kepala dan rambut lainnya, baik rambutnya tipis ataukah tebal.
  2. Jika ada rambut yang diikat dan air tidak bisa sampai ke dalam rambut, maka wajib dilepaskan.
  3. Kulit yang harus terkena air saat mandi adalah kulit luar, bagian luar dari dua lubang telinga, hidung yang terpotong, pecah-pecah badan.
  4. Air wajib sampai pada dalam qulfah (kulit kemaluan yang menutupi kepala dzakar) atau yang tampak dari farji (kemaluan perempuan) ketika ia duduk untuk buang hajat, begitu pula dengan masrubah (anus) karena ia tampak ketika buang hajat, maka anus itu menjadi bagian luar dari badan.

Catatan penting:

  1. Jika ada cat pada kuku wanita, maka wajib menghilangkannya ketika berwudhu atau mandi karena cat itu menghalangi sampainya air pada permukaan kuku.
  2. Jika wanita memakai ikatan rambut dan air masih bisa sampai pada rambut, tempat tumbuhnya, dan kulit kepala, maka melepas ikatan rambut adalah sunnah. Namun, jika ikatan rambut menghalangi masuknya air, maka ikatan rambut tersebut harus dilepas.

Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 43.

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
  • At-Tadzhiib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib. Cetakan ke-11, Tahun 1428 H. Prof. Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. Penerbit Daar Al-Musthafa.
  • Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  • Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

Kamis sore, 6 Syakban 1443 H, 10 Maret 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/32754-matan-taqrib-cara-mandi-junub-lengkap-dengan-dalil-wajib-dan-sunnahnya.html

Wasiat Seputar Ghibah

Ghibah atau menggunjing orang lain, menyebarkan aib-aibnya dengan tujuan menjatuhkan kehormatan merupakan akhlak buruk yang harus dihindari. Tidak hanya di dunia nyata namun juga di media sosial pun banyak orang yang terjebak dalam ghibah. Di bawah ini ada pesan-pesan indah para salafus shaleh berkaitan dengan ghibah, agar kita terhindar dari penyakit berbahaya ini.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: “Ghibah lebih berat daripada hutang karena hutang bisa dibayar sedangkan ghibah tidak bisa dibayar.” (Hilyatul Auliya 7/25).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: ” Kebaikan-kebaikan (pahala) yang kau dapatkan dari musuh-musuhmu justru lebih banyak dibandingkan yang berasal dari temanmu. Hal ini karena sesungguhnya musuhmu suka menghidupimu sehingga dengan demikian berarti dia memberikan kebaikan-kebaikannya kepadamu sepanjang malam dan siang.” (Majmu’ Rasail, Ibnu Rajab, hlm 643)

Demikianlah kerugian orang yang gemar mengekspos keburukan orang lain dan beruntunglah dengan tambahan amal shaleh dan pahala ketika di ghibahi. Ada kalanya orang yang suka menghibah terlihat sukses di dunia, bahkan ghibah seolah-olah tak berpengaruh pada kehidupannya hingga ghibah telah menjadi kebiasaannya. Namun, sadarlah dosa ghibah akan menuai azab baik di dunia maupun di akhirat. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Jangan tertipu apabila engkau belum melihat pengaruh dosamu setelah kamu memperbuatnya, ada kalanya engkau akan mendapati pengaruh dosa tersebut setelah 40 tahun mendatang.” (Ad Da’ wa Dawaa‘, 130).

Para ulama dalam Ha’iah Kibaril Ulama menjelaskan: “Apapun alasannya, tidak dibenarkan menggunakan media sosial untuk menyebarkan sesuatu yang dapat merusak kehormatan orang lain (tanpa haknya). Siapa saja yang suka mencari-cari kesalahan saudaranya maka Allah akan membongkar aib dan keburukannya”. (Hai’ah Kibarul Ulama dalam situs resmi. https://twitter.com/ss-at/status/1821904598638422616).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka. Karena barangsiapa mencari-cari aib mereka maka Allah akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allah maka Dia akan mempermalukannya (meski ia berada) di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, 4880, Ahmad 4/420-421, 424).

Demikianlah sudah saatnya kita memenej lisan agar selalu dalam ketaatan dan berlindung kepada Allah Ta’ala dari ketergelinciran lidah yang bisa menuai dosa. Dan dengan selalu mengingat Allah Ta’ala niscaya kita akan selamat dari ghibah.

Kunci selamat dari ghibah

Agar selamat dari ghibah hendaknya seseorang banyak diam dan tidak bicara kecuali sudah ditimbang dan dipikirkan terlebih dahulu. Sumaith bin Ajlan radhiallahuanhu berkata: “Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama Engkau diam maka engkau akan selamat. Apabila engkau berbicara maka berhati-hatilah, karena perkataan itu boleh jadi akan bermanfaat bagimu atau membahayakanmu.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam, 135).

Demikian juga, tidak mudah penasaran dengan kehidupan orang lain tanpa tujuan yang benar, atau sekedar ingin menguak kelemahan orang lain apalagi menyebarkannya di dunia nyata dan dunia maya. Kalaupun kita tidak sengaja mengetahui keburukan saudara kita, selama dia orang shaleh hendaknya mencoba mencari udzur-udzur yang baik baginya. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Barangsiapa yang pura-pura tidak tahu aib orang, menahan bisanya untuk mencari cari tahu urusan orang lain yang orang itu tidak suka terlihat, maka agama dan kehormatannya akan selamat. Allah pun akan menjadikan hamba-hambaNya menutup aibnya karena balasan sesuai perbuatan.” (Al Fawakih As Syahiyyah, hlm 112)

Kita mohon kepada Allah Ta’ala dari ketergelinciran lisan dan dianugerahi hati bening yang jauh dari kebencian dengan sesama, lidah yang selalu dalam ketaatan dan jauh dari ghibah. Wallahu musta’an.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14300-wasiat-seputar-ghibah.html

Masuk Islam Sebab Faktor Sosiologis

Jika kita lihat dalam sejarah,  deretan orang-orang yang masuk Islam pada fase awal kebanyakan adalah mereka yang termarginalkan. Nah tulisan ini akan membahas tentang masuk Islam sebab faktor sosiologis

Sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab tarikh, pada saat Islam diproklamirkan sebagai agama, Nabi membuat perkumpulan di rumah Arqam bin Abi Arqam untuk mewadahi umat islam Sabiqul Awwalun (fase awal) hingga mencapai sekitar tiga puluh orang . Mayoritas dari mereka yang memeluk agama baru ini adalah kaum proletariat, miskin, para budak dan orang-orang lemah. 

Sebut saja, Bilal bin Abi Rabah, Zaid bin Haritsah, keduanya berlatar belakang sebagai budak. Selain itu, Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, mereka berlatar belakang orang-orang yang lemah dan tidak memiliki prestise di tengah bangsanya sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buti mengutip dari Syirah Ibnu Hisyam. 

Fenomena ini, tidak hanya terjadi pada agama yang dibawa Nabi Muhammad, namun hampir seluruh pengikut awal para utusan Tuhan kebanyakan dari kaum yang lemah. Misalnya, kaum Nabi Sholeh as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. [al-Buti, Fikih Sirah Nabawiyah: 83-84]

Pertanyaannya, mengapa deretan orang-orang yang masuk Islam pada fase awal kebanyakan adalah mereka yang termarginalkan?

Nyatanya, selain faktor teologis (berdasarkan keimanan), orang-orang lemah dan tertindas yang masuk Islam juga didorong oleh faktor lain untuk menerima agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Di antaranya adalah faktor sosiologis.

 Secara sosiologis, mereka sudah tidak tahan menghadapi sistem sosial, politik, maupun ekonomi yang selalu menempatkan mereka sebagai bagian yang tertindas dan termarjinalkan. Mereka muak dengan sistem perbudakan yang menjadikan mereka harus menghamba kepada kepentingan segelintir pihak yang berkuasa. 

Demikian juga dengan perempuan, mereka sudah muak hidup layaknya komoditi yang bisa diperdagangkan, bahkan kehadirannya dianggap aib keluarga dan pembawa kesialan. [al-Buti, Fikih al-Sirah al-Nabawiyah: 86]

Dalam kondisi mendambakan sistem yang berkeadilan dan memihak pada kemanusiaan, Islam datang menawarkan sistem yang membebaskan mereka dari segala bentuk tirani dan penghambaan kepada selain Tuhan. 

Islam bak angin segar datang membawa sistem yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan. Kemuliaan seseorang dalam Islam, tidak dipandang dari segi kelamin, kekayaan, atau nasab melainkan kualitas ketakwaan.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) 

“…sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui dan Maha teliti” [QS. Al-Hujarat: 13]

Di sinilah titik perjumpaan antara cita-cita masyarakat kala itu dengan misi Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Sehingga wajar mereka cenderung mudah menerima Islam. 

Dari sisi lain, status mereka sebagai kaum proletariat mungkin mereka untuk tidak gengsi menerima suatu sistem atau ajaran baru. Dengan kalimat lain, mereka tidak memiliki prestise untuk dipertahankan. Sehingga tidak ada beban apapun untuk menerima Islam. 

Berbeda dengan mereka para elit kapitalis klasik semisal Abu Sufyan, Abu Lahab, Abu Jahal dan termasuk Abu Thalib. Mereka sedang berada di fase kejayaan untuk mendominasi bangsa Arab dalam pelbagai lini kehidupan, roda ekonomi, dominasi politik kesukuan dan semacamnya. 

Sehingga ada semacam ego dan gengsi yang menghalangi mereka menerima Ajaran Nabi Muhammad SAW. karena dengan menerima Islam, secara otomatis mereka akan disamakan dan disetarakan dengan para kaum proletariat dan budak, karena Islam memiliki konsep kesetaraan sebagai hamba.  

Meskipun secara fakta sosial, orang-orang yang menerima Islam fase awal adalah kaum marjinal dan soburdian. Akan tetapi, bukan berarti mereka yang tertindas secara sosial, politik, dan ekonomi itu, masuk Islam lantaran hanya ingin segera bebas dari belenggu tirani yang bersifat duniawi semata. 

Sebab sesungguhnya sudah sedari awal benih-benih keimanan Ilahi itu sudah merasuk dan menancap di lubuk hati mereka sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buti. Hanya saja, ada dukungan secara sosiologis untuk merombak tatanan yang sebelumnya mementingkan kaum kapitalis klasik dengan konsep kemanusiaan dan keadilan yang dibawa Islam. [al-Buti Fikih al-Sirah al-Nabawiyah: 86]

BINCANG SYARIAH

Logo Halal dari BPJPH Wajib Diterapkan

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Logo atau label halal ini wajib digunakan oleh mereka yang mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH.

Sekretaris BPJPH, Muhammad Arfi Hatim, menjelaskan, label Halal Indonesia berlaku secara nasional. Label ini sekaligus menjadi tanda suatu produk telah terjamin kehalalannya dan memiliki sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH. 

“Label halal Indonesia ini selanjutnya wajib dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, atau tempat tertentu pada produk,” kata Arfi melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (12/3/2022).

Ia mengatakan, sebagai penanda kehalalan suatu produk, maka pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat atau konsumen. Pencantuman label halal juga dipastikan tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, dan dilaksanakan sesuai ketentuan.

“Sesuai ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal, pencantuman label halal merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal, di samping kewajiban menjaga kehalalan produk secara konsisten, memastikan terhindarnya seluruh aspek produksi dari produk tidak halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir, dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH,” jelas Arfi.

Ia menambahkan, komponen dan kode warna label halal terdiri dari dua komponen. Yaitu logogram dan logotype. Logogram berupa bentuk gunungan dan motif surjan. Sedang logotype berupa tulisan halal Indonesia yang berada di bawah bentuk gunungan dan motif surjan. Dalam pengaplikasiannya, kedua komponen label ini tidak boleh dipisah.

Secara detail, warna ungu Label Halal Indonesia memiliki Kode Warna #670075 Pantone 2612C. Sedangkan warna sekunder hijau toska memiliki Kode Warna #3DC3A3 Pantone 15-5718 TPX.

“Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal dan panduan teknis tentang penggunaan label halal selanjutnya dapat diakses di laman resmi BPJPH Kemenag,” jelas Arfi.

Ia mengatakan, selanjutnya mari gunakan Label Halal Indonesia ini sesuai ketentuan. Sebagai penanda yang memudahkan seluruh masyarakat Indonesia dalam mengidentifikasi produk yang telah terjamin dan memiliki sertifikat halal yang diterbitkan oleh BPJPH.

Fuji E Permana

KHAZANAH REPUBLIKA

Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 1)

Muqaddimah

Alhamdulillah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Artikel berikut ini merupakan terjemahan tulisan Syekh Prof. Dr. Ashim al-Qaryuti Hafizhahullah yang berjudul “Nidaatu Rabbinnaas Linnaasi Kaaffatan”. Tulisan tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi seruan Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang dimulai dengan “Yaa ayyuhannaas (artinya: wahai manusia)”. Syekh Prof. Dr. Ashim al-Qaryuti adalah guru besar ilmu hadis di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Saudi Arabia. Beliau juga salah seorang murid Imam al-Albani Rahimahullah. Selamat mengikuti. (Penerjemah)

===

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, wa ba’du.

Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau adalah utusan Allah untuk seluruh manusia dan jin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua’” (QS. Al-A’raf: 158).

Allah Ta’ala pun berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan” (QS. Saba: 28).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta, dengan sebab risalah yang Allah Ta’ala turunkan dan dengan sebab mengikuti perintahnya serta menjauhi larangannya.

Siapa saja yang menjalankan risalah tersebut, maka dia mendapatkan rahmat yang sempurna. Dia akan masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Siapa saja yang tidak menegakkan risalah tersebut, maka hujah telah tegak atasnya dan tidak ada lagi alasan untuknya. Dia pun sebenarnya telah mendapatkan rahmat dari sisi penyampaian dan peringatan. Sehingga dia tak bisa lagi beralasan, “Tidak ada yang datang kepadaku untuk memberi kabar gembira ataupun peringatan.” Dengan demikian, ini juga merupakan rahmat dari Allah Ta’ala.

Selanjutnya, segala kebaikan berupa hujan, keamanan, dan perjanjian damai yang dirasakan oleh seorang muslim dan yang lainnya merupakan rahmat Allah. Tujuannya agar dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia apapun agama mereka. Bahkan kebaikan-kebaikan Islam juga dirasakan oleh hewan. Oleh sebab itu, Islam adalah agama rahmat dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta.

Ayat-ayat yang akan kami sebutkan dalam tulisan ini adalah di antara firman Allah kepada seluruh manusia dalam Al Quranul Karim disertai tafsir ringkas dari ayat tersebut. Sebagian besar tafsirannya kami ambil dari tafsir Syekh As-Sa’di Rahimahullah, semoga Allah memberikan taufik.

Apa maksud seruan “wahai manusia!’ dalam Al-Quranul Karim?

Kita akan temukan dalam Al-Qur’an ada 15 ayat di mana Allah Ta’ala menyeru seluruh manusia dengan seruan, “Wahai manusia!”.

Itu adalah seruan Allah pada seluruh anak manusia di setiap waktu dan tempat. Seruan itu menunjukkan pentingnya apa yang hendak disampaikan. Hal ini bertujuan agar setiap telinga mendengarnya dan agar orang yang diseru menyadari bahwa isi seruan tersebut adalah perkara yang sangat agung yang perlu diperhatikan dengan sempurna oleh hati manusia. Allah Ta’ala yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang lebih menyayangi hamba-Nya daripada diri hamba itu sendiri, menyeru para hamba agar mereka memperhatikan seruan sang pencipta.

Setiap perintah Allah Ta’ala pada manusia adalah kebaikan untuk mereka di dunia dan akhirat. Segala sesuatu yang Allah Ta’ala perintahkan untuk dijauhi adalah keburukan yang bisa menimpa manusia di dunia dan akhirat. Dialah yang lebih mengetahui tentang manusia dan tentang apa yang bermanfaat atau berbahaya buat mereka daripada diri mereka sendiri.

Poin terakhir (yang mesti kita renungkan, pent), ketika yang menyeru dalam ayat-ayat ini adalah Allah Ta’ala, sang pencipta dan pemberi rezeki kepada kita, bukankah kita perlu benar-benar memperhatikan seruan ini dengan perhatian yang sempurna? Layakkah bagi kita menyepelekan seruan dari dzat yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya pada kita?

Ditulis oleh Prof. Dr Ashim bin Abdillah al Qaryuti

20 Rajab 1443 H/21 Februari 2022

***

Penerjemah: Amrullah Akadhinta, ST.

Sumber: https://muslim.or.id/72918-seruan-tuhannya-manusia-untuk-seluruh-manusia-bag-1.html

Buah Manis Keikhlasan

Ikhlas mengandung faedah yang luar biasa banyaknya. Apabila ikhlas benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, maka akan menghasilkan buah manis sebagai berikut:

Pertama: Diterimanya Amal

Dari sahabat Abu Umamah Al-Baahily radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ اللهَ لا يقبلُ من العملِ إلَّا ما كان خالصًا وابتُغي به وجهُه

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah menerima amal, kecuali amal yang ikhlas mengharap wajah-Nya.“ (HR. An Nasa-i, shahih)

Kedua: Mendapatkan  Pahala

Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا 

Sesungguhnya tidaklah Engkau memberikan nafkah dengan niat ikhlas mengharap wajah-Nya, melainkan Engkau akan mendapat pahala kebaikan.“ (HR. Bukhari)

Ketiga: Amalan Kecil Bisa Menjadi Besar

Ibnul Mubarak rahimahullah mengatakan,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

Betapa banyak amal yang kecil menjadi  besar nilainya karena niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil nilainya karena niat.“ (Jaami’ul ‘Uluuum wal Hikam)

Keempat: Mendapatkan Ampunan Dosa

Ikhlas adalah sebab terbesar diampuninya dosa-dosa. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ada satu jenis amal yang apabila dilakukan oleh seorang hamba dengan penuh keikhlasan, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa besar yang pernah dilakukan dengan sebab amalan tersebut. Ini seperti yang terdapat dari hadis ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, beliau bersabda,

يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ فَيُنْشَرُ لَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلاًّ كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِى الْحَافِظُونَ ثُمَّ يَقُولُ أَلَكَ عُذْرٌ أَلَكَ حَسَنَةٌ فَيُهَابُ الرَّجُلُ فَيَقُولُ لاَ. فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ. فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ

Ada seseorang dari umatku pada hari kiamat nanti yang dihadapkan di hadapan manusia pada hari kiamat. Lalu, dibentangkan kartu catatan amalnya yang berjumlah 99 gulungan. Setiap gulungan jika dibentangkan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, ‘Apakah Engkau mengingkari sesuatu dari gulungan catatanmu ini?’ Ia menjawab, ‘Tidak sama sekali wahai Rabbku.’ Allah bertanya lagi, ‘Apakah yang mencatat hal ini berbuat zalim padamu?’ Lalu ditanyakan pula, ‘Apakah Engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?’ Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, ‘Tidak.’ Allah pun berfirman, ‘Sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Dan sungguh tidak akan ada kezaliman atasmu hari ini.’

Lantas dikeluarkanlah satu bitoqoh (kartu) yang bertuliskan syahadat laa ilaha ilallah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Lalu ia bertanya, ‘Apalah artinya kartu ini dibanding dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?’ Allah berkata padanya, ‘Sesungguhnya Engkau tidak dizalimi.’ Lantas diletakkanlah gulungan catatan dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ‘laa ilaha illallah’ di daun timbangan lainnya. Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ‘laa ilaha illalah’ tadi. ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, shahih)

Demikianlah kondisi orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan ikhlas dan jujur, seperti yang dialami orang dalam hadis ini. Meskipun demikian, pelaku dosa yang masuk neraka dan mereka mengucapkan laa ilaaha illallah tidak otomatis akan mengalami seperti yang didapatkan oleh pemilik kartu yang disebutkan dalam hadis.

Disebutkan pula dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا

Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu, wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalnya tersebut.” (HR. Muslim)

Wanita ini menolong anjing tersebut karena iman dan keikhlasan di dalam hatinya, maka Allah Ta’ala mengampuninya. Akan tetapi, tidak setiap orang yang menolong anjing akan mendapat ampunan seperti dirinya.

Dua kisah di atas menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan dengan jujur dan penuh ikhlas dalam hatinya bisa menghapus dosa-dosa besar yang banyak. Inilah buah manis kekuatan ikhlas.

Kelima: Tetap Mendapat Pahala Amal, Meskipun Belum Mampu Melaksanakan

Keenam: Amalan Mubah dan Adat Kebiasaan Menjadi Bernilai Ibadah

Ketujuh: Terjaganya Diri dari Gangguan Setan

Ketika setan berjanji kepada dirinya sendiri akan mengganggu seluruh hamba Allah, maka dikecualikan darinya orang-orang yang ikhlas sebagaimana ucapan iblis yang disampaikan di dalam Al-Qur’an,

إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka“ (QS. Al Hijr: 40)

Setan tidak akan mampu menyesatkan orang-orang yang dirinya telah dijaga dengan keikhlasan.

Kedelapan: Terhindar dari Was-Was dan Terjauhkan dari Riya’

Abu Sulaiman Ad-Daarany rahimahullah  berkata,

إذا أخلص العبد انقطعت عنه كثرة الوساوس والرياء

Jika seorang hamba ikhlas, maka akan hilang dari dirinya berbagai sikap was-was dan riya’.”

Kesembilan: Selamat dari Fitnah

Seseorang akan selamat dari fitnah dengan sebab ikhlas. Selain itu juga akan mendapat penjagaan dari terjerumus pada godaan syahwat dan terjatuh dalam gangguan orang fasik. Dengan sebab ikhlas, maka Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Yusuf dari fitnah istri raja sehingga tidak terjerumus dalam godaannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu. Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.“ (QS. Yusuf :24)

Kesepuluh: Hilangnya Kegalauan dan Mendapat Banyak Rezeki

Dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi  wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلا مَا قُدِّرَ لَهُ 

Barangsiapa akhirat menjadi tujuan utamanya, maka Allah menjadikan kecukupan pada hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan terhina. Namun, barangsiapa dunia menjadi tujuan utamanya, maka Allah menjadikan kefakiran di depan matanya, menjadikan urusannya bercerai-berai, dan tidaklah dunia datang kepadanya, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan baginya.” (HR Tirmidzi, shahih)

Kesebelas: Terhindar dari Kesulitan

Hal ini seperti kisah yang dialami oleh tiga orang yang terjebak dalam gua. Masing-masing berdoa kepada Allah degan berwasilah meyebut amalan kebaikannya. Orang pertama menyebut tentang kebaikannya berbakti kepada kedua orang tua. Orang kedua menyebut mengenai amalnya menjaga diri dari zina. Orang ketiga menyebut amalnya menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Ketiganya melakukannya dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Maka, dengan sebab amalan ikhlas ketiga orang tersebut, Allah Ta’ala pun membuka pintu gua dan meyelamatkan mereka bertiga. Hadis tentang kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kedua Belas: Mendapat Pahala Meskipun Keliru

Orang yang berijtihad dengan sungguh-sungguh berdasarkan ilmu yang dimilikinya, jika dia niatkan karena Allah Ta’ala, maka meskipun salah, dia akan tetap mendapatkan pahala atas usahanya tersebut.

Ketiga Belas: Ikhlas Mencakup Seluruh Kebaikan

Dawud Ath-Thaa’i rahimahullah mengatakan,

رأيت الخير كله إنما يجمعه حسن النية ، وكفاك بها خيراً وإن لم تنصب

Aku melihat seluruh kebaikan semuanya terkumpul dalam niat yang benar dalam hati. Cukuplah dengan ini, maka Engkau akan mendapat kebaikan, meskipun Engkau belum mampu melakukannya.“

Semoga Allah mejadikan kita semua temasuk hamba-hamba yang senantiasa ikhlas kepada-Nya.

***

Penulis: dr. Adika Mianoki, SpS.

Sumber: https://muslim.or.id/72916-buah-manis-keikhlasan.html