10 Kunci dan Waktu Terkabulnya Doa yang Perlu Diketahui

Inilah kunci terkabulnya doa dan waktu-waktu terbaik dan mustajab (al-auqaat al-mustajabah) saat memanjatkan doa kepada Allah yang perlu kita ketahui

SEMUA orang ingin doanya dikabulkan Allah, inilah kunci terkabulnya doa dan waktu-waktu terbaik dan mustajab (al-auqaat al-mustajabah) saat memanjatkan doa kepada Allah yang perlu diketahui.

Di antara waktu- waktu terbaik  itu adalah;

  • Sepertiga malam terakhir

Suasana hening, senyap dan syahdu adalah saat tepat untuk mengadu kepada-Nya. Tatkala manusia lain terlelap dalam buaian mimpi, lelah letih setelah bekerja seharian, bangun dari tidur, melakukan shalat tahajud dan kemudian berdoa dengan sepenuh kekhusyukan dan ketundukan, akan menghadirkan pengalaman batin yang luar biasa. Air mata mungkin saja akan mudah mengalir karena suasana yang mendukung, juga ketenangan jiwa sebab jauh dari penampilan riya’.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Tuhan kita yang Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yang berdoa kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari-Muslim)

  • Saat sujud di dalam shalat

Merapatkan dahi bersujud kepada Allah adalah wujud ketundukkan kita yang terefleksikan dalam amal nyata. Menampakkan kerendahan dan kehinaan kita sebagai hamba, mengakui keagung kebesaran-Nya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ  رواه مسلم

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda:

“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah doa.”  (HR: Muslim, no. 482).

Waktu-waktu yang lain selain dua di atas, ada waktu-waktu mustajabah, alias waktu terkabulnya doa lain. Dari beberapa hadits Nabi dapat kita ketahui bahwa waktu-waktu terkabulnya doa adalah;

  • Antara adzan dan iqamah

Di dalam hadits riwayat Abu Daud, Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Tidak akan ditolak doa antara adzan dan iqamah.”

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ الدُّعَاءَ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، فَادْعُوا

“Sesungguhnya doa yang tidak tertolak adalah doa (yang dipanjatkan) di antara adzan dan iqamah, maka berdoalah (di waktu itu).” (HR: Ahmad).

  • Selesai shalat fardhu

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

“Dari Abu Umamah ia berkata; Rasulullah ﷺ ditanya; Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling di dengar? Beliau berkata: “Doa di tengah malam terakhir, serta setelah shalat-shalat wajib.” (HR: Tirmidzi).

  • Ketika imam naik mimbar pada hari Jum’at

Di dalam hadits riwayat Al Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta.”  (HR. Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852)

Waktu sesaat itu tidak diketahu persis, sebagaimana lbnu menyebutkan dalam Fathul Bari. Besar  kemungkinannya adalah saat Imam atau Khatib naik ke atas mimbar hingga sekesai shalat Jumat. Atau hingga selesai Ashar bagi mereka yang menunggu shalat Maghrib, demikian Ismail ar Rumaih menyatakan di dalam kitab Jahaalatu an-Naasfi ad-Du’a.

  • Saat berbuka puasa

Bagi mereka yang berpuasa, saat berbuka termasuk waktu yang mustajab.lbnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ »

“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya do’a orang yang berpuasa ketika berbuka tidaklah tertolak.” (HR: Ibnu Majah).

  • Saat perang berkecamuk

Rasulullah ﷺ bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Sahl bin Sa’ad, ada dua doa yang tidak akan ditolak atau jarang ditolaknya; doa saat adzan dan keadaan hampir putus asa saat perang berkecamuk”.

  • Waktu bangun tidur (dalam keadaan berwudhu)

Ini adalah bagi yang berangkat tidur dalam keadaan suci (berwudhu) dan berdzikir kepada Allah. Dalam hadits riwayat lbnu Majah dari Amr bin ‘Anbasah, Rasulullah ﷺ bersabda,

اَ يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ يُحْسِنُ وُضُوءَهُ، وَيُصَلِّي الصَّلاَةَ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلاَةِ حَتَّى يُصَلِّيَهَا

“Tidaklah seorang lelaki yang berwudu dengan memperbagus wudhunya lalu melaksanakan shalat kecuali ia diampuni dosanya di antara wudhunya itu hingga ia mengerjakan sholat.” (HR: Bukhari)

  • Saat adzan atau hujan deras

Di dalam hadits riwayat Imam Al Hakim, Rasulullah ﷺ bersabda

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan doa ketika turunnya hujan.” (HR: Al Hakim dan Al-Baihaqi. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078).

  • Saat menjelang ajal

Sesungguhnya saat ruh dicabut, pandangan mata akan mengikutinya”. Demikian Rasulullah pernah bersabda pada saat wafatnya Abu Salamah.

Rasulullah ﷺ bersabda;

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُم إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ المَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ

“Jangan mendoakan jelek untuk diri kalian sendiri, doakanlah yang baik-baik saja. Karena malaikat akan mengaminkan apa yang kalian ucapkan.” (HR. Abu Daud).

  • Saat malam Lailatul Qadar

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para malaikat turun (ke bumi) dan (juga) malaikat Jibril dengan izin Rabb mereka untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.”(QS: Al Qadar; 3-5).

Dalam kitab Tuhfah ad Dzakirin halaman 56, Imam as Syaukani berkata bahwa kemuliaan Lailatul Qadar mengharuskan dikabulkannya doa setiap orang.

  • Pada Hari Arafah

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah”.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah ﷺ bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYA-IN QODIIR (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).” (HR: Tirmidzi dan Ahmad).

Memperhatikan dan memilih berdoa di waktu-waktu istimewa, bukan saja menunjukkan keseriusan kita di dalam berdoa. Nnamun ini juga melengkapi kesempurnaan syarat-syarat berdoa.

Yaitu kesadaran hati saat berdoa, kontinyuitas doa, keyakinan yang mantap, adab-adab berdoa, dan hilangnya faktor-faktor penghalang terkabulnya doa, seperti makan minum dan berpakaian yang haram.

Semoga Allah menunjukkan jalan yang urus kepada kita semua. Dan Allah mengabulkan doa-doa yang kita panjatkan. Amin.*/Trias, Ar-Risalah

HIDAYATULLAH

Antrian Haji dan Tanggungjawab Sosial Mengatasi Kemiskinan

Gairah haji masyarakat dari tahun ke tahun tidak pernah surut. Impian untuk melengkapi rukun Islam yang kelima ini hampir dimiliki semua kalangan. Menuju rumah suci adalah penantian abadi yang dinanti walaupun dengan mengantri. Bahkan ada yang sudah haji berkali-kali, tetap ingin berangkat lagi.

Haji menjadi magnet umat Islam. Kesadaran tentang ibadah terkadang memang sangat tinggi bahkan mengalahkan kepedulian sosial yang sejatinya adalah ibadah yang juga memiliki nilai yang sangat tinggi. Memang tidak perlu dibenturkan antara dua ibadah mahdhah dan ibadah sosial. Namun, sebaiknya umat bisa cerdas dalam memilih prioritas.

Dahulu terdapat seorang ulama salaf bernama Abdullah bin Mubarak yang akan menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanannya menuju tanah suci, beliau beristirahat di kota Kuffah. Di kota tersebut Abdullah melihat seorang ibu dan anak-anaknya yang terpaksa mengonsumsi bangkai seekor itik sebagai pengganjal perut.

Iapun memberanikan diri untuk bertanya kepada perempuan tersebut, “Apakah ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?“. “Ini bangkai, dan aku memakannya bersama keluargaku” jawab perempuan tersebut. Mendengar jawaban perempuan tersebut, Abdullah pun menegurnya dan memberitahukan bahwa apa yang dimakannya di haramkan oleh Allah.

Meski tahu keharaman daging yang dimakannya, namun perempuan itu tetap memakan bangkai tersebut karena keterpaksaan, karena jika tidak ia dan anak-anaknya tidak bisa bertahan untuk tetap hidup. Mendengar apa yang dikatakan perempuan tersebut, hati Abdullah bergetar. Beliaupun lantas mengambil perbekalannya yang dibawanya seperti makanan, dan pakaian yang akan dipakainya menuju Tanah Suci.

Setelah memberikan perbekalannya, Abdullah menyadari bahwa ia tak akan bisa melanjutkan perjalannya menuju Tanah Suci. Iapun gagal menunaikan ibadah haji tahun itu dan memutuskan untuk kembali pulang.

Sesampainya di kampung halaman, Abdullah mendapat sambutan antusias dari masyarakat layaknya orang yang baru datang dari ibadah haji. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah pun merasa sedikit malu, lantaran keadaan tak seperti yang disangkakan oleh para penyambutnya. Iapun berkata kepada penyambutnya bahwa ditahun ini ia gagal menjalankan ibadah haji.

Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyampaikan testimoni yang membuat Abdullah semakin bingung. Mereka mengaku berada di Makkah dan membantu kawan-kawannya itu membawakan bekal, memberi minum, atau membelikan sejumlah barang. Dimalam harinya Abdullah mendapat jawaban melalui mimpinya. Abdullah mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.” (dinukil dari Kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad).

Perbuatan Abdullah ini selaras dengan kandungan makna bahwa ibadah sosial lebih utama dibanding ibadah individu. Kaidah ini tidak membicarakan tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. Namun lebih kepada, keadaan mana yang lebih urgen untuk ditangani terlebih dahulu.

Dalam fiqih prioritas (al-fiqh al-awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi: yang satu lebih utama daripada yang lain. Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.

Kebaikan yang dilakukan Abdullah merupakan suatu kebajikan yang sangat dianjurkan dalam al-Quran. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji. Allah berfirman, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.” (QS Ali Imran: 92)

Bentuk kepekaan sosial seperti apa yang dilakukan Abdullah bin Mubarak menjadi salah satu pesan bermakna dalam setiap ibadah, termasuk ibadah haji. Kesempurnaan ibadah haji diawali dengan sikap pengorbanan untuk menekan egoisme ritual ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Dengan nilai-nilai kebaikan itulah, ibadah haji akan sampai kepada kemuliaan di hadapan Allah dan mencapai kualitas haji mabrur.

Jika semua orang yang berhaji memiliki mental dan sikap seperti Abdullah bin Mubarak tentu kemiskinan tidak akan terlampaui tinggi. Bayangkan berapa dana haji yang harus dikeluarkan dan orang rela mengantri bertahun-tahun. Adakah di antara kita mengantre Panjang untuk membantu mereka yang sangat membutuhkan?

ISLAM KAFFAH

Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban

Berikut tata cara menyembelih hewan kurban. Pasalnya, dalam melakukan penyembelihan kurban, harus berhati-hati. Agar supaya hewannya sah sebagai kurban, dan tidak menjadi bangkai. Maka dari itu, perlu mengetahui konsep dari kurban.

Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban dalam Fikih

Pertama, pastikan hewan kurban yang akan disembelih telah memenuhi syarat dan terhindar dari penyakit atau cacat, terlebih PMK. Pasalnya, dalam beberapa lembaga fatwa, hewan yang terkena PMK tidak sah dijadikan kurban.

Kedua, serta pastikan juga, bahwa penyembelihannya ini sudah masuk waktunya, yakni pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika sudah masuk waktunya sholat Idul Adha hingga berakhirnya hari tasyrik.

Ini tetap harus diperhatikan, sebab di luar waktu tersebut, niscaya hewan sembelihannya menjadi sedekah sunnah, bukan kurban. Dan perlu diketahui juga bahwasanya menyembelih hewan kurban di malam hari dihukumi makruh, kecuali ada kepentingan tertentu.

Misalnya kesibukan di siang hari yang mencegahnya melakukan penyembelihan, atau karena ada kemudahan pendistribusian daging kurban kepada fakir miskin jika dilakukan di malam hari. (Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab bi Taudih suarh Manhaj al-Thullab, atau yang masyhur dengan judul Hasyiyah al-Jamal, Juz 5 hal. 256)

Ketiga, jika syarat di atas sudah dipenuhi, maka silahkan niat. Jika kurban tersebut sunnah, dan ia sendiri yang menyembelih, maka membaca

نويت الأضحية المسنونة عن نفسي لله تعالى

(Saya niat berkurban sunnah untuk diri saya sendiri karena Allah)

Jika ia mewakilkan sembelihannya kepada orang lain, maka niatnya adalah

نويت الأضحية المسنونة عن (….) لله تعالى

(Saya niat berkurban sunnah untuk (sebutkan namanya) karena Allah)

Sedangkan jika kurban tersebut adalah nadzar, maka niatnya adalah

نويت الأضحية المنذورة عن نفسي لله تعالى

(Saya niat berkurban nadzar untuk diri saya sendiri karena Allah)

Hanya saja jika ia yang berkurban lelaki, jika bisa menyembelih, maka lebih baik ia sendiri. Namun jika perempuan, lebih baik untuk mewakilkan penyembelihannya. (Khatib al-Syirbini, Iqna’ fi hall alfadz abi Syuja Juz 2 hal. 593)

Keempat, dalam penyembelihan hewan yang mudah disembelih (maqduur ‘alaih) harus memutus seluruh hulqum (tenggorokan/saluran nafas) dan marii’ (kerongkongan/saluran makanan dan minuman) dalam satu penyembelihan. Penyembelihan yang dilakukan lebih dari satu maka saat putusnya hulquum dan marii’ disyaratkan hewan masih dalam kondisi hayatmustaqirrah.

Hayat Mustaqirrah adalah kondisi hewan masih mempunyai kehidupan yang melekat. Tanda hayat mustaqirrah adalah darah masih mengalir dengan deras atau hewan masih bisa bergerak dengan kuat.

Jika saat penyembelihan terakhir, yaitu saat putusnya hulquum atau mari’ hewan sudah sekarat dan hampir mati yang jika dibiarkan sebentar pun akan mati maka hakikatnya kematian hewan tersebut bukan disebabkan penyembelihan terakhir melainkan penyembelihan sebelumnya yang tidak memenuhi syarat. Untuk itulah, hewan mati menjadi bangkai. Adapun memotong dua otot samping (wadajain) hukumnya sunah.

Kelima, penyembelihan hewan harus menggunakan alat tajam selain kuku, gigi dan tulang. Jika penyembelihan menggunakan alat yang dapat memotong namun bukan sebab tajamnya melainkan tekanan berat dari alat atau orang yang memotong maka hukumnya haram.

Bagi hewan yang tidak dapat dikendalikan sehingga tidak dapat disembelih dengan normal (ghoiru maqdur alaih), maka penyembelihannya dengan cara ‘aqr, yaitu melemparkan alat penyembelihan pada tubuh manapun dari hewan tersebut dengan alat tajam (selain tulang, gigi, dan kuku) yang dapat melukai dan mengalirkan darah hewan tersebut sehingga dapat menyebabkan kematiannya.

Akan tetapi pada saat terluka, dan hewan tersebut memiliki hayat mustaqirrah, serta dapat dikendalikan, maka wajib dilakukan penyembelihan secara normal pada hewan tersebut. Jika ada udzur tidak dapat menyembelih secara normal, kemudian mati sebelum disembelih maka hukumnya halal.
Hukum Menyembelih dengan Pisau Tumpul

Lalu bagaimana ketika proses menyembelih hewan, pisaunya jatuh atau tidak tajam? Syekh Ibrahim Al-Baijuri, menjelaskan:

فلو رفع السكين وأعادها فورا أو ألقاها لكونها كالّة وأخذ غيرها فورا أو سقطت منه وأخذ غيرها حالا أو قلبها وقطع بها ما بقي حل المذبوح لأن جميع المرات عند عدم الفصل كالمرة الواحدة

“Jika pisaunya diangkat lalu diulang lagi secara segera, atau membuang pisau karena tumpul dan mengambil pisau lain seketika, atau pisaunya terjatuh, atau membalik pisaunya dan memotong rongga yang tersisa maka sembelihannya halal, Sebab semua pengulangan tersebut seperti sekali hunus ketika tidak ada jeda waktu yang lama” (Hasyiyah Al-Baijuri  2/286)

Perkara yang Sunnah dalam Menyembelih

Berikut adalah beberapa kesunnahan dalam melaksanakan kurban;

Ketika menyembelih kurban disunnahkan untuk membaca basmalah, sholawat, takbir 3 kali. Lalu menghadapkan hewan kurban ke kiblat, berdoa agar kurbannya diterima. Berikut redaksi doanya;

اللَّهُمَّ هَذَا مِنْك وَإِلَيْك فَتَقَبَّلْ مِنِّي

Kemudian disunnahkan untuk mempertajam pisau, lalu Membaringkan sapi, kerbau, kambing dan domba dengan lembut dengan menjadikan sisi kirinya di lantai atau tanah dan semua kakinya diikat kecuali kaki kanan belakang dilepaskan, leher yang disembelih dihadapkan kearah kiblat, penyembelih pun juga menghadap kiblat.

Serta memegangi kepala hewan dengan tangan kiri. Adapun hewan unta, maka sunnahnya unta tetap berdiri dengan mengikat lutut kaki kirinya. (Khatib al-Syirbini, Iqna’ fi hall alfadz abi Syuja’ Juz 2 hal. 592)

Demikianlah sekilas mengenai tata cara menyembelih hewan kurban. Seyogyanya memperhatikannya, agar kurbannya sah dan tidak menjadi bangkai. Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Idul Adha dalam Islam

Berikut penjelasan terkait Hikmah Idul Adha. Pasalnya, masih menjadi tanda tanya. Hari raya Idul adha di kalangan masyarakat, seakan menjadi hari raya kedua. Mereka menyambutnya tidak semeriah menyambut idul fitri.

Apakah karena budaya angpao hari raya. Ini menjadi misteri tersendiri. Sebab justru idul adha lah yang paling utama, dari pada idul fitri. Mengapa demikian?

Hikmah Idul Adha

Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-wahhab bitaudih suarh manhaj al-thullab, menjelaskan rahasia kemuliaan Idul Adha, jika dibanding dengan Idul Fitri. Ini alasanya;

(قَوْلُهُ عِيدُ الْفِطْرِ وَعِيدُ الْأَضْحَى) مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ صَلَاةَ الْأَضْحَى أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفِطْرِ لِثُبُوتِهَا بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَهُوَ قَوْله تَعَالَى {فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2] فَسَّرَهُ الْجُمْهُورُ بِصَلَاةِ عِيدِ النَّحْرِ.

“Sudah jamak diketahui bahwasanya sholat idul adha lebih utama dari pada sholat idul fitri, sebab perintah idul adha ini berdasar nash di al-qur’an surat al-kautsar ayat 2, dan mayoritas ulama’ yang menafsirinya dengan perintah untuk menunaikan sholat idul adha”. (Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-wahhab bitaudih suarh manhaj al-thullab, atau yang masyhur dengan judul Hasyiyah al-Jamal, Juz 2 hal. 92)

Dari keterangan ini, kita bisa mengetahui bahwa yang nomer dua boleh jadi yang terbaik. Maka dari itu, mari mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat idul adha ini, meski tanpa ada uluran angpao. Bahkan justru ini adalah momentum untuk berkurban, namun jika belum mampu, kita tetap bisa merasakan gantinya angpau, yaitu daging kurban.

Terkait kenapa ada juga hari raya idul adha, Syekh Murtadha Al-Zabidi dalam anotasinya pada kitab ihya’, perkataan beliau dikutip oleh Syekh Abi Bakar Syatha’, berikut adalah redaksinya;

قَالَ فِي الْإِتْحَافِ: وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ، إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرَ عِتْقًا مِنْهُ، فَمَنْ أُعْتِقَ قَبْلَهُ فَهُوَ الَّذِي بِالنِّسْبَةِ إلَيْهِ عِيدٌ وَمَنْ لَا فَهُوَ فِي غَايَةِ الْإِبْعَادِ وَالْوَعِيدِ اهـ.

“Hari idul (fitri) dari Selesainya Bulan Ramadhan itu dianggap perayaan karena merupakan sebuah Isyarat atas banyaknya pembebasan dosa-dosa di bulan puasa, begitu juga dengan idul Adha.

Hal itu juga dikarenakan banyak pengampunan dosa pada hari Arafah. Pasalnya, tidak ada pengampunan allah yang lebih besar dari pada di hari Arafah. Maka barangsiapa yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari dosa di bulan Romadhon atau hari Arafah, dia pantas untuk merayakan 2 hari ied.

Namun jika tidak berusaha, maka dia berada dalam posisi yang paling jauh dari tuhannya, seta mendapat ancaman”. (I’anah al-Thalibin fi hall Alfadz Fath al-Muin,  Juz 1 hal. 301)

Terkait hikmahnya hari raya idul adha, ini merupakan kesempatan bagi kita untuk melaksanakan shalat hari raya yang paling utama. Kita juga bisa berkurban, yang mana fadilahnya sangatlah agung.

Banyak hadits yang menjelaskannya, di antaranya adalah hadisnya Imam Al-Turmudzi nomer 1493. Berikut redaksinya;

حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو مُسْلِمُ بْنُ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ الحَذَّاءُ المَدَنِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ أَبُو مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي المُثَنَّى، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا»

“Tidaklah ada amal dari anak adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang paling disukai Allah selain daripada mengalirkan darah (menyembelih qurban). Qurban itu akan datang kepada orang-orang yang melakukannya pada hari qiyamat dengan tanduk dan kukunya.

Darah qurban itu lebih dahulu jatuh ke suatu tempat yang disediakan Allah sebelum jatuh ke atas tanah. Oleh sebab itu, berqurbanlah dengan senang hati.” (Muhammad bin Isa Al-Turmudzi, Sunan al-Tirmidzi, Juz 4 hal. 83)

Selain hadis tersebut, fadilah berikut juga cukup menggiurkan;

وَذَكَرَ الرَّافِعِيُّ وَابْنُ الرِّفْعَةِ حَدِيْثَ عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُم فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ وَهُوَ فِيْ مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ لِأَبِيْ مَنْصُوْرٍ الدَّيْلَمِيِّ لَكِنْ بِلَفْظِ اِسْتَفْرِهُوْا بَدَلَ عَظِّمُوْا

Imam Rafi’i dan Imam Ibnur Rif’ah menuturkan hadits “‘azhzhimuu dhahaayakum fa innahaa ‘alashshiraathi mathaayaakukum yang berarti Besarkanlah hewan-hewan qurban kalian, karena sesungguhnya hewan itu akan menjadi tumpangan kalian di shirath”.

Hadits ini dalam Musnad Firdaus karya Abi Manshur al-Dailami, akan tetapi dengan lafazh: istafrihuu (pilihlah yang bagus) sebagai pengganti lafazh: ‘azhzhimuu (besarkanlah) (Al-Damiri, Al-najm al-Wahhab fi Syarh al-Minhaj, Juz 9 hal. 499)

Syekh Ali Al-Jurjawi mengatakan bahwasanya Idul adha dan idul fitri disyariatkan sebagai pengganti dari hari rayanya orang jahiliah. (Hikmat al-Tasyri’  Juz 1 hal. 92).

Demikian penjelasan terkait hikmah Idul Adha dalam Islam. Semoga bermanfaat.

Hukum Memberi Hadiah Daging Kurban kepada Tukang Jagal

Terdapat kesalahpahaman pada sebagian kaum muslimin bahwa tukang jagal hewan kurban itu benar-benar tidak boleh mendapatkan daging sama sekali. Hal ini berdasarkan hadis adanya larangan memberikan upah kepada tukang jagal dari daging atau bagian lainnya (semisal kulit). Akan tetapi, penjelasan ulama akan hadis tersebut adalah dilarang apabila diberikan dengan akad sebagai upah. Adapun jika daging kurban diberikan kepada tukang jagal sebagai hadiah atau sedekah, maka hukumnya boleh.

Berikut hadis yang melarang memberikan upah kepada tukang jagal dari bagian kurban, baik itu dagingnya atau kulitnya. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أن نبي الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يقوم على بدنة وأمره أن يقسم بدنه كلها لحومها وجلودها وجلالها في المساكين ولا يعطي في جزارتها منها شيئا

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya dan juga membagikan semua kulit bagian tubuh dan kulit punggungnya untuk orang miskin. Aku diperintahkan agar tidak memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lainnya,

نَحْنُ نُعْطِيهِ الأَجْرَ مِنْ عِنْدِنَا

Kami mengupahnya dari uang pribadi kami.” (HR. Muslim).

Para ulama menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah larangan memberikan daging kurban sebagai upah. Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan,

وهذا إذا أعطاه على معنى الأجرة، فأما أن يتصدق عليه بشيء منه فلا بأس به، هذا قول أكثر أهل العلم

Maksud hadis ini adalah jika diberikan sebagai upah. Adapun memberikan sedekah dengan bagian kurban tidaklah mengapa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” (Syarhus Sunnah, 7: 188)

Maksud sebagai upah adalah transaksinya itu sebagai pengganti tenaganya. Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

أن المراد منع عطية الجزار من الهدي عوضًا عن أجرته

Maksudnya adalah larangan memberikan tukang jagal dari bagian kurban adalah sebagai pengganti/kompensasi upahnya.” (Fathul Bari, 3: 556)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa tukang jagal boleh diberikan karena statusnya sama seperti kaum muslimin yang berhak mendapatkan daging kurban, baik itu sebagai hadiah bagi orang kaya atau sedekah bagi orang miskin. Beliau rahimahullah berkata,

ويجوز أن يعطيه منهما شيئًا لفقره، أو يطعمه إن كان غنيًا.. ويجوز تمليك الفقراء منهما، ليتصرفوا فيه بالبيع وغيره

Boleh diberikan kepada tukang jagal sebagai sedekah jika ia miskin atau diberikan sebagian hadiah jika kaya. Boleh diberikan kepada orang miskin, lalu orang miskin terebut menjualnya.” (Raudhatut Thalibin, 3: 222)

Hal ini berdasarkan hadis agar daging kurban itu sebagiannya dimakan, disimpan, dan disedekahkan. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

فَكُلوا وادَّخِرُوا وتَصدَّقُوا

Namun sekarang silakan makanlah (daging sembelihan tersebut), simpanlah, dan bersedekahlah.” (HR. Muslim)

Demikian juga pendapat ulama kontemporer Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, beliau berkata,

أما إعطاء الجزار أجرته منها فلا يجوز. وأما إعطاؤه هدية منها فلا بأس

Adapun memberikan upah tukang jagal dari sebagian kurban, maka tidak boleh. Namun, memberikannya sebagai hadiah, itu tidaklah mengapa.” (Majmu’ Fatawa, 25: 110)

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76757-hukum-memberi-hadiah-daging-kurban-kepada-tukang-jagal.html

Isi Khutbah Arafah Sheikh Al-Issa, Serukan Umat Muslim Berpegang pada Nilai Islam

Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia (MWL) dan Anggota Dewan Cendekiawan Senior Arab Saudi Sheikh Mohammad Al-Issa menyerukan umat beriman untuk berpegang teguh pada nilai-nilai luhur Islam yang mempromosikan harmoni dan kasih sayang, serta menghindari semua mengarah pada perbedaan pendapat, permusuhan dan perpecahan di antara orang-orang beriman.

Dia mengatakan ini saat menyampaikan khutbah Arafah di Masjid Namirah di Arafah pada Jumat (8/7/2022).

“Anda harus menyadari bahwa bersegera untuk melakukan hal-hal yang baik termasuk rajin untuk mematuhi nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam, nilai-nilai yang dengan kuat membentuk perilaku seorang Muslim dan menyempurnakannya dengan cara terbaik. Di antara nilai-nilai yang diajarkan Islam adalah menghindari segala sesuatu yang mengarah pada perbedaan pendapat, permusuhan, atau perpecahan, dan sebaliknya, memastikan bahwa interaksi kita didominasi oleh harmoni dan kasih sayang,” serunya kepada para jamaah dilansir dari Saudi Gazette pada Sabtu (9/7/2022).

Dan berikut teks khutbah Arafah Syekh Al-Issa.

“Segala puji hanya milik Allah yang berhak disembah oleh penghuni langit dan penghuni bumi. Dia memiliki pengetahuan lengkap tentang semua yang Anda sembunyikan dan semua yang Anda ungkapkan. Dia juga memiliki pengetahuan lengkap tentang semua perbuatan yang Anda lakukan. Semua yang tersimpan dalam apa yang tidak terlihat oleh kita terletak pada Allah saja. Tidak ada yang memiliki pengetahuan yang lengkap tentang itu kecuali Dia, dan Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa sepengetahuan-Nya.  Tidak ada satu benih pun yang terkubur di kedalaman gelap bumi, atau sesuatu yang lembab atau kering, kecuali ada catatan yang jelas tentangnya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dia mengetahui segala sesuatu yang orang sembunyikan di dalam diri mereka sendiri, serta semua yang bahkan lebih tersembunyi. Tidak ada sesuatu pun di seluruh bumi atau langit yang disembunyikan dari-Nya. Sungguh, satu-satunya yang harus kamu sembah adalah Allah: Yang selain Dia tidak ada yang berhak disembah. Dia meliputi segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya.

Selanjutnya saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Allah menggambarkannya dengan mengatakan kepadanya dalam Alquran: “Dan Allah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui sebelumnya, dan karunia yang Allah berikan kepadamu benar-benar besar.”

Saya katakan kepada semua orang yang datang untuk haji, serta semua Muslim di semua tempat: Anda harus melindungi diri dari hukuman Allah dengan memenuhi perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Ketika Anda melakukan itu, Anda akan mencapai kemenangan, keselamatan, dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman: “Jika mereka menerima dan mematuhi kebenaran, dan melindungi diri mereka dari azab Allah, mereka pasti yakin bahwa balasan dari Tuhan mereka adalah yang terbaik. Andai saja mereka tahu.”

Allah juga berfirman: “Dan kamu semua harus menjaga dirimu dari azab Allah, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang menjaga diri dari azab-Nya.”  Dia lebih lanjut berkata: “Dan Anda semua harus melindungi diri dari hukuman Allah, dan tahu bahwa Allah memiliki pengetahuan yang lengkap tentang segala sesuatu secara mutlak.”

Lebih jauh lagi, bagaimana mungkin kita gagal melindungi diri kita dari azab Allah, atau gagal mengabdikan seluruh ibadah hanya kepada-Nya, padahal Dialah satu-satunya yang pada akhirnya mendatangkan kemaslahatan dan membiarkan malapetaka terjadi? Allah berfirman: ‘Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu kesulitan, tidak ada yang dapat meringankannya kecuali Dia, dan jika Dia ingin memberi Anda jenis berkah apa pun, tidak ada yang dapat menahan nikmat-Nya untuk menjangkau Anda. Di antara hamba-hamba-Nya, Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki mengalami kebaikan dan keburukan, dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'”. 

IHRAM

Setelah Mandi Junub, Apakah Perlu Berwudu Lagi?

Seseorang yang telah selesai dari mandi junub, maka telah mencukupkannya dari berwudu. Dengan kata lain, ia tidak perlu berwudu lagi setelahnya. Allah Ta’ala berfirman,

وإن كنتم جنبا فاطهروا

“Jika kamu junub, maka mandilah.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Allah Ta’ala tidak memerintahkan untuk orang yang junub, kecuali mandi. Hal itu menunjukkan bahwa mandi junub tersebut mencukupkannya dari berwudu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda kepada Ummu Salamah saat ia bertanya kepadanya tentang tata cara menyucikan diri dari junub,

إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات ثم تفيضين الماء على سائر جسدك فتطهرين

“Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah seluruh tubuhmu dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak memerintahkannya untuk berwudu.

Alasan lainnya, hadas kecil (pembatal-pembatal wudu) masuk dan mengikuti hadas besar (yang mewajibkan mandi). Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يتوضأ بعد الغسل

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, Ibnu Majah no. 579, An-Nasa’i no. 252, dan Ahmad no. 24389)

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan,

سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟

Beliau ditanya mengenai wudu setelah mandi. Lalu, beliau menjawab, “Lantas wudu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Hadis riwayat Ibnu Umar tersebut menjelaskan bahwa kedudukan mandi lebih umum (besar) dari pada wudu. Artinya, ketika seorang telah melakukan mandi junub, itu sekaligus telah mencakup wudu.

Salah seorang ulama, Abu Bakr Ibnu Al-Araby rahimahullah menegaskan tidak adanya perselisihan ulama bahwa wudu sudah masuk dan tercakup ke dalam mandi junub (mandi besar).

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan,

“Mandi, kalau niatnya untuk menyucikan diri dari janabah, maka itu mencukupkannya dari wudu berdasarkan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu junub, maka mandilah.’ Sehingga, ketika seseorang dalam kondisi junub, kemudian ia berendam dan menenggelamkan dirinya ke dalam bak besar, sungai, atau yang semisal dengannya disertai niat menyucikan diri dari janabahnya, sedang ia juga berkumur-kumur, dan memasukkan airnya ke hidung, maka telah terangkat darinya hadas kecil dan hadas besar. Karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan kepada orang yang sedang dalam kondisi junub, kecuali mandi besar saja, yaitu dengan cara mengalirkan air dengan menyeluruh ke seluruh badannya. Walaupun yang lebih utama adalah seseorang yang yang sedang mandi dari janabah memulai mandinya dengan berwudu. Hal inilah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana beliau menyuci kemaluannya setelah menyuci kedua telapak tangannya. Kemudian setelah itu, ia berwudu sebagaimana wudunya ketika hendak salat. Barulah kemudian menuangkan air ke atas kepalanya. Setelah beliau yakin air telah merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.”

Hanya saja ada 2 permasalahan penting terkait wudu setelah mandi junub yang harus kita perhatikan.

Pertama: Apakah hukum di atas berlaku juga untuk mandi sunah pada hari Jumat atau mandi biasa?

Mandi sunah pada hari Jumat dan mandi untuk sekedar membersihkan diri atau mendinginkan badan tidaklah mencukupi dan tidak bisa menggugurkan kewajiban berwudu. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mandi dengan niat membersihkan diri atau niat untuk mandi sunah, namun ia tidak berniat untuk menyucikan diri dari hadas kecil dan kemudian ia mencuci anggota wudu secara berurutan di dalam mandinya, maka ia tetap harus mengulang wudunya setelah mandi.

Al-Kharsyi rahimahullah di dalam Syarh Mukhtasar Khalil mengatakan,

فإن اقتصر المتطهر على الغسل دون الوضوء أجزأه ، وهذا في الغسل الواجب، أما غيره فلا يجزئ عن الوضوء، ولا بد من الوضوء إذا أراد الصلاة

“Jika seseorang yang sedang bersuci (dari hadas besar) hanya mencukupkan diri dengan mandi tanpa wudu, maka hal tersebut telah mencukupinya. Hal ini hanya berlaku jika mandinya tersebut adalah mandi wajib (mandi dari janabah). Adapun (mandi-mandi) yang lain, maka itu tidak bisa mencukupi dan tidak bisa menggugurkan kewajiban wudu. Ia masih diharuskan untuk berwudu ketika hendak melaksanakan salat.”

Syekh Bin Baaz rahimahullah di dalam Majmu’ Fatawa beliau juga memberikan tambahan penjelasan,

“Adapun jika tujuan mandinya selain hal tersebut, seperti mandi Jumat, mandi untuk bersuci, dan mendinginkan tubuh, maka mandi tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban wudu, walaupun ia meniatkannya. Karena tidak adanya “at-tartiib” (berurutan ketika wudu) di dalamnya. Padahal hal tersebut merupakan salah satu kewajiban di dalam berwudu. Dan (alasan lainnya adalah) tidak adanya bersuci dari hadas besar yang otomatis akan mengikutsertakan bersuci dari hadas kecil hanya dengan niat sebagaimana di dalam perkara mandi junub.”

Kedua: Bagaimana dengan mereka yang melakukan pembatal wudu saat sedang mandi junub?

Jika orang yang sedang mandi junub melakukan pembatal-pembatal wudu, baik itu buang air kecil, buang air besar, kentut, atau menyentuh kemaluan (menurut pendapat yang rajih), maka ia tidak perlu mengulang mandinya. Hanya saja, wajib baginya untuk mengulang wudu setelah ia menyelesaikan mandinya dan akan melakukan ibadah yang mewajibkan wudu.

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu’ Fatawa,

ولا يجب عليه أن يتوضأ بعد الغسل ، إلا إذا حصل ناقض من نواقض الوضوء أثناء الغسل أو بعده، فيجب عليه أن يتوضأ للصلاة، وأما إذا لم يحدث فإن غسله من الجنابة يجزئ عن الوضوء سواء توضأ قبل الغسل أم لم يتوضأ

“Tidak wajib baginya untuk berwudu selepas mandi, kecuali jika ia melakukan pembatal-pembatal wudu di pertengahan mandinya atau ketika telah selesai darinya, barulah ia diwajibkan untuk berwudu kembali. Adapun jika ia tidak berhadas (tidak melakukan pembatal wudu tatkala mandi), maka mandinya tersebut telah mencukupi dan menggugurkan kewajiban wudu. Hukumnya sama, apakah ia telah berwudu sebelum mandinya ataupun tidak.”

Beliau rahimahullah juga menambahkan,

خروج الريح من نواقض الوضوء لا من نواقض الغسل، وعليه، فمن لمس فرجه أو تبول أو أخرج ريحا أثناء غسله فإنه يتم غسله، ويتوضأ بعده .

“Kentut adalah pembatal wudu dan bukan pembatal mandi. Oleh karenanya, siapa saja yang menyentuh kemaluannya, kencing, atau kentut di tengah mandinya, maka ia cukup menyempurnakan mandinya saja (tidak perlu mengulangnya), dan ia harus berwudu setelahnya.”

Oleh karenanya, saat hendak mandi besar, dan kita tidak menginginkan untuk mengulang wudu setelahnya, hendaknya ia menuntaskan seluruh hajatnya sebelum memulai prosesi mandinya. Bahkan, membersihkan kemaluan (yang berarti menyentuh kemaluan) sebelum memulai mandi merupakan salah satu sunah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadis,

 قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Maimunah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali dua kali atau tiga kali. Lalu, dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu, beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu, beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian, beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu, beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76677-setelah-mandi-junub-apakah-perlu-berwudu-lagi.html

Umat Islam Diharapkan Tebar Kesalehan Kolektif di Momentum Idul Adha 1443 Hijriyah

Umat Islam diharapkan bisa menebar kesalehan kolektif di momentum Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriyah tahun ini. Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir.

“Kaum muslimin yang berkemampuan untuk menjalankan ibadah kurban serta shalat sunnah Idul Adha, kita harapkan dua hal. Satu, menebar benih kesalehan kolektif,” ujar Prof Haedar dikutip dari pidatonya yang berjudul Refleksi Idul Adha 1443 Hijriah, Sabtu (9/7/2022).

Haedar menambahkan, bahwa seluruh ibadah dalam Islam melahirkan jiwa yang selalu dekat dengan Allah. Dengan taqarrub kepada Allah, maka umat Islam akan menjalankan semua hal dalam kehidupan ini dengan baik dan jujur, serta tidak punya ruang untuk melakukan penyimpangan harta. Orang yang dekat dengan Tuhan akan selalu memancarkan kesalehan dalam hidup.

“Kesalehan hidup juga harus berbagi dengan orang lain, sehingga kesalehan itu menjadi milik bersama dalam membangun keadaban publik di tengah era media sosial dan kehidupan era revolusi 4.0,” katanya.

“Kita mesti menjadi bangsa, menjadi umat yang berkeadaban mulia, baik di dalam tutur kata, menulis, mereaksi berbagai hal, tentu keadaban publik menjadi contoh teladan,” lanjut Haedar.

Ia juga berharap agar umat Islam menebar hidup rukun bersama. Umat Islam maupun umat beragama di Indonesia harus bisa menjadikan agama dan nilai-nilai kehidupan kebangsaan untuk merekat kebersamaan dan persatuan.

“Sehingga kita bisa maju, kita bisa jaya, kita bisa menjadi bangsa yang unggul karena kita bersatu, hatta di saat kita berada, termasuk di dalam menghadapi perbedaan Idul Adha,” tuturnya.

Haedar berharap, ke depannya kaum muslimin, baik di Indonesia maupun di dunia memiliki satu kalender internasional atau kalender global yang memberikan kepastian. “Tetapi sembari itu kita lakukan, di tengah kita berbeda kita harus saling tasamuh, menghormati, emnghargai, dan tidak tidak ada yang ingin mendominasi.

Meskipun pemerintah yang menentukan hari dan tanggal Idul Adha, dia berharap juga bersikap toleran dan mengayomi di tengah keberagaman.

“Kita harapkan juga pemerintah bersifat toleran, mengayomi, sekaligus menjadi tempat bersandar di tengah keragaman sehingga pemerintah tidak perlu bersifat monolitik,” harapnya.

ISLAM KAFFAH

Perempuan sebagai Benteng dari Paham Intoleransi Sejak Dini

Saat kita berbicara tentang intoleransi maka akan banyak hal yang mudah kita ingat. Entah peristiwa di masa lalu ataupun yang baru-baru ini terjadi, seperti penyerangan klenteng di Kediri, bom bunuh diri di gereja Katolik St Yosep Medan, Teror simpatisan ISIS di gereja Oikumene Samarinda, dan masih banyak lagi lainnya.

Selain kasus korupsi yang terus menggerogoti negeri ini, kini intoleransi menjadi salah satu masalah besar yang mengancam keutuhan negara tercinta kita Indonesia ini. Intoleransi seakan terus membelah diri dan menyebarkan propaganda jahatnya lewat beragam organisasi dan kajian-kajian yang mereka sampaikan dari tempat ke tempat.

Jika kita mau membaca sejarah ulang betapa kelamnya akibat dari paham intoleransi ini, maka kita akan merasakan kemirisan yang luar biasa. Bagaima kita mau aman-aman saja saat ideologi Pancasila mau digerogoti oleh ormas macam HTI, peristiwa bunuh diri di gereja dan tempat aparat keamanan oleh simpatisan ISIS, pelarangan kegiatan peribadatan para biksu di Tangerang, dan yang baru-baru ini adalah pelarangan pendirian sebuah gereja di Tanjung Balai Karimun Kepualauan Riau.

Beragam kasus intoleransi dari aksi pelarangan, teror hingga pembunuhan manusia tak berdosa haruslah mengingatkan peran wanita yang kini kian terabaikan dalam menciptakan insan yang toleran.

Toleran, SARA dan finansial

Intoleransi tentunya muncul dari bearagam aspek, menurut penelitian yang dilakukan oleh FIDKOM UIN Jakarta, paham intoleran muncul disebabkan oleh empat faktor, yaitu pertama pandangan keagamaan sektarian, kedua populisme agama, ketiga politisi yang memanfaatkan agama. Dan yang terakhir, yaitu pendirian rumah ibadah yang dilarang atas dasar agama, sehingga menimbulkan intoleransi,” jelasnya. (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, 2021)

Berbicara soal tempat yang digunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengawasan, tentunya rumah dan sekolah menjadi ujung tombak dalam membentuk akhlak atau sikap seorang generasi mendatang. Mengapa penulis katakan demikian, karena sejatinya tetes ilmu atau pendidikan pertama akan berlangsung di rumah kemudian dilanjutkan dalam jenjang pendidikan formal ataupun non formal macam pondok pesantren. Tak hanya membentuk sikap toleran didalam lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan, tentunya sifat seseorang akan teruji apabila ia mulai hidup dalam tengah-tengah masyarakat.

Hidup ditengah-tengah masyarakat inilah yang akan menampakan beragam keragaman “perbedaan” yang ada dalam lingkungan masyarakat itu  sendiri. Mulai dari perbedaan keyakinan, suku, ras, budaya, hingga finansialpun pasti terdapat perbedaan. Segala perbedaan itulah yang akan mulai membentuk sifat seseorang, apakah ia termasuk yang toleran atau malah intoleran atas semua perbedaan yang ada tersebut.

Toleran dalam perspektif penulis bukan hanya sebatas menghormati perbedaan dalam SARA belaka, lebih daripada itu, setiap manusia harus pula menghormati dari segi finansial juga, mengapa harus sampai sejauh itu. Anda tahu flexing? Betapa banyak yang dalam masa sulit seperti pandemi ini banyak orang yang tak toleran flexing harta.

Maka wajar bila penulis menganggap bahwasannya toleran selain dalam isu suku, agama, rasa dan budaya, mengedepankan skap toleran juga haruslah dalam aspek finansial adalah penting. Maka, toleran ini harus disamaratakan untuk menjadikan kehidupan yang lebih humanis dan indah dalam keberagaman tanpa menciptakan krisis sosial.

Perempuan benteng intoleransi

Ngalor-ngidul berbicara tentang sikap toleransi, membuat penulis berpikir mungkin saatnya perempuan memiliki andil besar dalam melestarikan sifat toleransi ini.

Toleransi kini dalam bahasa millennial ini lebih dikenal dengan istilah moderasi beragama sebagai  pengejawantahan dari islam washatiyah itu sendiri. Moderasi beragama adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem, dan tidak pula radikal. Dalam agama manapun, termasuk Islam, sikap moderasi diperlukan untuk menjalin kerukunan antar umat.

Bersumber dari buku yang berjudul Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama, ragam kepercayaan di Indonesia dapat menjadi ancaman terbesar yang bisa memecah belah bangsa. Hal ini disebabkan oleh egoisme disertai dengan sikap intoleran dan merasa mau benar sendiri menjadi hal yang paling sulit untuk diselesaikan hingga kini.

Bukti konkret dari hal ini adalah dengan munculnya kasus ektremisme yang tidak mengedepankan nilai toleransi yang kini kian marak terjadi dan parahnya lagi terekspos oleh media. Banyak media yang telah memberitakan hal demikan. Sepertai kasus di SMKN Padang dimana Waka Kesiswaan mewajibkan semua siswanya untuk memakai hijab, termasuk pula siswa non-muslim (Tribun Jateng, 2021)

Menyedihkan memang sikap intoleransi yang sebenarnya menjadikan orang lain juga akan menjadi ekstremis hingga radikalis dalam menyikapi beragam aspek, seperti suku, agama, ras dan budaya yang memang dari asalnya telah berbeda. Maka, peran seluruh lapisan masyrakat terkhusus wanita sangatlah diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan sikap toleransi ini.

Mengapa demikian, karena perempuan lebih memiliki kepekaan luar biasa dalam mendidik buah hati, murid, hingga segenap orang disekitarnya. Perempuan juga diunggulkan dengan memiliki bahasa ibu yang dapat lebih dekat berbicara hati ke hati untuk membentuk jiwa yang toleran atau moderat.

Perempuan menjawab tantangan

Jika perempuan diberikan ruang lebih dan mau untuk melestarikan nilai toleransi atau moderat ini kebanyak manusia, maka niscaya keteraan gender juga akan tercipta. Menurut Menteri PPA, ketiadaan toleransi hanya akan melanggengkan praktek diskriminasi dan justru menambah tantangan dalam mencapai kesetaraan.

Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada tahun 2019 berada pada angka 75,24. Indeks ini mengukur peran aktif perempuan terutama dalam bidang politik, pengambilan keputusan, serta ekonomi. Perolehan angka IDG maupun berbagai indeks lainnya yang belum maksimal merefleksikan bahwa masih ada ketimpangan gender di Indonesia. (kemenpppa.go.id, 2021)

Seyogyanya peran perempuan dalam mengatasi beragam masalah yang mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, seperti radikalisme, ekstremisme, liberalism, hingga sikap intoleransi lainnya patut diperhitungkan.

Selain menciptakan kesetaraan gender, peran perempuan dalam membebaskan ataupun mengentaskan generasi Bangsa Indonesia dari paham intoleransi ini. Sehingga diharapkan dikedepannya semua warga Indonesia dapat bersikap moderat “tengah-tengah” dalam menyikapi beragam hal dan bersikap toleransi dalam semua perbedaan dikarenakan rasa persaudaraan yang tergabung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

ISLAM KAFFAH

Antara Haji Kasab dan Haji Nasab

TADI malam, saat mabit di Muzdalifah, ada satu rombongan Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) yang mengadakan tausiyah. Sang pemateri memberikan motivasi haji, tentang perjuangan dan pahala yang akan diraih.

Di sela materi, dai yang berlogat Sunda ini menceritakan macam-macam orang naik haji. Ia menyebutkan ada 3 jenis orang yang naik haji:

Pertama: haji kasab, yaitu haji dengan usaha yang dia miliki. Dengan uang, seseorang menabung, lalu bisa berangkat haji ke tanah suci.

Kedua, haji nasab, yaitu seseorang berangkat haji karena turunan. Dia punya orang tua kaya. Ikut berangkat haji diajak keluarganya.

Ketiga, haji nasib, yaitu karena nasib baik yang Allah takdirkan kepadanya. Berangkat haji begitu saja. Tanpa punya modal dan bukan dari keluarga kaya.

Saya yang sedang rebahan, asyik mendengarkan penjelasan sang ustadz. Ada banyak poin yang beliau sampaikan, tapi pembahasan tentang 3 jenis orang naik haji ini yang sangat menarik perhatian saya.

Saya sangat terenyuh mendengarnya. Tausyiahnya sangat menyentuh sekali.

Saya terlahir dari keluarga sederhana. Saya bukan anak orang kaya. Masih ingat banget, dulu, di rumah, ibu sering menangis karena untuk makan esok hari gak ada.

Allah memberikan karunia yang luar biasa. Diluar dugaan akal sehat dan dugaan manusia, di saat ongkos haji itu mahal, Allah justeru memanggil hamba-Nya bagi yang dikehendaki-Nya.

Tahun 2016 saya mendapat undangan haji Raja Salman. Ini murni undangan.

Bahkan saya tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Saya sendiri belum paham apa motif undangan ini. Sebab saya orang biasa. Saya bukan tokoh politik, bukan pejabat, apalagi anak orang terkenal.

Undangan itu sangat mengagetkan. Awalnya saya menduga itu bercanda. Tapi ketika pihak Kedutaan Arab Saudi di Jakarta menelpon saya berkali-kali agar segera menyerahkan passport, di situlah saya paham.

Sebelum berangkat, waktu itu berkumpul dulu di rumah dinas Dubes Saudi di Menteng, Jakarta. Saat itu, Dubesnya masih Syaikh Musthofa Al Mubarak.

Pas diantar ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, saya diantar semua keluarga. Ada bapak, ibu, nenek, uwak, paman, adik, tetangga, dll.  Semua menangis, saya juga menangis.

Saya menulis juga menangis, kakrena mengingat momen itu. Momen selanjutnya, juga tidak disangka juga.

Saya kembali mendapat panggilan dari Allah. Tepatnya pada Januari 2018 saya berangkat ke Arab Saudi untuk melanjutkan kuliah.

Ini sama sekali tidak terduga sebelumnya. Selama kuliah di Jakarta, saya bukan termasuk mahasiswa yang pintar. Banyak teman seangkatan saya tahu ini.

Karena saya tinggal di Saudi, tahun 2018 ikut gabung dalam PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi. Waktu itu saya masuk tim Daker Bandara, yang bertugas di Bandara Jeddah dan Madinah. Dan hari-hari puncak haji diterjunkan di Arafah.

Masya Allah. 2018 bisa haji kembali. Sambil bertugas melayani jamaah. Sungguh karunia luar baisa. Alhamdulillah. Tsuma Alhamdulillah.

Tahun berikutnya, 2019, saya kembali ikut dalam rombongan panitia haji. Waktu itu ikut bagian transportasi shalawat. Saya dapat penugasan di Misfalah, melayani jamaah asal Jawa Barat.

Pada puncak haji, di sela tugas di Arafah dan Muzdalifah, saya ikut menjalankan manasik. Ya Allah. Sungguh ini adalah karunia yang besar.

Tahun 2020 dan 2021 pandemi corona dan Covid-19 melanda dunia. Pemerintah Saudi rupanya tidak membuka haji dari luar Saudi, dan aaya pulang ke kampung halaman.

Tahun ini, masya Allah, saya diberi kesempatan Allah kembali, menemani istri dari sejak ke Arafah, Muzdalifah, hingga lempar jumrah. Dan insya Allah beberapa hari ke depan akan mabit di Mina.

Akhirnya saya baru ingat, saya pernah berdoa, bunyinya begini, “Ya Allah! Ingin kami bisa haji berdua dengan istri.” Dan Allah telah mengabulkan, meski jalannya terjal dan sulit dilalui.

Semoga sisa manasik yang akan dilakukan ini berjalan lancar. Doa saya selanjutnya, ingin bisa mengajak kedua orang tua haji. “Ya Allah, kabulkan permintaan ini. Amin.”

Haji adalah panggilan dari Allah. Siapapun dia, kalau sudah dipanggil-Nya, maka akan bisa berangkat, bahkan dengan cara yang tak pernah disangka sebelumnya.

Bagi yang belum menunaikan ibadah haji, teruslah berdoa. Dan semoga panggilan Allah akan datang kepada Anda. Selamat hari Raya Idul Adha.*/Budi Marta Saudin, Makkah, 10 Dzulhijjah 1443 H

HIDAYATULLAH