Semua Rasul Menyebarkan Islam

Banyak orang yang tidak mengenal Islam secara mendalah terkadang melihatnya sebagai agama yang meniru agama-agama sebelumnya, seperti Nasrani maupun Yahudi. Mereka menganggap Islam adalah agama yang lahir belakangan setelah kedua agama tersebut. Secara kronologis sejarah  anggapan itu bisa dibenarkan. Namun, sejatinya, semua agama samawi yang dibawa oleh ribuan Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam.

Islam bukanlah agama yang baru berdiri pada masa Nabi Muhammad, seperti disalahpahami sebagian orang. Para Nabi itu memang berbeda secara syariat tapi ajaran pokok (agama) mereka tunggal, yang bersumber dari Allah SAW yang berbicara tentang Islam (kepasrahan).

Beberapa kalangan memiliki anggapan bahwa nabi pertama yang membawa Islam adalah nabi Muhammad. Dan nabi terdahulu membawa agama yang berbeda-beda. Mereka beranggapan bahwa Nabi Ibrahim beragama tauhid dan Allah menurunkan kepada Nabi Musa dan Isa agama Yahudi dan Nashrani, bukan agama Islam.

Dalam banyak ayat al-Quran dan hadist dijelaskan bahwa Islam adalah agama semua Nabi dan Rasul. Sebutan agama Yahudi sejatinya bukan sebuah nama agama, tetapi merujuk pada tradisi dan peradaban bangsa Yahudi. Yahudi berasal dari diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur Suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Yehuda ini adalah salah satu dari 12 putera Yakub, seseorang yang hidup sekitar abad 18 SM dan bergelar Israel. Nasrani pun tidak merujuk pada nama agama. Nasrani adalah sebutan untuk para pengikuti Nabi Isa yang diambil dari kata Nazareth nama sebuah kota.

Sementara Islam adalah sebuah ajaran yang berarti sebuah kepasrahan total kepada Allah. Islam disebutkan sebagai sebuah ajaran tentang sikap keberagamaan, tetapi juga ditegaskan sebagai sebuah agama. Allah menegaskan dalam al-Quran bahwa, “Sesungguhnya satu-satunya agama yang diridlai oleh Allah hanyalah Islam” (QS Ali ‘Imran: 19). Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85).

Islam bukan Agama Baru

Agama yang diturunkan oleh Allah sejak awal adalah tentang Islam atau tentang kepasrahan sejati yang menjunjung tinggi nilai tauhid. Jika manusia mau berfikir, sungguh tidak logis, apabila Allah ta’ala menurunkan banyak agama yang berbeda-beda kepada para nabi dan rasulnya, lantas kemudian yang diterima hanya agama Islam. Allah menegaskan Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku (Qs : Al-Anbiya : 25).

Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang sekaligus menutup agama-agama sebelumnya. Artinya Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang telah banyak disimpangkan. Dalam pandangan Islam banyak kalangan Yahudi dan Nasrani melakukan perubahan isi kitab suci dan melakukan penyimpangan atas agama dan kitab suci mereka. Mereka banyak mentahrif, menyembunyikan, serta merubah ayat-ayat yang diturunkan Allah.

Lalu, Allah mengutus Nabi Muhammad bukan untuk membawa ajaran baru. Islam bukan ajaran dan agama baru, tetapi untuk meluruskan kembali cara beragama sesuai dengan agama Allah yang dianggap telah menyimpang. Maka, ditegaskan Muhammad tidak ada perbedaan dengan agama sebelumnya karena bukan agama baru, tetapi meluruskan kembali dan menyempurnakan agama seperti sedia kala.

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud (An-Nisa’: 163).

Mungkinkah Tuhan merevisi ajaran dan agamanya? Allah tidak mengutus untuk merubah ajaran sebelumnya, tetapi meluruskan dan menyempurnakan. Meluruskan karena ada penyimpangan dan perubahan dari ketetapan dan pedoman Tuhan. Menyempurnakan karena sudah tidak ada lagi ajaran setelah diutusnya Rasulullah Muhammad. Dalam al-Quran Allah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3).

Allah Menjamin Kemurnian Islam

Islam sebagai agama yang telah sempurna dengan merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam mencakup akidah atau keyakinan, hukum dan akhlak. Kesempurnaan agama Islam dapat ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya serta etika dan norma sosial kemasyarakatan.

Bagaimana menjamin kesempurnaan Islam? Allah telah memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam yang menjadi penghafal al-Quran. Artinya, dengan adanya umat yang mampu hafal al-Quran maka keaslian al-Quran akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.

Al-Quran pertama kali dicetak pada 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Kemudian, Hankelman mencetak al-Quran di Kota Hamburg (Jerman) pada 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Dan kini al-Quran telah banyak dicetak diberbagai Negara di dunia.

Pemeliharaan dalam keaslian al-Quran tak berhenti disitu. Banyak Negara yang mendirikan lembaga pendidikan yang mengkhususkan untuk mempelajari isi dan makna kandungan al-Quran, serta salah satu materinya adalah menghafal al-Quran.

Bisa disimpulkan bahwa, Islam merupakan agama pertama karena manusia pertama yang lahir dibumi ini ialah Nabi Adam yang menyembah Allah sebegai Tuhannya, dan agama terakhir sebagai penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang telah banyak disimpangkan oleh umat nabi yang ingkar. Selain itu Allah berjanji untuk memelihara kitab suci al-Quran sampai akhir zaman.

ISLAM KAFFAH

Cara Shalat ketika Pulang Kerja

Pertanyaan:

Kami para pekerja kantoran di kota besar, biasanya keluar dari kantor pukul 5 sore. Kemudian harus menempuh perjalanan menggunakan bus dan KRL yang memakan waktu sekitar 2 jam-an. Sehingga biasanya kami sampai di rumah pukul 7 malam, yang mana ketika itu sudah masuk waktu Isya. Bolehkah kami menunda shalat Maghrib hingga waktu Isya?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Jawaban untuk masalah ini perlu kita rinci:

  1. Jika terjadi secara insidental.

Andaikan kejadian seperti ini terjadi secara insidental, tidak terencana, dan tidak bermaksud melalaikan shalat. Namun karena terjebak di tengah jalan atau terjebak kemacetan dan tidak bisa turun dari kendaraan untuk mengerjakan shalat, maka dibolehkan untuk menjamak shalat Maghrib dan Isya di waktu Isya, yang disebut dengan jamak ta’khir

Karena menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhu beliau mengatakan:

جمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no.705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjamak karena ada masyaqqah (kesulitan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

والقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ al-Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang dalam kondisi demikian ia berada dalam kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

Cara mengerjakannya adalah dengan mengerjakan shalat Maghrib terlebih dahulu, baru kemudian shalat Isya. Karena wajib at-tartib (berurutan) dalam menjamak shalat. Dengan rakaat yang sempurna, yaitu shalat Maghrib sebanyak tiga rakaat dan shalat Isya sebanyak empat rakaat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan tentang wajibnya at-tartib (berurutan) dalam menjamak shalat:

“Dipersyaratkan untuk tartib (berurutan) ketika menjamak shalat. Sehingga memulai dengan shalat yang pertama dahulu kemudian yang kedua. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana melihatku shalat”. Dan karena syariat datang menetapkan urutan waktu-waktu shalat. Namun andaikan seseorang lupa atau tidak tahu, atau datang sekelompok orang untuk shalat Isya, dan orang ini niat untuk jamak ta’khir, lalu ia shalat bersama sekelompok orang ini mengerjakan shalat Isya, baru setelah itu ia mengerjakan shalat Maghrib. Apakah gugur kewajiban tartib dalam keadaan seperti ini? Pendapat yang masyhur, tidaklah gugur kewajibannya.

Oleh karena itu, orang yang melakukan demikian karena lupa atau tidak tahu atau karena mengikuti jama’ah yang ada, atau karena sebab lainnya, maka jamak-nya tidak sah. 

Lalu apa yang perlu ia lakukan ketika itu? Jawabnya, shalat yang pertama tidaklah sah sebagai shalat wajib, ia harus mengulangnya” (Asy-Syarhul Mumthi’, 4 /401-402).

  1. Jika terjadi terus-menerus atau bersengaja.

Jika kejadian seperti ini terjadi terus menerus, yaitu setiap hari dengan sengaja menunda shalat Maghrib sampai waktu shalat Isya padahal tidak dalam kondisi safar, maka kami khawatirkan ini termasuk melalaikan shalat. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan bagi kaum Mukminin pada waktu masing-masing” (QS. an-Nisa: 103).

Sehingga tidak boleh mengerjakan shalat di luar waktunya tanpa udzur syar’i. Allah ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya” (QS. al-Ma’un: 4–5).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:

إما عن فعلها بالكلية ، كما قاله ابن عباس ، وإما عن فعلها في الوقت المقدر لها شرعا ، فيخرجها عن وقتها بالكلية ، كما قاله مسروق وأبو الضحى

“(Orang yang lalai dalam shalat adalah) bisa jadi orang yang tidak mengerjakannya sama sekali, ini tafsiran Ibnu Abbas. Atau bisa jadi orang yang tidak mengerjakannya pada waktunya yang ditentukan syariat, sehingga ia kerjakan di luar waktunya secara menyeluruh. Ini tafsiran Masruq dan Abu ad-Dhuha” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493).

Beliau melanjutkan:

وإما عن وقتها الأول فيؤخرونها إلى آخره دائما أو غالبا . وإما عن أدائها بأركانها وشروطها على الوجه المأمور به . وإما عن الخشوع فيها والتدبر لمعانيها ، فاللفظ يشمل هذا كله

“Dan (orang yang lalai dalam shalat adalah) bisa jadi orang yang menunda shalat dari awal waktu ke akhir waktu secara terus-menerus atau secara umum. Atau bisa jadi orang yang lalai terhadap rukun dan syarat shalatnya, tidak melakukan sebagaimana yang diperintahkan syariat. Atau bisa jadi lalai dari kekhusyukan dan mentadabburi maknanya. Lafadz ayat mencakup semua bentuk kelalaian ini” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/493).

Dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:

الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر

“Menjamak dua shalat tanpa udzur termasuk dosa besar” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [2/346], dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu).

Masalah ini pernah kami ditanyakan kepada Syaikh Dr. Ashim al-Qaryuti, salah seorang ulama Yordania yang merupakan murid Syaikh al-Albani. Dengan teks pertanyaan sebagai berikut,

“Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Anda. Ada seorang yang keluar dari rumahnya setiap hari untuk bekerja di tempat yang jauh namun belum termasuk perjalanan safar. Waktu kerja berakhir 1 jam sebelum Maghrib, kemudian ia naik bus atau kereta, dan sampai di rumah sudah masuk waktu Isya. Dan dia tidak bisa shalat di bus/kereta karena di sana berdesakan. Maka bolehkah ia menjamak shalat Maghrib dan Isya setiap hari? Ataukah dia harus menunggu waktu Maghrib, baru setelah itu pulang?”.

Lalu Syaikh Dr. Ashim al-Qaryuti hafizhahullah menjawab: ”Dia hendaknya shalat di atas kendaraan, jika tidak bisa turun dulu (di waktu Maghrib), dengan posisi shalat yang memungkinkan baginya di sana. Maka wajib shalat pada waktunya dan tidak menunda sampai keluar waktu dan juga tidak menjamak shalat” [selesai nukilan].

Sehingga tidak boleh bersengaja terus-menerus menunda shalat Maghrib hingga waktu Isya. Namun sebaiknya ia mengatur waktunya dan mengatur perjalanannya dengan baik agar bisa tetap shalat Maghrib pada waktunya. Semisal dengan menunggu waktu shalat Maghrib di stasiun kereta atau di perhentian KRL, atau terminal bus, lalu setelah selesai menunaikan shalat Maghrib baru melanjutkan perjalanannya kembali. 

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38668-cara-shalat-ketika-pulang-kerja.html

Aturan dalam Distribusi Daging Kurban

Pertanyaan:

Bagaimana sebenarnya aturan dalam pembagian daging kurban? Benarkah harus sepertiga disedekahkan, sepertiga dihadiahkan dan sepertiga dimakan sendiri? Dan bolehkah dibagikan kepada nonmuslim juga? Jazakallah khayran.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Mengenai distribusi daging kurban, terdapat hadis yang panjang dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

دَفَّ أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِن أهْلِ البادِيَةِ حَضْرَةَ الأضْحَى زَمَنَ رَسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فقالَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: ادَّخِرُوا ثَلاثًا، ثُمَّ تَصَدَّقُوا بما بَقِيَ، فلَمَّا كانَ بَعْدَ ذلكَ، قالوا: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ النَّاسَ يَتَّخِذُونَ الأسْقِيَةَ مِن ضَحاياهُمْ، وَيَجْمُلُونَ منها الوَدَكَ، فقالَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: وما ذَاكَ؟ قالوا: نَهَيْتَ أنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الضَّحايَا بَعْدَ ثَلاثٍ، فقالَ: إنَّما نَهَيْتُكُمْ مِن أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتي دَفَّتْ؛ فَكُلوا وادَّخِرُوا وتَصدَّقُوا

“Orang-orang yang tinggal di gurun mempercepat langkahnya dan bersegera menghadiri Idul Adha di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Simpanlah (daging kurban tersebut) hingga tiga hari, setelah itu sedekahkanlah yang masih tersisa”. Setelah hal itu berlalu, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang memanfaatkan dari kurban, mereka mencairkan lemaknya dan darinya mereka membuat geriba (wadah air)”. Beliau bersabda: “Ada apa dengan hal itu?” Mereka berkata, “Engkau telah melarang memakan daging kurban setelah lewat tiga hari.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya saya melarang demikian karena adanya sekelompok orang yang datang terburu-buru (yaitu orang-orang miskin dari gurun). Namun sekarang silakan makanlah (daging sembelihan tersebut), simpanlah dan bersedekahlah” (HR. Muslim no.1971).

Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sempat melarang penduduk Madinah untuk menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Karena beliau melihat adanya orang-orang Badiyah (yang tinggal di tengah gurun) yang membutuhkan daging tersebut. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi penduduk Madinah untuk menyedekahkan daging kepada mereka dan tidak menyimpannya untuk diri sendiri. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa sejatinya tidak terlarang menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari.

Dan di dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Silakan makanlah (daging sembelihan tersebut), simpanlah dan bersedekahlah”. Sebagian ulama memahami bahwa distribusi daging kurban adalah 1/3 dimakan sendiri, 1/3 disedekahkan dan 1/3 sisanya simpan untuk dihadiahkan. Sebagaimana juga riwayat dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

يأكل هو الثلث ويطعم من أراد الثلث ويتصدق على المساكين بالثلث

“(Daging kurban) dimakan sendiri 1/3, dihadiahkan 1/3, dan disedekahkan kepada orang miskin 1/3” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, 8/632).

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syafi’iyyah dan Hanabilah. Adapun Imam Malik rahimahullah, beliau menilai ukuran di atas bukanlah batasan dan tidak ada batasan tertentu dalam distribusi daging kurban. Beliau mengatakan:

لا حد فيما يأكل ويتصدق ويطعم الفقراء والأغنياء ، إن شاء نيئاً وإن شاء مطبوخاً

“Tidak ada batasan tertentu untuk kadar daging kurban yang dimakan sendiri, atau disedekahkan, atau dihadiahkan, boleh diberikan kepada orang miskin, ataupun orang kaya, boleh dalam keadaan mentah ataupun matang” (Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, 1/424).

Ini pendapat yang rajih, insyaAllah. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’: “Perkara distribusi daging kurban itu longgar walhamdulillah. Andaikan orang yang berkurban memakan sendiri semua daging kurbannya tanpa menyedekahkan kepada fakir-miskin, dan tidak menghadiahkannya kepada teman-temannya, itu dibolehkan

Atau jika ia menyedekahkan semuanya, tanpa memakannya sedikit pun, dan menghadiahkan semuanya, itu dibolehkan. Atau dia makan sebagian, dia simpan sebagian, dan dia sedekahkan sebagian, ini juga tidak mengapa. Karena perintah dalam dua ayat yang disebutkan, bermakna kebolehan dan anjuran, sebagaimana disebutkan oleh para ulama, dan bukan pewajiban” (Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, juz 62 hal. 378).

Adapun memberikan daging kurban untuk nonmuslim, ini dibolehkan oleh para ulama sebagaimana difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’. Berdasarkan keumuman ayat:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8).

Wallahu a’lam.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38652-aturan-dalam-distribusi-daging-kurban.html

Saudi Tangkap 15 Orang yang Menawarkan Layanan Haji Palsu

Pihak berwenang Arab Saudi menangkap 15 orang dalam dua operasi terpisah karena menawarkan layanan palsu yang berkaitan dengan ibadah haji.

Polisi Makkah menangkap tujuh pemukim asal beberapa negara berbeda karena menawarkan layanan palsu lewat media sosial atas suruhan orang lain, lapor Saudi Press Agency Kamis (30/6/2022).

Iklan online ilegal itu juga menawarkan transportasi menuju tempat-tempat suci dan penginapan, serta memesankan dan membagikan qurban untuk jamaah haji.

Dalam operasi terpisah, polisi di Riyadh menahan tujuh orang pemukim karen menawarkan layanan palsu transportasi ke Makkah. Seorang pemukim lain juga ditangkap karena mengelola website di Riyadh yang mempromosikan layanan haji palsu.

Mereka ditahan dan akan diajukan ke pengadilan.

Kementerian Haji dan Umrah sebelumnya memperingatkan publik agar berhati-hati terhadap website yang mencurigakan dan pesan di media sosial yang menawarkan layanan berkaitan dengan haji. Kementerian menegaskan bahwa layanan haji untuk orang-orang di Saudi hanya bisa dipesan lewat website resminya.*

HIDAYATULLAH

Usia Sudah 50 Tahun, Haji Dulu atau Umrah?

Seorang Muslim memperoleh rezeki yang cukup untuk mewujudkan mimpinya menunaikan ibadah haji dengan pembiayaan haji reguler. Namun demikian usianya telah mencapai lebih dari 50 tahun. Bila ia mendaftar haji reguler maka waktu tunggu keberangkatannya sekitar 30 tahunan. Ia pun khawatir bila menunggu sampai 30 tahun lagi kondisi fisiknya sudah tidak lagi prima untuk menunaikan ibadah haji. Lalu mana yang harus diutamakan, berhaji dulu atau berumroh?

Pertanyaan seperti ini diajukan oleh salah seorang jamaah kepada pimpinan Majelis Ahbaabul Musthofa Habib Hasan bin Ismail Al Muhdor dalam sebuah program tanya jawab yang disiarkan langsung oleh kanal resmi YouTube Al Wafa Tarim yang diasuh Habib Hasan beberapa hari lalu. Habib Hasan menjelaskan bahwa haji itu hukumnya wajib, demikian juga umroh wajib bagi yang mampu sekali seumur hidup. 

Seseorang yang hendak berhaji harus melihat dan mempertimbangkan kondisinya baik dari segi kemampuan finansial maupun kesiapan fisik. Habib Hasan mengatakan bila orang tersebut mampu untuk menunaikan haji maka lebih afdholnya adalah menunaikan haji terlebih dulu. Sebab haji memiliki waktu tersendiri yaini pada Dzulhijjah, sedangkan umroh dapat dilakukan kapan pun. 

Menurut Habib Hasan apabila orang yang sudah berusia 50 tahun itu memiliki biaya sehingga bisa menunaikan haji melalui program haji Plus yang memiliki waktu tunggu jauh lebih singkat dibanding program haji reguler maka hendaknya jangan menyia-nyiakan untuk segera berhaji melalui program haji plus.

Akan tetapi bila biayanya tidak mencukupi untuk haji plus, sedangkan bila mengikuti haji reguler memerlukan waktu tunggu hingga 30 tahun sementara usianya sudah mencapai 50, sehingga khawatir saat tiba masa pemberangkatan kondisi fisik sudah tidak lagi prima dan memberatkan ketika perjalanan haji, maka boleh didahulukan berumroh dengan tetap memiliki niat berhaji dan segera melaksanakannya ketika Allah memberi kemampuan baik finansial, kesehatan dan kelapangan waktu menunaikannya. 

“Kita mampunya itu haji reguler, tapi lama. Umurnya tadi sudah 50 tahun lebih, nunggunya 30 tahun, (jadi saat berangkat) umur 80 tahun, kan ngga mungkin orang haji. Kalau pun sampai sudah tidak bisa apa-apa. Maka dalam kondisi semacam ini, bila haji plusnya tidak mampu, maka dahulukan umroh. Tapi tetap niat, ketika Allah beri kemampuan haji, Anda haji. Jangan nunggu, akhirnya ajal datang haji ngga. Kalau ngga bisa haji ya umroh. Kalau bisa haji itu lebih afdhol,” kata Habib Hasan. 

Sementara itu bagi orang yang hendak berumroh, Habib Hasan mengatakan ada waktu yang utama untuk berumroh. Yakni ketika bulan Ramadhan. Sebab sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dijelaskan bahwa orang yang berumroh pada Ramadhan seperti haji bersama Rasulullah SAW. 

IHRAM

Khotbah Jumat: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Khatib juga berwasiat untuk selalu menaati segala sesuatu yang datang dari utusan Allah, nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, membekali diri kita dengan ucapan yang penuh kejujuran dan amalan yang penuh keikhlasan.

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kita karunia berupa agama yang benar, agama nabi Ibrahim yang lurus. Dan beliau bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Agama yang telah Allah janjikan akan menang di atas semua agama lainnya. Oleh karenanya, Allah berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ࣖ

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (QS. As-Saf: 9)

Agama yang Allah berjanji akan menjaga kitab sucinya. Allah berfirman,

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Al-Qur’an yang Allah turunkan ini sangatlah bermanfaat bagi manusia, kapan pun zamannya dan di mana pun tempatnya. Kitab yang akan memberikan petunjuk menuju jalan yang lurus, jalan menuju surga Allah Ta’ala yang penuh kemuliaan. Di antara tanda agungnya pemberian Allah ini, Allah telah menyiapkan siapa saja yang akan menjaga syariat-Nya, menyiapkan juga para penyeru agama-Nya, mengajarkan manusia akan apa yang bermanfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَحْمِلُ هَذَا اْلعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ، يُنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِّيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ.

“Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang batil.” (HR. Ahmad dalam Tarikh Dimasyq, 7: 39)

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada para ulama yang mumpuni saat mendapati sebuah permasalahan yang tidak kita ketahui ilmunya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Allah Ta’ala juga melarang kita dari bertanya kepada mereka yang menyesatkan manusia dengan ucapannya yang manis, namun jauh dari kebenaran. Mereka yang tidak tahu kaidah-kaidah ilmu dan dasar-dasarnya, namun berani berfatwa padahal tidak bisa membedakan kabar/ hadis yang sahih dari hadis yang cacat dan palsu, ataupun tidak bisa menempatkan dalil yang ada pada tempatnya.

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala,

Seharusnya majelis-majelis ilmu yang ada lebih mengutamakan dan mendahulukan ulama yang sudah mengabdikan dirinya untuk ilmu, menghabiskan hari demi hari mereka untuk mempelajari ilmu syar’i dan menulisnya. Bukan mereka yang manis lisannya, namun bodoh dan kosong ilmunya. Sehingga tidak ada lagi di antara mereka yang dianggap ‘berilmu’, namun justru menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan.

Sungguh fenomena ini sudah menjamur dan tersebar di masyarakat kita, dan ini merupakan salah satu tanda hari kiamat kecil yang sudah terjadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ مِن أشْرَاطِ السَّاعَةِ أنْ يُرْفَعَ العِلْمُ، ويَكْثُرَ الجَهْلُ

“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan banyaknya kebodohan.” (HR. Bukhari no. 5231 dan Muslim no. 2671)

Di hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka bertanya kepada mereka, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Dahulu kala, walaupun para sahabat radhiayallahu ‘anhum memiliki banyak ilmu dan pengetahuan, jika salah satu dari mereka ditanya perihal suatu permasalahan yang tidak ia ketahui, mereka tidak segan-segan untuk mengucapkan, “Allahu A’lam”, Allah lebih mengetahui perkara tersebut. Hal ini bukan berarti Islam melarang dari berfatwa dan menjawab pertanyaan seseorang. Hanya saja, Islam menginginkan agar setiap ahli ilmu yang ditanya untuk berusaha mencari jawaban yang benar, sampai ia yakin bahwa yang akan disampaikannya adalah kebenaran.

Jemaah Jumat, ma’asyiral muslimin yang dicintai Allah Ta’ala.

Sesungguhnya berdusta dan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dari perbuatan dosa besar. Jika seorang manusia terjatuh ke dalamnya, maka akan membinasakannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya, orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah itu tidak akan beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4)

Di antara ayat yang menunjukkan besarnya dosa berbicara atas nama Allah tanpa ilmu adalah firman-Nya,

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Allah Ta’ala menggabungkan antara berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dengan kesyirikan, dosa yang tidak ada dosa lain yang lebih besar dan lebih parah darinya. Oleh karenanya, jemaah sekalian, marilah bersama-sama kita terus menerus bertakwa kepada Allah Ta’ala, serta menghindarkan diri kita sejauh-jauhnya dari perkara ini, mengajarkan anak-anak kita untuk hanya bertanya kepada ulama yang jelas-jelas ahli dan mumpuni, tidak tertipu dan mengambil pendapat dari para pendusta lagi bodoh.

Harus kita ketahui juga, bahwa berbicara agama tanpa ilmu merupakan salah satu cara setan menjebak dan menggoda manusia. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Baqarah: 169)

Jemaah yang dirahmati dan dimuliakan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang visioner. Agama Islam mengajak pengikutnya untuk meresapi dan memikirkan kembali akibat dari suatu perbuatan, memikirkan juga apa yang bisa menyelamatkan dirinya dari keburukan, menganjurkan dan memerintahkan pengikutnya untuk menggunakan akal sehat. Tidak menerima semua seruan dan tidak pula mengekor kepada setiap penyeru/da’i, memilih dan memilah mana jalan terbaik untuk dirinya agar tidak tersesat. Hal ini sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)

Di antara bentuk berbicara agama tanpa ilmu yang harus kita hindari adalah memperolok-olok agama, merendahkannya, dan mengurangi keagungan kedudukannya. Sungguh hukuman dari perbuatan semacam ini sangatlah keras. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا عَلِمَ مِنْ ءَايَٰتِنَا شَيْـًٔا ٱتَّخَذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Al-Jasiyah: 9)

Seorang muslim yang beriman dan taat terhadap semua perintah-Nya seharusnya berhati-hati dan menghindarkan dirinya dari mendengarkan dan menonton mereka yang memperolok-olok agama Islam. Hal ini untuk mengamalkan ayat,

وَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖۗ وَاِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرٰى مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ

“Apabila Engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika setan benar-benar menjadikan Engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zalim.(QS. Al-An’am: 68)

Seorang mukmin yang benar tidaklah duduk dan ikut serta mendengarkan mereka yang memperolok-olok dan melecehkan agama, karena itu merupakan tanda kebodohan dan kedunguan. Mukmin yang benar akan lebih selektif dan memilih mana yang bisa ia dengarkan dan bisa ia ikuti dan mana yang tidak. Berusaha untuk hanya mendengarkan kebenaran dan kebaikan sehingga diri kita terhindar dari murka Allah Ta’ala dan menjadikan usaha kita ini sebagai sebab masuknya kita ke dalam surga.

Jemaah yang berbahagia.

Marilah kita semua berdoa agar Allah menghindarkan diri kita dari berfatwa dan berbicara tentang agama tanpa ilmu, menjadikan diri kita salah satu hamba-Nya yang berhati-hati ketika berbicara, tidak memperolok-olok ataupun melecehkan agama, walaupun dengan niatan bercanda.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76227-khotbah-jumat-jangan-asal-bicara-agama-tanpa-ilmu.html