Begini Teladan Nabi Muhammad Saat Berdagang

Dikutip dari buku Marketing Muhammad yang ditulis Thorik Gunara dan Utus Hardiono Sudibyo, Nabi Muhammad SAW memperhatikan pelayanan saat melakukan transaksi bisnis. Ini tercermin ketika Abdullah bin Abdul Hamzah melakukan transaksi perdagangan dengan Nabi SAW.

Abdullah bin Abdul Hamzah berkata, “Aku telah membeli sesuatu dari Muhammad sebelum beliau menerima tugas kenabian dan karena masih ada suatu urusan dengannya maka aku menjanjikan untuk mengantarkan kepadanya tetapi aku lupa. Ketika teringat tiga hari kemudian, aku pun pergi ke tempat tersebut dan menemukan Muhammad masih berada di sana.” Lalu Nabi SAW berkata, “Engkau telah membuatku resah, aku berada di sini selama tiga hari menunggumu.”

Nabi Muhammad SAW sangat menghargai pelanggannya seperti menghargai diri beliau sendiri. Bahkan ia mendahulukan kepentingan pelanggan di atas kepentingan dirinya sendiri. Ini menjadi cara paling efektif dalam mempertahankan konsumen.

Dengan cara tersebut, terjadi hubungan yang sangat baik antara pengusaha dan konsumen. Namun ternyata, Nabi SAW tidak hanya menganggap pelayanan sebagai sesuatu yang penting pada saat melakukan penjualan, tetapi juga saat membeli.

Nabi SAW bersabda, “Allah mengasihi orang yang bermurah hati ketika menjual, ketika membeli, dan ketika menagih.” (HR Bukhari dari jalur Jabir bin Abdullah RA)

“Paradigma pembeli adalah raja sering dijadikan alasan yang digunakan oleh pembeli untuk berlaku seenaknya dan tidak jarang memandang rendah pada pihak yang menjual. Dalam Marketing Nabi Muhammad, service tidak hanya ditekankan pada saat menjual, tetapi juga pada saat membeli,” demikian penjelasan Thorik dan Utus dalam bukunya.

Artinya, ketika seorang pembeli bermurah hati, maka akan dihargai oleh penjual. Sikap ini tidak hanya pada saat bertransaksi, tetapi juga setelah transaksi. Dengan sikap murah hati dari konsumen, penjual tidak akan ragu untuk memberinya nilai tambah. Sikap empati tidak hanya dimiliki penjual, pebisnis, maupun pengusaha, tetapi juga oleh pembeli.

IHRAM

4 Elemen Kebahagiaan menurut Al-Ghazali

Salah satu elemen kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), yang akan mengantarkan manusia tidak salah memilih Tuhannya

SEMUA orang pasti menginginkan kebahagiaan. Namun belum tentu semua orang mengetahui hakikat kebahagian yang sebenarnya. 

Secara sederhana, kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah merasakan kelezatan atau kenikmatan pada suatu kecenderungan yang menjadi tabiat segala sesuatu.

Dipilah dari sifatnya, setidaknya ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Sehingga dalam penyikapannya, diantara manusia ada yang standar kebahagian hanya diukur dengan nilai duniawi, ada pula yang pandangan jauh kedepan, yakni yang utama adalah ukhrawi.

Kebahagiaan dunia dan akhirat

Dunia yang tampak indah dan mempesonakan. Namun sesungguhnya kesenangan atau kebagiaan dunia itu semua hanyalah menipu, sementara atau fana.

Maka sungguh alangkah bijak bila kenikmatan dunia yang fana ini digunakan untuk meraih kenikmatan hakiki di akhirat nanti.

Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ, perbandingan nikmat dunia dengan nikmat akhirat itu ibarat tetesan air pada jari yang dicelupkan ke lautan, tak sebanding dengan akhirat yang nikmatnya seluruh air di lautan. Rasulullah juga menyebutkan bahwa nikmat dunia itu tak lebih berharga dari sayap nyamuk.

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR: Tirmidzi).

Nikmat dunia apa yang tidak sementara? Kenikmatan tamasya di hari weekend misalnya, menikmati indahnya alam sembari berkumpul bersama keluarga tercinta tentu mengasyikan.

Tapi kalau hari weekend sudah habis, maka kembali sibuk dengan aktivitas biasanya, dan nikmat tamasya itu juga sudah habis. Bukan berarti weekend itu tidak boleh, cuma menunjukkan kalau nikmatnya itu sementara saja.

Dan sudah semestinya liburan weekend itu tidak membuat kita lupa mengingat Allah, seperti tidak melalaikan sholat, senantiasa berdzikir, dan seterusnya.

Terus contoh lagi, seseorang yang dikaruniai istri cantik atau suami ganteng, apakah kalau sudah tua juga masih secantik dan seganteng waktu muda? Apakah mereka juga tak akan pernah berpisah di dunia?. Itulah realita kenikmatan dunia.

Fana, semua bakal ditinggalkan alias sementara. Mana ada orang yang hidupnya abadi. Suka atau tidak suka. Harta kita, istri kita yang cantik, kendaraan-kendaraan kita. Semua akan ditinggalkan di dunia ini.

Dunia ini tidak ada keadaan yang bisa dikatakan benar-benar bahagia atau sebaliknya betul-betul sedih. Begitulah hidup yang kita jalani; bahagia sebentar. Lalu datang masalah melanda, sedih sebentar.

Dunia akan berputar tTerus begitu. Demikian pula tak da keberhasilan hakiki di dunia, kadang berhasil, kadang gagal.

اِعْلَمُوْۤا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَا خُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَا ثُرٌ فِى الْاَ مْوَا لِ وَا لْاَ وْلَا دِ ۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّا رَ نَبَا تُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰٮهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطٰمًا ۗ وَفِى الْاٰ خِرَةِ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ ۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَا نٌ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۤ اِلَّا مَتَا عُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS: Al-Hadid: 20).

Orang yang cerdas ialah yang menggunakan kenikmatan dunia ini sebagai bekal untuk kenikmatan abadi diakhirat.

Sebuah kisah nyata menarik yang bisa diambil ibrahnya bagaimana kisah akhir hidup seseorang yang bergelimang harta dunia. Seorang miliader dan salah satu CEO Top di Amerika Serikat Steven Job, meninggal dunia di usia 56 tahun, karena Cancer Pankreas.

CEO perusahaan Apple ini meninggalkan kekayaan senilai USD 7 Milyar. Wow, yang jelas nolnya amat banyak kalau dirupiahkan. Simak pesan terakhirnya.

“Menurut saya saat ini, hidupku adalah inti dari kesuksesan itu sendiri. Tapi, saya tidak bahagia dengan apa yang saya miliki. Akhirnya aset itu hanya angka, atau sesuatu yang saya kumpulkan. Saat ini, ketika saya tergeletak di tempat tidur, sakit, saya mengenang hidupku.”

“Saya tahu, semua ketenaran dan asetku tak ada artinya saat menghadapi kematian. Anda bisa bayar orang untuk menyetir mobil, memenuhi kebutuhan Anda, membayar manajer memimpin perusahaan Anda, mengumpulkan banyak harta dan ketenaran. Tapi, Anda tidak bisa membayar orang memikul rasa sakit Anda. Ada banyak materi saat hilang bisa diganti, tapi tidak dengan kehidupan,” begitu katanya.

Elemen kebahagian

Karena itulah manusia perlu mengetahui hakikat kebahagiaan yang sejati. Selain itu, manusia juga harus mengetahui elemen-elemen apa saja yang bisa mengantarkan untuk memperolehnya.

Menurut Imam Al-Ghazali Rahimahullah, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Yakni: mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat.

Pertama; Mengenal diri (Ma’rifatun Nafs).

Al-Ghazali mengatakan; mengenal  adalah kunci untuk mengenal Tuhannya yaknia Allah Swt. Sebagaimana dikatakan Al-Quran:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS: Fussilat: 53)

Dengan bertafakkur bertafakur siapakah kita ini, darimana ia berasal, siapa yang menciptakannya, berfikir tentang keadaanya, anggota tubuhnya, serba kelemahannya, maka hal itu akan mendorong dia menemukan Tuhannya.

Karena apapun di dunia ini pasti ada yang menciptakan, mustahil kalau adanya manusia, dan alam semesta itu tiba-tiba ada dengan sendirinya. Dialah Allah Sang Pencipta.

Kedua: mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan seorang manusia untuk tidak salah dalam memilih Tuhannya. Ia akan terhindar dari sifat menyekutukan-Nya karena Allah tida suka untuk disekutukan. 

Bila manusia mengenal Allah dengan baik maka ia juga tidak akan putus asa dari rahmat-Nya yang begitu luas. Sehinga Ia akan berusaha menaatinya dalam rangka untuk memperoleh ridha-Nya.

Ketiga: Mengenal dunia (Ma’rifatuddunya

Seseorang yang mengenal dunia dengan baik, maka ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Melainkan menjadikannya wasilah untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat.

Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan dunia penumpang kapal yang kemudian kapal istirahat sebentar di pelabuhan.

Nahkoda kapal mengumumkan bahwa kapal akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama.

Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung.

Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal.

Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.

Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar mereka. Dan mereka menjadi terlunta-lunta serta santapan binatang buas.

Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang ber iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia. yang sesungguhnya tidak berharga.

Keempat: mengenal akhirat (Ma’rifatul akhirah)

Manusia yang mengenal akhirat dengan baik akan membuatnya tidak silau dengan gemerlap dunia. Ia tahu bahwa perjalannya sangat panjang dan melelahkan setelah menjalani hidup di dunia yang sementara, sehingga berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya menuju akhirat.

Syahdan, dengan mengetahui keempat elemen tersebut, seorang manusia akan mendorong  memahami hakikat tujuan manusia di ciptakan. Dari mana ia hidup, untuk apa dan mau kemana?. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. Wallahu a’lam.*/Ali Musthofa Akbar, bahan dari Kimiyaus Sa’adah

HIDAYATULLAH

Mengenal Tanda Fluktuasi Iman

Iman bisa naik turun dan mengalami fluktuasi, iman tidak hanya dibernarkan di hati, ia diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal

SEBAGAIMANA arus listrik, iman bisa mengalami naik dan turun atau mengalami fluktuasi. Karena itu diperlukan penjagaan agar terus berjalan stabil.

Iman menjadi sumber energi bagi seorang mukmin untuk bergerak menyemai kebaikan, kebenaraan dan keindahan dalam kehidupan. Iman juga energi untuk mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di muka bumi.

Iman pula yang merubah individu menjadi baik. Ujungnya, dengan kebaikan individu menjalar dalam kehidupan masyarakat sehingga membentuk masyarakat yang baik.

Pengaruh iman terhadap individu Muslim yang kaya menjadi dermawan; yang miskin mampu menjaga kehormatan dan harga diri dari sikap meminta-minta; yang berkuasa mampu berbuat adil; yang kuat menjadi penyayang; yang cerdas menjadi rendah hati; yang bodoh menjadi pembelajaran; begitu seterusnya. Intinya, iman membentuk individu Muslim menjadi lebih baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat (umat).

Yang perlu dipahami adalah bahwa iman mengalami fluktuasi, naik dan turun. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Oleh karena itu, pelaku dosa dari kalangan orang yang beriman tidak sama dengan orang yang tidak melakukannya, namun ia juga tidak dikeluarkan dari keimanan. Pelaku dosa tersebut dikatakan mukmin yang minim (lemah) iman (mu’min naqishul iman), atau orang mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosanya (mu’min bi imanihi wa fasiq bi kabiratihi).

Ahlussunnah memandang bahwa keimanan dan dosa besar bisa berkumpul dalam diri seseorang tanpa ia keluar dari keimanannya selama dosa besar tersebut bukan dosa syirik, tetapi ia juga tidak lagi sempurna keimanannya akibat melakukan dosa tersebut. Bertolak dari konsep fluktuasi iman, orang yang beriman berada pada tingkatan yang berbeda-beda.

Diantara mereka, terdapat orang yang memiliki keimanan sempurna, seperti para nabi dan para shiddiqin; juga ada yang imannya sedang; dan ada pula yang sangat kurang. Ahlussunnah mengklasifikasi orang yang beriman secara global menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat dzalim linafsihi, muqtashid, dan sabiqun bil-khairat sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran.

ثُمَّ اَوۡرَثۡنَا الۡكِتٰبَ الَّذِيۡنَ اصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۚ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِهٖۚ وَمِنۡهُمۡ مُّقۡتَصِدٌ ۚ وَمِنۡهُمۡ سَابِقٌۢ بِالۡخَيۡرٰتِ بِاِذۡنِ اللّٰهِؕ ذٰلِكَ هُوَ الۡفَضۡلُ الۡكَبِيۡرُؕ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS: Fathir [35]: 32).

Untuk mengetahui seseorang dikatakan beriman atau tidak, tidak bisa hanya melihat pengakuannya saja. Para ulama mengatakan “Iman adalah membenarkan di dalam hati (at Tashdiqu bil qalbi), diucapkan dengan lisan (qaulun billisan), dan dibuktikan dengan amal anggota tubuh (amalun bil arkan wal jawarih).
Berikut hal-hal yang dapat meningkatkan keimanan, karenanya seorang Muslim harus berupaya untuk melakukan hal-hal tersebut agar keimanan tetap terjaga dengan baik.

Pertama, ilmu

Menambah ilmu merupakan jalan untuk meningkatkan keimanan. Ilmu dalam hal ini adalah ilmu mengenal Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan ayat-ayat-Nya.

الَّذِيۡنَ يَذۡكُرُوۡنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوۡدًا وَّعَلٰى جُنُوۡبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُوۡنَ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
الَّذِيۡنَ يَذۡكُرُوۡنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوۡدًا وَّعَلٰى جُنُوۡبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُوۡنَ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هٰذَا بَاطِلًا ۚ سُبۡحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ilmu mengenai Rasulullah ﷺ termasuk akhlak, syariat yang dibawanya, memahami perjalanan hidupnya dalam ibadah dan muamalah, termasuk dalam memahami Kitabullah dengan segala isinya.

Kedua, amal

Keimanan akan semakin kuat dengan memperbanyak amal shaleh dan melakukan ketaatan. Sedangkan sedikit amal shaleh dan tenggelam dalam nafsu syahwat akan sangat mudah melemahkan iman.

Ketiga, dzikir

Dzikir adalah mengingat Allah dengan segala sifat dan keagungan-Nya, membaca firman dan ayat-ayat-Nya. Dzikir dapat melestarikan keterpautan hati dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, kurang dzikir akan menimbulkan kelalaian dan lupa kepada Allah SWT.

Allah berfirman bahwa di antara sifat-sifat orang yang beriman adalah selalu berdzikir dalam berdiri, duduk, dan berbaring.

HIDAYATULLAH

Apa Pentingnya Menanyakan Agama Seseorang?

Apa pentingnya menanyakan agama seseorang? Pasalnya, masyarakat kita, masih sering menanyakan “Agama kamu apa?” pada seseorang yang baru saja dikenal.

Pertanyaan ini kerap ditujukan jika kenalan baru tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda keagamaan yang dianut. Misalnya, perempuan yang tidak mengenakan jilbab.

Pertanyaan ini juga kerap dilemparkan oleh para warga internet kepada tokoh publik. Tidak sungkan, mereka menanyakan apa agama yang dianut oleh tokoh publik tersebut. Padahal, sudah dapat dipastikan jika netizen tidak saling mengenal secara personal dengan tokoh publik tersebut.

Sampai saat ini, masih belum diketahui kenapa pertanyaan agama kamu apa? masih bermunculan di publik. Walau pun bisa saja alasannya adalah untuk sekadar berbasa-basi atau memunculkan topik pembicaraan.

Sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak dapat lepas dari interaksi. Mengobrol, memunculkan pembicaraan antara satu orang dengan lainnya adalah hal yang wajar.

Namun hanya saja, butuh diperhatikan, apakah kalimat yang dilontarkan cukup baik dan nyaman untuk dibicarakan. Seperti halnya menanyakan agama ini. Memang tidak ada larangan untuk menanyakan agama seseorang.

Hanya saja perlu diperhatikan pula, apa tujuan dari melontarkan pertanyaan tersebut. Jika pertanyaan dimaksud untuk sesuatu hal yang bersifat penting dan baik tentu tidak mengapa.

Misalnya saja, ada orang yang baru dikenal bertamu ke rumah. Dan kebetulan kala itu sedang bulan Ramadhan. Menjelang berbuka puasa, kemungkinan tuan rumah akan bertanya apa agama tamu tersebut. Dengan maksud mengajak berbuka puasa bersama.

Atau ketika sedang adzan, seseorang bertanya soal agama pada rekan kerja yang baru saja ditemuinya hari itu. Bukan tanpa maksud buruk, mungkin saja ia ingin mengajak rekan tersebut shalat.

Bisa pula seorang kawan yang beragama kristen ingin menyediakan makanan. Ia boleh saja bertanya pada orang yang akan dihidangkan makanan tersebut. Apakah ia seorang muslim atau tidak. Karena untuk menghindari penyajian makanan yang tidak sejalan dengan Islam.

Misalnya makanan yang mengandung unsur babi. Dan masih banyak beberapa alasan yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk menanyakan agama seseorang. Bisa pula karena kebutuhan administrasi yang diperlukan untuk pencatatan sipil.

Beberapa alasan di atas mungkin bisa menjadi alasan menanyakan agama seseorang. Dengan catatan menggunakan bahasa yang sopan.

Namun di luar dari kepentingan seperti di atas, maka rasanya perlu dipertanyakan apa fungsinya menanyakan agama orang lain. Apalagi jika pertanyaan tersebut disematkan pada orang yang tidak dikenal di media sosial.

Jika menanyakan agama hanya untuk iseng, atau berujung pada perundungan yang bersifat diskriminasi, sudah sebaiknya dihentikan. Sangat dihindari jika menanyakan agama berujung untuk menyudutkan seseorang dan merasa superior.  Dan yang harus ditekankan adalah menanyakan sesuatu harus sesuai dengan konteks.

Lagi pula agama yang dianut adalah urusan dari seorang hamba dengan sang pencipta. Sudah jelas jika agama yang dianut seseorang merupakan sesuatu yang bersifat privasi. Di sisi lain, isu agama cukup sensitif untuk dibahas. Walaua memang masyarakat di Indonesia terdiri dari beragam etnis, suku, budaya dan agama.

Melansir dari Bincang Syariah, Imam Al-Ghazali, di dalam kitabnya Ihya Ulum Ad-Din dalam bagian “Rubu’ Al-Muhlikat”, (hal-hal yang menghancurkan; red) dalam bab dampak negatif lisan mengungkapkan hal seperti berikut.

Diantara bagian dari hal yang membuang-buang waktu ialah ketika engkau menanyakan kepada temanmu sesuatu yang tidak berfaedah sama sekali. Karena engkau dengan pertanyaan tersebut telah membuang-buang waktumu. Dan engkau juga membuat temanmu membuang-buang waktunya.

Hal inipun terjadi jika sesuatu yang ditanyakan itu tidak memiliki dampak negatif. Permasalahannya kebanyakan pertanyaan menyimpan dampak negatif di dalamnya.” (Ihya Ulum Ad-Din Jilid 5 Cet Daar Al-Minhaj, Jeddah, 2011, Rubu’ Al-Muhlikat, hal 408)

Maka dapat disimpulkan jika menanyakan agama seseorang tanpa ada alasan yang kuat atau iseng merupakan bentuk dari buang-buang waktu. Baik dari si penanya maupun orang yang ditanya.

Selain membuang-buang waktu, meski tidak ada maksud buruk, bisa memberikan dampak yang tidak baik. Apa lagi jika memang di dalam hati ada maksud yang tidak mengenakkan. Tentunya bisa memberikan dampak yang tidak negatif.
Demikian penjelasan terkait apa pentingnya menanyakan agama seseorang? Semoga bermanfaat.

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Untuk Apa Belajar Agama Jika Membalas Mencela?

Kita harus benar-benar sering membaca akhlak para ulama dan para pendakwah sebelum kita. Akhlak para salafus shalih sangat jauh dari akhlak kita sekarang. Salah satu akhlak mulia mereka adalah tidak membalas celaan, caci-maki, dan olok-olok. Dalam artian, mereka tidak melayani celaan dan debat, bahkan sebagian dari mereka justru memaafkan. Perhatikan ucapan seorang ulama, Waki’ rahimahullah,

سب رجل الإمام وكيع رحمه الله: فلم يُجبه فقيل له : ألا ترد عليه؟ قال : و لم تعلمنا العلم إذاً

Seorang laki-laki mencela Imam Waki’ rahimahullah, namun beliau tidak merespon sama sekali. Beliau ditanya ‘Mengapa engkau tidak membalas celaan itu?’ Beliau menjawab, ‘Untuk apa kita belajar agama kalau begitu?’” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 166)

Demikian juga ketika ada yang mencela Asy-Sya’biy rahimahullah, maka beliau berkata,

إن كنتَ صادقاً فغَفر الله لي، وإن كنتَ كاذباً فغفر الله لك.

Apabila engkau benar, semoga Allah mengampuni aku. Dan apabila engkau dusta, semoga Allah mengampuni engkau.” (Al-‘Aqdul Farid, 2: 276)

Demikianlah contoh dan teladan dari ulama kita. Sebaik apapun kita, pasti akan ada orang yang mencela kita. Bahkan manusia paling mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun dicela oleh manusia dengan julukan yang sangat jelek, yaitu gila, tukang sihir, dan tukang dusta. Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭﻥَ ﻫَٰﺬَﺍ ﺳَﺎﺣِﺮٌ ﻛَﺬَّﺍﺏٌ

Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.’” (QS. Shad: 4)

Orang beriman dan melakukan banyak kebaikan pun akan menjadi bahan olok-olok dan bahan tertawaan bagi orang yang keras hatinya. Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮُّﻭﺍ ﺑِﻬِﻢْ ﻳَﺘَﻐَﺎﻣَﺰُﻭﻥَ

Ketika mereka (orang beriman) melewati orang kafir, maka orang kafir pun menertawakan.” (QS. Al-Muthaffifin: 29)

Baca Juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih

Kita pun tidak bisa berharap semua manusia akan suka dengan kita atau semua manusia memuji kita serta tidak ada satu pun yang mencela. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

ما أحد الا وله محب ومبغض, فان كان لا بدّ من ذلك, فليكن المرء مع أهل طاعة الله عز وجل.

Setiap orang pasti ada yang mencintai dan ada yang membenci. Hal tersebut pasti terjadi, maa hendaklah selalu bersama orang-orang yang taat kepada Allah.(Mawa’idh Imam Syafi’i)

Untuk menghadapi hal seperti ini, cukup dengan tidak mempedulikan dan tidak merespon sama sekali celaan tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

ﻣَﻦْ ﻗَﺪَّﺭَ ﺃَﻧﻪ ﻳَﺴْﻠَﻢُ ﻣِﻦْ ﻃَﻌْﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻋَﻴْﺒِﻬِﻢْ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺠْﻨُﻮﻥ

Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka, maka ia adalah orang gila.” (Al-Akhlaaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus, hal. 17)

Demikian juga perkataan ulama,

ألقي كلمتك وأمشي

Sampaikanlah, lalu teruslah berjalan (tidak terlalu peduli dengan celaan).

Puncak akhlak dari para ulama dan salafus shalih adalah berusaha memaafkan dan ini butuh jiwa yang besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

Jika kalian membalas, maka balaslah yang setimpal. Akan tetapi, bila kalian bersabar, maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (QS. An-Nahl: 126)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ

Maafkan dan ampuni (lapangkan dada)! Apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nur: 22)

Demikian tulisan ringkas ini, semoga Allah memperbaiki hati dan akhlak kita.

***

Penulis: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77058-untuk-apa-belajar-agama-jika-membalas-mencela.html

Apa Maksud Dunia adalah Penjara bagi Orang Beriman?

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir. Apa maksud dari hadis ini ? Hal ini pernah ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahulah dan dijelaskan oleh beliau dalam fatwa berikut ini.

Pertanyaan

بارك الله فيكم، المستمع أخوكم في الله إبراهيم يسأل عن معنى الحديث الذي رواه أبو هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: «الدنيا سجن المؤمن، وجنة الكافر». يقول: ما معنى هذا الحديث؟

Barakallahu fiikum. Salah seorang pendengar, saudaramu karena Allah yang bernama Ibrahim bertanya mengenai makna hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الدنيا سجن المؤمن، وجنة الكافر

Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.“

Apa makna hadis di ini ?

Jawaban

Makna hadis ini adalah bahwa dunia ini, sebesar apapun urusannya, sebaik apapun hari-harinya, dan sebagus apapun tempatnya, itu semuanya bagi seorang mukmin statusnya adalah  seperti penjara karena seorang mukmin pasti akan mencari kenikmatan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih tinggi kedudukannya.

Adapun menurut orang kafir, maka itu semua merupakan surga bagi mereka karena mereka mendapatkan kesenangan di sana dan mereka lupa akan kehidupan akhirat. Kondisi mereka persis seperti yang Allah gambarkan dalam Al-Qur’an,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ

Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.“ (QS. Muhammad: 12)

Orang kafir apabila mati maka pasti akan masuk neraka –wal ‘iyadzubillah-, dan sungguh celakalah bagi penduduk neraka. Oleh karena itu, dunia dengan berbagai kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, dan kegelisahan yang ada di dalamnya bagi orang kafir adalah surga karena dia akan berpindah dari dunia menuju azab neraka –wal ‘iyadzubillah-. Maka, apapun kondisinya di dunia adalah seperti surga bagi mereka dibandingkan kesengsaraan berupa azab neraka di akhirat kelak.

Kami akan sebutkan kisah yang diceritakan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahulah penulis kitab Fathul Baari. Beliau adalah qadhi di Mesir saat itu. Suatu hari beliau pernah melintasi pasar di atas kereta tunggangannya dalam satu barisan konvoi bersama pengawalnya.  Kemudian seorang lelaki Yahudi menghentikannya  dan berkata kepada Ibnu Hajar rahimahullah,

إن نبيكم يقول: «إن الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر»، وكيف ذلك وأنت في هذا الترف والاحتفاء، وهو يعني: نفسه اليهودي في غاية ما يكون من الفقر والذل، فكيف ذلك

Sesungguhnya Nabi kalian pernah berkata bahwa dunia adalah penjara orang beriman dan surga orang kafir. Benarkah demikian? Saat ini engkau berada dalam kemewahan dan kedudukan yang terhormat, sedangkan aku dalam kondisi kemiskinan dan kehinaan. Bagaimana bisa seperti ini?

Ibnu Hajar menjawab orang Yahudi tersebut, “Saya saat ini meskipun dalam kondisi kemewahan dan kedudukan terhormat seperti yang engkau lihat, maka kondisi ini tidak seberapa dibanding kenikmatan surga yang akan didapatkan orang beriman kelak di akhirat. Sementara engkau dengan kondisimu saat ini dalam keadaan miskin dan hina, maka tidaklah seberapa dibandingkan dengan apa yang akan dirasakan oleh orang kafir di neraka kelak. Maka orang Yahudi tersebut pun takjub dengan jawaban Ibnu Hajar, kemudian dia mengucapkan syahadat dan akhirnya masuk Islam.

Penulis: Adika Mianoki

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76987-apa-maksud-dunia-adalah-penjara-bagi-orang-beriman.html

Pahala Istimewa Jika Haji Dikerjakan karena Allah

Barang siap di antara umat Islam yang melaksanakan haji semata-mata karena Allah, maka dosanya akan diampuni. Bahkan istimewanya Allah menjamin hambanya itu bebas dari dosa seperti bayi baru dilahirkan.

“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda barangsiapa menunaikan ibadah haji untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan dia tidak mengucapkan perkataan maksiat dan tidak melakukan perbuatan keji, maka ia akan kembali dalam keadaan bersih dari dosa sebagaimana pada hari ketika ibunya melahirkannya.” (H.R Mutafaqun Alaih;Miskat).

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi Rah.a dalam kitabnya “Fadhilah Haji” menerangkan hadis di atas, maksudnya ketika bayi baru lahir ia adalah dalam keadaan maksum (tidaknmempunyai dosa sedikitpun). “Seperti inilah hasil haji yang dikerjakan semata-mata karena Allah SWT,” katanya.

Berdasarkan hadis-hadis tentang haji sebagian ulama mengatakan bahwa dosa yang diampuni dengan ibadah haji adalah dosa besar dan dosa kecil. Akan tetapi, kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil saja.

Di dalam hadis di atas Rasulullah menyebutkan tiga perkara. Pertama ibadah haji hendaknya dikerjakan semata-mata karena Allah SWT dengan tidak ada tujuan keduniaan, baik mencari ketenaran atau yang lain.

“Banyak sekali dijumpai orang yang menunaikan haji untuk mencari ketenaran dan kehormatan,” katanya.

Orang seperti itu kata Syekh Maulana Muhammad telah memubazirkan harta karena ia tidak mendapat pahala dari haji nya itu, meskipun dengan cara seperti itu kewajiban haji telah gugur dari pundaknya. Namun jika haji dikerjakan dengan ikhlas, di samping kewajiban haji akan gugur dari tanggungannya, pahala yang besar juga akan diperoleh.

“Dengan demikian, betapa besarnya kerugian yang ditanggung oleh orang yang menyia-nyiakan pahala yang sangat besar hanya karena ingin menjadi terkenal di kalangan beberapa orang saja,” katanya.

Kedua, dalam hadits di atas disebutkan bahwa dalam menunaikan ibadah jangan ada Arafat yakni perkataan yang keji. Sebelumnya, perkataan arafat yang berarti mengucapkan perkataan yang tidak senonoh. Para ulama telah menerangkan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang singkat tetapi padat, termasuk di dalamnya segala macam perkataan yang sia-sia, kotor, dan tidak sopan.

Bahkan kata Syekh Maulana, membicarakan masalah bersetubuh di hadapan istrinya dan isyarat dengan mata atau tangan yang menunjukkan perkataan yang tidak baik pun termasuk di dalamnya. “Dan semuanya itu dilarang karena menimbulkan nafsu dan birahi,” katanya

Perkara ketiga yang disebutkan dalam hadits di atas adalah fusuq yakni jangan melakukan perbuatan yang keji. Para ulama telah menerangkan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang singkat tetapi padat, yakni meliputi segala macam kemaksiatan kepada Allah SWT, dan termasuk juga bertengkar karena ini merupakan perbuatan yang keji.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kebaikan haji adalah berbicara dengan ramah dan memberi makan.” 

Maka kata Syekh Maulana, bertengkar dan berbantah-bantah dengan jamaah haji yang lain bertentangan dengan sopan santun dan dalam berbicara. Oleh karena itu sangat penting bagi setiap jamaah haji untuk tidak mengkritik orang lain sesama jamaah haji, tidak berbicara dengan kasar, dan melewati mereka dengan penuh tawadhu, dan akhlak yang baik.

“Para ulama menerangkan bahwa akhlak yang baik bukan saja berarti tidak menyakiti orang lain akan tetapi akhlak yang baik adalah menahan dan bersabar atas kesakitan yang datang dari orang lain,” katanya.

BPKH

Jangan Bersedih, Ini Amalan yang Pahalanya Sama dengan Haji atau Umrah

Mungkin, sebagian kita, masyarakat Indonesia, dan mungkin juga di dunia, merasa sedih karena tidak bisa berangkat haji di tahun ini akibat keputusan Pemerintah Indonesia untuk tidak melaksanakan haji dulu di tahun ini akibat pandemi Covid-19. Khususnya, tentu mereka yang kemungkinan dipastikan berangkat di tahun ini, karena seperti diketahui keberangkatan haji di Indonesia daftar antrinya lumayan panjang. Bahkan ada yang sampai belasan tahun. Meskipun ini tidak berarti akan terus berhenti sekian tahun kedepan. Harapan semua masyarakat dunia, tentunya pandemi Covid-19 ini segera berakhir, dan umat Muslim bisa melaksanakan ibadahnya yang membutuhkan bepergian jauh, seperti haji dan umrah.

Tapi sebenarnya tidak perlu bersedih. Justru kita harusnya bersyukur, karena Nabi Saw. justru sudah pernah menjelaskan persoalan tidak bisa berhaji ini dengan jawaban ada amalan yang pahalanya setimpal dengan pahala haji atau umrah. Berikut ini sekian riwayat, baik yang bersumber dari hadis Nabi Saw., sahabat Nabi, dan para tabi’in tentang amalan yang pahalanya sama dengan haji atau umrah.

  1. Zikir Sesudah Shalat (Tasbih, Tahmid, Takbir)

Ini bersumber dari hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha. Satu ketika pernah orang-orang fakir curhat kepada Nabi Saw. kalau orang kaya bisa dengan mudah melaksanakan berbagai ibadah sementara mereka tidak bisa, misalnya mereka bisa haji umrah, sedekah, hingga jihad.

جاء الفقراء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: ذهب الدثور من الأموال بالدرجات العلى والنعيم المقيم يصلون كما نصلي ويصومون كما نصوم ولهم فضل أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا أحدثكم بمال لو أخذتم به لحقتم من سبقكم، ولم يدرككم أحد بعدكم، وكنتم خير من أنتم بين ظهرانيه إلا من عمل مثله: تسبحون وتحمدون وتكبرون خلف كل صلاة ثلاثا وثلاثين”. رواه البخاري.

Sekelompok orang fakir bertemu Rasulullah lalu berkata: “harta yang banyak membuat orang kaya mencapai tingkat dan nikmat yang lebih tinggi dan tetap. Mereka shalat, kami pun shalat. Mereka puasa, kami pun puasa. (Namun) mereka punya harta berlebih lalu menggunakannya untuk haji, umrah, jihad dan sedekah.” Rasulullah Saw. lalu menjawab: “Hei, maukah kalian aku beritahu dengan kekayaan, yang kalau kalian ambil ini, kalian bisa menyusul orang-orang mendahului kalian. Tidak ada seorangpun yang bisa menyusul kalian. Dan kalian menjadi yang terbaik diantara mereka, kecuali mereka melakukan hal yang sama dengan kalian. (Kekayaan itu) adalah kalian menyucikan Allah (tasbih), memuji-Nya (tahmid), menyatakan kebesaran-Nya (takbir) setiap selesai shalat masing-masing 33 kali

  1. Umrah di Bulan Ramadhan

Dasarnya adalah kisah sebagian perempuan yang kehilangan kesempatan berhaji di satu waktu, lalu mereka bertanya apa ibadah yang setara dengan haji? Rasulullah menjawab: “umrahlah di bulan Ramadan, sesungguhnya ia sama dengan sekali haji atau berhaji bersama aku.”

Aisyah di lain kesempatan pernah bertanya kepada Nabi Saw. soal pria yang punya kesempatan berjihad sementara perempuan tidak. Rasulullah menjawab:

جهادكن الحج والعمرة

“Jihad kalian itu haji dan umrah.”

  1. Shalat Subuh Berjamaah dan Berzikir sampai Terbit Matahari

Kisah ini diantaranya disebutkan di dalam Sunan At-Tirmidzi,

من صلى الصبح في جماعة ثم جلس في مصلاه يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كان له مثل أجر حجة وعمرة تامة

Siapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian duduk di tempat shalatnya, berzikir kepada Allah sampai terbit matahari, lalu shalat dua rakaat, maka baginya setara dengan pahala haji dan umrah yang benar-benar sempurna (disebutkan dalam riwayat at-Tirmidzi, kata taaamah yang berarti sempurna diulang sampai tiga kali).

  1. Keluar ke Masjid untuk Menunaikan Shalat Fardhu

Kisahnya diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya,

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من تطهر في بيته ثم خرج إلى المسجد لأداء صلاة مكتوبة فأجره مثل أجر الحاج المحرم ومن خرج لصلاة الضحى كان له مثل أجر المعتمر

Dari Nabi Saw. beliau bersabda: “siapa yang bersuci dari rumahnya, lalu keluar ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka pahalanya setara dengan pahala haji, dan yang keluar ke masjid untuk menunaikan shalat dhuha, pahalanya setara dengan pahala umrah.”

  1. Berbakti Kepada Orang Tua

عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم وصى رجلاً ببر أمه وقال له “أنت حاج ومعتمر ومجاهد” ويعني: إذا برها

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Saw. berwasiat kepada laki-laki yang berbakti kepada ibunya dengan sabda: “engkau (sama dengan) orang berhaji, umrah, dan mujahid”, maksudnya: ketika berbakti kepada sang ibunda

  1. Shalat Isya Berjamaah

Ada satu riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan kepada Rasulullah Saw.,

بكورك إلى المسجد أحب إلي من غزوتنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم

bersegera kamu ke masjid lebih saya sukai dibanding peperangan kita bersama Rasulullah Saw.

Akhir kata, itu semua bisa lakukan. Memang tidak berarti apabila kita melakukan itu semua, kita terbebas dari kewajiban haji, apalagi jika kita dianugerahi kemampuan baik fisik (istitha’ah) dan harta finansial (zaad).

BINCANG SYARIAH

Matan Taqrib: Berbagai Mandi yang Disunnahkan

Ada mandi yang diwajibkan dan ada mandi yang disunnahkan. Sekarang kita akan lihat rincian mandi yang disunnahkan.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,

الاِغْتِسَالاَتُ المَسْنُوْنَةُ:

وَالِاغْتِسَالاَتُ المَسْنُوْنَةُ سَبْعَةَ عَشَرَ غُسْلاً غُسْلُ الجُمُعَةِ وَالعِيْدَيْنِ وَالاِسْتِسْقَاءِ وَالخُسُوْفِ وَالكُسُوْفِ وَالغُسْلُ مِنْ غُسْلِ المَيِّتِ وَالكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ وَالمَجْنُوْنِ وَالمُغْمَى عَلَيْهِ إِذَا أَفَاقَا وَالغُسْلُ عِنْدَ الإِحْرَامِ وَلِدُخُوْلِ مَكَّةَ وَلِلْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ وَلِلْمَبِيْتِ بِمُزْدَلِفَةَ وَلِرَمْيِ الجِمَارِ الثَّلاَثِ وَلِلطَّوَافِ وَلِلسَّعْيِ وَلِدُخُوْلِ مَدِيْنَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Mandi yang disunnahkan ada tujuh belas, yaitu:

  1. Mandi ketika akan mengerjakan shalat Jumat.
  2. Mandi ketika akan mengerjakan shalat Idulfitri.
  3. Mandi ketika akan mengerjakan shalat Iduladha.
  4. Mandi ketika akan mengerjakan shalat istisqa’ (meminta hujan).
  5. Mandi ketika akan mengerjakan shalat khusuf (gerhana bulan) dan shalat kusuf (gerhana matahari).
  6. Mandi setelah memandikan jenazah.
  7. Mandi bagi orang kafir setelah masuk Islam.
  8. Mandi bagi orang yang sembuh dari gila.
  9. Mandi bagi orang yang sadar dari pingsan.
  10. Mandi ketika akan mengerjakan ihram.
  11. Mandi ketika akan memasuki Makkah.
  12. Mandi ketika akan wukuf di Arafah.
  13. Mandi ketika akan mabit (bermalam di Muzdalifah).
  14. Mandi ketika akan melempar tiga jumrah.
  15. Mandi ketika akan mengerjakan thawaf.
  16. Mandi ketika akan mengerjakan sai.
  17. Mandi ketika akan memasuki kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kaidah mengenai mandi wajib dan sunnah

Syaikh Ibrahim Al-Bajuri rahimahullah memberikan kaidah penting untuk membedakan antara mandi yang dihukumi wajib dan sunnah:

كُلُّ غُسْلٍ تَقَدَّمَ سَبَبُهُ فَهُوَ وَاجِبٌ وَكُلُّ غُسْلٍ تَأَخَّرَ سَبَبُهُ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ

وَيُسْتَثْنَى مِنَ الأَوَّلِ الغُسْلُ مِنْ غُسْلِ المَيِّتِ وَغُسْلُ الكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ وَالمَجْنُوْنِ وَالمُغْمَى عَلَيْهِ إِذَا أَفَاقَ فِإِنَّهَا مَنْدُوْبٌ مَعَ تَقَدُّمِ أَسْبَابِهَا

“Semua mandi yang sebabnya ada lebih dahulu, maka hukum mandinya adalah wajib. Setiap mandi yang sebabnya ada belakangan, maka hukum mandinya adalah sunnah. Namun, mandi sunnah bisa juga sebabnya ada lebih dahulu yaitu: (1) mandi karena memandikan jenazah, (2) mandi karena orang kafir masuk Islam, (3) mandi karena sadar dari gila dan pingsan.” (Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 1:351)

Mandi yang paling dianjurkan secara berurutan adalah:

1. Mandi Jumat

2. Mandi karena memandikan jenazah

3. Mandi yang dilihat dari hadits yang banyak membicarakannya

4. Mandi yang diperselisihkan wajibnya

5. Mandi yang haditsnya sahih

6. Mandi yang punya pengaruh pada yang lainnya

Mandi Jumat

Hukum mandi Jumat itu sunnah muakkad. Pembahasan dalilnya adalah sebagai berikut.

Dalil yang menyatakan hukum mandi Jumat itu sunnah adalah hadits berikut ini.

وَعَنْ سَمُرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالغُسْلُ أفْضَلُ ))

Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa yang berwudhu pada hari Jumat, maka itu baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka itu lebih utama.” (HR. Abu Daud, no. 354; Tirmidzi, no. 497. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalil lain menyatakan mandi Jumat itu wajib.

وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ ))

Dari Abu Sa’di Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukum mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap yang sudah berusia baligh.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 770 dan Muslim, no. 846). Makna hadits ini adalah mandi Jumat itu sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan) karena kompromi dengan hadits sebelumnya. Mandi Jumat dihukumi sunnah, walau bisa dihukumi wajib jika memang jadi bentuk nadzar.

Beberapa penjelasan terkait mandi Jumat

1. Mandi Jumat adalah mandi yang sangat dianjurkan dari mandi-mandi sunnah lainnya.

2. Mandi Jumat ini juga sangat dianjurkan (sunnah muakkad) karena ada perselisihan para ulama mengenai wajibnya, walau dalam madzhab Syafii, hukum mandi Jumat adalah sunnah (bukan wajib).

3. Mandi Jumat menjadi wajib jika diniatkan untuk nadzar.

4. Meninggalkan mandi Jumat itu dihukumi makruh jika ditinggalkan tanpa uzur. Demikian pendapat al-ashah (pendapat yang lebih kuat walau ada perselisihan pendapat yang kuat di dalamnya).

5. Manakah yang dipilih, mandi Jumat ataukah lebih awal datang ke masjid (at-tabkiir) walau tidak mandi Jumat? Mandi Jumat tetap lebih baik diperhatikan. Alasannya, mandi Jumat ini masih ada pendapat ulama yang menghukumi wajib. Inilah yang disebut dengan muro’atul khilaf, memperhatikan masih adanya perbedaan pendapat ulama.

6. Jika ada yang berhadats setelah mandi Jumat, maka ia cukup berwudhu tanpa mengulangi mandi Jumat. Begitu pula jika ada yang junub setelah mandi Jumat, maka ia cukup mandi junub tanpa mengulangi mandi Jumat lagi.

7. Mandi Jumat bertujuan untuk (1) nazhafah (bersih-bersih diri) dan (2) ibadah. Jika tidak ada air sehingga tidak bisa untuk nazhafah, maka tujuan ibadah tetap dikerjakan yaitu dengan cara tayamum sebagai ganti dari mandi.

8. Siapa saja yang menghadiri shalat Jumat, walaupun ia tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jumat, bahkan walau ia diharamkan menghadiri shalat Jumat, maka disunnahkan untuk mandi Jumat. Yang diharamkan menghadiri shalat Jumat, misalnya adalah wanita yang menghadiri shalat Jumat tanpa izin suaminya.

9. Waktu mandi Jumat adalah mulai dari terbit fajar shadiq (fajar Shubuh). Waktu mandi Jumat berakhir dengan salamnya imam pada shalat Jumat, menurut pendapat muktamad (pendapat resmi madzhab), walau ada yang menyatakan mandi Jumat berakhir ketika masuk dalam shalat Jumat. Waktu mandi Jumat yang afdal (paling utama) adalah ketika mau berangkat shalat Jumat. Karena maksud dari mandi Jumat adalah menghilangkan bau yang tidak enak ketika berkumpul dalam shalat Jumat.

Penjelasan di atas disarikan dari Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 1:352-353.

10. Wanita yang melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya pada hari Jumat, apakah dianjurkan mandi Jumat? Jawaban: Mandi Jumat disunnahkan untuk yang menghadiri shalat Jumat saja.

Penjelasan poin 10 bisa dilihat di Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 45.

Baca juga: Mandi Jumat itu Sunnah

Mandi hari raya (Idulfitri dan Iduladha)

Ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut.

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idulfitri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 426. Imam Nawawi menyatakan bahwa atsar ini sahih).

  • Mandi hari raya ini berlak

Sumber https://rumaysho.com/34175-matan-taqrib-berbagai-mandi-yang-disunnahkan.html

Mubahalah

Allah memerintahkan Nabi memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus perselisihan, salah satunya melalui media mubahalah

KATA MUBAHALAH sedang ramai digunakan banyak orang hari-hari ini. Mubahalah adalah doa kepa da Allah dengan sungguh-sungguh yang dilakukan masing-masing pihak yang ber selisih pendapat, dengan harapan kiranya Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta.

Mubahalah merupakan salah satu cara yang dikemukakan dalam Al-Quran untuk meredam keraguan orang-orang nonmuslim tentang kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. (Jejak-jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa, Penerbit Bunyan).Ayat Al-Quran tentang mubahalah ini turun berkaitan dengan kedatangan delegasi orang-orang Kristen Najran, yang terdiri atas para cendekiawan, ke Madinah.

Mereka kemudian terlibat dalam perdebatan dengan Nabi Muhammad ﷺ Mereka kalah, kemudian Allah menurunkan ayat yang dikenal dengan mubahalah.

فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيۡهِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَاَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَاَنۡفُسَنَا وَاَنۡفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لَّعۡنَتَ اللّٰهِ عَلَى الۡكٰذِبِيۡنَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS: Ali Imrån [3]: 61)

Delegasi dari Najran itu menerima mubahalah tersebut yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Namun, pada hari yang telah ditentukan, kala mubahalah itu akan dilaksanakan dan delegasi dari Najran itu melihat kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan rombongannya, mereka pun mendekati beliau dan meminta pembatalan mubahalah tersebut.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat, ketika mereka (kaum Nashrani Najran) dihadapkan kepada suatu kenyataan, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, jika kalian mau ber-mubahalah dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari kalian yang matanya masih berkedip (mati semua).” Maka sejak saat itu akhirnya mereka lebih cenderung untuk perdamaian, dan mereka bersedia membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan hina. Maka Nabi ﷺ menetapkan jizyah atas mereka dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai amin (sekretarisnya).

Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya adalah firman Allah SWT. kepada Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik, yaitu:

قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا

Katakanlah, “Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.” (Maryam: 75).

Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan dari kalangan kami dan kalian, semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang sudah ada baginya dan memperpanjang serta menangguhkannya, seperti yang akan diterangkan pada tempatnya nanti, insya Allah.

Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya, “Jika kalian memang benar,” yakni dalam pengakuan kalian itu, maka inginilah kematian itu. Mereka yang menafsirkan demikian tidak menyinggung masalah mubahalah, seperti yang telah ditetapkan oleh segolongan ulama ahli kalam (ahli tauhid) dan lain-lainnya.

Ibnu Jarir cenderung kepada pendapat ini sesudah mendekati pendapat yang pertama (yakni yang menyinggung masalah mubahalah). Karena sesungguhnya ia telah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut: Katakanlah, “Jika kalian (beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain …” (Al-Baqarah: 94)

Bahwa ayat ini termasuk salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya sebagai hujah terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat tempat hijrah beliau ﷺ, sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para pendeta mereka.

Demikianlah Allah memerintahkan pada Nabi-Nya untuk memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus yang terjadi antara beliau dan mereka, yakni kasus perselisihan. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada beliau agar mengajak golongan yang lain (yakni kaum Nasrani) —di saat mereka bertentangan dengannya dalam masalah Isa ibnu Maryam a.s. dan mereka berdebat dengan beliau mengenainya— untuk melerai hal ini melalui mubahalah antara beliau dan mereka.*

HIDAYATULLAH