Keutamaan Tarwiyah Bagi Jamaah Haji yang Mampu

Setelah jamaah haji menyelesaikan ibadah umroh haji, jamaah haji baik yang datang dari Madinah (gelombang 1), maupun yang datang dari Jeddah, menunggu tanggal 8 Dzulhijjah untuk bersiap menuju Mina. Bagi yang ingin melaksanakan tarwiyah atau langsung menuju ke padang Arafah bagi yang tidak melaksanakan tarwiyah.

Lalu apa itu Tarwiyah, Kepala Kantor Urusan Haji Konsulat Jenderal (KUH KJRI) Jeddah, Nasrullah Jasam dalam bukunya “Catatan Pelayan Tamu Allah” menjelaskan. Kata dia, hari Tarwiyah dari segi bahasa berasal dari kata rawiya yang berarti minum air yang menghilangkan rasa haus.

Dari sisi istilah, Tarwiyah adalah hari ke-8 di Dzulhijjah, yang biasa juga disebut yaumul an-naqlah atau hari bergesernya jamaah dari Makkah ke Mina. Menurut Imam Al Hafiz Ibnu Hajar, dinamakan hari Tarwiyah, karena jamaah haji membekali diri mereka dan unta-untah mereka dengan air.

“Karena tempat yang mereka lalui dari Makkah ke Arafah tidak didapati sumber-sumber air,” katanya.

Nasrullah menuturkan ada beberapa keutamaan hari Tarwiyah. Hari Tarwiyah termasuk salah satu dari 10 hari di bulan Dzulhijjah di mana Allah SWT bersumpah dalam Alquran dengan 10 hari tersebut karena keutamaan dan keagungannya.

Salam surah Al Fajar ayat 1-2 Allah SWT berfirman yang artinya.

“Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan Fajar dan malam yang sepuluh.”

Maka dari itu menganjurkan pada hari Tarwiyah untuk memperbanyak dzikir dengan membaca takbir, tahlil, tahmid dan tasbih. Keutamaan hari Tarwiyah lainnya adalah bahwa berbuat baik pada hari Tarwiyah lebih utama pahalanya dari berjihad di jalan Allah SWT.

Hal ini kata Nasrullah Jassam sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.

“Tiada suatu hari pun yang amal saleh pada hari-hari itu lebih Allah cintai daripada 10 hari ini.(para sahabat bertanya). Wahai Rasulullah, tidak pula dilebihi oleh jihad dijalan Allah? Rasulullah SAW menjawab Ya, tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi).

Namun kata Nasrullah Jassam pihaknya lebih menganjurkan jamaah haji Indonesia untuk langsung ke Arafah terutama bagi jamaah yang risti dan lansia. Mengingat layanan di mina pada saat Tarwiyah belum sepenuhnya siap, khawatir energi jamaah haji terkuras di mina saat Tarwiyah, sementara keesokan harinya jamaah haji harus melaksanakan wukuf di Arafah yang merupakan inti hajat.

“Bagi jamaah yang masih muda dipersilahkan untuk Tarwiyah dengan catatan dikoordinasi oleh pihak maktab, agar pelayanan dan pendataannya lebih mudah dan terjamin,” katanya.

IHRAM

Tafsir Al-A’raf Ayat 31; Perhatian Allah Terhadap Kesehatan Manusia

Berikut ini penjelasan terkait Tafsir Al-A’raf ayat 31, yang menjelaskan terkait perhatian Allah terhadap kesehatan manusia. Islam merupakan agama rahmat bagi sekalian alam.

Meski terlihat terlalu mengikat dengan banyaknya aturan di dalamnya sebagai agama, Islam tidaklah kaku terhadap perkembangan melainkan bersifat fleksibel terhadap segala lini kehidupan. Tidak  melulu membahas ibadah baik yang fi’liyah (perbuatan) maupun qauliyah (ucapan), Islam juga sangat memperhatikan hal-hal substansial bagi umat manusia.

Salah satu yang menjadi perhatian Islam sebagai agama rahmat ialah perhatian Islam terhadap kesehatan umat manusia (Hifdz an-Nafs). Menjadi sangat penting bagi manusia untuk menjaga kesehatannya agar bisa menunaikan tugasnya sebagai hamba.

Dalam menjaga kesehatan tentunya diperlukan standar tersendiri bagi setiap orang untuk dapat melaksanakan perintah agama tersebut. Salah satunya ialah dengan menjaga pola makan yang sehat selain disyaratkan makanan tersebut diperoleh dengan cara yang baik dan halal.

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya “Fiqh al-Islami wa adillatuhu” Juz III hal 505 berkata demikian:

عني الإسلام بالجسم والنفس, فأوجب تناول الحد الأدنى أو الضروري من الطعام والشراب للحفاظ على الحياة, ودفع الهلاك عن النفس, وللقيام بالواجبات الدينية من صلاة وصيام ونحوها.

Islam sangat memperhatikan kesehatan fisik. Oleh karenanya, Islam mewajibkan untuk memakan asupan standar atau pokok baik makanan maupun minuman untuk menjaga kehidupan, menolak kerusakan fisik, melakukan kewajiban-kewajiban agama seperti shalat, puasa dan yang lainnya”.

Tentu menjaga pola makan yang sehat juga memiliki arti tidak berlebihan dalam mengkonsumsinya. Karena hal tersebut juga akan berakibat buruk bagi tubuh.

Lebih lanjut, Syekh Wahbah berkata:

وما عدا قدر الضرورة يباح تناوله ما لم يصل إلى قدر الإسراف, فالإسراف في الأكل والشرب فوق الطاقة الجسمية ضرر وخطر وحرام. والاعتدال مطلوب.

Jika melebihi ukuran standar diperbolehkan selagi tidak mencapai taraf berlebihan. Karena berlebihan dalam makanan dan minuman melebihi ambang kekuatan tubuh akan membahayakan dan dihukumi haram. Moderat  adalah hal yang dituntut”.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 31:

يَا بَنِيْ أَدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

Pada ayat tersebut Allah memerintahkan manusia untuk memakai pakaian yang baik, makan dan minum dan jangan berlebihan di dalamnya. Hal tersebut tak lain karena Allah menyukai melihat nikmat berada pada hamba-Nya serta mensyukuri akan nikmat yang diperoleh dari-Nya.

Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya “Tafsir al-Qur’an al-Adzim” Juz III hal 407  yang salah satunya mengutip riwayat dari Imam Ahmad, ia berkata sebagai berikut:

وقال الإمام أحمد: حدثنا بهز, حدثنا همام, عن قتادة عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده, أن رسول الله صم قال: “كلوا واشربوا والبسوا وتصدقوا في غير مخيلة ولا سرف فإن الله يحب أن يرى نعمته على عبده”

Imam Ahmad berkata: menceritakan kepadaku Bahzun, menceritakan kepadaku Hammam, dari Qatadah dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Makanlah, minumlah, pakailah (pakaian) dan bersedekahlah tanpa berlebihan. Sungguh Allah menyukai melihat nikmat-Nya ada pada hamba-Nya”.

Senada dengan Ibnu Katsir, Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsirnya “Safwat at-Tafasir” Juz I hal 443 menafsirinya dengan demikian:

(وكلوا واشربوا ولا تسرفوا) أي لا تسرفوا فى الزينة والأكل والشرب بما يضر النفس والمال

(Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan) maksudnya ialah janganlah berlebihan dalam memakai pakaian, makanan maupun minuman sebab dapat membahayakan tubuh maupun harta”.

Bersikap moderat dalam segala hal adalah hal yang niscaya. Termasuk dalam hal makanan dan minuman yang menjadi sumber utama energi dan sentral bagi kesehatan. Karena hal tersebut juga akan berdampak pada kelangsungan ibadah seorang hamba. Oleh karenanya Islam sangat memperhatikan agar umatnya menjaga kesehatan.

Demikian penjelasan terkait tafsir Al-A’raf ayat 31, yang merupakan bentuk Perhatian Allah Terhadap Kesehatan Manusia.  Wallahu a’lam.

Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah, mengumpulkan poin-poin landasan akidah Ahlussunnah dalam kitab beliau yang berjudul Ushulus Sunnah.

Berikut ini ringkasan poin-poin landasan akidah Ahlussunnah yang disebutkan oleh beliau dalam kitab Ushulus Sunnah:

Pertama: Berpegang teguh pada cara beragama para sahabat Nabi dan menjadikan mereka sebagai teladan.

Kedua: Meninggalkan segala bentuk ke-bid’ah-an.

Ketiga: Meyakini bahwa semua ke-bid’ah-an adalah penyimpangan.

Keempat: Meninggalkan debat dalam masalah agama.

Kelima: Tidak bermajelis bersama ahlul bid’ah.

Keenam: Berpegang pada atsar (hadis-hadis) dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.

Ketujuh: Meyakini bahwa As-Sunnah itu menafsirkan dan menjelaskan makna-makna ayat Al-Qur’an.

Kedelapan: Meyakini tidak ada qiyas dalam masalah akidah.

Kesembilan: Meyakini bahwa akidah yang sahih bersumber pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kesepuluh: Tidak menolak dalil dengan akal.

Kesebelas: Tidak menolak dalil dengan hawa nafsu.

Kedua belas: Mengimani takdir yang baik maupun takdir yang buruk.

Ketiga belas: Mengimani dan membenarkan semua ketetapan Allah yang syar’i maupun kauni, tanpa mempertanyakan “mengapa?” dan “bagaimana mungkin?”

Keempat belas: Tetap mengimani ketetapan Allah yang syar’i maupun kauni walaupun belum memahami makna dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkannya.

Kelima belas: Mengimani bahwa kaum mukminin dapat melihat wajah Allah di akhirat.

Keenam belas: Tidak menolak hadis yang sahih yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dengan alasan tidak masuk akal.

Ketujuh belas: Mengimani bahwa Al-Qur’an adalan firman Allah, bukan makhluk.

Kedelapan belas: Mengimani sifat-sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih sesuai dengan zahir nash dengan makna yang hakiki, tidak men-ta’wil-nya.

Kesembilan belas: Mengimani adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat.

Kedua puluh: Mengimani bahwa Allah akan bicara kepada para hamba-Nya di hari Kiamat.

Kedua puluh satu: Mengimani adanya haudh (telaga) para nabi di hari Kiamat.

Kedua puluh dua: Mengimani adanya fitnah kubur, azab, dan nikmat kubur.

Kedua puluh tiga: Mengimani adanya syafa’at Nabi shallallahu ‘alahi wasallam.

Kedua puluh empat: Mengimani munculnya Dajjal di akhir zaman.

Kedua puluh lima: Mengimani turunnya Nabi Isa ‘alahissalam di akhir zaman.

Kedua puluh enam: Menetapkan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.

Kedua puluh tujuh: Meyakini bahwa orang yang meninggalkan salat bisa keluar dari Islam.

Kedua puluh delapan: Meyakini bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara berurutan adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan. Kemudian, lima orang sahabat yang termasuk ash-habus syura‘, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Kemudian, para sahabat yang ikut perang Badar.

Kedua puluh sembilan: Meyakini bahwa generasi terbaik dari umat ini adalah para sahabat Nabi kemudian para tabi’in.

Ketiga puluh: Meyakini wajibnya mendengar dan taat kepada ulil amri kaum mukminin dalam perkara ma’ruf, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh satu: Meyakini bahwa jihad perang itu wajib bersama ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim. Demikian juga, pembagian rampasan perang dan penegakkan hukuman hadd.

Ketiga puluh dua: Meyakini sahnya pembayaran zakat melalui ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh tiga: Meyakini sahnya salat Jumat bermakmum kepada ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh empat: Meyakini bahwa orang yang memberontak kepada ulil amri kaum Mukminin, maka ia telah melakukan penyimpangan dan ke-bid’ah-an, dan andaikan ia mati dalam keadaan demikian, kematiannya seperti kaum jahiliyah terdahulu.

Ketiga puluh lima: Meyakini bolehnya memerangi kaum Muslimin yang melakukan perampokan dan pemberontakan.

Ketiga puluh enam: Tidak memastikan seseorang secara spesifik pasti menjadi penghuni surga atau pasti menjadi penghuni neraka.

Ketiga puluh tujuh: Meyakini bahwa Allah akan menerima tobat hamba-Nya sebesar apapun dosanya.

Ketiga puluh delapan: Meyakini bahwa seorang mukmin yang mati dalam keadaan membawa dosa selain kesyirikan, maka bisa jadi ia diampuni oleh Allah dan tidak masuk neraka sama sekali, atau bisa jadi ia diazab di neraka terlebih dahulu, kemudian setelah itu ia dimasukkan ke surga.

Ketiga puluh sembilan: Meyakini bahwa seorang yang mati dalam keadaan membawa dosa kesyirikan, maka Allah tidak akan mengampuninya dan ia kekal di neraka.

Keempat puluh: Meyakini bahwa hukum rajam itu ada dalam syari’at, bagi pelaku zina yang muhshan.

Keempat puluh satu: Meyakni wajibnya menjaga lisan terhadap para sahabat Nabi dan wajibnya mendoakan kebaikan bagi mereka.

Keempat puluh dua: Meyakini bahwa orang yang suka mencela para sahabat Nabi, maka ia adalah ahlul bid’ah.

Keempat puluh tiga: Meyakini bahwa nifaq adalah kekufuran.

Keempat puluh empat: Memahami dalil-dalil wa’id yang berisi ancaman dan hukum dengan cara mengkompromikannya bersama dengan dalil-dalil lain yang menjelaskan maknanya.

Keempat puluh lima: Mengimani adanya surga dan neraka dan mereka berdua sudah diciptakan sekarang.

Keempat puluh enam: Meyakini bahwa semua orang yang masih berstatus muslim, bagaimana pun kondisinya, tetap wajib disalatkan dan boleh didoakan ampunan baginya.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78369-pokok-akidah-ahlussunnah-dalam-ushulus-sunnah-imam-ahmad.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 7): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Tidak Sempurna

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna

Kepemilikan tidak sempurna adalah kepemilikan yang terbatas pada fisik harta (tanpa manfaatnya) atau terbatas pada manfaatnya saja (tanpa fisik hartanya). Sebab-sebab memperoleh kepemilikan fisik/ materi suatu benda tanpa pemanfaatannya sudah pernah sedikit kita bahas pada artikel (Serial fikih muamalah bag. 5). Disebutkan bahwa salah satu sebabnya adalah akad wasiat. Sehingga pembahasan ini kita cukupkan dan tidak perlu kita perluas kembali.

Pembahasan kali ini lebih terfokus pada sebab-sebab memiliki hak manfaat suatu benda tanpa fisik hartanya. Manfaat suatu benda sering diistilahkan juga untuk apa-apa yang bisa dimanfaatkan dari objek suatu harta, baik dengan kita gunakan atau kita pakai, seperti hak menempati sebuah rumah atau hak mengendarai sebuah kendaraan.

Oleh karenanya, hak irtifaq (hak-hak yang didapatkan pemilik suatu apartemen/ rumah dari apartemen/ rumah yang lain, seperti hak akses jalan, hak akses air minum, hak pengairan, dan lain sebagainya), maka ia termasuk dari hak manfaat yang akan kita bahas.

Sebab pertama: Hak pemanfaatan benda tidak bergerak/ fasilitas milik umum

Yaitu hak memanfaatkan objek materi yang diperuntukkan sebagai fasilitas publik, baik itu sungai, laut, ataupun jalanan umum. Setiap apartemen yang bersebelahan dan bersinggungan langsung dengan fasilitas umum, maka ia berhak untuk memanfaatkan dan menggunakan fasilitas umum tersebut. Sebabnya adalah adanya kepemilikan bersama pada objek materi tersebut.

Maka, setiap rumah atau tempat tinggal yang menyambung dengan sungai yang mengalir, jalan raya umum, atau sumber air bersih, memiliki hak untuk memanfaatkan objek fasilitas tersebut, baik itu digunakan untuk irigasi, akses jalan, membuka jendela dan pintu untuk mendapatkan aliran udara bersih, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan objek-objek materi tersebut memang diperuntukkan khusus untuk fasilitas dan pemanfaatan umum, maka tidak ada seorang pun yang terhalang untuk memanfaatkannya.

Hanya saja, ada satu kaidah penting yang harus diperhatikan, yaitu tidak boleh seorang pun mencelakai dan merugikan orang lain atau masyarakat pada umumnya dengan dalih memanfaatkan objek materi fasilitas umum tersebut. Misalnya, menyalahgunakan jalanan publik untuk membuka lapak atau stan dagangan ataupun yang semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.” (HR. Syafi’i dalam kitab Al-Umm, 8: 639; Malik di dalam kitab Al-Muwattha’, 2: 745. Syekh Albani mengatakan hadis ini hasan karena banyaknya jalur periwayatannya.)

Mengganggu hak orang lain juga telah Allah haramkan di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan baghyu  (permusuhan; melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar). Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)

Pelaku perbuatan semacam ini juga diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ مَعَ مَا يُؤَخَّرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنْ بَغْيٍ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ 

 “Tidak ada dosa yang pantas disegerakan hukumannya kepada pelakunya, bersamaan dengan balasan yang diundurkan di akhirat, daripada baghyu (melanggar hak manusia) atau memutuskan kerabat.” (HR. Abu Dawud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211)

Adapun jika ia berbuat sesuatu yang tidak membahayakan orang lain, maka itu diperbolehkan, selama tidak dilarang oleh otoritas pemerintah setempat.

Sebab kedua: Hak pemanfaatan benda tidak bergerak milik pribadi

Jika di antara tempat tinggal atau tanah kita dan fasilitas publik terhalang oleh tanah atau properti yang dimiliki oleh seseorang atau dimiliki oleh beberapa orang, maka untuk memperoleh pemanfaatan atas properti atau tanah tersebut, kita diharuskan untuk mendapatkan izin dari pemiliknya. Jika pemiliknya tidak mengizinkan, maka ia harus dipaksa untuk mengizinkannya.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu bercerita,

“Ada seorang dari kalangan Anshar bersengketa dengan Az-Zubair di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang aliran air di daerah Al-Harrah yang mereka gunakan untuk menyirami pepohonan kurma. Orang Anshar tersebut berkata, ‘Bukalah air agar bisa mengalir!’ Az Zubair menolaknya, lalu keduanya bertengkar di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Az Zubair,

اسْقِ يا زُبَيْرُ، ثُمَّ أرْسِلْ إلى جَارِكَ

‘Wahai Zubair, berilah air dan kirimlah buat tetanggamu.’

Maka, orang Anshar itu marah seraya berkata, ‘Tentu saja kamu bela dia karena dia putra bibimu.’ Maka, wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerah kemudian berkata, ‘Wahai Zubair, berilah air, kemudian bendunglah hingga air itu kembali ke dasar ladang.’ Maka, Az-Zubair berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku menganggap bahwa ayat ini turun tentang kasus ini, yaitu firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 65,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.’” (HR. Bukhari no. 2708)

Pada awalnya Nabi memerintahkan sahabat Zubair radhiyallahu ‘anhu untuk mengamalkan kebiasaan yang sudah berjalan pada masyarakat, yaitu pemanfaatan air sungai dimulai oleh pemilik tanah terdekat terlebih dahulu, barulah kemudian ia menyalurkannya untuk pemilik tanah yang lebih jauh dari sumber air tersebut dan tidak menghalangi saudaranya dari memanfaatkan sumber air tersebut.

Di hadis yang lain disebutkan,

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ قضَى في السَّيلِ المَهزورِ أن يمسَكَ حتَّى يبلغَ الْكعبينِ ثمَّ يرسلُ الأعلَى على الأسفَلِ

“Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menetapkan agar aliran Mahzur (salah satu lembah di Madinah yang sumber airnya digunakan untuk irigasi), ditahan airnya (untuk mengaliri ladang terdekat) hingga tingginya mencapai sebatas mata kaki, kemudian pemilik ladang terdekat tersebut harus mengalirkannya untuk yang lain (ladang yang posisinya lebih jauh).” (HR. Abu Dawud no. 3639 dan Ibnu Majah no. 2482)

Beberapa hak pemanfaatan yang boleh dimanfaatkan seseorang dari objek tidak bergerak (lahan) milik orang lain:

Pertama: Hak pengaliran air bersih untuk minum dan irigasi.

Kedua: Hak untuk menyalurkan air pembuangan rumah tangga atau selokan ke penampungan atau saluran umum dengan mempergunakan saluran yang melintasi lahan orang lain.

Ketiga: Hak akses jalan untuk sampai ke rumahnya dengan melewati lahan orang lain.

Sebab ketiga: Akad yang membolehkan kepemilikan manfaat sebuah materi

Seperti akad sewa menyewa suatu harta, ataupun akad tanpa imbalan, seperti: akad meminjam, akad wasiat, ataupun akad wakaf.

Pada akad wakaf, orang yang diberikan amanah untuk menerima wakaf sejatinya hanyalah memiliki hak pada pemanfaatannya saja. Adapun fisik hartanya, maka para ulama berselisih pendapat, siapakah yang memilikinya?

Pendapat yang dikuatkan oleh penulis kitab rujukan kita, adalah pendapat mazhab Hanafiyyah, di mana fisik harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya berpindah kepada Allah Ta’ala.

Sebab keempat: Peninggalan warisan berupa manfaat

Tidak semua hak pemanfaatan atas sesuatu dapat diwariskan. Para ulama sepakat bahwa hak irtifaq (hak pemanfaatan objek tidak bergerak, baik itu milik umum maupun perseorangan) dapat diwariskan, sebagaimana mereka juga sepakat bahwa hak pemanfaatan dengan akad wakaf tidak dapat diwariskan, sehingga hak pemanfaatannya tidak bisa berpindah ke pewarisnya. Adapun selain kedua hal tersebut, maka para ulama berselisih pendapat, apakah dapat diwariskan atau tidak.

Mayoritas ulama fikih Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa hak pemanfaatan yang terbentuk karena akad sewa menyewa dan wasiat, maka itu dapat diwariskan dan berpindah hak pemanfaatannya kepada pewaris. Berbeda dengan ulama Hanafi, yang mengatakan bahwa hak pemanfaatan karena akad sewa menyewa dan wasiat, maka keduanya tidak dapat berpindah kepada pewaris.

Adapun hak pemanfaatan yang terbentuk dengan akad meminjam, maka hal tersebut tidak dapat diwariskan kepada pewaris si peminjam menurut pendapat mayoritas ulama. Apa konsekuensinya? Ketika si peminjam manfaat meninggal, maka pewarisnya harus segera mengembalikan hak pemanfaatannya tersebut kepada pemilik aslinya.

Sebab kelima: Menyaratkan adanya hak pemanfaatan saat terjadinya akad jual beli

Contoh paling mudahnya adalah hak irtifaq yang didapatkan seorang pembeli karena ia menyaratkan hal tersebut saat sedang proses jual beli dengan pemilik aslinya.

Saat seseorang membeli sebidang lahan, ia menyaratkan agar dibuatkan akses jalan yang menggunakan tanah milik si penjual. Ketika si penjual setuju, maka hak pemanfaatan lahan milik si penjual untuk dijadikan akses jalan ini telah berpindah ke si pembeli.

Sebab keenam: Sudah berlangsung sejak dahulu, sedangkan ia tidak mengetahui sebab yang membuatnya memiliki hak atas manfaat tersebut

Pada kasus ini, hak pemanfaatannya tetaplah milik dia, sampai terdapat bukti batalnya hak kepemilikan manfaatnya tersebut. Karena pada asalnya syariat Islam dibangun atas asas kemaslahatan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

“Tiada Kami utus engkau (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Baca Juga:

Wallahu a’lam bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78367-serial-fikih-muamalah-bag-7.html

5 Tips Memilih Pekerjaan bagi Muslim

Memilih karir yang baik sangat penting, terutama bagi pria Muslim yang harus memikul tanggung jawab menafkahi keluarga. Lantas, bagaimana cara memilih pekerjaan yang baik bagi muslim? Adakah tips memilih pekerjaan bagi muslim?

Tentu saja ada. Jika Anda seorang muslim yang masih muda dan sedang merencanakan masa depan dengan memilih karir atau pekerjaan, berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui:

1 Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Letakkan prioritas dengan benar dan tepat

Allah telah menempatkan berbagai tanggung jawab kepada kita tergantung pada usia, jenis kelamin, dan kemampuan kita. Sebagai seorang pemuda Muslim yang berpikir tentang apa yang ingin Anda lakukan dalam hidup, mendapatkan prioritas Anda dengan benar akan membantu Anda membuat keputusan yang tepat.

Anda akan keluar dari bayang-bayang orang tua dan membangun kehidupan Anda sendiri. Keputusan yang Anda buat pada saat ini dapat memiliki dampak yang langgeng pada bagaimana kehidupan Anda 40 tahun ke depan hingga pensiun nanti.

Buat daftar semua hal yang ingin Anda lakukan sesuai dengan tingkat prioritasnya dan kemudian tangani yang paling penting terlebih dahulu. Jika aspek kehidupan yang paling penting diperhatikan, Anda akan dapat menyelesaikan hal-hal lain juga. Meskipun tidak satupun dari perencanaan kita yang dijamin memberikan hasil yang kita harapkan, kita tetap harus menaruh pemikiran dan penelitian yang cukup dalam hal ini, istikharah, mengambil langkah, dan menaruh kepercayaan kita kepada Allah. Allah mungkin memberi kita apa yang kita cari atau memilihkan sesuatu yang lebih baik untuk kita.

2 Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Miliki pengetahuan

Sebagai seorang pemuda Muslim, Anda harus memiliki hal-hal berikut ini (jika belum, tidak ada kata terlambat untuk memulainya sekarang):

  1. a) Anda mengetahui dasar-dasar iman Anda. Anda telah belajar aqidah dan rukun Islam. Anda tahu kewajiban pada pria Muslim dewasa. Anda tahu fiqh taharah dan shalat (hukum bersuci dan shalat) dan Anda salat tepat waktu.
  2. b) Anda tahu, atau sudah mulai belajar, fiqh perdagangan – halal dan haramnya menghasilkan uang – karena pengetahuan ini akan membantu Anda mendapatkan rizki yang murni dan berkah. Tubuh dan jiwa dipelihara melalui penghasilan halal. Ini berdampak pada perbuatan dan tindakan Anda.
  3. c) Anda mengetahui adab dasar Islam yang harus Anda miliki saat berinteraksi dengan orang lain.

Ya , kami mungkin tidak dapat melakukan hal-hal tertentu sekarang karena situasi kami, dan tidak apa-apa…

Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Pikirkan dan periksa beberapa hal, jika Anda sudah punya pilihan

Jika Anda sudah tahu apa yang ingin Anda lakukan, lihat apakah karier itu selaras dengan prioritas hidup Anda. Diskusikan dengan para ahli di bidangnya dan lihat saran apa yang mereka miliki untuk Anda.

Adalah baik untuk bersemangat tentang sesuatu. Tetapi lebih baik untuk menyadari prospek keuangan dan apa yang dapat Anda harapkan darinya dalam hidup Anda. Misalnya, jika prioritas Anda adalah menikah dan memulai sebuah keluarga, lihat apakah karier yang Anda sukai akan membantu Anda mencapainya. Dan jika itu terjadi, lalu bagaimana? Langkah apa yang harus Anda ambil dan seperti apa peta jalan Anda?

Jika Anda sangat tertarik untuk menjadi guru agama, seperti apa jalan yang harus Anda tempuh? Bagaimana Anda berencana untuk mencari nafkah dan langkah apa yang harus Anda ambil untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru jika itu yang Anda inginkan? Apakah Anda berasal dari keluarga kaya, jadi uang bukanlah halangan bagi Anda, atau apakah Anda perlu segera bangkit dan menghidupi keluarga Anda?

Terus terang, merangkul semua realitas Anda akan membantu Anda membuat keputusan yang bijaksana. Ya, kita mungkin tidak dapat melakukan hal-hal tertentu sekarang karena beberapa situasi, dan itu baik-baik saja karena ini yang terbaik untuk kami. Kita hanya pernah tahu, jika kita ikhlas, Allah mungkin akan memberikan jalan keluar bagi kita di masa depan untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Rencana Allah bekerja dengan cara yang tidak dapat kita pahami.

Jika apa yang Anda sukai juga sejalan dengan prioritas Anda, maka baguslah, lanjutkan dan pilih. Pastikan Anda telah melakukan pekerjaan rumah Anda tentang bagaimana Anda harus mencapai tujuan Anda dengan jalur yang dipilih.

3 Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Pikirkan dan periksa beberapa hal, jika Anda belum punya pilihan

Jika Anda tidak yakin apa yang ingin Anda lakukan atau apa yang Anda sukai, tidak apa-apa. Banyak orang yang sama dengan Anda. Jadi, apa yang dapat dilakukan?

Ambil langkah untuk memenuhi prioritas Anda. Anda sedang dalam perjalanan dan akhirnya akan tahu apa yang membuat Anda tergerak. Anda juga dapat mencoba memahami dasar-dasar berbagai bidang pengetahuan. Dengan mengenal beberapa karier pada tingkat dasar, Anda mungkin akan menyukainya dan ingin mempelajarinya lebih dalam. Mempelajari banyak hal berbeda membuat Anda juga kreatif.

4 Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Ketahui apa yang tidak boleh dikompromikan

Jangan pernah masuk ke sesuatu yang akan mengkompromikan iman dan nilai-nilai prinsip. Pilih 40 tahun ke depan Anda dengan bijak. Pilihan Anda harus membantu Anda mencapai tujuan Anda tanpa mengorbankan agama Anda.

Beberapa mungkin menginginkan jam kerja yang lebih sedikit sehingga mereka dapat memiliki waktu untuk hal-hal lain dalam hidup, yang lain mungkin lebih memilih karir yang dapat menguntungkan secara finansial setelah beberapa tahun bekerja melelahkan, namun yang lain mungkin ingin beralih ke kewirausahaan.

Apa pun tujuan Anda, pastikan apa yang Anda lakukan tidak menjauhkan Anda dari kewajiban.

5 Tips memilih pekerjaan bagi muslim: Niat dan tujuan

Yang terakhir dan terpenting dari semuanya adalah selalu periksa dan perbaiki niat Anda. Mengapa? Sebuah hadits yang luar biasa memperjelas hal ini.

Suatu hari Nabi sedang duduk bersama para sahabatnya, dan mereka melihat seorang pemuda yang kuat dan kokoh berangkat lebih awal untuk bekerja. Mereka berkata, “Celakalah orang ini; akankah masa muda dan kekuatannya dihabiskan di jalan Allah.”

Nabi berkata, “Jangan katakan ini; karena jika dia bekerja untuk dirinya sendiri untuk menahan diri dari meminta-minta dan untuk mandiri dari orang-orang, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk orang tuanya yang miskin atau untuk anak-anaknya yang miskin untuk memperkaya dan mencukupkan mereka, maka dia berada di jalan Allah. Jika [namun] dia bekerja demi pamer dan mengumpulkan [kekayaan], maka dia berada di jalan setan.” [At-Ṭabarān dalam tiga Maʿājim-nya (Itḥāf 6:252)]

Sebagai Muslim, niat kita harus benar. Jika kita memiliki niat yang benar demi Allah, pekerjaan kita dan bahkan kesenangan duniawi kita bisa menjadi ibadah dan perbuatan baik kita akan dihargai. []

SUMBER: MUSLIM INK

Tata Cara Shalat Penyandang Disabilitas yang Menggunakan Kursi Roda

Permasalahan fikih, terutama fikih ibadah bagi penyandang disabilitas harus dibahas secara khusus. Nah berikut tata cara shalat penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda atau tongkat.

Jenis disabilitas yang banyak ragamnya menyebabkan pembahasan fikih yang harus mengedepankan kemaslahatan bagi mereka tanpa mengurangi nilai pahala dan meninggalkan kewajibannya. Salah satunya adalah penyandandang disabilitas yang shalat menggunakan kursi roda atau tongkat.

Hal yang akan dipertimbangkan bagi pengguna kursi roda atau tongkat adalah kesucian kursi roda dan tongkat tersebut. Akitivitas sehari-hari yang mereka lakukan di luar ibadah tentu menggunakan alat bantu berupa kursi roda dan tongkat itu. Maka pastilah kedua alat bantu tersebut terkena kotoran atau najis.

Salah satu syarat sah shalat adalah bersih dari najis. Pembahasan ini menjadi salah satu judul yang masuk dalam kajian Batsul Masail Nahdhatul Ulama dan masuk dalam buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”.

Mengenai pengguna kursi roda, ulama sepakat, boleh hukumnya shalat dengan kursi roda yang jelas-jelas terkena najis dan sah shalatnya. Selama ia tidak menggenggam kursi roda tersebut  dan dipastikan kursi roda tidak bergerak akibat pergerakan orang yang duduk di atasnya.

Kursi roda tersebut, disamakan dengan sajadah yang menjadi tempat sujud selama najisnya tidak mengenai tubuh orang yang shalat tersebut. Sedangkan tongkat yang najis, ulama sepakat, tidak sah hukumnya shalat sambil menggenggam tongkat yang terkena najis karena dianggap membawa najis sekalipun tongkat tersebut tidak bergerak karena pergerakan orang yang shalat.

Sebagaimana yang diterangkan dalam Hasyiah I’anah Thalibin karya al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyati,

ولا صلاة قابض طرف متصل بنجس وإن لم يتحرك بحركته ….. وخرج بقابض وما بعده ما لو جعله المصلي تحت قدمه فلا يضر وإن تحرك بحركته كما لو صلى على بساط مفروش على نجس أو بعضه الذي لا يماسه نجس Baca Juga:  Praktik Sewa Rahim dalam Pandangan Islam

Tidak sah shalatnya orang yang menggenggam ujung barang yang bersambung dengan najis, sekalipun barang tersebut tidak bergerak karena gerakannya.

Berbeda dengan dengan orang yang menjadikan barang tersebut di bawah telapak kakinya, maka tidak berpengaruh (untuk keabsahan shalatnya) meskipun barang tersebut bergerak karena pergerakan orang yang shalat.

Seperti orang yang shalat di atas tikar yang berada di atas najis atau sebagian najis dan orang tersebut tidak menyentuh najisnya. (Baca: Aksesibilitas Ruang Publik bagi Penyandang Disabilitas dalam Islam).

Hal yang membedakan keduanya adalah keterhubungan orang yang shalat dengan barang yang najis atau tidak. Seseorang yang menggenggam tongkat atau barang yang terkena najis dianggap membawa najis karena ia memegang dan menyentuhnya. Sedangkan pengguna kursi roda tidak menjadikan kursinya sebagai pegangan sehingga tidak dianggap bersambung.

Demikian tata cara shalat menggunakan kursi roda atau tongkat. Wallahu a’lam. (Baca juga; Dianggap Membawa Najis, Benarkah Pengguna Kursi Roda Tak Boleh Masuk Masjid?).

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Poligami Bukan Ajaran yang Dibawa Islam?

Artikel ini akan membahas terkait persoalan apakah poligami bukan ajaran yang dibawa Islam? Poligami seringkali dikaitkan dengan Islam. Kampanye dari orang-orang yang melakukan tindakan persuasif untuk melakukan poligami selalu berdalih dalil-dalil agama, baik Alquran maupun hadis.

Apalagi acuan mereka adalah Nabi Muhammad yang melakukan poligami, padahal poligami dengan istri lebih empat yang dilakukan oleh Nabi adalah sebuah kekhususan baginya.

Sungguh, tidak ada yang sanggup mencapai kemampuannya. Atau, pandangan negatif tentang Islam berasal dari tindakan poligami oleh Nabi. Sehingga tidak sedikit tindakan beliau mendapat cibiran dari non-muslim. Padahal ternyata sejarah poligami sudah ada jauh sebelum Islam hadir.

Dalam Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq disebutkan bahwa poligami bukanlah berasal dari ajaran Islam. Justru Islam datang untuk membatasi laki-laki agar memiliki istri tidak lebih dari empat, bahkan jika tidak mampu berbuat adil maka cukuplah menikahi satu istri (QS. An-Nisa ayat 3).

Praktik poligami sudah dilakuan oleh orang-orang dari berbagai bangsa. Misal, kaum Abriyun yang dalam beberapa referensi dikatakan bahwa mereka adalah suku keturunan kaum Nabi Ibrahim dan juga orang-orang Arab pada jaman Jahiliyah.

Begitu juga praktik ini telah dilakukan oleh kaum Shoqolibah, golongan budak yang ada pada jaman kerajaan Islam di Andalusia (kini wilayah Spanyol) yang berkembang menjadi penduduk Rusia, Litonia, Estonia dan beberapa negara di Eropa.

Tidak hanya itu, penduduk dari bari bangsa Siksoniah yang saat ini berkembang menjadi penduduk di negara Jerman, Austria, Swiss, Belgia dan beberapa negara di Benua Eropa.

Dari beberapa bukti yang telah disebutkan, bahwa poligami merupakan ajaran yang dibawa oleh Islam. Beberapa ulama pun sangat ketat dalam kebolehan poligami. Bahkan mayoritas ulama modern mengatakan poligami tidak dihukumi sunnah ataupun wajib, melainkan boleh dengan pertimbangan memenuhi beberapa syarat.

Bahkan hingga kini, praktik poligami juga dilaksanakan oleh orang-orang non-muslim: orang-orang Afrika, India, Cina, dan Jepang. Praktik ini dilakukan oleh siapapun tanpa memandang agama dan suku. Baca Juga:  Benarkah Nabi Membolehkan Istri untuk Bersujud pada Suami?

Masih dalam Fiqh Sunnah pada sub bab “sejarah poligami”, bahwa poligami bukan ajaran yang dibawa oleh agama Nasrani.

Tidak ditemukan dalam Injil tentang keharaman melakukan poligami. Berarti memang saat itu tidak ada praktik poligami di masa awal tersebarnya ajaran Nasrani yang dibawa Nabi Isa – terlepas dari ajarannya yang saat ini berubah, tidak lagi mengesakan Allah-.

Penduduk Yunani dan Rumania bahkan hanya beristrikan satu saja sebab tidak ada yang melakukan tindakan itu dari para leluhur mereka. Prinsip ini juga dipengaruhi oleh ajaran Nasrani pada awal kali pertama.

Kecuali peraturan gereja di masa modern yang sudah menetapkan keharaman poligami dan masuk dalam ketetapan agama mereka meskipun dalam teks-teks kitab Injil tidak ditemukan tentang dalil keharaman poligami.

Praktik poligami dulu banyak sekali dilakukan, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan derajat perempuan semakin meningkat dan suaranya dianggap berarti, praktik ini sudah berkurang. Prinsip monogami saat ini lebih diutamakan meskipun tidak ditemukan teks agama manapun yang megharamkan praktik ini.

Akhirnya kita mengetahui bahwa praktik poligami ternyata tidak ada kaitannya dengan anjuran dan ajaran agama tertentu. Justru praktik ini sudah dilakukan oleh kaum pria sebelum datangnya Risalah Nabi Muhammad. Bahkan Islam hadir untuk membatasi jumlah istri dalam praktik poligami, kecuali kekhususan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw.

Demikian penjelasan bahwa poligami bukanlah Ajaran yang dibawa Islam? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishhowaab.

Tulisan telah terbit di Bincangmusilimah.com

Lembut Itu Tak Berkata Kasar

Bahkan di al-Qur’anul Karim, Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalaam berbicara pada Fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut (qaulan layyinan)

LEMBUT itu bukan hanya dalam tindakan, tapi lembut juga bukan terutama berkenaan dengan pelannya suara saat berbicara dan perkataan. Ada yang suaranya pelan, berbicara dengan syahdu, tetapi tak ada kelembutan dalam bertutur.

Ada yang volume suaranya rendah, tetapi kata-katanya pedas membakar dada. Ini semua menunjukkan bahwa bukan keras lemahnya suara yang menjadi penakar kelembutan.

Tetapi  bukankah Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk melunakkan suara? Betul. Allah Ta’ala berfirman:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS: Lukman, {31}: 19).

Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi menulis dalam  Tafsir Al-Maraghi, bahwa “lunakkanlah suaramu” (وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ) berarti perintah, “Kurangilah tingkat kekerasan suaramu, dan perpendeklah cara bicaramu, janganlah kamu mengangkat suaramu bilamana tidak diperlukan sekali. Karena sesungguhnya sikap yang demikian itu lebih berwibawa bagi yang melakukannya, dan lebih mudah diterima oleh jiwa pendengarnya serta lebih mudah dimengerti.”

Perintah ini ditegaskan dengan menunjukkan apa yang sangat buruk, yakni suara keledai. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Ciri penting suara keledai ada dua: tiba-tiba melengking keras dan tidak enak didengarkan.

Maka tidak patut kita berbicara dengan suara keras, kecuali apabila diperlukan. Tetapi bahkan saat diperlukan pun, sangat buruk apabila kita mengabaikan kelembutan sehingga bersuara dengan seburuk-buruk suara; berbicara sebagaimana keledai, yakni melengking tiba-tiba, membentak-bentak, tidak enak didengarkan. Buruk sekali bersuara dengan suara keledai, meskipun saat memenuhi keinginan anak.

Sesungguhnya kelembutan dalam berbicara itu meluluhkan hati, kecuali apabila hatinya sudah terlalu keras membatu sebagaimana Fir’aun. Kita sebut nama Fir’aun bukan sekedar perumpamaan.

Kita dapati dalam al-Qur’anul Karim, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalaam untuk berbicara kepada Fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut (qaulan layyinan). Sebuah pelajaran bahwa tutur kata semacam inilah yang seharusnya kita pergunakan untuk meluluhkan hati manusia, termasuk anak-anak kita. Hati akan mudah tersentuh oleh tutur kata yang lembut, kecuali bagi yang benar-benar telah amat sangat melampaui batas.

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan), mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS: Thaha {20}: 43-44).

Apakah yang dimaksud dengan layyin (لَيِّنٌ)? Kelembutan. Jika rifq adalah kelembutan yang lebih dekat kepada keramahan, maka layyin (لَيِّنٌ) adalah kelembutan yang muncul karena terhindarnya seseorang dari dua penyakit, yakni fazhzhan (فَظًّا) dan ghalizhal qalbi (غَلِيظَ الْقَلْبِ).

Fazhzhan (فَظًّا) ialah keras kata, kasar ucapan sekaligus buruk pembicaraan meskipun disampaikan dengan suara pelan diiringi senyuman manis. Maka fazhzhan dapat kita maknai sebagai sikap yang keras.

Sedangkan ghalizhal qalbi (غَلِيظَ الْقَلْبِ) ialah hati yang kasar dan kaku, meskipun ucapan yang keluar adakalanya tidak terasa kasar. Namun kasar kerasnya hati tetaplah akan mempengaruhi ucapan maupun tindakan.

Sekiranya dua hal ini ada pada diri seseorang, maka Allah Ta’ala jamin niscaya orang-orang akan menjauh menyingkir dari sekelilingnya, walaupun orang tersebut pada awalnya sangat dipercaya sekaligus sangat dihormati. Begitu dua hal ini ada, maka kebaikan yang diingat orang tidak dapat mencegah mereka untuk lari menjauh.

Mari kita ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut (لِنْتَ) terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras (فَظًّا) lagi berhati kasar (غَلِيظَ الْقَلْبِ), tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS: Ali ‘Imran {3}: 159).

Kata “kamu” pada ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ; seseorang yang memiliki reputasi sangat bagus, dikenal keluhuran akhlaknya, kemuliaan nasabnya, kecerdasannya, sifatnya yang amanah serta kejujurannya. Terhadap sosok semulia ini pun, orang-orang akan menjauh dari sekeliling beliau sekiranya bersikap keras (فَظًّا) lagi berhati kasar (غَلِيظَ الْقَلْبِ).

Akan tetapi disebabkan rahmat Allah, maka Rasulullah  ﷺ dapat berlaku lemah-lembut (لِنْتَ) terhadap mereka, meskipun tantangan dakwah sangat besar. Jika seorang da’i perlu bersikap lembut kepada orang-orang yang diajaknya kepada kebenaran Islam, maka orangtua perlu untuk senantiasa bersikap lembut (لِنْتَ) terhadap anak-anaknya.

Inilah sikap yang menjadikan anak-anak senantiasa ingin dekat dengan orangtua meskipun usia sudah beranjak remaja. Ini sikap yang membuat anak merindukan rumahnya, meskipun perbincangan di antara kerap memunculkan suara yang lantang.

Selama ada kelembutan, lantangnya suara akan menautkan hati untuk saling merindu.  Jadi, sekali lagi, sangat berbeda antara perkataan lemah-lembut dalam bertutur dengan pelan lemahnya suara.

Kelembutan itu tetap bisa kita rasakan, hadir dalam perbincangan, baik pada suara yang pelan nyaris tak terdengar maupun yang lantang penuh semangat. Akan tetapi ketika orangtua tidak menghindari fazhzhan (sikap keras, kasar kata) serta hati yang kasar, maka anak-anak akan menjauh.

Semakin bertambah usia mereka, semakin sulit untuk dekat dengan orangtua. Lebih-lebih jika disertai sikap yang dingin tak peduli atau perkataan/perbuatan kasar menyakitkan hati, kebaikan akan semakin jauh di antara mereka. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kolumnis dan penulis buku-buku parenting. FB: Muhammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH

Jangan Hanya Fokus Kesehatan Fisik, Kenali 3 Penyakit Hati Yang Sering Menyerang

Apakah Anda tahu bahwa manusia itu terdiri dari unsur lahir dan batin? Apakah Anda tahu bahwa batin terdiri dari beberapa lapisan? Jika Anda belum mengerti unsur batin ini, maka Anda perlu membaca tulisan ini dengan seksama.

Unsur dalam diri manusia dibagi menjadi dua, yaitu lahir (fisik) dan batin. Unsur fisik berupa kepala, badan, anggota badan, dan organ-organ yang melekat di dalamnya. Fisik ini tersusun atas unsur-unsur kimia, seperti karbon (C), hidrogen, (H), oksigen (O), dan unsur-unsur yang lain. Unsur batin pada manusia antara lain adalah hati (qalbu), ruh, dan hawa (baca: hawa nafsu).

Penyakit fisik akan menyerang tubuh fisik kita, sedangkan penyakit batin akan menyerang unsur batin kita. Jika terserang penyakit fisik, kita segera pergi ke dokter untuk berobat. Bagaimana dengan penyakit batin (hati)? Kemanakah kita akan pergi berobat? Jika tubuh fisik kita perlu skin care, bagaimana dengan unsur batin kita?

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tiga penyakit hati yang sering menyerang pada usur batin kita. Penyakit hati sebetulnya sangatlah banyak, dan proses pengobatannya membutuhkan waktu yang lama dan konsisten. Namun, penyakit hati yang menjadi induk dari penyakit hati turunanannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hasud, riya’ dan ujub.

Pertama, hasud adalah iri-dengki. Hasud adalah apabila kita merasa keberatan dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepada hamba-Nya baik berupa ilmu, harta, dan popularitas, sehingga kita merasa suka jika nikmat tersebut hilang dari hamba-Nya walaupun kita tidak mendapatkan nikmat tersebut. Nabi SAW menegaskan bahaya hasud dalam hadist berikut:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Apakah Anda tahu bahwa manusia itu terdiri dari unsur lahir dan batin? Apakah Anda tahu bahwa batin terdiri dari beberapa lapisan? Jika Anda belum mengerti unsur batin ini, maka Anda perlu membaca tulisan ini dengan seksama.

Unsur dalam diri manusia dibagi menjadi dua, yaitu lahir (fisik) dan batin. Unsur fisik berupa kepala, badan, anggota badan, dan organ-organ yang melekat di dalamnya. Fisik ini tersusun atas unsur-unsur kimia, seperti karbon (C), hidrogen, (H), oksigen (O), dan unsur-unsur yang lain. Unsur batin pada manusia antara lain adalah hati (qalbu), ruh, dan hawa (baca: hawa nafsu).

Penyakit fisik akan menyerang tubuh fisik kita, sedangkan penyakit batin akan menyerang unsur batin kita. Jika terserang penyakit fisik, kita segera pergi ke dokter untuk berobat. Bagaimana dengan penyakit batin (hati)? Kemanakah kita akan pergi berobat? Jika tubuh fisik kita perlu skin care, bagaimana dengan unsur batin kita?

Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tiga penyakit hati yang sering menyerang pada usur batin kita. Penyakit hati sebetulnya sangatlah banyak, dan proses pengobatannya membutuhkan waktu yang lama dan konsisten. Namun, penyakit hati yang menjadi induk dari penyakit hati turunanannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hasud, riya’ dan ujub.

Pertama, hasud adalah iri-dengki. Hasud adalah apabila kita merasa keberatan dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepada hamba-Nya baik berupa ilmu, harta, dan popularitas, sehingga kita merasa suka jika nikmat tersebut hilang dari hamba-Nya walaupun kita tidak mendapatkan nikmat tersebut. Nabi SAW menegaskan bahaya hasud dalam hadist berikut:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Dalam sebuah riwayat, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ

“Sesungguhnya manusia pertama yang diputuskan di hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid.Dia dihadapkan, lalu Allah menunjukkan kenikmatan-kenikmatanNya, maka dia pun mengenalnya. Allah bertanya: “Apa yang telah kamu lakukan padanya?” Orang itu menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid”. Allah berkata: “Engkau bohong, sesunggugnya Engkau berperang supaya disebut pemberani. Itulah pahalanya”. Kemudian diperintahkan, lalu dia diseret di atas wajahnya sampai dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).

Ketigaujub (mengagungkan diri), kibr (sombong), dan fakhru (merasa bangga dengan diri) adalah berbangga dengan amal perbuatan diri kita seraya menganggapnya baik, sedangkan amal perbuatan orang lain dianggap rendah. Ketiganya dalam istilah Indonesia disebut denga sombong. Sifat sombong (kibr) terbagi menjadi dua, yaitu lahir dan batin. Sifat kibr batin adalah kibr yang belum terwujudkan dalam diri, sedangkan sifat kibr lahir adalah kibr yang sudah terekspresikan pada anggota tubuh. Sifat kibr lahir ini disebut juga dengan takabur.

Tanda-tanda kita sedang terkena sifat ini adalah sering terucap kata “saya” pada lisan yang disertai dengan bangga diri. Buah dari sifat sombong adalah merasa terdepan saat di majelis, dan tidak ingin dikalahkan saat berbicara. Perbuatan dosa yang pertama diperbuat adalah sifat sombong yang ditunjukkan oleh iblis. Hal ini tergambarkan dalam Al-Qur’an:

قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Qs. Al-A’raf: 12).

Semoga kita semua dijauhkan dari sifat tercela dalam hati, khususnya hasud, riya dan sombong.

ISLAM KAFFAH

Bukan Poligami, Ini Solusi Islam dalam Mengatasi HIV/AIDS!

Baru-baru ini Wakil Gubernur Jawa Barat UU Ruzhanul Ulum melontarkan pendapat kontroversial. Ya. Ia menawarkan solusi poligami untuk menekan angka HIV/AIDS yang semakin tinggi, utamanya di Jawa Barat.

“Dari pada seolah-olah dia (suami) tidak suka begitu, tapi akhirnya kena (HIV/AIDS) ke istrinya sendiri, toh agama juga memberikan lampu hijau asal siap adil kenapa tidak? Makanya daripada ibu kena (HIV/ AIDS) sementara ketahuan suami seperti itu mendingan diberikan keleluasaan untuk poligami,” kata Uu dalam keterangan tertulis yang dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Selasa (30/8).

Pernyataan Wagub Jabar tersebut menuai berbagai tanggapan. Bahkan Ridwan Kamil dan Menag Yaqut pun langsung menyangkalnya. “HIV/AIDS itu problematika lintas sektor, yakni ekonomi, politik, kesehatan, sosial dan budaya. Solusinya tidak bisa dikaitkan dengan poligami,” kata pria yang akrab disapa Gus Fahrur dikutip dari situs resmi PBNU, NU Online.

Meskipun belakangan Uu meminta maaf atas statement tentang poligami sebagai solusi untuk menekan angka pengidab dan penularan HIV/AIDS. Harus diakui dan disadari bahwa pendapat poligami sebagai solusi HIV/AIDS terlalu riskan. Setidaknya karena beberapa hal.

Pertama, HIV/AIDS itu bukan persoalan menikah saja, melainkan sangat kompleks dan erat kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, moral dan lain-lain. Karena itu, poligami yang didasari karena hendak menghindari HIV, justru berpotensi mengundang masalah lain yang lebih kompleks, seperti perceraian, ekonomi dan lainnya.

Kedua, terkesan memudahkan dan kesakralan sebuah pernikahan. HIV/AIDS erat kaitannya dengan perilaku gonta-ganti pasangan dan tidak punya komitmen, hanya mau ‘enaknya’ saja. Sementara, poligami adalah menuntut keadilan dan komitmen.

Solusi Islam

Perjuangan mencegah merebaknya HIV/AIDS merupakan bagian jihad dalam khazanah Islam. Tak ayal jika Islam sejatinya memiliki cara untuk mencegah dan menekan angka HIV/AIDS.

Pertama, melarang zina. HIV/AIDS lekat dengan aktivitas gonta-ganti pasangan.

Dan perilaku ini jelas menjurus ke zina. Dalam Islam, zina dilarang. Hal ini bukan tanpa alasan, melainkan untuk sebuah kemaslahatan, salah satunya adalah mencegah adanya HIV/AIDS.

Islam dengan tegas melarang perzinahan seperti dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 32 :

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Tidak hanya zina, Islam sejatinya juga melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk berpacaran. Hal ini semata-mata untuk menghindari hal-hal yang bertentangan dengan agama.

Kedua, perisai zina itu puasa, bukan nikah muda apalagi poligami.

Inilah solusi Islam yang harus diterapkan dan ini akan menjadi solusi terbaik terhadap angka HIV/AIDS yang marak. Dalam QS. An-Nur ayat 33, Allah berfirman bahwa siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia menjaga ‘iffah (kesucian) dirinya. Ayat ini kemudian dipertegas dalam sebuah hadis:

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).

Berdasarkan keterangan atau dalil di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan tegas bahwa HIV/AIDS merebak faktor utamanya adalah karena banyak orang yang tidak bisa mengekang nafsunya. Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk berpuasa agar terhindar dari zina dan gonta-ganti pasangan (seks bebas).

Ketiga, mendidik dengan nilai-nilai positif.

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Oleh karenanya, masalah HIV/AIDS dalam Islam sejatinya merupakan masalah yang serius. Bahkan dalam literature agama, mencegah adanya HIV/AIDS merupakan bagian dari bentuk jihad dalam Islam.

Berkenaan dengan masalah HIV/AIDS, Islam sejatinya telah mendidik umatnya untuk menjauhi aktivitas haram tersebut. Misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 195, Allah berfirman:

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Amad, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

HIV/AIDS itu penyakit menular dan sangat berbahaya. Dalam Islam, kita tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tegas kata, orang Islam wajib menjauhi aktivitas yang bisa menimbulkan penyakit HIV/AIDS.

ISLAM KAFFAH