Pokok-Pokok Akidah Ahlussunnah dalam Ushulus Sunnah Imam Ahmad

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah, mengumpulkan poin-poin landasan akidah Ahlussunnah dalam kitab beliau yang berjudul Ushulus Sunnah.

Berikut ini ringkasan poin-poin landasan akidah Ahlussunnah yang disebutkan oleh beliau dalam kitab Ushulus Sunnah:

Pertama: Berpegang teguh pada cara beragama para sahabat Nabi dan menjadikan mereka sebagai teladan.

Kedua: Meninggalkan segala bentuk ke-bid’ah-an.

Ketiga: Meyakini bahwa semua ke-bid’ah-an adalah penyimpangan.

Keempat: Meninggalkan debat dalam masalah agama.

Kelima: Tidak bermajelis bersama ahlul bid’ah.

Keenam: Berpegang pada atsar (hadis-hadis) dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.

Ketujuh: Meyakini bahwa As-Sunnah itu menafsirkan dan menjelaskan makna-makna ayat Al-Qur’an.

Kedelapan: Meyakini tidak ada qiyas dalam masalah akidah.

Kesembilan: Meyakini bahwa akidah yang sahih bersumber pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kesepuluh: Tidak menolak dalil dengan akal.

Kesebelas: Tidak menolak dalil dengan hawa nafsu.

Kedua belas: Mengimani takdir yang baik maupun takdir yang buruk.

Ketiga belas: Mengimani dan membenarkan semua ketetapan Allah yang syar’i maupun kauni, tanpa mempertanyakan “mengapa?” dan “bagaimana mungkin?”

Keempat belas: Tetap mengimani ketetapan Allah yang syar’i maupun kauni walaupun belum memahami makna dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkannya.

Kelima belas: Mengimani bahwa kaum mukminin dapat melihat wajah Allah di akhirat.

Keenam belas: Tidak menolak hadis yang sahih yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dengan alasan tidak masuk akal.

Ketujuh belas: Mengimani bahwa Al-Qur’an adalan firman Allah, bukan makhluk.

Kedelapan belas: Mengimani sifat-sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih sesuai dengan zahir nash dengan makna yang hakiki, tidak men-ta’wil-nya.

Kesembilan belas: Mengimani adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat.

Kedua puluh: Mengimani bahwa Allah akan bicara kepada para hamba-Nya di hari Kiamat.

Kedua puluh satu: Mengimani adanya haudh (telaga) para nabi di hari Kiamat.

Kedua puluh dua: Mengimani adanya fitnah kubur, azab, dan nikmat kubur.

Kedua puluh tiga: Mengimani adanya syafa’at Nabi shallallahu ‘alahi wasallam.

Kedua puluh empat: Mengimani munculnya Dajjal di akhir zaman.

Kedua puluh lima: Mengimani turunnya Nabi Isa ‘alahissalam di akhir zaman.

Kedua puluh enam: Menetapkan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.

Kedua puluh tujuh: Meyakini bahwa orang yang meninggalkan salat bisa keluar dari Islam.

Kedua puluh delapan: Meyakini bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara berurutan adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan. Kemudian, lima orang sahabat yang termasuk ash-habus syura‘, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Kemudian, para sahabat yang ikut perang Badar.

Kedua puluh sembilan: Meyakini bahwa generasi terbaik dari umat ini adalah para sahabat Nabi kemudian para tabi’in.

Ketiga puluh: Meyakini wajibnya mendengar dan taat kepada ulil amri kaum mukminin dalam perkara ma’ruf, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh satu: Meyakini bahwa jihad perang itu wajib bersama ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim. Demikian juga, pembagian rampasan perang dan penegakkan hukuman hadd.

Ketiga puluh dua: Meyakini sahnya pembayaran zakat melalui ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh tiga: Meyakini sahnya salat Jumat bermakmum kepada ulil amri, baik mereka saleh maupun zalim.

Ketiga puluh empat: Meyakini bahwa orang yang memberontak kepada ulil amri kaum Mukminin, maka ia telah melakukan penyimpangan dan ke-bid’ah-an, dan andaikan ia mati dalam keadaan demikian, kematiannya seperti kaum jahiliyah terdahulu.

Ketiga puluh lima: Meyakini bolehnya memerangi kaum Muslimin yang melakukan perampokan dan pemberontakan.

Ketiga puluh enam: Tidak memastikan seseorang secara spesifik pasti menjadi penghuni surga atau pasti menjadi penghuni neraka.

Ketiga puluh tujuh: Meyakini bahwa Allah akan menerima tobat hamba-Nya sebesar apapun dosanya.

Ketiga puluh delapan: Meyakini bahwa seorang mukmin yang mati dalam keadaan membawa dosa selain kesyirikan, maka bisa jadi ia diampuni oleh Allah dan tidak masuk neraka sama sekali, atau bisa jadi ia diazab di neraka terlebih dahulu, kemudian setelah itu ia dimasukkan ke surga.

Ketiga puluh sembilan: Meyakini bahwa seorang yang mati dalam keadaan membawa dosa kesyirikan, maka Allah tidak akan mengampuninya dan ia kekal di neraka.

Keempat puluh: Meyakini bahwa hukum rajam itu ada dalam syari’at, bagi pelaku zina yang muhshan.

Keempat puluh satu: Meyakni wajibnya menjaga lisan terhadap para sahabat Nabi dan wajibnya mendoakan kebaikan bagi mereka.

Keempat puluh dua: Meyakini bahwa orang yang suka mencela para sahabat Nabi, maka ia adalah ahlul bid’ah.

Keempat puluh tiga: Meyakini bahwa nifaq adalah kekufuran.

Keempat puluh empat: Memahami dalil-dalil wa’id yang berisi ancaman dan hukum dengan cara mengkompromikannya bersama dengan dalil-dalil lain yang menjelaskan maknanya.

Keempat puluh lima: Mengimani adanya surga dan neraka dan mereka berdua sudah diciptakan sekarang.

Keempat puluh enam: Meyakini bahwa semua orang yang masih berstatus muslim, bagaimana pun kondisinya, tetap wajib disalatkan dan boleh didoakan ampunan baginya.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78369-pokok-akidah-ahlussunnah-dalam-ushulus-sunnah-imam-ahmad.html

Meski Beda Pendapat, Imam Ahmad Doakan Syafi’i 40 Tahun

IMAM Ahmad Bin Hambal (164-241 H), salah satu ulama madzhab 4, berasal dari Bagdad, karya beliau antara lain, Musnad Ahmad, Ar Radd ilal Jahmiyah Waz Zanadiqah, dll. Beliau dikenal amat tegas terhadap hukum,  akan tetapi amat tawadhu’ terhadap sesama ulama Ahlu Sunnah, berikut ini beberapa nukilan yang menunjukkan kearifan Ahmad bin Hambal terhadap mereka yang berbeda pendapat dengannya.

Dalam Siyar ‘Alam An Nubala’, dalam tarjamah, Ishaq bin Rahuyah, berkata Ahmad bin Hafsh As Sa’di, Syeikh Ibnu ‘Adi: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: Tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke Khurasan menyerupai Ishaq (kelebihannya), walaui dia telah menyelisihi kita dalam beberapa hal, sesungguhnya manusia masih berselisih satu sama lain.” (Siyar ‘Alam An Nubala’ hal. 16, vol. 10).

Juga diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr, dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, dalam bab Itsbat Al Munadharah Wal Mujadalah Wa Iqamati Al Hujjah, dari Muhamad Bin ‘Attab bin Al Murba’, dia berka, aku mendengar Al ‘Abbas bin Abdi Al Al Adzim Al Ambari mengabarkan kepadaku:  “Aku bersama Ahmad bin Hambal dan datanglah ‘Ali bin Madini dengan mengandarai tunggangan, lalu keduanya berdebat dalam masalah syahadah, hingga meninggi suara keduanya, sampai aku takut terjadi apa-apa di antara keduanya. Ahmad berpendapat adanya syahadah sedangakan ‘Ali menolak dan menyanggah, akan tetapi ketika Ali hendak meninggalkan tempat tersebut Ahmad bangkit dan menaiki kendaraan bersamanya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi hal. 968, vol.2).

Juga diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hambal juga pernah berdebat dengan guru beliau Imam Syaf’i dalam masalah hukum meninggalkan shalat, maka berkata kepada dia Imam Syafi’i: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan dia (yang meninggalkan shalat) kafir?” Ahmad menjawab: “Iya.” Imam Syafi’i lantas bertanya: ”Jika sudah kafir bagaimana cara untuk berislam?” Imam Ahmad menjawab: “Dengan mengatakan La ilaha ila Allah.” Dijawab Syafi’I; “Dia masih memegang kata itu dan tidak meninggalkannya (syahadat).”Ahmad berkata lagi: “Dengan menyerahkan diri untuk mau mengerjakan shalat.” Syafi’i menjawab; “Shalat orang kafir tidak sah, dan tidak dihukumi sebagai Muslim dengan hanya shalat.” Maka Ahmad berhenti berbicara dan diam.” (Thabaqat As Syafi’iyah, hal. 61, vol.2).

Walau terjadi perselisihan dalam beberapa masalah, Imam Ahmad tetap bersikap tawadhu’, bahkan banyak memuji untuk Imam Syafi’i.

Berkata Ishaq bin Rahuyah: “Aku bersama Ahmad di Makkah, dia berkata: “Kemarilah! Aku tunjukkan kepadamu seorang lelaki yang kamu belum pernah melihat orang seperti dia!” Ternyata laki-laki tersebut adalah Imam Syafi’i. (Shifatu As Shofwah, hal. 142, vol. 2)

Tidak sedikit perbedaan pendapat terjadi antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i. Namun keduanya mengajarkan kita semua akan akhlak yang mulia. Di antaranya, Imam Ahmad selalu mendokan Imam Syafi’I hingga 40 tahun lamanya.

Berkata Ahmad bin Al Laits: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa: ”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i.” (Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2).*/Thoriq

 

HIDAYATULLAH

Kisah Ulama yang Berpura-pura Jadi Pengemis

Pakaiannya compang-camping, lusuh, kusam. Ia berjalan dengan bantuan tongkat dan berpura-pura pincang. Rambut dan jenggotnya dibuat semrawut. Dengan tampang meyakinkan, tak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ia adalah pengemis palsu. Benar, tak ada satu pun warga yang menguak identitas aslinya. Ia merupakan seorang ulama dari Andalusia (saat ini Spanyol dan negara sekitar), Imam Baqi bin Mikhlad.

Saat itu ia ingin sekali belajar pada salah satu imam empat, Imam Ahmad. Ia pun berangkat dari Eropa, menyeberangi Laut Tengah menuju Afrika, kemudian melanjutkan perjalanan panjang ke Baghdad, Irak, tempat tinggal Imam Ahmad. Tanpa kendaraan, Baqiyang saat itu masih berstatus penuntut ilmu menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Hanya satu tujuannya, berguru pada sang imam.

Namun, Baqi mendengar kabar mengejutkan begitu tiba di Baghdad. Khalifah yang berkuasa saat itu jauh dari jalan Islam yang hanif. Imam Ahmad yang vokal pada kebenaran pun bereaksi menasihati khalifah. Namun, sang imam yang sangat mengagungkan Alqurandan sunah justru difitnah hingga dikucilkan. Ia juga dilarang mengajar ataupun mengumpulkan para penuntut ilmu. Imam Ahmad dianggap menentang paham yang dianut kekhalifahan. Sedihlah hati Baqimendengar kondisi Imam Ahmad, guru yang diharapkannya memberikan ilmu barang satu ayat.

****

Kendati demikian, Baqi tetap mencari rumah Imam Ahmad. Tekadnya untuk berguru telah bulat. Ia pun melangkahkan kaki ke rumah sang imam. Saat mengetuk pintu, ternyata Imam Ahmadlah yang membukakannya. “Wahai Abu Abdullah, saya seorang yang datang dari jauh, pencari hadis dan penulis sunah. Saya datang ke sini pun untuk melakukan itu,” ujar Baqi antusias.

“Anda dari mana?” tanya Imam Ahmad.
“Dari Maghrib al-Aqsa,” jawab Baaqi.
Imam Ahmad pun menebak, “Dari Afrika?”

“Lebih jauh dari Afrika. Untuk menuju Afrika saya melewati laut dari negeri saya,” jawab Baqi.

Imam pun kaget mendengarnya, “Negeri asalmu begitu jauh. Aku sangat senang jika dapat memenuhi keinginanmu dan mengajar apa yang kamu inginkan. Akan tetapi, saat ini saya tengah difitnah dan dilarang mengajar,” jawab Imam Ahmad.

****

Tak putus asa mendengarnya, Keinginan Baqi untuk berguru pada Imam Ahmad tak mampu dibendung. Ia pun menawarkan berpura-pura menjadi pengemis. “Saya tahu Anda tengah difitnah dan dilarang mengajar wahai Abu Abdillah, akan tetapi tak ada yang mengenal saya di sini, saya sangat asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi rumah Anda setiap hari dengan mengenakan pekaian pengemis. Saya akan berpura-pura meminta sedekah dan bantuan Anda setiap hari. Maka wahai Abu Abdillah, masukkanlah saya ke rumah dan berilah saya pengajaran meski hanya satu hadis,” pinta Baqi berbinar.

Melihat tekadnya yang begitu bulat dan amat giat menuntut ilmu,Imam Ahmad pun menyanggupi. Namun, ia meminta syarat agarBaqi tak mendatangi tempat kajian hadis ulama selain Imam Ahmad. Hal tersebut dimaksudkan agar Baqi tak dikenal sebagai penuntut ilmu. Statusnya sebagai penuntut ilmu sementara dirahasiakan.

Mendengar kesanggupan sang Imam, Baqi pun begitu bahagia. Ia segera menyanggupi persyaratan itu. Hati Baqi saat itu benar-benar dipenuhi bunga-bunga mekar nan indah. Keesokan hari, Baqi pun mulai ‘beraksi’. Ia mengambil sebuah tongkat, membalut kepala dengan kain, dan pernak-pernik pengemis lain. Sementara itu, sebuah buku dan alat tulis berada di balik baju samarannya itu.

Ketika berada di depan pintu Imam Ahmad, Baqi dengan nada melas akan berkata, “Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat balasan pahala dari Allah,” ujarnya. Jika mendengarnya, Imam Ahmadsegera membukakan pintu dan memasukkan Baqi ke dalam rumahnya. Di dalam rumah, dimulailah proses pengajaran ilmu yang amat diberkahi Allah itu. Demikian aktivitas itu dilakukan setiap hari oleh Baqi dan sang guru. Dari proses belajar diam-diam itu, Baqimampu mengumpulkan 300 hadis dari Imam Ahmad.

****

Hingga kemudian jabatan kekhalifahan berganti. Seorang Suni yang fakih beragama, al-Mutawakkil, naik menjabat sebagai khalifah. Sejak itu, sunah pun dibumikan kembali, bid’ah peninggalan khalifah sebelumnya segera dihapuskan. Imam Ahmad pun kembali menjadi ulama Muslimin. Kajiannya dibuka, para penuntut ilmu berbondong-bondong datang.

Sejak itu, kedudukan Imam Ahmad makin tinggi dan terkenal. Jumlah muridnya sangat banyak. Jika ia membuka majelis kemudian melihatBaqi, maka Imam Ahmad segera memanggil Baqi dengan gembira. Imam Ahmad akan meminta Baqi untuk duduk di samping beliau. “Inilah orang yang benar-benar menyandang gelar penuntut ilmu,” ujar Imam Ahmad kepada para muridnya. Sang Imam pun mengisahkan pengalaman Baqi yang menyamar menjadi pengemis demi mendengar satu hadis. Baqi pun kemudian menjadi murid dekat Imam Ahmad. Ia di kemudian hari menjadi ulama terkenal dari kawasan Andalusia.

Kisah tersebut nyata terjadi dan ditulis dalam biografi Imam Baqi bin Miklad al-Andalusi. Dari kisah tersebut, tampak jelas kegigihan beliau dalam menuntut ilmu. Kegigihan inilah yang patut dicontoh Muslimin, terutama para pemuda. Apalagi menuntut ilmu dalam Islam itu hukumnya wajib. Rasulullah juga pernah bersabda, “Barang siapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

 

Oleh Afriza Hanifa

sumber: Republika Online