Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah

Bismillah.

Salah satu tugas utama para pengikut setia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengajak manusia kepada tauhid, mengesakan Allah dalam hal ibadah.

Hal ini telah termuat dengan indah di dalam Kitabullah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ وَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَاۤ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Mahasuci Allah, aku sama sekali bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Mendakwahkan Islam, mengajak kepada tauhid, merangkul umat manusia untuk kembali menyadari dan mewujudkan hakikat tujuan hidup mereka adalah tugas yang sangat mulia. Sebab, dengan mengikuti petunjuk Allah dan bimbingan Rasul-Nya, maka manusia akan berbahagia. Sebaliknya, dengan berpaling dari agama dan loyal kepada perusak agama, akan menjerumuskan bani Adam ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Benar, bahwa ibadah kepada Allah tidak terbatas dalam bentuk salat, puasa, atau berhaji dan membayar zakat. Akan tetapi, ibadah mencakup segala ucapan dan perbuatan yang mendatangkan keridaan Allah dan kecintaan-Nya. Ibadah yang dimurnikan kepada Allah dan berlepas diri dari penghambaan kepada selain-Nya.

Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keadilan yang paling tinggi adalah menegakkan ‘ubudiyah kepada Allah dan menjauhi syirik kepada-Nya. Sementara mempersekutukan Allah dalam hal ibadah adalah bentuk kezaliman yang paling berat dan paling jahat. Karena itulah para rasul di sepanjang zaman mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36) Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa thaghut meliputi segala perkara yang membuat manusia melampaui batas dalam bentuk sesembahan, orang yang diikuti, atau sosok yang dipatuhi. Sehingga thaghut bisa berupa dukun dan paranormal. Selain itu, pembesarnya thaghut adalah iblis. Mengingkari thaghut adalah bagian dari keimanan yang tidak boleh dipisahkan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, hari-hari ini kita hidup di zaman yang penuh dengan berbagai tipuan dan kepalsuan. Orang yang mengajak kepada kebenaran digelari sebagai pemecah-belah persatuan dan penyeru kesesatan. Orang yang mengajak kepada penyimpangan justru dielu-elukan dan dijadikan sebagai sosok panutan dan idola masyarakat. Pada masa-masa semacam ini, maka tidak ada yang lebih utama bagi seorang muslim, selain menegakkan ibadah kepada Allah dan menunaikan nasihat kepada manusia dengan beramar makruf dan nahi mungkar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Dijelaskan oleh para ulama bahwa saling menasihati dalam kebenaran menjadi terapi dan perisai untuk menghadapi berbagai bentuk fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Sedangkan saling menasihati dalam kesabaran adalah terapi dan perisai untuk menghadapi fitnah syahwat (godaan terhadap keharaman).

Agama Islam yang mulia ini memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita dalam hal apa kita saling bekerjasama, yaitu dalam kebaikan dan takwa. Dalam hal apa kita memerintahkan dan mengajak manusia, yaitu dalam hal ketaatan dan amal saleh. Dalam hal apa kita melarang manusia, yaitu dari segala bentuk kemungkaran dan kerusakan dalam agama. Karena itulah, belajar tentang ilmu agama menjadi pintu gerbang kebaikan dan kemajuan kaum muslimin. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama kita telah menjelaskan bahwa ilmu agama menjadi sebuah perkara yang sangat tinggi dan mulia. Karena ia menjadi sarana dan pondasi untuk bertakwa kepada Allah. Ketika Allah memuji para ulama bukanlah karena mereka memiliki kecerdasan atau nilai akademik yang tinggi di mata manusia, tetapi justru disebabkan karena kualitas rasa takut mereka kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ 

“Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir: 28) Setiap orang yang dengan ilmunya membuat dia semakin takut kepada Allah maka dialah yang layak disebut sebagai ‘alim (ulama).

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan memperbanyak riwayat, akan tetapi ilmu yang sejati adalah tumbuhnya rasa takut kepada Allah.” Oleh karena itu, kita jumpai para sahabat nabi radhiyallahu ’anhum tumbuh menjadi generasi terbaik umat ini karena kedalaman ilmu dan kebersihan hatinya dalam mengabdi kepada Allah.

Al-Auza’i rahimahullah -seorang ahli hadis dan ahli fikih besar- mengatakan, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak-jejak para salaf (sahabat nabi), meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal manusia atau tokoh kesesatan, walaupun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan (kalimat-kalimat) yang indah dan menawan.”

Agungnya kalimat tauhid

Kalimat lailahaillallah adalah kalimat yang sangat ringan diucapkan dengan lisan, namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena pada hakikatnya, ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi, tentu saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus dijalankan. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid oleh Syekh Shalih al-Fauzan, hal. 5)

Ada yang berkata kepada Al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan, ‘Barangsiapa mengucapkan lailahaillallah, maka dia pasti masuk surga.?” Maka, Al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan lailahaillallah, kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Ibnu Rajab, hal. 40)

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah lailahaillallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi, tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu, maka dibukakanlah (surga) untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.” (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ

“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahanyang benar), selain Dia, dan (bersaksi pula) para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah (yang benar) selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali ‘Imran: 18)

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. Al-Maktab Al-Islami)

Makna persaksian ini adalah bahwa Allah mengabarkan, menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan (yang benar) dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu (ilahiyah pada selain Allah adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah, kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiyah disematkan kepada selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal. 178 oleh Ibnul Qayyim rahimahullah)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka adalah syahadat lailahaillallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan lailahaillallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang. Dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah (benar) cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim, 2: 88)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1: 17; cet. Mu’assasah Ar-Risalah)

Konsekuensi kalimat tauhid

Syahadat lailahaillallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud (sesembahan) yang benar, kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Karena ilah bermakna ma’luh (sesembahan), sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud (beribadah). Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan lailaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan (setelah keimanan di dalam hati) bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. (lihat Fatawa Arkan Al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Orang yang mengucapkan lailahaillallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan salat wajib, zakat yang telah difardukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Kalimat lailahaillallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Zat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut, dan pengagungan kepada-Nya. Zat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan, kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini (yang ia merupakan kekhususan ilahiyah), maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi, mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu, ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya)

Kalimat lailahaillallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada keyakinan dan pelaksanaan terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ فِی ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِیرًا

“Sesungguhnya, orang-orang munafik itu berada di dalam kerak paling bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِذَا جَاۤءَكَ ٱلۡمُنَـٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ یَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ یَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ لَكَـٰذِبُونَ

“Apabila datang kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan, ‘Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah.’ Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)

Seorang yang mengucapkan lailahaillallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan lailahaillallah karena (ikhlas) mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)

Seorang yang mengucapkan lailahaillallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwsanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan lailahaillallah di dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, mengucapkannya.

Kedua, mengetahui maknanya.

Ketiga, meyakini kandungannya.

Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang menyimpang dan menentangnya. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid, hal. 11 dan 16)

Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya. Demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak atau menodainya.” (lihat Asy-Syarh Al-Mujaz, hal. 8)

Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang paling pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagaimana yang dialami penduduk Madyan (kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam) atau dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya, umat para nabi terdahulu itu (pada umumnya) tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka. Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)

Semoga kumpulan tulisan dan catatan ringkas ini bermanfaat bagi kami dan segenap kaum muslimin. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

 ***

Yogyakarta, awal-awal bulan Shafar 1444 H

Kantor Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Yogyakarta

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78502-mengembangkan-dakwah-di-zaman-fitnah.html

Amalan Tersembunyi dalam Doa Bangun Tidur

Saudaraku, apa yang engkau lakukan saat dirimu terlelap kemudian bangun dari tidurmu?

Masihkah engkau mengingat, menghafal, atau mempraktekkan doa mulia yang telah engkau pelajari sejak usia mudamu dan tidak pernah melupakannya?

Ataukah doa itu telah hilang dari memorimu sehingga tak lagi sempat terucap?

Ya, doa itu adalah:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

“Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami dan kepada-Nyalah kami dibangkitkan.” (HR. Bukhari no. 6325)

Dalam doa yang semestinya menjadi habit (kebiasaan) yang selalu terucap setiap kali bangun dari tidur ini, terdapat amalan mulia yang sarat akan makna mendalam bagi hamba-hamba Allah yang mau berpikir dan merenungkannya.

Perhatikan kembali doa mulia ini, terdapat 3 (tiga) amalan agung yang kita lakukan setiap kali mempraktekkannya, yaitu: pujian bagi Allah, keyakinan bahwa Allah memegang roh saat kita tertidur, dan keyakinan bahwa hanya kepada Allah kita kembali.

Pujian bagi Allah

Hanya Allah Ta’ala-lah yang patut dipuji. Kemahabesaran-Nya dan Kemahamuliaan-Nya meliputi seluruh alam. Kita sebagai hamba Allah, hanyalah satu titik kecil dari jutaan ciptaan-Nya di alam semesta ini. Sudah selayaknya kita senantiasa memuji Allah Ta’ala di setiap waktu. Khususnya di waktu-waktu yang telah ditetapkan oleh syariat. Di antaranya adalah ketika sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (QS. Thaha: 130)

Lebih khusus lagi ketika kita terbangun dari tidur sejak malam hingga pagi hari. Betapa Allah Ta’ala sangat menyayangi kita.

Allah berfirman,

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا

“Dan Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha.” (QS. Al-Furqan: 47)

As-Sa‘di rahimahullah dalam Tafsir-nya menjelaskan tentang maksud ayat ini, yaitu:

Di antara rahmat-Nya terhadap kalian dan kelembutan-Nya adalah Dia menjadikan malam untuk kalian laksana pakaian yang menutupi kalian hingga kalian dapat beristirahat di dalamnya dan merasa hangat dengan tidur serta mobilitas kalian menjadi terhenti, maksudnya adalah gerakan kalian terhenti saat tidur.

Kalau saja tidak ada malam, niscaya manusia tidak akan bisa tenang, dan niscaya mereka terus dalam aktivitasnya. Lalu, pada akhirnya hal itu sangat membahayakan mereka.

Dan kalau terjadi malam terus, tanpa berhenti, maka kehidupan dan berbagai kepentingan mereka terabaikan.

Akan tetapi, Allah menjadikan siang hari sebagai kehidupan kembali. Padanya mereka dapat bertebaran untuk perniagaan, bepergian jauh, dan pekerjaan mereka sehingga dengan begitu terciptalah berbagai maslahat.

Saudaraku, sudah sepantasnyalah kita memuji Allah Ta’ala yang senantiasa melindungi diri kita dari segala marabahaya dengan menjadikan malam sebagai tempat dan waktu bagi kita untuk beristirahat dari penatnya hari siang dengan segala kesibukan dan aktivitas kita.

Allah yang menggenggam roh

Dalam kalimat,

الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا

(Allah) Yang telah menghidupkan kami setelah menidurkan kami.

terkandung makna yang sangat penting untuk kita ketahui.

Bahwa nyawa seorang hamba berada dalam genggaman Allah Ta’ala ketika hamba tersebut sedang tidur yang kemudian Allah lepaskan sampai waktu ajal hamba tersebut tiba. Hal demikian sebagai bagian tanda dari Kemahabesaran-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱللَّهُ یَتَوَفَّى ٱلۡأَنفُسَ حِینَ مَوۡتِهَا وَٱلَّتِی لَمۡ تَمُتۡ فِی مَنَامِهَاۖ فَیُمۡسِكُ ٱلَّتِی قَضَىٰ عَلَیۡهَا ٱلۡمَوۡتَ وَیُرۡسِلُ ٱلۡأُخۡرَىٰۤ إِلَىٰۤ أَجَلࣲ مُّسَمًّىۚ إِنَّ فِی ذَ ٰ⁠لِكَ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّقَوۡمࣲ یَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur. Maka, Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai batas yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. Az-Zumar: 42)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya menjelaskan ayat ini:

Di dalam makna ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa semua roh dikumpulkan di mala’ul a’la, seperti yang disebutkan di dalam hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dan lain-lainnya.

Di dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Ubaidillah ibnu Umar, dari Sa’id ibnu Abu Sa’id, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Apabila seseorang di antara kalian menempati peraduannya, hendaklah terlebih dahulu menyapu tempat tidurnya dengan bagian dalam kainnya. Karena sesungguhnya dia tidak mengetahui kotoran apa yang telah ditinggalkannya pada peraduannya itu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan doa, ‘Dengan menyebut nama Engkau, ya Tuhanku, aku letakkan lambungku dan dengan menyebut nama Engkau aku mengangkat (membangunkan)nya. Jika Engkau memegang jiwaku, maka kasihanilah ia. Dan jika Engkau melepaskannya, maka peliharalah ia sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang saleh.’”

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa arwah orang-orang yang mati dicabut bila mereka mati. Begitu pula, arwah orang-orang yang hidup dicabut bila mereka tidur. Lalu, mereka saling mengenal menurut apa yang telah dikehendaki oleh Allah Ta’ala. “Maka, Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya.” (QS. Az-Zumar: 42)

Yakni arwah orang yang telah mati dan melepaskan arwah orang yang hidup sampai waktu yang ditentukan. As-Sa’di mengatakan sampai tiba saat ajalnya.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Allah menahan jiwa orang yang telah mati dan melepaskan jiwa orang yang hidup, dan tidak pernah terjadi kekeliruan dalam hal ini.

Subhanallah, semakin kita menyadari dan mengimani hal yang gaib yang terjadi pada diri kita, maka tentu semakin bertambah pula iman kita.

Perkara bahwa arwah kita dikumpulkan saat tidur di mala’ul a’la sebagaimana tafsir Ibnu Katsir tersebut adalah perkara gaib. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa percaya terhadap hal demikian jika tidak ada iman dan takwa pada dirinya?

Allah Ta’ala berfirman tentang bukti orang yang bertakwa,

ٱلَّذِینَ یُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَیۡبِ وَیُقِیمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ یُنفِقُونَ

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka”. (QS. Al-Baqarah: 3)

Hanya kepada Allah, kita kembali

Memuji Allah, kemudian meyakini bahwa ketika sedang terlelap arwah kita berada pada genggaman Allah merupakan amalan batiniyah saat ketika terbangun dari tidur.

Hal itu belum lengkap, kecuali dengan meyakini bahwa hanya kepada Allah kita kembali وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ.

Kembali kepada Allah merupakan keyakinan seorang mukmin sebagai wujud manifestasi rukun iman yang ke-5 yaitu ‘Beriman kepada hari kiamat’.

Di antara fase yang dilalui pada hari kiamat adalah tahap timbangan amal. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat. Maka, tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.”  (QS. Al-Anbiya’: 47)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ

“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya, “Bukankah Allah telah berfirman ‘Maka, ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.’” (QS. Al-Insyiqaq: 8) Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Itu baru al-‘aradh (penampakan amal). Namun, barangsiapa yang diteliti hisabnya, maka ia akan binasa.” (HR. Bukhari, no. 103 dan Muslim, no. 2876)

Oleh karenanya, setiap kali kita terbangun dari tidur setiap harinya kemudian membaca doa:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

Maka, tiga amalan yang telah kita lakukan yaitu: memuji Allah Ta’ala, meyakini bahwa Allahlah yang membangunkan kita dari tidur (melepaskan roh kita dari genggaman)-Nya, serta meyakini bahwa hanya kepada Allah kita akan kembali.

Namun perlu diingat, amalan mulia ini tidak akan ada artinya tanpa kita memahami maknanya disertai dengan keyakinan yang kokoh, serta mempraktekkannya sepanjang hayat kita. Wallahu Ta’ala a’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78651-amalan-tersembunyi-dalam-doa-bangun-tidur.html

Kombinasi Zikir dan Syukur

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱذۡكُرُونِیۤ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡكُرُوا۟ لِی وَلَا تَكۡفُرُونِ

Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut,

Allah Ta’ala memerintahkan untuk berzikir kepada-Nya, dan menjanjikan balasan yang terbesar karenanya. Balasan itu ialah Allah akan mengingat orang yang mengingat-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya melalui lisan Rasul-Nya, “Barangsiapa yang mengingat-Ku dalam dirinya sendiri, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan barangsiapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingat-Nya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka.”

Zikir kepada Allah Ta’ala yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan zikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah zikir yang dapat membuahkan pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya. Zikir adalah bagian terpenting dari syukur. Oleh sebab itu, Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah Ta’ala berfirman,

فَٱذۡكُرُونِیۤ

Maka, bersyukurlah kepada-Ku.

Yaitu, bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana (musibah) yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian.

Syukur direalisasikan dalam bentuk pengakuan di dalam hati atas segala macam nikmat yang diberikan, dengan lisan dalam bentuk zikir dan pujian, dan diwujudkan oleh anggota badan dalam bentuk amal ketaatan kepada Allah, tunduk kepada perintah-Nya, serta dengan menjauhi larangan-Nya. Dengan syukur, nikmat yang sudah ada akan tetap terpelihara, dan nikmat yang luput akan kembali bertambah. Allah Ta’ala berfirman,

 لَىِٕن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِیدَنَّكُمۡۖ

Sungguh, jika kalian bersyukur (kepada-Ku), Aku pasti akan menambahkan nikmat kepada kalian.” (QS. Ibrahim: 7)

Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal. Maka, itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada. Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.

Karena lawan dari syukur adalah ingkar (kufur), maka Allah pun melarang melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكۡفُرُونِ

Dan janganlah kalian kufur.

Yang dimaksud dengan kata kufur di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka dari itu, berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 74)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78484-kombinasi-dzikir-dan-syukur.html

Benarkah Alquran Melegalkan Pemukulan Suami kepada Istri?

Benarkah Alquran melegalkan pemukulan suami kepada istri? Dewasa ini, seringkali kita jumpai bias pemahaman terkait konsep perempuan dalam Islam. Bias pemahaman ini salah satunya berupa pernyataan bahwa Islam melemahkan dan mendiskriminasi perempuan.

Islam dianggap agama yang sarat akan budaya patriarki dan meletakkan perempuan pada titik subordinasi. Bahkan dituding, berdasarkan ayat Alquran, melegalkan pemukulan terhadap istri.

Salah satu ayat Alquran yang seringkali diperbincangkan adalah potongan ayat surat An-Nisa’ ayat 34

وَالتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَهْجُرُوْهُنَّ وَاضْرِبُوْهُنّ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat, tinggalkanlah mereka (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.”

Ayat ini seringkali dijadikan dalih oleh mereka yang menilai Islam selalu menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Pun Imam Akbar Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib dalam sebuah talkshownya di salah satu kanal televisi Mesir mengatakan bahwa ayat tersebut banyak disalahartikan, Islam dianggap memperbolehkan suami untuk memukul istri secara mutlak, dengan ada alasan maupun tanpa alasan. Padahal Islam tidak mengatakan demikian, dan teks Alquran tidak bermaksud demikian.

Lebih lanjut, Imam Akbar mengungkapkan bahwa lafaz واضربوهن (pukullah istrimu) tidak menunjukkan sebuah perintah kepada seorang suami untuk memukul istrinya, baik bersifat wajib maupun sunnah. Lebih detail lagi, Imam Akbar saat itu menjelaskan bahwa dari segi ushul fikih, kata perintah dalam Alquran tidak selalu menunjukkan perintah wajib atau pun kesunnahan.

Akan tetapi, ada lima belas macam faedah penggunaan kata perintah dalam Alquran. Dan yang dimaksudkan dari  lafaz واضربوهن, adalan kebolehan memukul istri jika bertujuan “mendidik atau mendisiplinkan”. Kebolehan tersebut juga disertai syarat-syarat yang membatasi, sehingga tidak merugikan pihak istri.

Harus digaris bawahi, bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku jika tujuannya adalah mendidik atau mendisiplinkan istri. Jika hanya atas dasar kekesalan suami terhadap istri yang telah melakukan sebuah kesalahan tanpa ada tujuan mendidik, maka jelas hak itu tidak masuk dalam konteks ayat tersebut dan dilarang oleh Islam.

Imam Akbar juga menuturkan, bahwa kondisi perempuan satu dengan yang lainnya berbeda beda. Perempuan di Arab bisa jadi berbeda dengan perempuan di Indonesia. Watak perempuan jaman dahulu dan sekarang pun pasti berbeda.

Artinya, ada karakter perempuan yang dapat ditegur dengan cara dipukul, ada juga yang tidak. Sehingga penerapan ضرب (memukul) sebagai media mendidik dan mendisiplinkan tidak bisa diberlakukan kepada seluruh perempuan. Maka ayat tersebut surat An-Nisa’ di atas tidak bersifat mutlak.

Pun harus diketahui, bahwa tujuan adanya kebolehan memukul tersebut adalah untuk menyelesaikan perkara antara suami istri yang sedang terjadi. Oleh karenanya, jika dengan adanya pemukulan tersebut justru akan memunculkan kerugian atau bahaya yang lebih besar, maka hal tersebut jelas tidak diperbolehkan oleh Islam.

Sekalipun diperbolehkan dengan tujuan mendidik, dalam Ayat surat An-Nisa’ di atas Allah SWT. tidak lantas langsung menawarkan solusi dengan memukul. Allah SWT. menjelaskan ada runutan tindakan yang bisa diambil seorang suami untuk menertibkan sang istri. Pertama, menasehati.

Jika tidak berubah, maka diberi pelajaran dengan tidak tidur seranjang. Barulah diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Artinya, memukul merupakan alternatif terakhir untuk mengingatkan seorang istri. Itu pun, tidak dapat diberlakukan kepada seluruh perempuan.

Syekh Ahmad Thayyib di akhir kalamnya menegaskan, bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Anjing di jalan saja harus dikasihi, kita tidak boleh seenaknya mengusik atau memukulnya. Apalagi sosok perempuan yang merupakan bagian dari ciptaan Allah SWT. yang paling sempurna (sebagai manusia).

Alquran pun telah menegaskan mu’asyarah bil ma’ruf  (bergaul dan berinteraksi dengan baik) sebagai asas utama kelanggengan sebuah keluarga. Sehingga hal-hal yang tidak sejalan dengan asas tersebut harus dihindari oleh kedua belah pihak, suami dan istri.

Maka maksud dari ayat Alquran bukanlah menuju pada makna bahwa Islam melegalkan pemukulan suami terhadap istri secara mutlak, melainkan harus dipahami secara konteks dan kaidah ushul fiqh.

Demikian penjelasan terkait benarkah Alquran melegalkan pemukulan suami kepada istri? Semoga bermanfaat. (Baca: Memukul Istri yang Berlaku Salah, Bolehkah?)

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

2 Alasan Buya Hamka tidak Poligami

SAHABAT, siapa tak kenal Buya Hamka? Ulama terkemuka tanah air ini dikenal sebagai sosok teladan. Tahukah, Buya Hamka tidak berpoligami, lho. Tentu ada alasan di baliknya. Mau tahu, apa alasan Buya Hamka tidak poligami?

Ini bisa jadi renungan bagi para suami dan istri dalam menjalani biduk rumah tangga. Dalam buku Kesetaraan Gender dalam Al-Quran karya Yunahar Ilyas, dijelaskan bahwa setidaknya ada dua alasan Buya Hamka memilih untuk tidak berpoligami. Berikut alasan Buya Hamka tidak poligami:

1 Alasan buya Hamka tidak poligami: Latar belakang keluarga

Bisa dibilang, ada trauma masa lalu. Ayah Hamka, yakni Haji Rasul, diketahui mempunyai empat istri. Satu di antaranya adalah Shafiyah yang merupakan ibu kandung Buya Hamka.

Ketika Haji Rasul hendak menikah lagi, sementara Islam membatasi laki-laki maksimal beristri empat, maka satu di antara empat istri tersebut harus diceraikan. Entah dengan pertimbangan apa, Haji Rasul memilih menceraikan Shafiyah.

Menurut pengakuan Buya Hamka, tidak ada persoalan yang berarti antara ibu dan ayahnya. Perceraian orang tuanya itulah yang membuat Hamka memilih untuk tidak poligami.

“Luka hati ini menjadi trauma bagi Hamka, sehingga dalam kehidupan perkawinannya Hamka setia menjadi seorang monogam,” tulis Yunahar (Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, hlm. 346).

2 Alasan buya Hamka tidak poligami: Prioritas pada ilmu

Buya Hamka memiliki prioritas pada ilmu. Dalam suatu kesempatan, A.R. Sutan Mansur menyampaikan kepada beliau bahwa beristri satu merupakan salah satu cara untuk bisa menggapai cita-cita yang tinggi. Alasannya karena waktu untuk mengurus keluarga (berlaku adil untuk dua istri atau lebih, dan anak) akan menyita waktu belajar dan berkarir.

Lantas, apakah kedua alasan tersebut membuat Buya Hamka melarang seorang muslimuntuk berpoligami?

Tentu saja tidak. Para mufasir memang berbeda pendapat tentang kebolehan poligami. Perbedaan tersebut di antaranya berangkat dari tafsir atas makna “keadilan” yang dimaksud dalam QS. an-Nisa’ [4]: 3, 129, dan syarat perempuan yang boleh dipoligami.

Perihal keadilan tersebut, Buya Hamka menulis dalam Tafsir Al-Azhar yang merupakan salah satu karya besarnya, “Yang tidak sanggup mengadilkannya itu ialah hati. Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya. Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh,” (Juz V, hlm. 307).

Jadi, Buya Hamka yang tidak poligami pun tetap membolehkan poligami sebagaimana Islam membolehkannya sesuai syariat.

Yunahar menjelaskan, Buya Hamka tidak menafikan kemungkinan laki-laki dapat berlaku adil (keadilan lahiriyah). Akan tetapi, ia juga menegaskan bahwa berlaku adil kepada lebih dari satu istri merupakan hal yang berat. Sekalipun dalam pandangan Buya Hamka poligami itu diizinkan –dengan syaratnya yang ketat–, menurutnya, beristri satu lebih terpuji dan lebih menenteramkan.

Menurut Yunahar, mufasir yang membolehkan laki-laki untuk poligami, termasuk Buya Hamka, tidak berarti bahwa produk tafsirnya misoginis atau diskriminatif terhadap perempuan (hlm. 354). Dalam kasus Buya Hamka, meski ia membolehkan poligami, ia tidak mempraktikkannya.

Buya Hamka bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Di antara karya yang lahir dari buah pikir Hamka adalah; Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal va Der Wijk, Tasawuf Modern, Sejarah Umat Islam I-IV, dan karya monumentalnya di bidang tafsir al-Quran, yakni Tafsir Al-Azhar.

Buya Hamka merupakan ulama kelahiran Sumatera Barat pada 16 Februari 1908. Ia adalah putra dari seorang pembaharu Islam di bumi Minangkabau, yakni Syaikh Abdul Karim atau Haji Rasul.

Buya Hamka menikah dengan Siti Raham pada 1929. Selama pernikahannya dengan Siti Raham, beliau tidak berpoligami.  Dari pernikahannya dengan Siti Raham, Buya Hamka dikaruniai dua belas putra-putri (dua diantaranya meninggal dunia pada usia balita).

Setelah Siti Raham meninggal pada 1 Januari 1972, Buya Hamka menikah dengan Sitti Khadijah asal Cirebon pada Agustus 1973.

Berikut nama putra-putri Buya Hamka: Rusydi Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka, Afif Hamka, Hisyam Hamka, Husna Hamka, Fathiyah Hamka-Vickri, Helmi Hamka, Syakib Arsalan Hamka, Azizah Hamka, Fachry Hamka, Zaki Hamka. []

SUMBER: SUARA AISYIYAH

Ustadz Ahong: Khutbah Jumat itu Seharusnya Mengademkan, Bukan Memanaskan

Shalat Jumat merupakan suatu kewajiban yang dilakukan umat Muslim setiap pekan. Di dalamnya terdapat khutbah Jumat yang wajib disampaikan oleh khatib.

Pendakwah milenial, Ustadz Ahong, menyampaikan bahwa khutbah Jumat itu seharusnya mengademkan, bukan memanaskan.

Dalam acara penyusunan naskah Khutbah Jumat yang diselenggarakan Kementerian Agama di Hotel Morrisey pada 22 hingga 27 November 2020, Ustadz Ahong menyampaikan bahwa khutbah Jumat itu seharusnya tidak berisi caci maki dan menyudutkan kelompok lain yang berbeda. Acara ini dihadiri oleh beberapa lembaga, pengurus masjid, dan persatuan dai.

“Ini karena pada dasarnya khutbah Jumat diselenggarakan untuk mencipatakan ketakwaan dan kepekaan sosial sesama umat beragama dan penduduk NKRI. Jangan sampai, khutbah Jumat itu justru membangkitkan marah masyarakat Muslim,” jelas Ustadz Ahong.

Menurut Ustadz Ahong, apa yang dilakukan Kementerian Agama ini sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

“Umar bin Abdul Aziz membuat aturan agar semua khatib pada masanya menutup khutbah dengan surah al-Nahl ayat 90. “Allah meminta berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kpd kerabat, dan Allah melarang dr perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan….” Ini tidak ada pada masa Nabi,” tutur Ustadz Ahong.

Ustadz Ahong menjelaskan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan itu menggantikan apa yang sudah dilakukan Bani Umayyah. Pada masa Bani Umayyah, khutbah Jumat itu isinya cacian pada Imam Ali bin Abi Thalib. Jadi, apa yang dilakukan Kementerian Agama itu perlu kita dukung.

Menurut Ustadz Ahong, Kementerian Agama bukan ingin menyeragamkan khutbah Jumat untuk seluruh masjid sebagaimana yang terjadi di negara-negara kerajaan yang berpenduduk mayoritas Muslim. Di sana khutbah diseragamkan. Khatib hanya membaca apa yang sudah ditetapkan tim dari negara.

BINCANG SYARIAH

Kenaikan Harga Dalam Hadits Nabi

“Wahai Rasulullah barang-barang di kota Madinah mengalamai kenaikan harga” keluh seorang sahabat Nabi suatu hari, “tentukanlah harga” ia melanjutkan. Mendengar hal ini Nabi Muhammad –shalallahu ‘alaihi wa sallam– tidak lantas melakukan penentuan harga, namun memberikan sebuah wejangan bijak: “sesungguhnya Allah lah yang menjadikan harga naik atau turun,” setelah itu beliau kembali dipinta untuk menentukan harga, dan beliau memerintahkan sahabat untuk berdoa kepada Allah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi ini mengandung berbagai pelajaran penting yang sayang jika tidak didulang terlebih saat ini; di tengah maraknya pro-kontra kenaikan BBM.

Sikap Rakyat Terhadap Kenaikan Harga

Perintah Rasulullah kepada seorang yang meminta stabilitasi harga untuk berdoa kepada Allah menunjukkan bahwa kenaikan harga merupakan timbal balik perbuatan hamba yang tidak sesuai dengan keinginan sang pencipta. Maka hendaknya segenap rakyat dalam kejadian ini melakukan instropeksi diri, kesalahan apa yang diperbuat sehingga Allah menghendaki kesulitan bagi rakyat negeri ini.

Kalau mau menyelidiki kemungkinan apa yang membuat pemerintah menaikkan harga -dalam kasus ini bbm- statemen bahwa perilaku rakyat juga termasuk faktor melambungnya harga bukanlah sekedar isapan jempol. Kemungkinan pemerintah menaikkan harga hanya ada dua: Pemerintah melakukannya tersebut secara zalim atau menaikkan harga dengan pertimbangan yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Jika Pemerintah melakukannya secara zalim, maka di berbagai tempat di dalam al-Quran disebutkan bahwa pemerintah yang zalim sejatinya buah dari rakyat yang zalim pula.

Sebut saja QS. Al-An’am: 129 (yang artinya): “Demikianlah Kami kuasakan orang-orang yang zalim itu satu sama lain, sebagai akibat dari perbuatan mereka.

Para ulama dari kalangan ahli tafsir menegaskan bahwasanya pemimpin zalim di sebuah negeri merupakan balasan bagi rakyat yang zalim. Sedangkan di dalam hadits, Rasulullah bersabda, “Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezaliman penguasa, kehidupan yang susah, dan paceklik.” (HR. Ibnu Majah)

Dari sinilah terkenal ungkapan “Kama takunu yuwalla ‘alaikum” ‘sebagaimana keadaan kalian demikian pula keadaan pemimpin kalian.’ Pemahaman seperti inilah yang dipahami oleh para ulama dan para pemimpin Islam sedari dulu. Imam Ali misalkan, beliau berujar kepada orang yang mengkritik roda pemerintahannya :

Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu.”

Menyoal kemungkinan kedua yaitu pemerintah menaikan harga dengan prosedur yang benar serta amanah, maka dalam hal ini menjadikan rakyat sebagai kambing hitam atas kenaikan harga juga bukan pendapat yang salah. Karena pemerintah tidak akan menaikkan harga jika dalam keadaan makmur dan sejahtera (contoh: saudi 1 liter sekitar 1500 rupiah), semua itu terjadi di masa-masa sulit seperti sekarang dan faktor kesulitan yang dialami sebuah negeri dijelaskan di dalam al-Quran disebabkan oleh tingkah laku penduduk negeri.

Allah berfirman (yang artinya), “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”(Al-A’raf:96)

Lantas apa yang membuat Indonesia sebuah negara dengan penduduk Muslim terbanyak terhimpit kesulitan dan belum diberikan kesejahteraan? Mungkin alasannya ada di potongan ayat berikutnya “tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” ya, kita masih jauh dari keimanan dan ketaqwaan.

Melihat kenyataan di atas mestinya kita berhenti menggerutu atas kinerja pemerintah dan mulai memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat sekitar. Hal yang paling penting untuk di perbaiki adalah masalah Tauhid (meng-esakan Allah dalam Ibadah), karena sejatinya kemakmuran individu bahkan negara tergantung sejauh mana seseorang itu ataupun sebuah negara menegakkan Tauhid, mengenai hal ini Allah berfirman (yang artinya),

Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka (kembali) mempersekutukan (Allah), (QS al-‘Ankabuut:65)

Kaum musyrikin saja diselamatkan Allah dalam perjalanan mereka ketika bertauhid meskipun sebentar maka bagaimana dengan yang mentauhidkan Allah siang dan malam?

Semoga dengan bertauhid Allah mengangkat derajat kita dan negeri ini, memberikan kita pemimpin yang baik dan memperbaiki para pemimpin kita sehingga tercapailah cita cita kita bersama: “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur

wallahu ta’ala a’lam

Referensi:

Penulis: Rizqo Kamil Ibrahim, pengasuh rubrik sahabat dan Ahlu bait di jejaknabi.com

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23481-kenaikan-harga-dalam-hadits-nabi.html

7 Contoh Sedekah Jariyah dan Keistimewaannya

Sedekah jariyah atau merupakan pemberian yang bisa memberikan pahala secara terus menerus bagi orang yang melakukannya. Pada dasarnya, sedekah merupakan sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan maksud untuk membantu dan berdasarkan karena Allah taala.

Bahkan, sedekah jariyah pun termasuk pada salah satu amalan baik di mana Allah akan mengganjarnya dengan pahala berlipat dan terus mengalir.

Kebanyakan masyarakat mengira, bahwa bentuk dari sedekah ini hanya berdasarkan pada materi saja atau mungkin harta kekayaan yang dimiliki seseoran. Namun, untuk melakukan sedekah tidak perlu menggunaan harta saja. Banyak sekali hal lain yang bisa bernilai sebagai sedekah jariyah.

Seperti yang tercantum dalam sebuah hadits berikut:

Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebarluaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibina, rumah yang dibina untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya “(HR. Ibnu Majah).

7 Contoh Sedekah Jariyah

Dari hadits tersebut dapat kita simpulkan bahwasannya banyak sekali jenis sedekah yang bisa kita lakukan. Sehingga, meskipun kita bukanlah orang yang kaya, namun kita tetap bisa bersedekah dengan ilmu yang dimiliki atau makanan yang dimiliki.

Untuk itu, berikut ini adalah beberapa jenis atau contoh dari sedekah jariyah. Yang mana, ketika hal-hal berikut dilakukan oleh sesorang maka bisa mengantarkannya pada pahala yang terus mengalir sampai hari Kiamat nanti.

Membangun Masjid

Seperti yang kita ketahui, masjid adalah tempat beribadah umat Islam dimana pun berada. Masjid pun merupakan rumah Allah, karena Allah akan senantiasa berada di dalam masjid dan menjaganya.

Membangun masjid, adalah sebuah amal yang sangat baik dan tentunya bernilai pahala besar di sisi Allah. Seperti yang kita ketahui, ketika masjid dibangung, maka akan banyak sekali warga masyarakat yang beribadah di sana.

Tentunya ketika masjid tersebut digunakan oleh masyarakat untuk beribadah, walaupun orang yang membangunnya sudah meninggal, pahala untuk orang yang membangun akan terus mengalir. Itulah kenapa membangun masjid ini bisa dikategorikan sebagai salah satu contoh sedekah jariyah.

Meskipun begitu, untuk bersedakah jariyah pun bukan hanya masalah membangun masjid. Juga termasuk pada orang-orang yang mau mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid, atau membina masjid agar senantiasa bisa digunakan dengan nyaman oleh masyarakat luas yang ingin beribadah di dalamnya.

Ada salah satu hadits yang mengatakan seperti berikut:

Barangsiapa yang membangun masjid demi mencari wajah Allah, niscaya Allah bangunkan rumah baginya di surga” (Terdapat dalam Ash-Shahihain). Pun ada juga hadits lainnya yang berbunyi: “Barangsiapa yang membangunkan sebuah masjid kerana Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di syurga” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Hal ini berarti, setiap orang yang mau membangun masjid dengan dasar ingin mencari keridhaan Allah, atau ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan yang baik, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di Surga.

Membuat Buku yang Bermanfaat

Seperti yang kita ketahui, buku menjadi sarana penting untuk masyarakat bisa belajar dan mengetahui banyak hal. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwasannya buku ini merupakan jendela dunia. Pasalnya, kita bisa mendapatkan segala macam hal dengan membaca buku. Kita bisa tahu akan sesuatu hal karena membaca buku.

Ada salah satu kelebihan dan keutamaan dalam membuat buku ini, terlebih ketika buku yang dibuat adalah buku yang bermanfaat dan berguna bagi orang banyak. Pasalnya, setiap buku yang dibuat dan bermanfaat untuk banyak orang, meskipun pembuatnya sudah meninggal, namun bukunya masih dibaca dan dirasakan manfaatnya oleh orang yang masih hidup, maka pahalanya tetap mengalir.

Inilah kenapa, membuat buku yang bermanfaat, berisi pengetahuan yang banyak, apalagi berisi hikmah dan pelajaran yang bisa meningkatkan ketakwaan seseorang kepada Allah, bisa menjadi sedekah jariyah yang mana pahalanya tidak akan terputus hingga hari kiamat.

Hal itu pula yang mendasari sebuah istilah bahwa buku dan tulisan bisa membuat seorang penulisnya menjadi abadi.

Membangun Rumah untuk Para Musafir sebagai Sedekah Jariyah

Ada keutamaan sendiri ketika kita mampu menolong para musafir atau orang-orang yang sedang berada di dalam perjalanan. Ketika zaman Rosulullah, para musafir atau yang disebut dengan ibnu sabil memanglah banyak sekali. Tidak menutup kemungkinan bahwa saat ini di era modern pun banyak ditemukan para musafir ini.

Atau jika pada saat ini, bisa juga dikategorikan kepada orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Maka kita bisa memberikannya tempat tinggal yang layak untuk sementara. Pasalnya, tindakan ini termasuk pada amalan baik karena membantu sesama dan bahkan berbuat manfaat terhadap manusia lainnya.

Seperti yang kita tahu bahwa manusia yang paling baik, adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Ketika kita menyediakan tempat bagi orang-orang tersebut, bahkan meskipun kita sudah meninggal, amalan kita masih tetap berbuah pahala

Begitu pun dengan kita yang memberi minum maupun makan yang tetap bisa dinilai sebagai sedekah jariyah. Sebagaimana hadits berikut:

Sebaik-baik sedekah adalah memberi air minum.” (HR. Muslim). Hadits lainnya menjelasakan bahwasannya Nabi SAW pernah ditanya bagaimana islam yang baik itu? Lantas, Nabi SAW pun menjawab : “Engkau beri makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal maupun yang tidak kamu kenal.” (Terdapat dalam Ash-Shahihain).

Sedekah di Kala Sehat

Berdasarkan firman Allah yang tercantum dalam Al Quran dengan kutipan ayat berikut menjelaskan:

Perumpamaan orang -orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai:tumbuh seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al- Baqarah ayat 261)

Dari firman Allah tersebut bisa kita lihat bahwasannya seseorang yang mau menafkahkan hartanya di jalan Allah, dijalan kebaikan, akan diganjar dengan pahala yang sangat berlipat. Bahkan jika dihitung ganjaran yang didapatkannya itu bisa mencapai 700 kali lipat.

Betapa Maha Pemurahnya Allah SWT. Tak hanya itu, harta yang sudah disedekahkan tersebut pun tidak akan pernah putus pahalanya. Apalagi jika orang yang Anda sedekahi menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang bermanfaat.

Tak hanya itu, sedekah jariyah yang dilakukan ketika sehat pun bisa memberikan keistimewaan lain. Di mana, sedekah tidak akan pernah membuat Anda menjadi miskin atau kehilangan harta. Jutsru sebaliknya, setiap harta yang disedekahkan malah akan berbalik menjadi rezeki lain yang lebih luas lagi diberikan oleh Allah.

Mengajarkan Ilmu

Bagi semua orang, ilmu merupakan hal yang berguna untuk kehidupan. Bahkan, ketika seseorang memiliki satu ilmu yang sudah sangat paham terhadapanya, kemudian ia menyebarkannya kepada orang lain, dan orang lain merasa berguna akan ilmu tersebut, maka pahala untuk orang yang menyebarkan ilmu tersebut.

Bahkan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat pun adalah sebuah sedekah jariyah yang mana pahalanya tidak akan pernah putus walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Hal itu sesuai dengan yang tercantum pada hadits berikut:

Sesungguhnya termasuk amalan dan kebaikan orang mukmin yang masih mengalir pasca kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, atau anak shalih yang ditinggalkannya, atau mushhaf al-Qur`an yang diwariskannya, atau masjid yang dibangunnya, atau rumah singgah bagi para musafir yang dibangunnya, atau sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dkeluarkan dari hartanya saat sehatnya dan di masa hidupnya, (semua itu) masih mengalir kepadanya pasca kematiannya. ” (HR. Ibnu Majah; Shahih at-Targhib).

Dari hadits tersebut sudah bisa ketahui bahwasannya ketika bisa mengajarkan sebuah ilmu kepada orang lain, lalu menyebarkan ilmu tersebut ke khalayak luas, maka pahalanya akan terus mengalir setelah kematian kita nantinya.

Pasalnya, ilmu ini sifatnya  menyebar dan bisa meluas. Apalagi ketika orang yang diajarkan merasa ilmu tersebut berguna, lalu digunakan untuk kebaikan dan disebarkan kembali pada orang lain, tentu pahala adalah jaminan bagi orang yang sudah rela mengajarkannya.

Mewariskan Al Quran adalah Sedekah Jariyah

Dalam hadits sebelumnya disebutkan, tidak hanya ilmu yang disebarkan saja, melainkan juga mushaf Al Quran yang diwariskan kepada oranglain merupakan bentuk sedekah jariyah. Seperti yang kita ketahui, AL Quran merupakan kitab suci umat Islam yang bisa jadi setiap hari dibaca. Ketika seseorang membaca Al Quran meski satu huruf pun sudah dicatat satu kebaikan untuk pembacanya.

Begitu pun dengan orang yang sudah memberikan atau mewakafkan Al quran tersebut. Setiap ada oranglain yang membacanya, maka selama itu pula pahalanya akan tetap mengalir secara terus menerus meskipun dirinya sudah mengalami kematian.

Bahkan, nantinya Al Quran inilah yang bisa menaungi dan menyelamatkan dirinya di akhirat kelak. Itulah mengapa, jika Anda tidak punya harta banyak, tapi punya ilmu atau punya Al Quran, wariskan atas nama Allah. Niscaya atas izin-Nya bisa menjadi sedekah terbaik bagi Anda.

Membangun Panti Asuhan

Pada dasarnya, panti asuhan merupakan tempat yang digunakan oleh anak-anak yatim piatu yang ditinggalkan orang tuanya. Atau anak-anak yang sengaja ditinggalkan maupun dititipkan oleh orangtuanya dengan berbagai alasan.

Ada salah satu contoh sedekah jariyah yang mana bisa mengantarkan Anda pada pahala yang tidak terputus, yakni menyantuni anak yatim dan membangunkan rumah atau panti asuhan untuk mereka.

Hal ini tertuang dalam Al Quran, salah satunya seperti pada penggalan ayat berikut ini: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, …,” (Q.S. An Nisaa 4:36)

Tak hanya itu, anak-anak yatim pun merupakan sosok yang kehadirannya sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW. Bahkan dalam sabdanya pun, Rosulullah mengisyaratkan kedekatan antara Beliau dengan anak yatim ibarat jari telunjuk dan jari tengah. (H.R. Bukhari)

Dengan beberapa contoh sedekah jariyah tersebut, tentunya kita semua tahu, bahwa sedekah jariyah bukan hanya sedekah yang dikeluarkan berbentuk materi saja. Akan tetapi, banyak hal yang bisa kita berikan agar kita pun bisa mendapatkan pahala yang tidak terputus.

Semoga dengan adanya  ulasan beberapa contoh sedekah jariyah ini, bisa membawa kita untuk senantias bersedekah dengan ikhlas, semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah dan semua kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.

MASJID PEDESAAN

Perlukah Istilah Kafir Diganti?

Meski hak dan kewajiban antara Muslim dan non-Muslim setara, tetapi dalam pandangan Islam sejatinya Muslim dengan non-Muslim itu tidak sama

DALAM sebuah kuliah umum, Syed Muhammad Naquib al-Attas ditanya, “Apakah masih boleh digunakan sebutan (istilah) kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antara pemeluk agama?”

Ketika itu, Syed al-Attas menjawab bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Qur’an, beliau tidak berani mengubahnya. Namun, dengan catatan, sebutan tersebut bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai, Kafir!”. Kaum Muslim cukup memahami bahwa mereka kafir dan bukan Muslim (Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema Insani), thn 2004, h. 14).

Baru-baru ini, berbagai polemik, spekulasi, tuduhan, dan cibiran timbul dari hasil bahtsul masa’il tentang penggantian sebutan kafir menjadi muwathin. Sebagai umat yang menjunjung tinggi adab dan akhlak, tentu kita harus berhati-hati dan bijaksana dalam melontarkan pendapat ataupun komentar. Tidak boleh gegabah.

Penggantian sebutan kafir digagas karena katanya dalam istilah tersebut mengandung kekerasan teologis serta dalam fikih siyasah tidak ditemukan istilah non-Muslim untuk mereka yang tinggal di negara Indonesia yang didasarkan atas kesepakatan antara Muslim dengan non-Muslim ini. Statusnya tetap kafir, namun sebutannya saja yang diganti.

Hal inilah yang mengundang kontroversi. Perlukah sebutan itu diganti? Menurut Humboldt, dalam suatu istilah, kata atau bahasa terkandung makna dan memengaruhi worldview (pandangan hidup) seseorang atau suatu bangsa (lihat Wilhelm von Humboldt, On Language: On the Diversity of Human Language Construction and it’s Influence on the Mental Development of the Human Species, ed. Michael Losonsky, transl. Peter Heath, (Cambridge: Cambridge University Press), thn. 1999, h. 60).

Term “kafir” yang merupakan isim fa’il dari kafara, kufr dan kufranan yang artinya “lawan dari iman”, “menutupi”, “menghalangi” atau “mengingkari” (Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif), t.t., h. 3897) memiliki konotasi makna yang negatif karena sikap orang yang menutupi, menghalangi atau mengingkari kebenaran dalam konteks apapun, khususnya akidah, adalah jelas merupakan suatu keburukan, bahkan kejahatan terbesar dalam Islam. Inilah nilai penting dan worldview yang tersemat di dalamnya.

Penerapan istilah yang tepat dengan makna yang juga tepat sangatlah krusial agar pandangan kita terhadap kandungan yang ada di dalamnya tidak luntur atau tidak bergeser. Maka dari itu, para ilmuwan bahasa dari kalangan Muslim selalu menyusun leksikon secara berkala guna menjaga orisinalitas bahasanya. Salah satu yang termasyhur adalah Lisan al-Arab-nya Ibn Manzhur.

Karenanya, penukaran panggilan kafir dengan muwathin menjadi bermasalah dalam aspek ini sebab kata “kafir” dalam konteks yang sedang dibahas ini bersangkutan dengan agama, sedangkan sebutan “muwathin“ hanya berarti “warga negara” saja, menyamakan semua orang dengan memisahkan atau meniadakan agamanya.

Padahal, meski di negara ini hak dan kewajiban antara Muslim dan non-Muslim dinilai setara, tetapi dalam pandangan Islam sejatinya Muslim dengan non-Muslim itu tidak sama (lihat Surat al-Sajdah ayat 18, al-Bayyinah ayat 6-7), maka dalam hak dan kewajibannya pun terdapat perbedaan. Namun hal ini tidak berarti meninggalkan sikap adil dan toleransi antarpemeluk agama.

Di negara Islam dahulu, meskipun istilah dan label kafir melekat bagi non-Muslim yang tinggal di dalam wilayahnya, mereka tetap diperlakukan sebagai warga negara dengan berhak mendapatkan jaminan keamanan, perlindungan hukum, bebas memeluk agamanya dan tidak diganggu ketika beribadah di tempat sucinya, berhak memperoleh pendidikan, dan lainnya. Sebutan bagi mereka adalah kafir dzimmi.

Secara umum, saat ini hukum waris diatur oleh negara. Bilamana non-Muslim dipandang sama, maka ia menjadi berhak untuk mendapatkan harta warisan dari Muslim. Sedangkan dalam Islam tidak diperkenankan.

Pun dalam hukum menikah secara resmi (dicatat oleh negara), kalau semua warga dianggap sama haknya, maka laki-laki non-Muslim berhak menikahi wanita Muslim. Hal ini bertentangan dengan hukum pernikahan dalam Islam.

Oleh karena itu, meskipun negara ini bukan negara Islam dan non-Muslim yang hidup berdampingan saat ini tidak masuk dalam kategori kafir dzimmi sepenuhnya, kalau tetap meyakini bahwa mereka yang tidak beriman itu statusnya adalah kafir, maka seharusnya predikat kafir itu tidak boleh dihilangkan.

Islam tidak memisahkan urusan sosial atau berwarganegara dengan agamanya. Lantaran itu, walaupun bentuk dan sistem negara berubah lalu menyamaratakan semua warganya tanpa memandang agama, seorang Muslim tidak perlu ikut mengubah pandangan hidupnya dan menghapus sebutan kafir bagi non-Muslim. Jika ahli fikih perlu membuat penamaan baru, maka predikat kafir itu tidak usah ditanggalkan. Sesuai kata Profesor al-Attas, istilah itu adalah istilah Al-Quran. Jadi siapa berani mengubahnya?*

Oleh: Muhamad Ridwan

Penulis alumni PAAP Unpad, Alumni Ma’had al-Imarat Bandung, mahasiswa STAIPI Bandung

HIDAYATULLAH

Meski Semua Manusia Pasti Mati, Namun Tak Ada yang Senantiasa Mengingat Kematian

SETIAP jiwa suatu saat nanti pasti akan mengalami kematian. Namun, kesibukan sehari-hari seringkali membuat orang terlena dan lupa bahwa besok atau lusa akan dipanggil oleh Allah SWT.

Sampai tiba suatu saat, malaikat datang menjemput, dan pupuslah semua kelezatan dunia beralih menuju kehidupan yang abadi di sisi-Nya.

Orang beriman sejatinya tak usah takut menghadapi mati, karena mati adalah sebuah keniscayaan. Yang harus ditakuti adalah apakah amal kita sudah cukup untuk menghantarkan pada kebahagiaan di akhirat? Abu Bakar ra. saat ditanya oleh seorang sahabat, berapa kali Anda ingat kematian dalam sehari? Abu bakar menjawab, “Saya mengingat mati manakala mata saya terjaga”. Itulah sikap seorang teladan dalam mengingat kematian yang dengannya dapat menghantarkan pada puncak iman yang luar biasa.

Hidup di dunia hanyalah sementara, nikmat dunia yang diberikan Allah SWT masih amat sedikit. Dari 100 rahmat-Nya hanya satu rahmat yang diberikan ke dunia untuk dinikmati seluruh penghuni. Sehingga orang yang cerdas, adalah mereka yang mengarahkan hawa nafsu dan beramal untuk mempersiapkan kematian. Sementara orang yang bodoh, adalah mereka yang diperbudak hawa nafsu, berangan-angan mendapatkan pahala, serta mati-matian mengejar dunia siang dan malam dengan melupakan kehidupan akhirat.

Dalam sebuah riwayat disebutkan Abdullah bin Umar ra. mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah SAW tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ ‘Lalu Mukmin manakah yang paling cerdas?’ tanya lelaki itu lagi.

Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. ” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)

Salah seorang ulama mengatakan, siapa orang masuk liang kubur tanpa membawa amal banyak, maka seolah-olah ia mengarungi lautan tanpa perahu. Ia akan tenggelam diterpa badai.

Jadi, mengingat kematian haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian waktu kehidupan yang dijalani. Mengingat kematian tidak hanya sekadar mengingat, namun harus diikuti dengan amalan yang kontinyu dan sungguh-sungguh. Amalan untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat, yang hanya memiliki dua tempat yakni kebahagiaan (surga) dan penderiaan (neraka).

Nabi bersabda “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. al-Hakim).

Lalu, apa saja amalan yang bisa diperbuat agar senantiasa ingat kematian? Berikut di antaranya:

1. Sering mengunjungi orang sakit

Saat mengunjungi orang sakit, selain memberikan doa agar diberikan ketabahan dalam menghadapi cobaan Alloh, juga harus mendapatkan pelajaran bahwa sakit atau kematian bisa saja datang kepada siapa saja yang Alloh kehendaki tanpa memandang orang, tempat dan waktu.

2. Mengunjungi orang mati

Saat mengunjungi orang yang meninggal, selain mendoakan kepada jenazah dan keluarga yang ditinggalkan, juga harus menjadikan pelajaran atau nasehat bahwa kematian merupakan rahasian Alloh yang tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya kematian.

3. Ziarah kubur

Disunahkan menziarahi kubur, sebagai momentum untuk mendoakan dan mengingat kematian.

4. Memantapkan iman kepada hari akhir

5. Mentadabburi ayat-ayat Allah terkait azab neraka dan nikmat surga. []

ISLAM POS