Hukum Zakat Fitrah Menggunakan Beras Kualitas Rendah

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah membayar zakat fitrah, tetapi akibat dari melonjaknya harga membuat sebagian orang tidak mampu membeli beras kualitas tinggi dan membayarkan beras dengan kualitas rendah. Lantas, bagaimanakah hukum zakat fitrah menggunakan beras kualitas rendah?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan bahwasanya syarat bahan makanan yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah harus tidak mengandung cacat karena akan diberikan kepada orang lain, bahkan bila mengeluarkannya dengan kualitas yang mutunya paling utama maka ini adalah yang lebih baik.

Sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar Juz 1, halaman 189 berikut,

وَاعْلَم أَن شَرط الْمخْرج أَن لَا يكون مسوساً وَلَا معيبا كَالَّذي لحقه مَاء أَو نداوة الأَرْض وَنَحْو ذَلِك كالعتيق الْمُتَغَيّر اللَّوْن والرائحة وَكَذَا المدود. اھ

Artinya : “Ketahuilah, bahwa syarat bahan makanan yang dikeluarkan untuk zakat fitrah harus tidak jelek dan tidak cacat. Seperti bahan makanan yang terkena air atau terkena tanah yang berair dan lain sebagainya. Demikian juga makanan yang sudah berubah warna dan baunya. Demikian juga tidak boleh yang berulat.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa syarat bahan makanan pokok yang boleh untuk zakat adalah yang tidak mengandung cacat karena akan diberikan kepada orang lain, sehingga seseorang diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan beras yang berkualitas rendah, apabila masih tergolong layak untuk dimakan dan tidak mengandung cacat.

Meskipun yang lebih utama adalah mengeluarkan zakat fitrah dengan kualitas terbaik. Sebagaimana dalam penggalan beberapa kitab fikih berikut ini; 

و الواجب صاع سليم من العيب من غالب قوت البلد 

Artinya : “Yang wajib adalah mengeluarkan satu sha’ beras yang selamat dari cacat  ”

و يجزئ القوت الاعلى عن القوت الادنى لانه زاد خيرا و لا عكسه لنقصه عن الحق

Artinya : “Dan mencukupi sebagai zakat fitrah makanan pokok berkualitas tinggi sebagai ganti dari makanan kualitas rendah, karena menambah terhadap kebaikan, tidak sebaliknya karena kurangnya dari hak yang wajib dipenuhi.”

Demikian penjelasan mengenai hukum hukum zakat fitrah menggunakan beras kualitas rendah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. 

BINCANG SYARIAH

Fatwa Ulama: Mengapa Disebut “Salat Tarawih”?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatusy syaikh, di antara ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan adalah salat tarawih. Apa maksud (makna) dari “tarawih” dan tahajud?

Jawaban:

Salat “tarawih” disebut juga dengan “qiyam Ramadan” (salat sunah yang dikerjakan di bulan Ramadan) yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa mengerjakan ‘qiyam Ramadan’ karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Disebut dengan salat “tarawih” karena kaum muslimin pada zaman dahulu memperpanjang (memperlama) pelaksanaan salat tersebut. Setiap kali mereka salat empat rakaat (dengan dua kali salam), mereka istirahat (استراحوا) sebentar kemudian melanjutkan salat kembali.

Berdasarkan penjelasan tersebutlah dimaknai hadis yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan salat malam di bulan Ramadan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat lagi, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Hadis di atas dimaknai dengan salat empat rakaat dengan dua kali salam. Akan tetapi, terdapat jeda (istirahat sebentar, pent.) antara empat rakaat dan empat rakaat berikutnya.

Salat tarawih ini hukumnya sunah yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam salat bersama para sahabatnya selama tiga malam kemudian mengakhirkannya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

Hanya saja, aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian.” (HR. Bukhari 1129 dan Muslim no. 761)

Hendaknya bagi kaum muslimin untuk tidak meremehkan salat tersebut untuk meraih pahala orang-orang yang mengerjakan qiyam Ramadan, yaitu ampunan atas dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan hendaknya kaum muslimin menjaga pelaksanaan salat tersebut bersama imam (tidak mengerjakan sendirian, pent.), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

Barangsiapa yang salat bersama imam hingga selesai, diberikan pahala baginya salat selama satu malam.” (HR. Tirmizi no. 806, An-Nasa’i no. 1605, dan Ibnu Majah no. 1327)

Tidak diragukan lagi bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam pelaksanaan salat tarawih pada zaman sekarang ini, baik yang dilakukan oleh imam maupun yang selainnya. [1, 2]

Baca juga: Fikih Ringkas Shalat Tarawih

***

@Rumah Kasongan, 20 Ramadan 1444/ 11 April 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Beberapa kesalahan yang terjadi pada saat pelaksanaan salat tarawih telah beliau jelaskan di fatwa yang telah kami terjemahkan sebelumnya di tautan berikut ini:

Inilah Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih (muslim.or.id)

[2] Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadaat, hal. 286-287, pertanyaan no. 180.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84338-mengapa-disebut-salat-tarawih.html

Kemenag Ingatkan Jamaah Haji Tidak Bawa Jimat, Hukumannya Berat karena Masuk Sihir

Jamaah haji Indonesia diimbau tidak membawa barang-barang yang dilarang ke Tanah Suci Makkah. Pasalnya, jika tertangkap jamaah haji bisa dikenakan hukuman berat.

Hal ini disampaikan Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Ditjen PHU Kementerian Agama Subhan Cholid. Ia mengatakan, banyak jamaah haji Indonesia yang kedapatan membawa barang-barang yang dilarang seperti jimat, rokok dalam jumlah besar, dan obat kuat.

“Yang sering dibawa jamaah dan itu dilarang oleh Arab Saudi adalah jimat. Jimat itu bisa kain atau kertas yang ditulis Arab,” kata Subhan Cholid, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Kamis (13/4/2023) dikutip laman Sindo.

Menurut Subhan, kasus jamaah haji yang tertangkap karena kedapatan membawa jimat selalu terjadi setiap penyelenggaraan haji. Di Indonesia jimat mungkin dianggap sebagai benda biasa-biasa saja, tetapi di Arab Saudi sangat dilarang karena masuk kategori sihir.

“Mohon kepada jamaah sekalian hal-hal itu ditinggalkan saja. Sebaiknya ditinggal di rumah dan tidak usah dibawa,” tegasnya.

Subhan menyebut, jimat di Arab Saudi, sudah dianggap mendekati syirik. Perbuatan syirik atau sihir di Arab Saudi itu bisa dikenakan pidana.

Bahkan, bisa dikenai hukuman maksimal yakni hukuman mati. “Berangkat niatkan untuk ibadah haji serahkan kepada Allah yang akan memberikan perlindungan,” katanya.

Subhan mengakui, tidak bisa memantaunya secara langsung. Sebab, jimat dibuat bukan dari bahan yang dilarang. “Ya biasanya kertas, ada beberapa tulisan dan biasanya disimpan di tempat yang tak lazim. Dimasukkan dalam sabuk, dompet atau lainnya,” tambahnya.

Selain jimat, kata Subhan, baramg lainnya yang juga dilarang adalah rokok. Menurut dia, banyak jamaah haji Indonesia yang membawa rokok di luar batas normal atau batas kewajaran.

“Bawa rokok tidak dilarang. Tapi ketika terlalu banyak bawa rokok sampai satu koper lebih itu tetap dilarang dan bisa dikenakan pasal penyelundupan,” katanya.

Untuk itu dia mengimbau kepada jamaah agar membawa rokok secukupnya saja. Sebab jika bawa terlalu banyak bisa dikenai pasal penyelundupan.

“Semisal satu hari konsumsi rokok satu bungkus, dan estimasi di sana itu 41 hari ya bawa 2 atau 3 slop. Itu masih dalam batas wajar,” sambungnya.

Subhan menambahkan, selain jimat dan rokok hal lainnya yang dibawa jamaah ke Tanah Suci adalah obat kuat.

“Sebaiknya bawa barang – barang yang sudah direkomendasikan pemerintah saja, agar aman dan bisa fokus menunaikan ibadah haji di Tanah Suci,” tutupnya.*

HIDAYATULLAH

Ayat Seribu Dinar

Ayat seribu dinar, benarkah memiliki keutamaan khusus jika dibaca? Simak penjelasan lengkapnya di artikel berikut.

Keutamaan khusus pada ayat atau surah tertentu

Beberapa ayat atau surah dalam Al-Qur’an disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan faedah tertentu. Misalnya adalah surah Al-Fatihah yang disebutkan sebagai salah satu rukun salat.

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah salat seorang hamba yang tidak membaca surah Al-Fatihah.” (HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)

Atau ayat kursi yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menjadi sebab masuk surga.

من قرأ دبر كل صلاة مكتوبة آية الكرسي لم يمنعه من دخول الجنة إلا أن يموت

Barangsiapa membaca ayat Kursi setiap selesai salat fardu, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga, kecuali kematian.” (HR. An-Nasai no. 9848)

Para ulama memperbincangkan validitas sanadnya. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah mengonfirmasi validitas sanad hadis ini dengan mengatakan,

فهو إسناد على شرط البخاري

Sanad hadis ini sesuai dengan syarat Imam Bukhari.” (Tafsir Ibn Katsir, 1: 677).

Bahkan Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

مَا تَرَكْتُهَا عَقِيبَ كُلِّ صَلَاةٍ

Aku tidak pernah meninggalkan membaca ayat Kursi setelah salat.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 294)

Begitu pun beberapa keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus untuk beberapa surah atau ayat dalam Al-Qur’an. Dan penyebutan keutamaan ini harus berdasarkan hadis yang sahih.

Tujuan utama Al-Qur’an diturunkan

Akan tetapi, ketiadaan keutamaan khusus tidak lantas menjadikan surah lain tidak utama. Setiap huruf dan ayat dalam Al-Qur’an adalah mulia. Karena tujuan diturunkan Al-Qur’an oleh Allah ‘Azza Wajalla adalah agar seseorang bisa mengamalkan dan menadaburinya. Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan,

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا

Sesungguhnya Al-Qur’an turun agar diamalkan. (Namun disayangkan, sebagian) manusia menjadikan pengamalan Al-Qur’an sekedar bacaan saja.” (Akhlaq Hamalat Al-Quran, hal. 38).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يؤتى بالقرآن يوم القيامة وأهله الذين كانوا يعملون به تقدمه سورة البقرة، وآل عمران

Al-Qur’an akan didatangkan di hari kiamat bersama ahlinya yaitu orang-orang yang beramal dengannya. Dan yang pertama kali adalah surah Al-Baqarah dan Ali Imran.” (HR. Muslim no. 1338)

Allah ‘Azza wajalla berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapat pelajaran.” (QS. Sad: 29)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan,

هذه الحكمة من إنزاله، ليتدبر الناس آياته، فيستخرجوا علمها ويتأملوا أسرارها وحكمها، فإنه بالتدبر فيه والتأمل لمعانيه، وإعادة الفكر فيها مرة بعد مرة، تدرك بركته وخيره، وهذا يدل على الحث على تدبر القرآن، وأنه من أفضل الأعمال، وأن القراءة المشتملة على التدبر أفضل من سرعة التلاوة التي لا يحصل بها هذا المقصود.

Inilah hikmah Al-Qur’an diturunkan, agar manusia merenungi dan menghayati ayat-ayat di dalamnya, mengurai kandungan, dan merenungi hikmah atau rahasia tentangnya. Sesungguhnya dengan cara menghayati kandungan maknanya, berusaha untuk mengulang-ulang perenungan, niscaya akan kau dapati keberkahan dan kebaikannya. Dan ini menunjukkan motivasi agar seseorang semangat dalam menadaburi Al-Qur’an. Sungguh hal tersebut (tadabur Al-Qur’an) adalah sebaik-baik amalan. Membaca Al-Qur’an disertai dengan menghayati (tadabur) maknanya itu lebih baik dibandingkan dengan membaca cepat tanpa perenungan (tadabur).” (Tafsir As-Sa’diy)

Ayat Seribu Dinar?!

Bagaimana dengan ayat yang sering orang sebut dengan ayat seribu dinar? Yaitu firman Allah ‘Azza wajalla,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan ia rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Adakah keutamaan khusus ayat seribu dinar? Kami tidak menjumpai hadis ataupun kitab tafsir para ulama yang menyebutkan bahwa ayat seribu dinar ini jika diamalkan secara khusus dengan tata cara tertentu bisa mengentaskan kesulitan seseorang. Namun, selama seseorang bertakwa kepada Allah, maka Allah Ta’ala akan bebaskan ia dari segala kesulitan, baik dunia maupun akhirat.

Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma melewati ayat 2 dalam surah Ath-Thalaq, beliau mengatakan,

ينجيه من كل كرب في الدنيا والآخرة

Allah ‘Azza wajalla akan membebaskannya dari setiap kesulitan dunia dan akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 146).

Rabi’ bin Haitsam rahimahullah mengatakan,

“Maksud dari ayat (يجعل له مخرجا) adalah (akan dibebaskan) dari seluruh kesulitan yang dianggap menghimpit oleh manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 146).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

ومن يتق الله فيما أمره به، وترك ما نهاه عنه، يجعل له من أمره مخرجا، ويرزقه من حيث لا يحتسب، أي: من جهة لا تخطر بباله

(Maksud adalah) barangsiapa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, maka Allah akan berikan jalan keluar untuk hamba tersebut dan memberi rezeki dari arah yang sebelumnya tidak disangka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 146)

Maka, tanpa harus seseorang membacanya dengan tata cara tertentu atau hitungan tertentu, ia akan mendapat jalan keluar dengan syarat bertakwa kepada Allah dan beramal saleh. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

من أكثر من الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا، ومن كل ضيق مخرجا، ورزقه من حيث لا يحتسب

Barangsiapa yang memperbanyak istigfar, maka Allah akan berikan jalan keluar dari segala macam kepayahan dan kesempitan. Dan Allah akan berikan rezeki dari arah yang tidak disangka.” (HR. Ahmad 1: 248)

Justru ketika seseorang membuat aturan baru dalam mengamalkan satu ayat tertentu dengan iming-iming tertentu yang tidak memiliki dasar yang sahih, maka ia telah berbuat bid’ah dalam agama. Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan contoh perbuatan bid’ah adalah,

ومنها: التزام الكيفيات والهيئات المعينة كالذكر بهيئة الاجتماع على صوت واحد. ومنها: التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة

Di antaranya adalah mengharuskan tata cara atau bentuk tertentu seperti zikir secara berjamaah dengan satu suara. Contoh lain adalah menentukan satu ibadah tertentu di waktu tertentu yang tidak ada dalil dalam syariat tentangnya (yang mengkhususkan ibadah tertentu di waktu tertentu).” (Al-I’tisham, 1: 53)

Maka, solusinya ketika seorang berharap penyelesaian segala kesulitannya, baik berupa utang atau yang lainnya adalah ia bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Atau setelah membaca Al-Qur’an ia berdoa kepada Allah, baik untuk urusan dunia maupun akhiratnya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قرأ القرآن فليسأل الله به

Barangsiapa membaca Al-Qur’an, maka mintalah (segala sesuatu) kepada Allah dengan bacaannya.” (Shahih At-Tirmidzi no. 2917)

Al-Mubarakfury rahimahullah mengatakan,

فليسأل الله به ـ أي فليطلب من الله تعالى بالقرآن ما شاء من أمور الدنيا والآخرة ـ أو المراد أنه إذا مر بآية رحمة فليسألها من الله تعالى، وإما أن يدعو الله عقيب القراءة بالأدعية المأثورة

Ayat ‘Maka hendaknya ia meminta kepada Allah dengan bacaan Al-Qur’annya’, maksudnya adalah Maka hendaklah ia meminta apapun yang ia inginkan kepada Allah, baik dunia maupun akhirat. Atau maksudnya adalah  ketika ia melewati ayat rahmat, maka mintalah rahmat kepada Allah. Atau maksudnya adalah berdoa kepada-Nya setelah membaca dengan doa-doa yang diajarkan (baik dalam Al-Qur’an maupun hadis).” (Tuhfatul Ahwadzi, 8: 189)

Semoga Allah Ta’ala berikan kita taufik untuk membaca dan mengamalkan Al-Qur’an. Aamiin …

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78949-ayat-seribu-dinar.html

Hukum Membayar Zakat Fitrah di Wilayah Lain

Dalam masyarakat Indonesia, orang yang wajib zakat fitrah, biasanya membayarkan zakatnya di daerah ia berdomisili. Namun, karena berbagai alasan seperti mudik dan lainnya, membuat sebagian orang membayar zakat di daerah lain. Lantas, bagaimanakah hukum membayar zakat fitrah di wilayah lain muzakki?

Dalam literatur kitab fikih, kasus di atas tergolong sebagai praktik naql al-zakāh (memindah zakat atau tidak membayar zakat di tempat domisili). Dalam praktik ini masih terjadi ikhtilāf (berbeda pendapat antara para ulama).

Mayoritas Ulama tidak memperbolehkan melakukan naql a-zakāh, baik antara jarak daerah domisili dan daerah tempat menyalurkan zakat berjarak masafah al-qasri (jarak yang diperbolehkan mengqasar shalat) atau tidak.

Sebagaimana dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidīn, juz 1, hal 217 berikut,

)مَسْأَلَةٌ : ج) : وُجِدَتْ الأَصْنَافُ أَوْ بَعْضُهُمْ بِمَحَلٍّ وَجَبَ الدَّفْعُ إِلَيْهِمْ ، كَبُرَتْ البَلْدَةُ أَوْ صَغُرَتْ وَحَرُمَ النَّقْلُ ، وَلَمْ يُجِزْهُ عَنِ الزَّكَاةِ إِلَّا عَلَى مَذْهَبِ أَبِي حَنِيْفَةَ اَلْقَائِلِ بِجَوَازِهِ ، وَاخْتَارَهُ كَثِيْرُوْنَ مِنَ الْأَصْحَابِ ، خُصُوْصاً إَنْ كَانَ لِقَرِيْبٍ أَوْ صَدِيْقٍ أَوْ ذِيْ فَضْلٍ وَقَالُوا : يَسْقُطُ بِهِ الفَرْضُ ، فَإِذَا نَقَلَ مَعَ التَّقْلِيْدِ جَازَ وَعَلَيْهِ عَمَلُ‍نَا وَغَيْرُنَا وَلِذَلِكَ أَدِلَّةٌ اهـ. وَعِبَارَةُ ب الرَّاجِحُ فِي الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكَاةِ ، وَاخْتَارَ جَمْعٌ اَلْجَوَازَ كَاِبْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلَاحِ وَغَيْرِهِمَا ، قَالَ أَبُو مَخْرَمَةَ : وَهُوَ اَلْمُخْتَارُ إِذَا كَانَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ ، وَاخْتَارَهُ الرُّوْيَانِيُّ وَنَقَلَهُ اَلْخَطَابِيُّ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْقٍ ، فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلَاءِ فِي عَمَلِ النَّفْسِ 

Artinya : “Dijumpainya seluruh atau sebagian yang berhak menerima zakat di tempat yang wajib menyerahkan zakat kepada mereka, baik daerahnya besar atau kecil dan haram naql al-zakāh, tidak boleh melakukan naql al-zakāh kecuali pendapat mazhab Abū Hanīfah yang membolehkan, dan pendapat ini yang di pilih mayoritas aṣhab al-Syafi’i, khususnya jika ditujukan kepada kerabat, teman atau orang yang memiliki keutamaan.

Aṣhab al-Syafi’i mengatakan kefarduannya bisa gugur, oleh karenanya kalau naql al-zakāh dengan bertaklid maka boleh, dan ini yang kami dan orang selain kami lakukan, karena memiliki beberapa dalil.

Pendapat Muhammad Bafaqih yang rajih dalam mazhabnya, tidak boleh naql al-zakāh, segolongan ulama sebagaimana Ibnu ‘Ujail, Ibnu Solah dan lainnya memilih pendapat boleh. Abu Mahramah berkata: kebolehan itu jika ditujukan kepada kerabat, Imam Al-Rūyānī memilih pendapat ini, begitu pula Imam Khathabi yang menukil dari mayoritas ulama, Ibnu Atiq pun tak ketinggalan. Maka boleh bertaklid kepada mereka yang membolehkan untuk konsumsi pribadi”

Dari ikhtilāf yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat pendapat ulama mengenai hukum hukum membayar zakat fitrah di luar wilayah atau domisili muzakki.

Pertama, menurut pendapat ashah, zakat yang dilakukan tidak sah secara mutlak dan berdosa.

Kedua, zakat yang dilakukan sah dan tidak berdosa.

Ketiga, zakat yang dilakukan sah, namum berdosa.

Dan terakhir, zakat yang dilakukan sah dan tidak berdosa, dengan catatan, jarak antara daerah domisili dan daerah tempat menyalurkan zakat kurang dari masafatu al-qasri (89 km). Namun, jika jaraknya mencapai masafatu al-qasri, maka zakatnya tidak sah dan berdosa.

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa boleh menunaikan zakat di luar daerah domisili, jika ditujukan kepada fakir di daerah tersebut yang lebih membutuhkan, kerabat, teman dekat atau orang yang memiliki keutamaan (orang berpengaruh).

Sebagaimana dalam kitab Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab, juz 6, halaman 221 berikut,

(وَالصَّحِيْحُ) أَنَّهُ لاَ فَرْقَ بَيْنَ النَّقْلِ اِليَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ وَدُوْنَهَا كَماَ صَحَّحَهُ الْمُصَنِّفُ كَذَا صَحَّحَهُ الجُمْهُوْرُ فَحَصَلَ مِنْ مَجْمُوْعِ الِخلاَفِ أَرْبَعَةُ أَقْوَالٍ (أَصَحُّهَا) لاَ يُجْزِئُ النَّقْلُ مُطْلَقًا وَلاَ يَجُوْزُ (وَالثَّانِي) يُجْزِئُ وَيَجُوْزُ (وَالثَّالِثُ) يُجْزِئُ وَلاَ يَجُوْزُ (وَالرَّابٍعُ) يُجْزِئُ وَيَجُوْزُ لِدُوْنِ مَسَافَةِ القَصْرِ وَلاَ يُجْزِئُ وَلاَ يَجُوْزُ إِلَيْهِا 

Artinya : “Menurut pendapat yang ṣahih, tak ada bedanya melakukan naql al-zakāh sejarak masafatul-qasri atau kurang, ini pendapat yang dishahihkan Imam Al-Nawawī dan Jumhur Ulama. Dari selisih pendapat yang ada, terdapat empat pendapat dalam hal ini.

Menurut pendapat aṣah, naql al-zakāh tidak mencukupi secara mutlak dan tidak boleh dilakukan, kedua, mencukupi dan boleh dilakukan, ketiga mencukupi dan tidak boleh dilakukan, keempat mencukupi dan boleh dilakukan ketika kurang dari masafatu al-qasri dan tidak boleh jika jarak masafah al-qasri”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama tidak memperbolehkan membayar zakat fitrah di luar domisili muzakki. Tetapi, dalam kondisi terdesak seseorang diperbolehkan untuk membayar zakat fitrah di luar daerahnya dengan bertaklid kepada imam yang membolehkan untuk konsumsi pribadi.

Demikian penjelasan mengenai hukum membayar zakat fitrah di luar wilayah muzakki. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

3 Doa Mustajab di 10 Hari Terakhir Ramadhan dari Syekh Muhammad Ali Jaber

Berikut ini 3 doa mustajab di 10 hari terakhir Ramadhan dari Syekh Muhammad Ali Jaber. Tak terasa di minggu ini kita sebagai umat Muslim sudah memasuki hari-hari akhir jalankan ibadah puasa Ramadhan. 

Tentunya ini merupakan peluang bagi kita, untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya. Perlu kita ketahui, pada 10 hari terakhir Ramadhan, terlebih ketika Lailatul Qadar menyapa, Allah SWT bahkan telah menyiapkan pahala yang berlipat ganda untuk para hamba-Nya. 

Meski demikian, belum ada yang bisa memastikan kapan malam mulia melebihi seribu bulan itu turun. [Baca juga:Tiga Waktu Mustajab Berdoa di Ramadhan  ]

Siapkan Diri Sambut Malam Lailatul Qadar 

Berlangsungnya Lailatul Qadar masih menjadi rahasia Ilahi. Bahkan banyak hadis hanya menyebut malam istimewa ini jatuh pada 10 malam terakhir Ramadan. Kerahasiaan ini ternyata mengandung maksud. Ini agar umat Islam semakin rajin beribadah di 10 malam terakhir demi meraih keberkahannya. 

Oleh karenanya kita sangat dianjurkan untuk mempersiapkan diri menyambut Lailatul Qadar. Caranya pun sangat banyak loh! Bisa dengan membaca Al-Qur’an atau berzikir serta i’tikaf di masjid.

3 Doa Mustajab di 10 Malam Terakhir

Selain itu momen penting pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini adalah turunnya Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Oleh karenanya sangat dianjurkan bagi umat muslim untuk memperbanyak doa.

Dan insya allah apabila doa kita khusyuk mengharapkan ridha-Nya, maka Allah SWT akan kabulkan. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Jaber, diantaranya ada 3 doa Rasulullah di 10 malam terakhir Ramadhan.

Doa pertama, yakni memohon agar Allah SWT memberikan kemurahan pada kita, agar dapat dipertemukan dengan kemuliaan malam Lailatul Qadar.

اللهم بلغنا ليلة القدر ووفقنا لقيامها إيمانا واحتسابا

Allahumma ballighna lailatul qadri, wafiqna liqiyamiha, imanan wahtisaban

“Ya Allah pertemukanlah kami dengan malam lailatul qadar dan berikanlah taufik kepada kami untuk beribadah qiyamul lail dengan iman dan mengharapkan pahala”

Doa kedua, yakni memohon belas kasih dan pengampunana atas segala dosa-dosa kita selama hidup di dunia.

اللهم انك عفو تحب العفو فاعف عنا

Allahumma Innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu anni

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Mulia, suka mengampuni kesalahan, maka ampunilah kesalahanku.”

Bahkan lewat doa ini, Rasulullah SAW memohon pengampunan dari Allah SWT. 

Dan untuk doa ketiga yakni jangan lupa memohon kepada Allah SWT untuk menyelamatkan kita dari siksaan api neraka.

اللهم اعتق رقابنا من النار

Allahumma A’thiq riqoobana minannar

“Ya Allah bebaskanlah kami dari api neraka”

Demikian 3 doa mustajab di 10 hari terakhir Ramadhan dari Syekh Muhammad Ali Jaber. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kiai Cholil: Umroh di 10 Hari Terakhir Ramadhan Lebih Baik

Fadhilah orang yang umroh di bulan Ramadhan sama seperti fadhilah berhaji.

Salah satu keutamaan melakukan umroh di bulan Ramadhan adalah nilainya yang dihitung setara dengan pelaksanaan haji. Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Cholil Nafis menyebut umroh di 10 hari terakhir Ramadhan lebih baik dari 10 hari pertama dan kedua.

Ia menyebut ada suatu riwayat tentang perempuan anshor yang bertemu Nabi Muhammad SAW. Dalam pertemuan itu Nabi bertanya, “Mengapa engkau tidak melaksanakan haji?”

Perempuan tersebut menjawab, “Aku hanya punya dua unta. Satu dipakai haji suami dan anak, sementara yang satu lagi digunakan sebagai alat transportasi menyiram kebun kurma.”

Atas jawaban itu, Rasulullah pun mengatakan,” Nanti ketika masuk bulan Ramadhan berumrohlah, karena fadhilahnya orang yang umroh di bulan Ramadhan sama seperti fadhilah berhaji, atau seperti haji bersama Rasulullah SAW.”

“Memang Nabi tidak menyebutkan, apakah di 10 pertama Ramadhan, kedua atau trakhir. Hanya saja, 10 terakhir Ramadhan lebih utama dari 10 pertama dan kedua,” kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (9/3/2023).

Di 10 hari terakhir Ramadhan, ada begitu banyak momen penting. Waktu ini disebut sebagai waktu pembebasan dari api neraka. Selain itu, di waktu ini terjadi momen lailatul qadr atau malam yang mulia.

“Tentunya dengan 10 hari terakhir itu, logikanya tentu lebih baik, karena pahala dilipatgandakan. Artinya tidak hanya umrah, setiap kebaikan yang dilakukan di 10 terakhir Ramadhan menambah keutamaan ibadah yang dilipatgandakan Allah SWT,” ujar Kiai Cholil.

Selanjutnya, ia juga menyebut bagi setiap Muslim yang ingin melaksanakan umrah Ramadhan harus menyiapkan niat dengan benar. Bukan untuk rekreasi, tapi karena Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Selain itu, ilmu ibadah umroh juga harus dikuasai. Harapannya, pelaksanaan ibadah ini akan semakin diresapi dan dihayati, yang berujung pada meningkatnya keimanan seorang Muslim. 

IHRAM

Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal

Berbagai pertanyaan masuk ke meja redaksi muslim.or.id, berkaitan dengan zakat mal. Untuk melengkapi dan menyempurnakan pemahaman tentang zakat mal tersebut, maka berikut ini kami ringkas satu tulisan ustadz Kholid Syamhudi dari majalah As Sunnah edisi 06 tahun VII/2003M terkait syarat wajib zakat mal dan cara mengeluarkannya.

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat mal adalah sebagai berikut:

  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Berakal dan baligh
  4. Memiliki nishab

Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat mal bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat mal dengan dasar firman Allah,

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)

Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.

Syarat-syarat nishab

  1. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
  2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani)

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.

Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkan Zakat Mal

1. Nishab emas

Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas
Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi)

Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.

Contoh:
Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2. Nishab perak

Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3. Nishab binatang ternak

Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)

Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:

a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor.
Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.

b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah SapiJumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor1 ekor musinah
60 ekor2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor2 ekor musinnah
90 ekor3 ekor tabi’
100 ekor2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah

Keterangan:

  1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
  2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
  3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.

c. Kambing

Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah KambingJumlah yang dikeluarkan
40 ekor1 ekor kambing
120 ekor2 ekor kambing
201 – 300 ekor3 ekor kambing
> 300 ekorsetiap 100, 1 ekor kambing

4. Nishab hasil pertanian

Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Satu wasaq setara dengan 60 sha’ (menurut kesepakatan ulama, silakan lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/364). Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ADVERTISEMENT

“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)

Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg

5. Nishab barang dagangan

Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:

1) Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
2) Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
3) Nilainya telah sampai nishab.

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – Hutang:

Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000

Jadi jumlah harta zakat adalah:

Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000

Zakat yang harus dibayarkan:

Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

6. Nishab harta karun

Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)

Cara Menghitung Nishab

Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?

Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468).

Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya.

Demikian tulisan singkat tentang syarat wajib zakat mal dan cara mengeluarkannya, mudah-mudahan bermanfaat.

***

Diringkas dari tulisan: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan ulang oleh muslim.or.id

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/367-syarat-wajib-dan-cara-mengeluarkan-zakat-mal.html

Enam Hal yang Tidak Membatalkan I’tikaf Meski Keluar dari Masjid

Tinggal di masjid selama bulan Ramadhan adalah bagian dari tata cara i’tikaf yang benar, menurut ulama ada enam hal yang yang tidak membatalkan i’tikaf meski keluar dari masjid.

Pada dasarnya bagi siapa saja yang melakukan i’tikaf tidak boleh baginya keluar dari masjid. Jika ia keluar dari masjid tanpa ada keperluan, maka batal lah itikafnya. Karena i’tikaf adalah diam di masjid dalam waktu tertentu, jika ia meninggalkan masjid sebelum selesai waktunya maka ia telah melakukan perkara yang menafikan itikaf itu. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/477)

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي المَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا» (رواه البخاري)

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, ”Dan jika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam benar-benar memasukkan kepala beliau kepadaku sedangkan beliau tetap di masjid, maka aku pun meyisir rambut beliau. Dan beliau tidak memasuki rumah kecuali untuk keperluan jika beliau melakukan itikaf.” (Riwayat Al Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bahwa siapa yang melakukan i’tikaf tidak menyibukkan diri kecuali berdiam diri di masjid, baik untuk melaksanakan shalat-shalat, membaca Al Quran maupun berdzikir. Dan tidak keluar kecuali bagi siapa yang memiliki keperluan. (Syarh Shahih Al Bukhari li Ibni Baththal, 4/165)

Nah, apa saja hal-hal yang membolehkan seorang yang beriitikaf untuk keluar dari masjid dan hal itu tidak membatalkan itikafnya?

Buang Hajat

Dibolehkan bagi siapa saja yang beritikaf untuk keluar dari masjid dalam rangka membuang air besar maupun air kecil. Perkara ini merupakan ijma seluruh umat Islam. Demikian juga boleh untuk mandi wajib. Membuang hajat di rumah tetap dibolehkan meski di masjid tersedia tempat untuk itu. Tidak disyaratkan pula untuk boleh keluar dalam rangka membuang hajat jika hajatnya sangat mendesak, karena hal itu bisa menimbulkan madharat. Dan tidak pula diharuskan cepat-cepat dalam membuang hajatnya itu. Namun jika harus berkali-kali membuang hajat dikarenakan diare, menurut mayoritas ulama madzhab Syafii tidak merusak i’tikaf. (Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/490,491)

Makan dan Minum

Dalam madzhab Syafii dibolehkan seseorang keluar dari masjid menuju rumah ketika ia melakukan itikaf jika itu dilakukan untuk makan. Perkara itu dibolehkan meskipun ia bisa melakukannya di masjid. Demikian menurut pendapat mayoritas dan pendapat ini merupakan pendapat shahih.

Adapun minum jika seseorang merasa haus sedangkan di masjid tidak tersedia air minum, maka ia boleh pulang ke rumahnya. Namun jika tersedia air minum di masjid, maka ada perbedaan para ulama mengenai hukumnya, yang paling shahih adalah tidak boleh keluar dari masjid. (Al Majmu` fi Syarh Al Muhadzdzab, 6/434)

Shalat Jenazah

Dalam madzhab Syafii ada perbedaan antara itikaf yang hukumnya wajib seperti itikaf karena nadzar dengan i’tikaf yang hukumnya sunnah. Untuk itikaf yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan meski untuk melaksanakan shalat jenazah. Namun jika itikaf sunnah, boleh keluar untuk melaksanakan shalat jenazah. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/497)

Menjenguk Orang Sakit

Siapa saja yang melaksanakan itikaf boleh menjenguk orang yang sakit tatkala ia melaksanakan itikaf sunnah, hal itu karena masing-masing, baik itikaf maupun menjenguk orang sakit sama-sama sunnah, maka ia bisa memilih. Namun jika itikaf yang dikerjakan adalah itikah wajib, maka tidak boleh baginya meninggalkan masjid untuk menjenguk orang sakit. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 498, 499)

Sakit

Jenis sakit ada dua, yakni sakit yang ringan dan sakit yang berat. Jika seorang menderita sakit ringan seperti batuk, demam ringan dan lainnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk keluar dari masjid. Namun untuk penderita sakit berat di mana perlu tempat tidur dan pemeriksaan dokter, maka diperbolehkan keluar dari masjid. Namun apakah i’tikafnya terputus? Pendapat yang paling shahih menyatakan bahwa itikafnya tidak terputus. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/504)

Lupa

Jika seseorang keluar dari masjid karena lupa tatkala ia melakukan itikaf, maka I’tikafnya tidak batal. Dan pendangan ini adalah pendapat madzhab menurut mayoritas. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdab, 6/508)

Meski dibolehkan bagi siapa yang melakukan i’tikaf untuk keluar karena udzur, maka ketika ia memungkinkan untuk kembali ke masjid akan tetap ia memilih tidak kembali maka batallah itikafnya, hukumnya seperti orang yang keluar dari masjid tanpa ada udzur. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 6/510)*

HIDAYATULLAH

Kesejukan Pendingin Udara di Masjid Nabawi Pastikan Jamaah Tetap Nyaman Ibadah

Kerajaan Arab Saudi memberikan fasilitas terbaik untuk menciptakan kenyamanan bagi para para peziarah dan jamaah. Termasuk stasiun pendingin (AC) terbesar di dunia yang dipasang di dua masjid suci.

Dilansir dari Riyadh Daily, Jumat (14/4/2023), Stasiun Pendingin Udara Sentral terletak tujuh kilometer dari Masjid Nabawi. Stasiun ini memiliki area seluas 70 ribu persegi dan merupakan konsentrator terbesar di dunia untuk mendinginkan air.

Sistem stasiun pusat ini sangat efisien karena menyesuaikan tingkat pendinginan berdasarkan suhu luar ruangan untuk mempertahankan suasana yang konstan dan nyaman. Sistem ini juga menyegarkan udara karena kubah masjid dibuka dan ditutup pada waktu tertentu.

Stasiun ini, dengan enam pendingin berkapasitas masing-masing 3.400 ton dan mampu mendinginkan air hingga lima derajat, menggunakan mekanisme dan teknik terbaru untuk mendistribusikan air masuk dari stasiun dengan cara yang akurat, konsisten, dan otomatis.

Air masuk dari stasiun kemudian mencapai 151 unit pengolahan udara untuk didistribusikan dan didinginkan, dan masjid didinginkan dengan udara yang dipompa melalui pipa yang dihubungkan ke pilar masjid.

Siklus pendinginan air selesai setelah air kembali melalui pipa berinsulasi ke stasiun pusat. Pada saat yang sama, 436 misting fan dipasang di halaman Masjid Nabawi untuk membersihkan udara dan menurunkan panas agar jamaah merasa nyaman.

Jaringan kipas terus-menerus disterilkan untuk memastikan air bersih dari bakteri sehingga menjaga keselamatan para pengunjung. Badan Kepresidenan Umum untuk Urusan Masjid Nabawi bekerja dengan kader teknis dan teknik nasional khusus, untuk melaksanakan pekerjaan pemeliharaan yang diperlukan untuk stasiun tersebut, memantau kinerjanya, memperbarui bagian sistem yang diperlukan, dan melayaninya sepanjang waktu untuk memastikan seluruhnya beroperasi dengan efisiensi tertinggi.

IHRAM