Kapuskes Haji Imbau Jamaah Atur Ritme Saat Ibadah, Waspadai Puncak Armuzna

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Haji mengimbau calon jamaah haji untuk mempersiapkan fisiknya jelang dan selama menunaikan ibadah di Tanah Suci. 

Hal ini perlu dilakukan, agar jamaah dapat menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji dan meraih kemabruran.

Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) Haji, Liliek Marhaendro Susilo, meminta jamaah agar mengatur ritme ibadahnya saat berhaji.

Salah satunya dengan membatasi aktivitas ibadah sunnah menjelang puncak haji atau yang dikenal dengan masa Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina).

Berdasarkan data yang ada, dia menyebut angka kematian tertinggi jamaah haji ini terjadi pada masa Armuzna, sampai dengan lima hari pasca-Armuzna. 

Angka kematian ini disebabkan oleh kelelahan yang dirasakan jamaah menjelang dan pascakegiatan di Armuzna.

“Saya berharap ini semestinya tidak terjadi. Periode Armuzna ini seharusnya menjadi puncak kebugaran jemaah bukan puncak kelelahan,” ujar Liliek dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Rabu (12/4/2023).

Liliek menyebut jamaah hendaknya mengurangi aktifitas sunnah sebelum perjalanan Masyair. Salah satu tujuannya adalah agar kondisi fisik mereka saat di Armuzna dalam kondisi baik.

Tidak hanya itu, dia juga menyebutkan dalam beberapa tahun terkahir pelaksanaan ibadah haji ada beberapa penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi jemaah. 

Di antaranya, penyakit jantung, paru, dan stroke. Kebanyakan jemaah haji teridentifikasi mengalami penyakit tersebut di pemondokan pasca Armuzna.

Di sisi lain, Direktur Bina Haji Kementerian Agama (Kemenag) Arsad Hidayat mengingatkan ada lima titik kritis yang harus menjadi perhatian para Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). 

Lima titik tersebut yaitu titik kedatangan jamaah di bandara Madinah dan Jeddah, titik ketibaan jamaah di Makkah dan Madinah, titik di Makkah gelombang I, titik di Arafah, Muzdalifah dan Mina, serta titik saat tawaf Ifadah.

“Saya minta diatur betul semua supaya kondisi jamaah tetap fit agar bisa menjalankan semua rukun ibadah haji,” ucap Arsyad. 

IHRAM

Hukum-Hukum Berkenaan dengan Iktikaf

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد:

Ini adalah beberapa hukum dan faedah yang berkenaan dengan iktikaf yang sering ditanyakan. Aku (penulis) memohon agar Allah memberikan manfaat dari tulisan ini. Aku (penulis) katakan bahwa segala taufik itu datangnya dari Allah.

Iktikaf adalah menetap di masjid dengan niat ketaatan kepada Allah dengan tujuan khusus berdiam diri.

Iktikaf hukumnya sunah, tidak wajib, kecuali dengan sebab nazar. Sebagaimana firman Allah kepada Ibrahim ‘alaihi shalatu was salaam,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُود

Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS. Al- Baqarah: 125)

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُون

Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf 10 hari terakhir di bulan Ramadan hingga Allah mewafatkannya, kemudian istri-istri beliau beriktikaf setelah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, disyaratkan untuk wanita agar meminta izin walinya dan tidak menimbulkan fitnah.

Tujuan iktikaf adalah menata dan meluruskan hati di atas jalan menuju Allah, dan mengkoneksikan hati kepada Allah dan menyatukannya kepada Allah, ber-khalwat dengan-Nya, dan memisahkan diri dari segala kesibukan yang berhubungan dengan manusia. Memfokuskan kesibukan hanya kepada Allah, dengan zikir, cinta, dan menyambut-Nya, di tengah kegelisahan dan kekhawatiran hati. Kemudian disandarkannya semua hal tersebut kepada Allah, baik itu kegelisahan dan kekhawatiran, ia serahkan segala urusannya kepada Allah dengan zikir (mengingat-Nya), ber-tafakkur (memikirkan ayat-ayat Allah) untuk mendapatkan rida Allah, dan segala ibadah yang mendekatkannya kepada hal tersebut. Sehingga seorang insan melupakan kegundahgulanaannya dengan mengingat Allah, bukan sebaliknya melupakan semua itu dengan bertemu dengan makhluk (curhat, pent). Dengan sebab tersebut, Allah membuatnya tidak ada rasa khawatir akan hari yang penuh kesendirian di kubur yang tidak ada lagi pertemanan, bahwa tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain kedekatan dengan Allah. Hal ini adalah maksud iktikaf. (Perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah di Zadul Ma’ad)

Ahli fikih ijmak (sepakat) bahwa iktikaf tidak sah, kecuali di masjid, sebagaimana firman-Nya, “sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak iktikaf, kecuali di masjid, sehingga tidak termasuk rumah, sekolah, atau musala sebagai tempat iktikaf.

Iktikaf disunahkan di bulan Ramadan dan bulan lainnya, dan paling afdal dilakukan di bulan Ramadan, dikhususkan lagi 10 hari terakhirnya.

Tidak ada batasan untuk memperbanyak iktikaf, kecuali jika dia khawatir dengan sebab iktikaf tersebut menelantarkan dan menyibukkan keluarga, berdasarkan hadis,

 كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ

Cukuplah dosa bagi seseorang yang menyia-nyiakan orang yang bergantung padanya.” (HR. An-Nasa’i)

Maka, barang siapa yang memperbanyak iktikaf, wajib baginya mencari orang untuk memenuhi kebutuhannya, mencari orang untuk memenuhi kebutuhannya, mengantarkan makanan minuman yang dia butuhkan selama iktikaf di masjid.

Ulama berselisih pendapat mengenai berapa batas waktu paling sedikit untuk iktikaf. Dan yang paling sedikit selama sehari semalam, ini pendapat mazhab Malikiyah. Pendapat ini paling mendekati dalil-dalil yang ada, tidak didapatkan lebih kecil dari itu dari sunah yang ada.

Disyariatkan untuk masuk tempat iktikaf sebelum terbenam matahari hari ke-20 Ramadan, dan keluar setelah terbenam matahari pada hari terakhir Ramadan, jika sempurna, maka hari ke-30 atau pada saat pengumuman hari Id.

Barangsiapa yang berniat iktikaf kemudian meninggalkannya (karena suatu hal, pent), maka tidak ada dosa baginya, meskipun dia telah masuk tempat iktikaf dan telah menetap di dalamnya untuk beberapa saat. Karena iktikaf merupakan ibadah sunah, bukan wajib, sehingga dia hanya meninggalkan yang sunah, bukan yang wajib. Akan tetapi, hal tersebut makruh karena dia tidak melanjutkan niat baik dan semangat beramal yang telah dia miliki. Hendaknya tidak meninggalkan amal saleh yang telah diniatkan tanpa uzur kemudian ia menjadi kehilangan kesempatan beramal saleh, berdasarkan keumuman firman Allah,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُم

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Barangsiapa yang berniat iktikaf di 10 hari terakhir Ramadan, namun terhalang karena sesuatu hal, dianjurkan baginya untuk qada (mengganti) di bulan Syawal, sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

وَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِى الْعَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ

Dia (rasulullah, pent) meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan kemudian beriktikaf (qada, pent) di 10 hari pertama bulan Syawal.” (HR. Muslim)

Ketika mu’takif (orang yang iktikaf, pent) sakit, maka dia berhak keluar dari tempat iktikaf untuk berobat, walaupun iktikaf tersebut adalah wajib yang disebabkan nazar. Maka, sakit merupakan uzur untuk menghentikan iktikaf. Barangsiapa yang tidak mampu menyempurnakannya, maka: (1) Jika iktikafnya sunah, maka terhenti di situ iktikafnya. (2) Jika iktikaf nazar, diwajibkan qada setelah uzur tidak ada (hilang). Disunahkan untuk iktikaf yang sunah untuk menyempurnakannya setelah sembuh.

Tidak diperbolehkan iktikaf, kecuali di masjid yang ditegakkan salat jemaah di dalamnya, karena salat jemaah adalah wajib. Dan seseorang yang iktikaf di masjid yang tidak ditegakkan salat jemaah akan berpotensi meninggalkan salat jemaah yang wajib atau menyebabkan dia bolak-balik keluar (tempat iktikaf) untuk salat jemaah, dan hal tersebut bertentangan dengan iktikaf. Seorang yang iktikaf semestinya menetap di tempat iktikaf menegakkan ketaatan kepada Allah.

Masjid yang afdal untuk iktikaf adalah masjid Al-Haram, kemudian masjid Nabawi, kemudian masjid Al-Aqsha. Kemudian urutan masjid yang utama untuk iktikaf: masjid jami’, kemudian masjid yang bukan jami’, tetapi jemaahnya ramai. Mereka (ulama) berkata, kemudian masjid yang tidak membuat dia sering keluar dan lama keluar masjid.

Barangsiapa yang bernazar untuk iktikaf di masjid selain masjid yang tiga, boleh baginya untuk membayar nazar dengan iktikaf di masjid lainnya, karena semua tempat (selain 3 masjid) itu sama kedudukannya. Dalam hal ini  berlaku kaidah, “Bahwasanya jika yang utama dipilih, tidak boleh lagi yang selainnya.” Barangsiapa bernazar untuk iktikaf di masjid Al-Haram, maka wajib untuk iktikaf di sana, tidak boleh di masjid lain. Karena dari sisi keutamaan, masjid Al-Haram adalah yang paling utama dibandingkan masjid lainnya. Jika yang mafdhul dipilih (selain tiga masjid tersebut), maka boleh (iktikaf) di masjid yang afdal (tiga masjid yang utama).

Sah iktikaf di bagian-bagian masjid seperti halaman, menaranya, kamar yang berdempet dengan masjid, perpustakaannya, selama tempat tersebut masuk ke dalam bagian masjid dan melekat satu kesatuan dengan masjid, tidak terpisah, namun yang afdal adalah di dalam masjid.

Iktikaf tidak terputus dengan sebab pulang ke rumah untuk suatu keperluan, seperti menunaikan keperluan penting, wudu, mandi wajib, makan dan minum jika hal tersebut tidak tersedia untuknya di masjid. Dan juga seperti panggilan untuk keperluan darurat di rumah, maka dia berhak keluar kemudian kembali setelahnya ke masjid menyempurnakan sisa iktikafnya saja dan tidak perlu memulai lagi dari awal, kecuali jika iktikaf wajib karena sebab nazar, maka hendaknya qada apa yang telah ditinggalkannya.

Boleh bagi yang iktikaf menetapkan syarat-syarat dalam iktikafnya, berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang muslim itu memenuhi syarat-syarat (yang telah disepakatinya).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dihasankan Al-Albani)

Hal ini adalah kaidah umum yang termasuk di dalamnya iktikaf. Berdasarkan hadis Dhuba’ah bintu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berhajilah dan tetapkan syarat (dalam hatimu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarat dalam iktikaf seperti berniat iktikaf kemudian mengatakan, “Ya Rabb, kecualikan dari iktikafku untuk mengunjungi orang sakit dan menyaksikan jenazah.” Atau kalimat yang semisal dengan itu walau tanpa menyebutkannya dengan lisan. Adapun jika membuat syarat keluar iktikaf untuk shopping atau berbelanja, atau berdagang atau yang semisal dengan itu, maka syarat tersebut tidak sah tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama fikih.

Menjalankan iktikaf tanpa menetapkan syarat lebih afdal dan utama, kecuali jika ada kerabat dekat dalam kondisi sakit yang mana jika tanpa kunjungannya berpotensi memutus silaturahim. Hal ini dapat dikecualikan begitu pula menyaksikan jenazah.

Keluar dari tempat iktikaf karena suatu hal thabi’iyah atau syar’i seperti buang air kecil atau besar, wudu yang wajib, mandi wajib karena junub atau selainnya, makan atau minum, semua ini boleh jika tidak memungkinkan melakukannya di masjid. Adapun jika memungkinkan di masjid, maka terlarang untuk keluar. Misalnya, jika di masjid tersedia kamar mandi yang dapat digunakan untuk BAB atau BAK, bisa mandi di dalamnya. Atau jika ada yang mengantarkan makan atau minum untuknya ke masjid, tidak boleh keluar dalam kondisi seperti ini.

Keluar dari tempat iktikaf karena suatu ketaatan yang sifatnya wajib baginya seperti, mengunjungi orang sakit, menyaksikan jenazah, dan semisal hal tersebut, tidak boleh melakukannya, kecuali telah mensyaratkannya pada awal iktikaf. Misalnya, jika ada orang sakit dia hendak menjenguknya atau ada kekhawatiran seseorang akan meninggal, hendaknya mensyaratkan hal tersebut di awal iktikaf sehingga keluar untuk hal tersebut tidak masalah.

Tidak termasuk kebolehan bagi yang iktikaf keluar untuk menemui kerabat, kecuali dengan syarat istitsna (pengecualian) di awal. Jika telah menetapkan keluar iktikaf untuk suatu perintah tertentu, seperti salat jenazah atau memandikan mayit, atau mengkafaninya, maka tidak mengapa. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Sunah bagi yang iktikaf tidak menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, mencumbu dan mendatangi istri, tidak keluar untuk suatu keperluan, kecuali bagi yang menjadi keharusan baginya. Tidak ada iktikaf, kecuali dengan berpuasa. Tidak ada iktikaf, kecuali di masjid jami’.”(HR. Abu Daud, disahihkan Al-Albani)

Di antara hal yang membatalkan iktikaf adalah jima. Adapun menyentuh dan bercumbu atau yang semisal, jika sampai mengeluarkan sperma, maka iktikafnya rusak. Jika tidak sampai keluar, maka tidak merusak. Ini pendapat yang sahih.

Iktikaf tidak batal dengan tidur atau terlelap karena letih tafakkur. Begitu pula, gibah dan namimah, walau dosanya besar. Akan tetapi, akan mengurangi kadar iktikaf dan berakibat dosa bagi pelakunya.

Boleh bagi mu’takif: membasuh rambut, menyisirnya, mencukur kumis, memotong rambut ketiak dan kemaluan, dan memotong kuku. Hal tersebut termasuk dalam bab kebersihan dengan syarat tidak mengotori masjid.

Jika mu’takif keluar dari masjid karena uzur, maka boleh baginya mengunjungi orang sakit, atau salat jenazah, selama tidak harus menunggu lama atau berpindah tempat. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Makruh bagi mu’takif adalah setiap hal yang merusak tujuan dari iktikaf, dan segala sesuatu yang mengeluarkan dari tujuan dan hikmah iktikaf. Di antaranya: berkumpul dengan orang-orang (nongkrong, pent), kecuali berkumpul untuk salat jemaah, berlebihan dalam makan dan minum, banyak tidur dan bicara, kecuali yang penting, dan dengan hal selainnya yang tidak ada faedah dan manfaat di dalamnya.

Haram bagi mu’takif: jual beli, sewa-menyewa, barter, penyitaan, akad kerja sama, dan akad yang lainnya dari akad-akad di area masjid. Adapun jika di luar masjid, boleh bagi mu’takif keluar masjid dan membeli sesuatu yang perlu baginya, seperti membeli makanan untuk tanggungan keluarganya.

Makruh bagi mu’takif: kentut di masjid berdasarkan pendapat yang sahih, dan ini pendapat jumhur ulama.

Dianjurkan bagi mu’takif, laki-laki atau perempuan tertutup satu sama lainnya, bisa dengan tenda atau yang lainnya, lebih ditekankan hal ini dalam rangka menjaga hak wanita jika iktikaf di masjid jami’. Agar terhindar dari terlihat oleh pria.

Boleh bagi wanita istihadhah iktikaf berdasarkan pendapat yang sahih, sebagaimana juga dibolehkan salat, boleh pula puasa, boleh didatangi suaminya, begitu pula iktikaf, namun dengan syarat menjaga agar tidak mengotori masjid (oleh darah, pent).

Boleh bagi mu’takif menggunakan telepon untuk menelepon dalam rangka memenuhi kepentingan kaum muslimin jika telepon tersebut ada di masjid tempat dia iktikaf, karena dia tidak perlu keluar dari masjid. Adapun jika di luar masjid, tidak boleh keluar untuk hal tersebut. Jika mu’takif ditunjuk secara khusus untuk menunaikan hajat kaum muslimin, maka lebih utama baginya tidak iktikaf. Karena menunaikan hajat kaum muslimin lebih penting dibandingkan iktikaf, manfaatnya lebih dibutuhkan. Manfaat di saat orang membutuhkan lebih afdal dibandingkan manfaat yang sedikit, kecuali manfaat yang sedikit itu bagian dari kepentingan Islam dan bagian dari kewajiban.

Terdapat pada sebagian mu’takif memperbanyak jamuan dan berlebihan dalam makan dan minum. Dalam hal ini adalah bentuk berlebihan yang terlarang, bentuk kekenyangan yang mengantarkan ke rasa malas dari ibadah. Hal ini perkara yang sering diamati dan disaksikan di antara mu’takifMu’takif yang kenyang karena makanan dan minuman tampak pada dirinya rasa malas dari menegakkan ibadah. Jika dia melakukannya, maka dia kehilangan khusyuknya hati yang merupakan inti dari ibadah. Hendaknya bagi mu’takif mempersedikit makan dan minum dan mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Al-Albani)

Terlarang bagi pemuda untuk iktikaf tanpa izin walinya. Wajib bagi anak meminta izin orang tuanya jika ingin iktikaf. Jika diizinkan, maka kebaikan untuknya. Jika tidak, maka tidak boleh iktikaf tanpa rida orang tua.

Di antara perkara yang bertolak belakang dengan ruh iktikaf adalah berkumpulnya pemuda di tempat iktikaf tanpa faedah, bisa dalam bentuk ngobrol tidak berfaedah atau main gadget, atau hal lain yang tidak ada manfaat. Hal tersebut bertabrakan dengan maksud dari iktikaf itu sendiri. Oleh karena itu, bagi pemuda hendaknya bersungguh-sungguh dalam ketaatan pada Allah. Jangan buang-buang waktu iktikaf untuk hal yang tidak ada kebaikan dan manfaat.

Wanita tidak boleh iktikaf, kecuali jika terpenuhi 2 syarat: 1) izin mahram dan 2) aman dari fitnah.

Sebagian karyawan berkeinginan untuk iktikaf, akan tetapi harus keluar terus menerus dari tempat iktikaf. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan iktikaf. Yang lebih utama baginya menunaikan kewajiban atas dirinya dari pekerjaanya, lalu iktikaf setelahnya di masjid sesuai dengan batas kemampuannya.

Sebagian manusia menjadi imam atau muazin di satu masjid, akan tetapi berkeinginan iktikaf di masjid lain karena satu alasan. Kemudian dia meninggalkan jemaah karena iktikafnya, maka ini adalah kekeliruan. Jika dia tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang di masjidnya tersebut, maka ia berdosa karena telah meninggalkan perkara wajib untuk perkara sunah.

Iktikaf tidak batal jika mu’takif melakukan perkara makruh atau haram selama bukan jima’. Adapun perkara haram seperti gibah, namimah, mencela, mengutuk orang lain, dan yang semisal dengan itu dari perkara haram, hal itu tidak membatalkan iktikaf. Akan tetapi, perkara-perkara tersebut dapat mengurangi pahala dan bertentangan dengan tujuan syari’at iktikaf sendiri.

Jika di masjid diadakan pengajian ilmiah agama, apakah lebih afdal untuk hadir? Aku (penulis) katakan, “Jika halaqah ilmu tidak sering dan tidak dominan yang tidak bertolak belakang dari kegiatan iktikaf, maka afdal untuk hadir. Jika halaqah-nya dominan, sering, sehingga tersibukkan dari membaca Al-Qur’an dan zikir, maka afdal menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an, zikir, salat (selama tidak di waktu terlarang), dan amalan semisal lainnya.

والله الموفق، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dan disadur dari laman resmi Syekh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad At-Tayyar

Link: http://draltayyar.com/books/7923/

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84297-hukum-hukum-berkenaan-dengan-itikaf.html

Inilah 9 Bukti bahwa Al-Quran Adalah Ciptaan Allah, Bukan Karangan Nabi Muhammad ﷺ

AL-QURAN merupakan kitab suci yang dipercaya umat Islam merupakan mukjizat abadi Nabi Muhammad. Semua mukjizat para Nabi berakhir dengan kematian mereka, kecuali Nabi Muhammad yang mukjizatnya masih terpelihara.

Allah berfirman dalam Quran Surat Fussilat Ayat 42:

لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِۦ ۖ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

Menurut Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, ayat ini menjelaskan orang batil itu tidak bisa merintangi Alquran dengan menguranginya, menambahinya, dan mendustakannya dengan mendatangkan kitab lain, atau mencabut kitab lain yang digunakan untuk mencacatinya.

Al-Quran itu diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana dalam segala tindakanNya, mengatur urusan-urusan ciptaan-Nya, dipuji dalam segala keadaan dan dipuji oleh seluruh makhluk-Nya atas kenikmatan melimpah yang diberikan kepada mereka.

Tentunya dalil kebenaran Al-Quran ini tidak hanya dari firman Allah. Tapi juga fakta-fakta didukung oleh beberapa bukti yang logis dan nyata.

ISLAMPOS

Bolehkah Niat Puasa Ketika Sedang Shalat?

Pada umumnya, kita melakukan niat puasa setelah melaksanakan shalat tarawih dan shalat witir di masjid. Ini biasanya kita lakukan bersama-sama imam dan jemaah yang lain. Terkadang kita melakukan niat puasa ketika hendak makan sahur. Bahkan terkadang pula kita melakukan niat puasa ketika sedang shalat. Ini kita lakukan karena kita ingat di waktu shalat bahwa kita belum niat puasa. Bagaimana hukum melakukan niat puasa ketika sedang shalat, apakah boleh dan sah?

Ketika kita melakukan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, maka kita wajib melakukan niat di waktu malam, yaitu sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika selama itu, kita tidak melakukan niat, maka puasa kita dinilai tidak sah.

Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Tirimidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dari Sayidah Hafshah, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.

Adapun ketika niat puasa di dalam hati, maka sebaiknya kita lakukan di luar shalat, seperti sebelum sahur dan lainnya. Namun jika kita niat puasa ketika sedang shalat, maka hal itu tidak masalah, hukumnya boleh dan sah. Menurut Syaikh Sulaiman Al-Jamal, melakukan niat puasa di dalam shalat hukumnya sah.

Dalam kitab Hasyiatul Jamal, beliau berkata sebagai berikut;

تصح نية الصوم بالقلب ولو في الصلاة كما في المجموع

Sah melakukan niat puasa di dalam hati, meskipun di dalam shalat. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu.

Dengan demikian, boleh dan sah melakukan niat puasa di dalam hati ketika sedang shalat, sebagaimana boleh melakukan niat i’tikaf ketika sedang shalat. Ini sebagaimana dikatakan oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al-Kaf berikut;

اذا دخل شخص الى المسجد فنسي ان ينوي الاعتكاف فهل يجوز له ان ينوي في اثناء الصلاة؟ نعم يجوز له ان ينوي بقلبه في اثناء الصلاة ولا يجوز له ان يتلفظ باللنية لانه كلام اجنبي يبطل الصلاة

Jika seseorang masuk masjid dan ia lupa melakukan niat i’tikaf, apakah ia boleh melakukan niat i’tikaf ketika sedang melaksanakan shalat? Iya, boleh baginya melakukan niat i’tikaf di dalam hatinya ketika sedang melaksanakan shalat, dan tidak boleh baginya melafadzkan niat i’tikaf karena hal itu termasuk ucapan yang bisa membatalkan shalat.

BINCANG SYARIAH

Meninggal di Bulan Ramadhan, Apakah Wajib Zakat Fitrah?

Orang yang meninggal di bulan Ramadhan apakah wajib zakat fitrah? Zakat fitrah disamping merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan saat bulan Ramadhan, ia juga berfungsi sebagai penyempurna ibadah puasa saat bulan Ramadhan, sebagaimana hadis berikut Ini:

‎شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، وَلَا يَرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

Artinya: “ puasa bulan Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, dan allah tidak akan mengangkatnya ke langit kecuali dengan zakat fitrah” (HR Ad-Dailami).

Pada sisi lain, dalam Q.S at Taubah ayat 3, terdapat dalil kewajiban membayar zakat bagi seorang muslim. Allah berfirman;

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Didalam literatur fikih dijelaskan beberapa syarat orang wajib membayar zakat fitrah, yakni orang orang yang menemui dua Waktu,

Pertama masa akhir bulan Ramadhan atau sebelum terbenamnya matahari di akhir Ramadhan dan kedua awal bulan Syawal, yakni setelah terbenamnya matahari lepas akhir Ramadhan. Dua waktu itu harus dijumpai, Jikalau tidak kewajiban membayar zakat fitrah gugur. 

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain, hal. 174 karangan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani

‎الثاني: أن يدرك وقت وجوبها الذي هو آخر جزء من رمضان وأوّل جزء من شوال، فتخرج عمن مات بعد الغروب وعمن ولد قبله ولو بلحظة دون من مات قبله ودون من ولد بعده 

Artinya: “ Syarat kedua, menemukan waktu wajibnya zakat fitrah, yakni akhir bagian dari Ramadhan dan awal bagian dari Syawal. Maka wajib dikeluarkan zakat atas orang yang meninggal setelah terbenamnya matahari (di hari akhir Ramadhan) dan atas bayi yang lahir sebelum terbenamnya matahari, meskipun dengan jarak yang sebentar.

Tidak dikeluarkan zakat bagi orang yang mati sebelum terbenamnya matahari (di hari akhir Ramadhan) dan bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari” 

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang meninggal di bulan ramadhan tidak wajib membayar zakat fitrah. Semoga jawaban dari pertanyaan terkait orang yang meninggal di bulan Ramadhan apakah wajib zakat fitrah memberikan manfaat. Wallahu’alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Masjidil Haram Keluarkan Panduan Baru Keselamatan Jamaah di 10 Hari Terakhir Ramadhan

Jamaah dilarang merokok dan terlibat perdagangan (jual atau beli) di Masjidil Haram.

Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengeluarkan panduan baru untuk menjaga keamanan dan keselamatan jamaah selama 10 hari terakhir Ramadhan. Panduan tersebut mencakup pembaruan dari beberapa instruksi yang diumumkan pada awal Ramadhan.

Ini untuk memudahkan pelaksanaan ritual bagi jamaah. Kementerian telah mengklarifikasi cara untuk mencapai Masjidil Haram, karena jamaah dapat menggunakan bus angkutan umum dari Bandara Internasional King Abdulaziz (KAIA) di Jeddah, atau dari tempat parkir mobil ke stasiun angkutan umum di area pusat sekitar Masjidil Haram.

Dilansir dari Saudi Gazette, Senin (10/4/2023), peziarah juga dapat menggunakan taksi untuk mencapai lokasi terdekat dengan Masjidil Haram, atau tempat tinggal, serta melalui stasiun Haramain dari KAIA ke stasiun Al-Raseefa di Makkah.

Peziarah dapat berjalan kaki dari unit perumahan di area pusat dan lingkungan yang berdekatan dengan Masjidil Haram, atau melalui penggunaan layanan transportasi umum yang terletak di antara tempat parkir mobil di Makkah dan stasiun transportasi umum di area pusat.

Jamaah dapat mencapai Masjidil Haram melalui mobil pribadi yang dikemudikan oleh jamaah non-umroh, yang mengantarkan mereka ke lokasi terdekat dengan masjid atau ke tempat tinggal.

Jamaah non-umroh hanya diperbolehkan berhenti di tempat parkir mobil yang terletak di pintu masuk Makkah, kemudian jamaah menggunakan angkutan umum untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Hal ini untuk memudahkan akses jamaah haji ke area sentral di sekitar Masjidil Haram. Seperti yang dikatakan Kementerian dalam panduan bahwa jalan di area pusat hanya akan diperuntukkan bagi orang yang lewat. Semua jenis kendaraan, termasuk sepeda motor dan sepeda, akan dilarang setiap saat.

Kendaraan yang diparkir di lokasi yang mempengaruhi pergerakan pejalan kaki akan diderek, dan pemiliknya atau orang yang berwenang akan dikenai pelanggaran lalu lintas. Adapun petunjuk pergerakan di Masjidil Haram dan alun-alunnya, jamaah harus mematuhi petunjuk yang ditentukan oleh petugas keamanan, selain pentingnya mengikuti petunjuk melalui pintu Masjidil Haram sesuai dengan yang ditentukan oleh papan nama.

Perlu disebutkan ada panel bercahaya yang ditempatkan di pintu utama Masjidil Haram di Makkah. Ini menunjukkan status situs di dalam Masjidil Haram dan menunjukkan apakah ada kemungkinan ketersediaan tempat sholat di sana.

Lampu hijau berarti jamaah bisa masuk karena tersedia tempat, sedangkan lampu merah berarti dilarang masuk karena semua tempat sudah penuh. Pemandu menjelaskan jamaah dapat mencapai tawaf melalui koridor menuju Gerbang Raja Abdulaziz, Gerbang Raja Fahd, Gerbang Umrah, dan Gerbang Perdamaian.

Patut dicatat, lantai utama telah diperuntukkan bagi jamaah penyandang disabilitas, di mana mereka dapat menggunakan kendaraan listrik. Mengenai larangan, jamaah tidak diperbolehkan membawa barang-barang pribadi ke Masjidil Haram dan halamannya atau menggantungnya di jendela masjid dari dalam dan luar atau meninggalkannya di halaman.

Kementerian juga menambahkan mengumpulkan sumbangan dilarang di Masjidil Haram. Jamaah dilarang merokok, mengemis, atau terlibat dalam perdagangan (jual atau beli).

Jamaah haji dilarang menggunakan soket (colokan) listrik yang telah dialokasikan untuk pekerjaan pemeliharaan, untuk keperluan pribadi, guna menghindari korsleting listrik. Panduan ini juga menyertakan kode batang untuk semua tempat parkir internal dan eksternal, di mana peta menunjukkan cara mencapai Masjidil Haram saat datang untuk umrah atau sholat selama Ramadhan.

Ini juga mencakup beberapa informasi lain yang dapat ditemukan melalui tautan berikut: https://2u.pw/WyM7Wg

IHRAM

Tips Agar Jamaah Haji tidak Lupa Tempat Tinggal di Arab Saudi

Petugas haji diminta mengingatkan jamaah haji agar melakukan orientasi lokasi.

Direktur Bina Haji Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Arsyad Hidayat menyampaikan hal penting agar jamaah haji tidak mudah tersesat atau lupa tempat tinggal mereka di mana.

Petugas haji diminta mengingatkan jamaah haji agar melakukan orientasi lokasi atau pengenalan lokasi tempat mereka tinggal. Arsyad mengatakan, ketika jamaah haji baru tiba Madinah atau Makkah di Arab Saudi.

Jamaah haji gelombang pertama akan tiba di Madinah dan melaksanakan sholat arbain, yakni sholat 40 waktu di Masjid Nabawi. Sementara, jamaah haji gelombang kedua akan mendarat di Bandara Jeddah dan langsung menuju Makkah untuk melakukan umroh wajib atau umroh haji. Dalam situasi ini, kebanyakan jamaah haji sangat bersemangat untuk melakukan ibadah.

“Karena umumnya (mereka) pertama kali datang ke Tanah Suci, saking semangatnya, mereka sampai lupa untuk melakukan orientasi lokasi tempat mereka tinggal, ini harus jadi perhatian setiap kali ada kedatangan minta jamaah haji untuk melakukan orientasi lokasi mereka tinggal,” kata Arsyad saat apel pagi Bimbingan Teknis dan Fungsi PPIH Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede, Selasa (11/4/2023).

Arsyad menjelaskan, jamaah haji harus tahu hotelnya apa dan lokasinya di mana. Kemudian hotelnya ada di jalan apa dan ciri fisik di sekitar hotel harus dikenali.

Kalau perlu setiap jamaah haji dibekali kartu hotel untuk mengantisipasi jika mereka tersesat. Jamaah haji bisa dengan mudah meminta pertolongan kepada siapapun dengan menunjukkan kartu hotelnya.

“Kejadian-kejadian di tahun sebelumnya, banyak jamaah haji kita yang tersesat di awal keberangkatan karena mereka tidak melakukan orientasi tempat tinggal mereka ketika mereka pertama kali datang,” ujar Arsyad.

Menurut Arsyad, semangat mereka melakukan ibadah dan melupakan pengenalan tempat tinggal karena mereka semangat serta rindu kepada Tanah Suci, Masjid Nabawi, Ka’bah, dan Masjidil Haram. Hal inilah yang membuat mereka banyak tersesat, hal ini biasa terjadi.

“Dari 450 jamaah haji kalau sudah masuk ke Makkah, ketika mereka keluar dari hotel, kembali ke hotel, tersisa paling 200 jamaah, sisanya entah ke mana biasanya kembali tapi ada juga yang kembalinya keesokan harinya,” jelas Arsyad.

Arsyad mengingatkan, jumlah jamaah haji Indonesia tahun ini banyak maka potensi jamaah yang tersesat saat kedatang pertama ke Arab Saudi akan banyak. Terlebih banyak jamaah haji lansia tahun ini.

IHRAM

Ramadan: Bulan Pembersih, Peninggi, dan Harapan

Bulan Ramadan merupakan bulan yang diidamkan oleh orang-orang mukmin karena memiliki banyak keutamaan dan keisitimewaan di dalamnya yang tidak dimiliki bulan-bulan selainnya. Ada banyak keutamaan bulan Ramadan yang mungkin sudah sering kita dengar atau baca. Namun, dalam tulisan ini kita rangkum berbagai keutamaan bulan mulia tersebut menjadi tiga pokok bahasan.

Bulan Ramadan: Bulan pembersih

Di antara keutamaan bulan Ramadan adalah sebagai pembersih dan pelebur dosa-dosa. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Salat lima waktu, (salat) Jumat ke Jumat (berikutnya) serta (puasa) Ramadan ke Ramadan (berikutnya) menghapus dosa-dosa di antara mereka selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

Bahkan, ada hadis yang lebih khusus menerangkan bahwa setiap siang dan malam di bulan Ramadan kita dapat di ampuni dosa-dosanya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Dan barangsiapa salat pada Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis yang lain disebutkan,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang menunaikan salat malam (salat tarawih) di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala, dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada banyak kesempatan mendapat ampunan di bulan Ramadan, baik pada siang harinya dengan puasa atau malam harinya dengan salat tarawih. Sehingga apabila ada yang tidak diampuni di bulan Ramadan, maka sungguh sangat merugi dan amat keterlaluan! Dalam suatu hadis disebutkan bahwa orang yang tidak diampuni di bulan Ramadan merupakan orang yang celaka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan, kemudian Ramadan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala).” (HR. Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad. Hadis sahih.)

Sudah sepatutnya kita berdoa dan sangat berharap kepada Allah Ta’ala agar kita diampuni selama bulan Ramadan.

Bulan Ramadan: Bulan peninggi

Keistimewaan bulan Ramadan selanjutnya adalah tingginya nilai pahala yang Allah Ta’ala berikan. Ada amalan ibadah yang lebih baik dari seribu bulan, ada yang Allah setarakan dengan haji, bahkan ada amalan yang nilai pahalanya tak terbatas.

Pada lailatul qadr Allah lipatgandakan amalan pada malam tersebut hingga lebih baik dari seribu bulan.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)

Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa, “Amalan yang dilakukan di malam Lailatul Qadar lebih baik daripada amalan yang dilakukan di seribu bulan yang tidak terdapat Lailatul Qadar. Itulah yang membuat akal dan pikiran menjadi tercengang. Sungguh menakjubkan, Allah memberi karunia pada umat yang lemah bisa beribadah dengan nilai seperti itu. Amalan di malam tersebut sama dan melebihi ibadah pada seribu bulan. Lihatlah, umur manusia seakan-akan dibuat begitu lama hingga delapan puluh tahunan.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 977)

Selain itu, ada pula amalan yang Allah setarakan dengan haji, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafaz lainnya disebutkan,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah pada bulan Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Muslim)

Terlebih lagi, ada amalan yang pahalanya tanpa batas, yaitu puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به

“Setiap amalan manusia adalah untuknya, kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung.” (HR. Bukhari 7: 226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu)

Baca juga: Benarkah Pahala Itu Sebanding dengan Tingkat Kesulitan Sebuah Amal?

Bulan Ramadan: Bulan harapan

Ramadan adalah bulan di mana doa yang kita panjatkan lebih diijabah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: (1) orang yang berpuasa hingga ia berbuka, (2) imam yang adil, dan (3) doa orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Dalam hadis yang lain disebutkan,

إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة _ يعني في رمضان _ , وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa yang terkabul (mustajabah).” (HR. Ahmad 12: 420. Hadis ini disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 2169)

Selain waktu di atas, ada banyak kesempatan mustajab yang bisa kita maksimalkan untuk memperbanyak doa seperti waktu sahur, di antara azan dan ikamah, pada hari Jum’at, dan pada lailatul qadr.

Jangan lupa juga untuk banyak berdoa agar di bulan Ramadan agar kita termasuk hamba yang mendapatkan ampunan-Nya dan tergolong insan yang di terima amalan-amalan-Nya.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84238-keistimewaan-bulan-ramadan.html

Hukum-Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita

PUASA pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dan puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan pondasi Islam yang besar. Ada beberapa hukum khusus tentang puasa bagi wanita.

Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ )

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Maka apabila seorang anak wanita sudah sampai pada batas umur yang ia berkewajiban melaksanakan agama dengan nampaknya tanda-tanda baligh, salah satunya adalah ‘haidh, pada waktu itu kewajiban puasa atasnya dimulai.

Haidh itu terkadang nampak ketika berumur sembilan tahun. Terkadang ia juga belum mengetahui wajibannya berpuasa sehingga dia tidak berpuasa karena mengira bahwa dia masih kecil, sedangkan orang tua tidak memperhatikan hal itu dan tidak memerintah untuk berpuasa.

Hal ini merupakan suatu kelengahan yang sangat besar dalam meninggalkan rukun Islam. Jika hal seperti ini terjadi, maka wajib baginya untuk mengqadha puasa yang ketika pertama kali mengalami haidh itu, walaupun hal itu telah lama berlalu, karena hal tetap berlaku dan masih menjadi tanggungannya untuk dilaksanakan.

Catatan:

Dan wajib atasnya memberi makan fakir misk setiap hari setengah sha’ makanan (kurang lebih satu liter beras) di samping ia mengqadha puasanya.

ORANG YANG WAJIB BERPUASA RAMADHAN

Apabila bulan Ramadhan tiba, maka setiap muslim dan muslimah yang sudah Aqil baligh, dalam keadaan sehat dan sedang mukim di rumah (bukan musafir) wajib berpuasa.

Orang yang sedang sakit atau musafir (sedang melakukan perjalanan) pada bulan tersebut, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa), dan ia wajib mengqadha puasanya di bulan lain sebanyak hari yang ia tinggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر …

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Demikian pula orang yang berusia lanjut (tua renta) yang tidak sanggup berpuasa, atau seorang yang sedang sakit dengan sakit yang menahun, yang mana harapannya untuk sembuh tipis dalam waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, baik dia laki-laki, maupun wanita, dia boleh tidak berpuasa, dan untuk itu dia harus memberi makan fakir miskin setiap hari setengah sha’ (kurang lebih satu liter) dengan makanan pokok yang biasa dimakan oleh penduduknya.

Allah Ta’ala berfirman:

“…maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

‘Abdullah bin ‘Abbas (Ibnu Abbas) mengatakan bahwa keterangan ayat ini untuk orang yang berusia lanjut yang mana kemampuan menjalankan tidak dapat diharapkan.’ (HR. Al-Bukhari)

Juga untuk orang sakit yang kesembuhan penyak tidak dapat diharapkan, sama seperti hukum orang yang berusia lanjut yang ia tidak perlu mengqadha puasa, karena ia tidak mungkin bisa melakukannya.

Khusus bagi wanita terdapat beberapa halangan (udzur) yang membolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, akan tetapi ia harus membayarnya dengan cara lain atau pada bulan yang lain dengan sebab dia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tersebut.

Adapun halangan (udzur)nya sebagai berikut:

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Haid dan Nifas

HAIDH DAN NIFAS

Diharamkan bagi wanita untuk berpuasa selama ia berada dalam keadaan haidh atau nifas, dan wajib baginya mengqadha puasa pada hari-hari lainnya, berdasarkan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu’anhaa ia berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاة

“Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”

Ketika Aisyah ditanya oleh seorang wanita tentang hal tersebut: “Mengapa orang yang haidh harus membayar qadha puasa sedangkan dia tidak harus membayar qadha shalat?” Maka ‘Aisyah menjelaskan bahwa perkara-perkara ini merupakan perkara ‘tauqifiyah, yang mana hukum ini mengikuti nash (dalil) yang berlaku.

HIKMAH PERINTAH TERSEBUT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XV/251): “Adapun yang keluar pada waktu haidh adalah darah haidh, dan orang yang sudah biasa haidhv dimungkinkan berpuasa pada waktu tidak keluar darah haidh, maka puasanya pada waktu itu merupakan puasa yang prima, karena tidak mengeluarkan darah yang dapat memperkuat keadaan tubuhnya, karena dia salah satu unsur tubuhnya.

Adapun apabila puasanya dilakukan pada waktu keluar darah, yaitu waktu haidh, darah yang keluar adalah bagian dari unsur tubuhnya yang akan menyebabkan tubuhnya kurang prima dan lemah, dan puasanya akan terlaksana dengan kondisi yang tidak stabil, maka wanita itu diperintahkan berpuasa bukan pada haidh.

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Hamil dan Menyusui

Puasa bagi seorang wanita dalam keadaan hamil atau dalam keadaan menyusui bisa menyulitkan baginya atau bagi anak bayi di dalam kandungannya, atau keduanya mendapatkan kesulitan. Maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam keadaan tersebut.

Lalu apabila kesulitan itu terjadi pada anak bayinya saja yang menyebabkan ibu tidak berpuasa, maka ia wajib mengqadha puasa dan juga memberi makan orang miskin setiap harinya.

Apabila kesulitan terjadi pada ibunya, ia hanya cukup mengqadha puasanya saja.

Hal ini berdasarkan ayat tersebut karena hamil’ dan ‘wanita menyusui’ termasuk dalam pengertian yang umum dari firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنِ .

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (379) “Dan yang mengikuti pengertian dalam ayat ini (orang-orang yang berat menjalankannya) adalah wanita hamil dan wanita menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan akan kesehatan dirinya atau anaknya.”

Syukhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika wanita yang sedang hamil itu mengkhawatirkan janinnya maka ia boleh tidak berpuasa dan membayar qadha puasanya untuk setiap hari yang ditinggalkaonnya, serta memberi makan setiap harinya seorang miskin sebayak satu kati roti (makanan pokok).”

a. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Mustahadhah

Adalah darah yang keluar yang tidak sesuai dengan darah haidh seperti yang telah kita bicarakan. Maka wanita yang mengalaminya wajib berpuasa, tidak dibolehkan berbuka dengan alasan darah istihadhah tersebut.
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ketika membicarakan ‘tidak puasanya wanita yang sedang haidh: “berbeda dengan darah istihadhah, karena istihadhah keluarnya meliputi tenggang waktu dan tidak ada waktu jeda untuk diperintahkan berpuasa, dan mungkin menahannya agar tidak keluar sebagaim muntah, dan keluarnya darah pada luka bisul dan keluarnya mani pada waktu mimpi.

Untuk hal-hal tersebut tidak ada tenggang waktu tertentu yang memungkinkan untuk menjaga kejadiannya. Dengan demikian keadaan ini tidak dijadikan larangan untuk berpuasa seperti datangnya darah haidh (Majmuu’al-Fataawaa)(XXV/251)

b. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Kewajiban wanita haidh, wanita hamil dan wanita menyusui.

Apabila mereka tidak mengqadha puasa atas hari yang mereka tinggalkan antara bulan Ramadhan yang mereka tidak berpuasa dengan bulan Ramadhan yang akan datang, sedangkan segera mengqadha itu lebih utama (afdhal), dan jika hari-hari menjelang bulan Ramadhan yang mendatang itu tinggal (hanya beberapa hari lagi), maka kesempatan ini digunakan untuk mengqadha puasanya dari ditinggalkan pada Ramadhan yang telah lalu sehingga masuknya Ramadhan berikutnya.

Dan hal itu tidak disebabkan karena halangan (udzur) sehingga mereka belum mengqadhanya, maka wajib bagi mereka (nanti) untuk mengqadhanya dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya menurut hitungan jumlah harinya.

Akan tetapi apabila ia tidak mengqadhanya disebabkan suatu halangan (udzur), maka mereka hanya mengqadha puasanya saja Demikian pula bagi orang yang mempunyai kewajiban puasa qadha yang disebabkan oleh halangan sakit atau safar (berpergian jauh), maka hukumnya sama seperti mereka yang tidak berpuasa karena haidh, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

c. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Puasa sunnah.

Tidak dibolehkan bagi wanita untuk puasa sunnah apabila suaminya berada di rumah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi shallallahu bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدُ إِلَّا بِإِذْهِ.

“Tidak boleh bagi seorang isteri melakukan puasa (sunnah), sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izin suaminya.”

Dalam sebagian riwsayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan:

“Adapun jika sang suami mengizinkannya untuk melakukan puasa Sunnah, atau suaminya tidak ada di rumah, atau memang ia tidak bersuami, maka disunnahkan baginya untuk mengerjakan puasa Sunnah terutama pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti hari Senin dan hari Kamis, 3 hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15), 6 hari di bulan Syawwal, hari ‘arafah, dan hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) dan sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya.”

Pengecualian terjadi, yaitu tidak layak baginya mengerjakan puasa sunnah sedangkan ia mempunyai utang qadha Ramadhan, maka puasa qadha harus didahulukan.

d. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Wanita haidh suci di tengah hari Ramadhan

Apabila seorang wanita suci dari haidhnya di tengah hari pada bulan Ramadhan, maka ia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di sisa waktu tersebut hingga Maghrib. Dan puasa di hari itu harus diqadha beserta hari-hari yang ia tinggalkan karena Sedangkan imsaknya (menahan diri dan ikut berpuasa pada hari itu karena telah suci dari haidhnya) adalah suatu kewajiban baginya untuk menghormati waktu puasa/bulan Ramadhan. []

Dinukil dari kitab “Tuntunan Praktis Fikih Wanita” oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al-Fauzan.

ISLAMPOS

Hindari Kasus Penipuan, Masyarakat Diharap Cermat Pilih Travel Umroh

Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj meminta masyarakat untuk cermat dalam memilih agen travel untuk perjalanan umrah agar tak menjadi korban penipuan. Hal disampaikan usai Polda Metro Jaya mengungkap dan menindak tegas agen travel umrah PT Naila Safaah Wisata Mandiri yang diduga melakukan penipuan dan pelantaran terhadap jamaah umroh.

“Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah umroh agar cermat dan selektif memilih travel supaya tidak tertipu, bisa mengecek melalui website Kementerian Agama travel-travel yang terpercaya,” ujar Mustolih Siradj kepada Republika.co.id, Rabu (29/3/2023).

Dalam kasus ini tidak tanggung-tanggung korban PT Naila Safaah sedikitnya mencapai 500 orang jamaah dengan kerugian mencapai Rp 90 miliar. Beberapa dari mereka tidak diberangkatkan atau gagal berangkat ibadah umrah dan yang sudah diberangkatkan pun nasib tragis.  Diduga puluhan korban terlantar tidak bisa kembali ke tanah air. 

“Jangan mudah tergoda dengan iming-iming harga murah, fasilitas wah, tapi ternyata yang diperoleh bukan khusyuk beribadah justeru masalah dan musibah,” ucap Mustolih.

Selain itu, Komnas Haji juga mendorong bagi jamaah umrah untuk bersikap kritis. Jika jamaah merasa dirugikan atas pelayanan yang tidak sesuai dengan janji-janji dari travel atau sampai ditelantarkan maka harus berani melapor kepada pihak terkait. Misalnya melapor Kementerian Agama (Kemenag) dan apabila diduga ada unsur pidana maka laporka ke pihak kepolisian setempat. 

“Jika terjadi di Arab Saudi bisa melalui kantor Konjen RI. Laporan bisa dilakukan secara daring melalui kanal-kanal media sosial di lembaga-lembaga tersebut,” terang Mustolih.

Menurut Mustolih, sebenarnya saat ini aturan umrah semakin ketat. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib memberikan berbagai layanan. Lalu merujuk pada pasal 119A travel dan Pasal 126 pihak-pihak yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan jamaah umrah dikenai sanksi sampai pencabutan izin. 

“Selain itu, diwajibkan mengembalikan sejumlah biaya yang telah disetorkan oleh Jamaah serta kerugian imateriel lainnya. Ancaman pidana juga menanti, yakni pidana penjara sepuluh tahun atau pidana denda sampai 10 miliar,” tegas Mustolih.

IHRAM