Jelang Musim Haji, Saudi Tambah Lebih Dari 300 Ribu Kamat Hotel Tahun 2030

Proyek real estate dan infrastruktur senilai lebih dari 1 triliun dolar AS di Saudi tengah dalam pengembangan atau dalam proses pengejaan. Menurut pakar industri, proyek ini mencakul 315 ribu kamar hotel.

Jumlah kunci kamar hotel kemungkinan hampir dua kali lipat, menjadi sekitar 200.000 dalam empat hingga lima tahun ke depan. Setidaknya 50 persen dari pasokan yang diusulkan akan beroperasi pada 2028, dengan beberapa properti yang ada keluar dari pasar untuk membuka jalan bagi hotel baru dan resor.

“Salah satu strategi Saudi adalah menarik 100 juta pengunjung pada 2030. Itu berarti menciptakan dan menghadirkan gerbang dan pengembangan kelas satu, seperti NEOM senilai 500 miliar dolar AS,” ujar kepala pariwisata dan perhotelan Knight Frank, Turab Saleem, dikutip di Arab News, Selasa (2/5/2023).

Proyek senilai 1 triliun dolar AS yang sedang berlangsung disebut hanya mewakili sepertiga dari total rencana pengeluaran. Upaya ini dilakukan untuk memperkuat rencana agresif negara dalam memberikan infrastruktur, perhotelan, pariwisata dan fasilitas perumahan kelas dunia, guna memenuhi target yang ditetapkan dalam Visi 2030.

Ia juga menyebut prospek investasi perhotelan di Kerajaan terlihat menjanjikan. Pengembangan hotel dan pariwisata tidak hanya terfokus pada kota-kota besar Riyadh dan Jeddah, tetapi juga menybar dengan cepat ke bagian lain negara itu.

“Analisis kami menunjukkan bahwa hadirnya semua kamar hotel yang direncanakan, mencakup sektor apartemen mewah, pasar menengah dan apartemen berlayanan, akan menelan biaya sekitar 110 miliar dolar,” lanjut dia.

HVS, selaku konsultan global terkemuka yang berfokus pada sektor perhotelan, juga menggemakan pandangan serupa. Mereka menyebut pemerintah Saudi terus membuat langkah signifikan dalam memfasilitasi pertumbuhan berbagai sektor di seluruh negeri, dengan investasi penting di ruang perhotelan dan pariwisata.

“Lonjakan pariwisata dan kedatangan ke KSA selama 18 bulan terakhir saja, yang sebagian besar hasil dari perubahan undang-undang dan fasilitasi visa, merupakan bukti daya pikat yang berkembang. Menariknya, peningkatan ini tidak terbatas pada destinasi dan sektor yang sudah mapan, seperti pariwisata komersial dan religi. ujar Presiden HVS di Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan, Hala Matar Choufany.

‘Kesenangan’ dan pariwisata rekreasi disebut sama-sama meningkat. Kota-kota sekunder juga mulai menyambut pengunjung baru yang datang dari jauh dan sektor yang lebih luas.

Mengingat negara terus mendiversifikasi penawarannya, prospek ini disebut terlihat positif. Meskipun saat ini masih awal dalam hal perencanaan dan investasi masa depan, tetapi pasar perhotelan dan peluang investasi disebut sangat signifikan.

Riset data Knight Frank di hotel-hotel Kerajaan, di luar proyek giga, menunjukkan saat ini terdapat 129.000 kunci hotel dan apartemen berlayanan di negara tersebut. Pada 2030, angka tersebut akan meningkat lebih dari 60 persen menjadi 212.000 kunci di sektor bintang 5, bintang 4, bintang 3 ke bawah, serta apartemen berlayanan, dengan properti bintang 4 menyumbang hampir setengah dari total biaya pengembangan sebesar 21,3 miliar dolar AS.

Sementara itu, proyek giga Kerajaan mewakili hampir 73 persen dari pipa pasokan hotel, dengan lonjakan 62 persen dalam jumlah kamar hotel bintang 4 dan 5 pada akhir dekade ini.

Perluasan pariwisata Arab Saudi juga tidak terbatas pada tujuan dan atraksi berbasis darat. Industri pelayaran, yang akan menciptakan hingga 50.000 pekerjaan di negara itu, diperkirakan akan mendatangkan 1,5 juta pengunjung setiap tahun dalam lima tahun ke depan, menurut Dana Investasi Publik.

“Tugas yang sangat besar, 110 miliar dolar AS untuk mengubah lanskap perhotelan Arab Saudi jauh melampaui penyediaan kunci kamar hotel tambahan. Perhatian dan pemeliharaan harus dicurahkan, untuk meluncurkan jumlah produk yang tepat di lokasi yang tepat,” ujar Turab Saleem.

Di sisi lain, HVS menyebut pihaknya mengantisipasi bahwa waralaba dan perjanjian sewa akan menjadi tren baru di pasar perhotelan Saudi.

IHRAM

Waspada! Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Politik identitas jelang Pemilu 2024 termasuk sesuatu yang berbahaya dalam alam demokrasi. Aura kehangatan pesta rakyat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang kian terasa kuat. Akhir-akhir ini masyarakat telah disodorkan sejumlah fenomena politik masa kini. 

Bahkan nama-nama sejumlah calon bakal pemimpin sudah tersebar luas di kalangan media maupun rakyat, mulai dari kampanye, pemasangan pamflet, dan lain sebagainya menjadi penanda akan berlangsungnya Pemilu. 

Terlepas dari serentetan peristiwa tersebut ada isu menarik yang sering kali dijadikan perdebatan masyarakat kita, yakni terkait politik identitas. Menariknya lagi ceramah-ceramah bermuatan politik identitas justru sering dijadikan sarana kampanye di Indonesia, ini bahaya loh sahabat muslim!

Apa Itu Politik Identitas?

Pembahasan politik identitas memang selalu asik diperbincangkan di Indonesia. Politik identitas memiliki makna sebagai alat politik dari suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. 

Melihat dari tafsiran tersebut sebenarnya aspek-aspek politik identitas ini sudah ada sejak lama, konsekuensinya pun dapat kita rasakan bersama. Apalagi ketika bentuk politik identitas dijadikan sebagai titik kumpul salah satu kelompok, yang terselubung dalam kepentingan pribadi pihak partai. 

Realitanya sering kali dalam hal ini elit politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Fakta Kerancuan Politik Identitas

Fenomena politik identitas dengan populisme agama menjadi ladang ranjau demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak kompeten. Politik identitas mengarah pada kepercayaan umum bahwa orang yang tidak memiliki identitas yang sama dengan Anda tidak pantas menjadi pemimpin. 

Hal ini tentu saja berimplikasi pada hilangnya persamaan hak bagi minoritas dalam pemerintahan negara, khususnya di bidang pemilu dan pilkada. Dan dikhawatirkan lambat laun akan merusak demokrasi.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa pengaruh politik identitas begitu besar. Tentu saja, berdampak langsung bagi kita. Seperti banyak isu politik yang dikaitkan dengan SARA di sejumlah media sosial. Hal tersebut tentu saja berbahaya karena bisa menimbulkan opini publik yang memicu perpecahan antar umat beragama. 

Dari pengalaman tersebut, tidak menutup kemungkinan isu seputar politik identitas ini akan muncul kembali pada Pilkada 2024 mendatang. Peristiwa masa lalu menawarkan peluang yang sangat baik untuk terus bergema dengan kelompok radikal demi keuntungan pribadi. 

Begitu pula dengan kelompok yang pada prinsipnya ingin memisahkan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus melek isu politik dan menjauhi segala macam bentuk dari politik identitas.

Dampak Negatif dari Politik Identitas

Lantas apa dampak dari politik identitas itu sendiri? Kemunculan tema populisme mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan dukungan politik merupakan celah besar yang dapat ditimbulkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tujuannya tak lain adalah ingin memecah belah Indonesia. 

Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkannya akan sebabkan turunnya semangat persatuan dan kesatuan, bahkan meningkatkan kemungkinan terjadinya polarisasi masyarakat hingga elit politik. 

Politik identitas juga dapat menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia mengingat pluralitas masyarakatnya.

Jika populisme dalam politik identitas semakin kuat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, tidak akan ada persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan tidak akan ada kebebasan bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.

Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga menimbulkan perpecahan antar kelompok agama di Indonesia. Kuatnya tekanan kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung memiliki dampak negatif bagi pemeluk agama lain. Penganut agama minoritas merasa terdiskriminasi, sehingga menimbulkan perpecahan antar umat beragama.

Islam dalam Memandang Politik Identitas

Sejak jaman Rasulullah SAW dan para sahabat antara politik dan agama memang sangat erat kaitannya. Karna dasarnya syariat agama dijadikan sebagai kontroling dalam menjalankan politik ketata negaraan. Berikut diantaranya antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan politik identitas :

Al-Qur’an mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali ‘Imran/3:159).

Selain itu dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah (5:8) dijelaskan di dalamnya Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sungguhpun umat Islam terlibat sebagai subyek atau objek dalam persoalan tersebut. Rasa keadilan tidak boleh dikorbankan oleh keinginan subyektif.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah/5:8).

Al-Qur’an juga samasekali tidak menolerir pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan, sesuci apapun tujuan itu. Tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya.

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Baqarah/2:195).

Seyogianya kedepannya kita harus lebih berhati-hati dalam memilah informasi, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Demi Bisa Haji, Pak Tua asal Bosnia Ini Rela Berjalan Kaki dari Eropa Menuju Makkah

Memiliki keinginan kuat untuk melakukan ibadah haji, seorang Muslim asal Bosnia rela berjalan kaki dari Eropa menuju Makkah. Pria tua itu kini telah mencapai Kirkuk, Irak.

Ia adalah Envar Beganovic, berusia 52 tahun, seorang atlet judo yang sudah tinggal di Austria selama 28 tahun. Hingga kini, Envar telah melintasi 10 negara.

Envar, yang telah melakukan perjalanan selama kurang lebih 160 hari dan membawa bendera setiap negara yang pernah dia kunjungi, meninggalkan Slovakia, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Serbia, Kosovo, Makedonia, Yunani, dan Türkiye sejak dia memulai dari Austria.

“Saya tidak menemui masalah selama menempuh jarak ribuan kilometer. Sebaliknya, saya menerima bantuan dan dukungan dari orang-orang di luar dugaan saya,” katanya kepada Anadolu Agency.

Ia mengatakan memutuskan berangkat haji dengan berjalan kaki karena ia adalah seorang atlet dan terbiasa berjalan jauh. Beginanovic mengatakan dia ingin meraih penghargaan besar dengan berjalan kaki ribuan kilometer.

“Almarhum ibu dan bapak saya mewariskan kepada kami untuk tidak menyimpang dari agama kalian,” katanya seraya menambahkan bahwa ia telah berjalan berbulan-bulan untuk mencapai tanah suci dan tidak pernah lelah.

Melaksanakan Haji adalah salah satu dari lima rukun agama. Setiap Muslim yang mampu diwajibkan untuk melakukannya setidaknya sekali seumur hidup.*

HIDAYATULLAH

Hukum Shaf Shalat Bercampur Laki-laki dan Perempuan

Hari Raya Idul Fitri tahun ini menyisakan beberapa problem krusial. Ada Andi Pangerang yang memicu naiknya tensi ketegangan setelah melontarkan pernyataan warga Muhammadiyah halal darahnya karena menentukan tanggal hari raya berbeda dengan keputusan pemerintah.

Disusul kehebohan pernyataan Hafzan El Hadi yang menyebut Muhammadiyah sama dengan Syi’ah. Sebelumnya, ia juga menuding Ormas Muhammadiyah sebagai pemecah belah.

Ada pula kejadian di Pondok Pesantren al Zaitun yang menggelar shalat Idul Fitri tahun ini dengan mencampur Shaf laki-laki dan perempuan. Sebuah praktek shalat berjamaah yang tidak lazim sehingga menuai kontroversi.

Kali ini, saya, akan mengurai hukum (fikih) shaf shalat berjamaah yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Hal ini penting untuk mengetahui hukum yang sebenarnya dan bagaimana etika menerapkan aturan hukum tersebut.

Nabi menjelaskan: “Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling depan. Sebaliknya, shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf paling akhir. Sementara, shaf yang paling baik bagi perempuan adalah shaf yang paling akhir, sementara shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal”. (HR. Muslim).

Secara tersurat hadits di atas memberikan gambaran teknis shalat berjamaah ketika jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kelompok laki-laki harus berada di shaf terdepan dan kelompok perempuan berada di belakang laki-laki. Hal ini sebagaimana praktek yang lumrah kita lihat selama ini.

Hikmah aturan shaf seperti ini, salah satunya dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim. Tulisnya, kelompok perempuan berada di shaf belakang kelompok laki-laki dengan jarak yang agak jauh bertujuan supaya mereka tidak ikhtilath (bercampur) dengan laki-laki. Supaya laki-laki tidak melihat mereka dan kaum perempuan juga tidak melihat gerakan dan suara laki-laki yang bisa mengganggu pikiran mereka.

Untuk menjaga hal itu, Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin kemudian mewajibkan adanya satir atau kain pembatas yang menghalangi pandangan perempuan terhadap kaum laki-laki. Menurut Imam al Ghazali, bercampurnya perempuan dan laki-laki berpotensi menimbulkan kerusakan dan pelanggaran terhadap norma. Dan, masyarakat memandang hal itu sebagai kemunkaran.

Bahkan, menurut Imam al Mawardi dalam Al Jawi al Kabir (23/497), jamaah laki-laki tidak boleh bubar lebih dulu sebelum jamaah perempuan keluar dari masjid. Hal ini untuk menghindari terjadinya campur baur laki-laki dan perempuan.

Ini merupakan etika shalat berjamaah ketika jamaah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Terlepas shalat sah atau tidak ketika shaf bercampur antara laki-laki dan perempuan, apalagi dalam satu barisan, etika seperti dijelaskan di atas sejatinya dibuat untuk mendukung kesempurnaan shalat.

Lalu, bercampurnya shaf laki-laki dan perempuan apakah membatalkan shalat?

Ulama berbeda pendapat. Menurut madhab Hanafiyah, laki-laki dan perempuan sejajar dalam satu shaf dapat membatalkan shalat kaum laki-laki. Hal ini jika perempuan yang berada dalam barisan shaf yang sama berpotensi memancing syahwat laki-laki. Dalam posisi ini hanya shalat kaum laki-laki yang batal, perempuan tidak.

Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari madhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, mereka berpendapat, sejajarnya shaf laki-laki dan perempuan tidak sampai membatalkan shalat, hanya makruh.

Misalnya, jika ada seorang perempuan berada di barisan shaf laki-laki, maka tidak batal shalat laki-laki yang berada disampingnya, dibelakangnya dan didepannya. Demikian pula shalat perempuan tadi juga tidak batal.

Namun perlu dicatat, sekalipun shalat tetap sah namun bukan berarti terlepas dari hukum haram. Seperti telah dimaklumi, bercampurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram hukumnya haram. Sehingga, hal ini dapat merusak kesempurnaan shalat serta tidak memperoleh keutamaan shalat berjamaah.

Shalat bukan hanya persoalan sah atau tidak, namun etika dan kesopanan harus menjadi perhatian karena shalat berarti hendak mengahadap pencipta. Begitu naif kalau disaat mengahadap Allah pikiran kita terganggu karena tergoda syahwat terhadap lawan jenis.

Satu contoh yang bisa kita jadikan pelajaran, ketika shalat patokannya hanya cukup sah, maka seorang laki-laki boleh shalat tanpa memakai baju. Cukup memakai sarung atau celana yang penting anggota dari pusat sampai lutut tertutup. Sebagaimana maklum, aurat laki-laki hanya sebatas antara pusat dan lutut saja. Tetapi apakah hal itu sopan dan beretika?

Kesimpulannya, sekalipun shalat dalam keadaan shaf yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menurut jumhur ulama sah, namun tetap terikat hukum haram karena berbaurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram. Disamping hal itu merupakan aktifitas menjalankan ritual keagamaan yang melanggar norma kesopanan dan kesantunan ketika mengahadap Allah.

ISLAM KAFFAH

Jihad Zaman Now: Menjaga Bumi, Memakmurkan Manusia

Jihad sering dikonotasikan sebagai perbuatan negatif yang merusak dan bermuara pada sejumlah tindakan teror, penindasan, peperangan, hingga pembunuhan yang brutal. Hal ini disebabkan karena banyaknya individu atau kelompok yang menafsirkan jihad secara tekstual saja, padahal jihad sendiri memiliki pemaknaan yang begitu luas dan mulia.

Oleh orang-orang yang tak memahami Islam, jihad pada era ini kerap dikaitkan dengan agenda terorisme dan sadisme di berbagai kasus, misalnya di Suriah, atau kasus-kasus pengeboman di Indonesia. Pada kasus-kasus terorisme, jihad memang kerap dijadikan dalih aksi sadisme mereka terhadap sesama manusia. Jihad yang ditampilkan mereka adalah jihad merusak, bukan jihad membangun.

Rentetan aksi bom yang meledak di berbagai penjuru negeri selain meninggalkan duka dan luka bagi para korban dan saksi, juga meninggalkan jejak polusi serta kerusakan bagi bumi. Manusia sebagaimana tujuan diciptakannya oleh Allah Swt adalah sebagai Khalifah Fil Ardh yang ramah tamah dan melindungi kelestarian bumi. Dengan meledakkan bom, maka ia telah berkontribusi dalam aksi menghancurkan bumi.

Jika kita menelusuri sejarah, Rasulullah Saw melakukan sejumlah upaya Jihad yang membangun, hanya sebagian kecil yang merusak. Lantas, bagaimana jihad membangun sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw?

Jihad Mempersaudarakan Umat

Membangun jalinan persaudaraan merupakan bagian dari ajaran Rasulullah Saw, di antaranya seperti mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, atau kisah Rasulullah Saw bersahabat dengan non-Muslim. Hal ini menyiratkan bahwa jihad tidak selamanya berkaitan dengan peperangan dan pertumpahan darah.

Bahkan, anjuran untuk mempersaudarakan umat itu oleh Allah Swt difirmankan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13 yang artinya;

“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang Wanita dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal..”

Secara spesifik, ayat ini memang tidak menyebutkan mengenai “mempersaudarakan” melainkan perihal keberagaman. Akan tetapi, semakim kita mengenal pada perbedaan, maka kita sesungguhnya telah bersaudara, sebagaimana apa yang disampaikan oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalib, “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam  kemanusiaan,” demikian pula inti persaudaraan yang hendak ditegaskan oleh Rasulullah Saw.

Menjaga Bumi

Dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang diutus oleh Allah Swt sebagai Khalifah Fil Ardh, yakni pemimpin di muka bumi. Mulanya penciptaan dan kepemimpinan manusia ini ditentang oleh iblis, karena dianggap manusia akan melakukan kerusakan di muka bumi. Akan tetapi berkat welas kasih Allah, manusia diciptakan dengan memegang amanah yang besar, yakni menjaga kelestarian bumi.

Namun bumi yang diciptakan oleh Allah Swt sedemikian indah, kerap dikotori, dieksploitasi, serta dirusak oleh sifat keserakahan manusia. Hal itu di kemudian hari menimbulkan bencana alam yang besar.

Begitu pentingnya menjaga kelestarian alam di masa ini, dapat dikategorikan ke dalam upaya jihad hijau untuk bumi. Jihad dengan memperlakukan alam sebaik mungkin sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Sebab berbagai upaya pengrusakan alam, juga akan berimbas pada kehidupan manusia.

Jihad melestarikan alam ini juga ditekankan oleh Rasulullah Saw terutama semasa peperanga. Rasulullah Saw melarang umat untuk menebang pohon yang sedang berbuah, merusak pohon tanpa tahu apa urgensinya, serta larangan menyembelih hewan ternak jika bukan untuk dikonsumsi. Larangan-larangan ini merupakan bukti kecintaan Rasulullah Saw terhadap bumi.

Di masa modern di mana kelestarian alam sudah banyak terancam ini, sebelum benar-benar terlambat, kita perlu memasifkan gerakan-gerakan peduli lingkungan.  Perlu ditegaskan bahwa upaya-upaya ini merupakan bagian dari jihad yang diajarkan dalam Islam. Inilah jihad sejati, yakni jihad yang membangun dan memperbaiki, bukan jihad yang menghancurkan dan merusak.

ISLAM KAFFAH

Rahasia Shalat Menurut Syekh Abdul Karim Al-Jili

Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam karyanya  Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifati Awakhir Wal Awail (Juz, 2, halaman 336-337) mengulas tentang hakikat dan rahasia dalam shalat.

Menurut penuturan Syekh Abdul Karim Al-Jili, shalat adalah isyarat untuk mengesakan Allah SWT. Dan tujuan mendirikan shalat adalah untuk menjalankan syariat Allah yang dibebankan kepada manusia.

Bersuci sebagai isyarat untuk membersihkan diri dari segala kekurangan. Bersuci disyaratkan memakai air sebagai isyarat tidak akan hilang kekurangan seorang hamba, kecuali dengan tampaknya bekas-bekas yang bersifat ketuhanan, karena sifat ketuhanan adalah sumber hidupnya segala sesuatu yang ada, dan air adalah sumber dari kehidupan.

Tayamum sebagai pengganti dari bersuci dengan air sebagai isyarat penyucian dari perkara yang menyimpang. Menghadap kiblat sebagai isyarat menghadap kepada Allah secara totalitas dan untuk mengenal Allah.

Niat sebagai isyarat pengikat hati di saat menghadap kepada Allah. Takbiratul ihram sebagai isyarat betapa luas dan besarnya surga Allah. Membaca fatihah sebagai isyarat kesempurnaan manusia karena manusia adalah pembuka sesuatu yang ada. Dengan adanya manusia Allah membuka atau memberi tau segala yang ada. 

Rukuk sebagai isyarat menyaksikan yang tiada kepada yang diadakan. Berdiri dari rukuk sebagai isyarat langgengnya atau kekalnya Allah. Oleh karena itu, ketika berdiri dari rukuk mengucapkan, “samiallahu liman hamidah”. Kalimat tersebut tidak ditujukan kepada hamba karena kalimat tersebut memberi kabar tentang hal yang bersifat ketuhanan. 

Sujud sebagai isyarat terhapusnya bekas-bekas kemanusian dengan tetapnya dzat Allah yang disucikan. Duduk diantara dua sujud sebagai isyarat pernyataan hamba pada hakikat Al-Asma Wa Al-Sifat (nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah). Sujud yang kedua sebagai isyarat maqam-maqam ibadah, dan isyarat kembalinya makhluk (yang diciptakan) kepada khalik (yang menciptakan).

Tahiyat akhir sebagai isyarat sempurnanya Allah dan segala ciptaannya, karena dalam tahiyat akhir ada pujian-pujian kepada Allah dan Rasulnya dan juga pujian-pujian kepada hamba-hamba Allah yang shalih. 

Para Nabi dan hamba-hamba Allah yang saleh berada di maqam atau derajat yang paling sempurna. Seorang waliyullah (kekasih Allah) tidak akan sempurna derajatnya kecuali memahami hakikat ketuhanan dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. 

Demikian penjelasan terkait rahasia Shalat menurut Syekh Abdul Karim Al-Jili. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan)

Pro kontra masalah status kedua orang tua Nabi akhir-akhir ini menjadi buah bibir media sosial. Sebagai seorang muslim, mari kita semua menimbangnya dengan dalil bukan dengan perasaan semata. Mari cermati dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:

Dalil pertama:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203).

Dalil Kedua:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:

“Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat jelas.

Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.

Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka semata.

Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah berfirman:

الٓمٓ ﴿١﴾ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾

Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS. al-Baqarah [2]: 1–3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. al-Ahzâb [33]: 36)

Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama pahit rasanya. Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.

Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi—semoga Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!” (Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 2592)

Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun, cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari,

“Telah bersepakat para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka) tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.” (Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul, hlm. 84).

Kalau ada yang mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Kita jawab:

Beradab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurât: 1)

Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah (cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an”.

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an” (Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi 3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37).

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28443-kafirkah-kedua-orang-tua-nabi-antara-dalil-dan-perasaan.html

Hadis: Larangan Mencela Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Teks hadis

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

Janganlah kalian mencela (menyebutkan kejelekan atau keburukan) orang yang sudah meninggal dunia, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Bukhari no. 1393)

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ

Janganlah kalian menghina mereka yang sudah mati, sehingga kalian menyakiti mereka yang masih hidup.” (HR. Tirmizi no. 1982, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa faedah yang bisa diambil dari dua hadis di atas, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis di atas berisi larangan mencela orang yang sudah meninggal dunia atau merendahkan kehormatannya. Hal ini karena kalimat larangan dalam hadis di atas, yaitu لَا تَسُبُّوا (Janganlah kalian mencela), menunjukkan hukum haram. Sebagaimana hal itu adalah hukum asal yang ditunjukkan oleh kalimat larangan. Sebagian ulama berdalil dengan hadis tersebut untuk melarang mencela orang yang sudah meninggal secara mutlak, baik muslim atau kafir, orang saleh maupun fasik, berdasarkan makna umum yang ditunjukkan oleh hadis, yaitu (الْأَمْوَات) (semua orang yang sudah meninggal dunia, siapapun mereka).

Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadis tersebut bersifat khusus berkaitan dengan orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin. Karena termasuk dalam ibadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah dengan mencela orang-orang kafir. Alasan yang lain, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “karena mereka telah sampai (mendapatkan) apa yang telah mereka kerjakan.” Hal ini adalah isyarat bahwa yang Rasulullah maksudkan adalah orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin.

Terdapat pendapat ketiga yang memberikan rincian dalam masalah ini. Yaitu, boleh menyebutkan kejelekan dan keburukan orang kafir yang sudah meninggal dunia, apabila hal itu tidak menyakiti kerabatnya yang muslim. Jika tidak ada kerabatnya yang muslim yang tersakiti, atau memang ketika di masa hidupnya orang kafir tersebut menyakiti kaum muslimin, maka tidak mengapa menyebutkan kejelekan-kejelekannya.

Adapun jika orang yang sudah meninggal tersebut adalah muslim, maka tidak boleh mencela atau menjatuhkan kehormatannya. Perbuatan ini termasuk dalam ghibah. Kecuali jika orang tersebut adalah orang fasik yang terdapat maslahat dengan menyebutkan kejelekannya. Dalam hal ini, diperbolehkan menyebutkan kejelekannya untuk memperingatkan kaum muslimin darinya. Bukan dengan maksud untuk mencela, akan tetapi agar kaum muslimin yang masih hidup mendapatkan peringatan tentang orang tersebut. Misalnya, para ulama sepakat tentang bolehnya mencela atau menyebutkan kejelekan perawi (misalnya perawi tersebut adalah seorang pendusta atau buruk hapalannya), baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Hal ini karena adanya maslahat untuk menjaga As-Sunnah. Jika tidak terdapat maslahat, maka wajib menjaga diri dari perbuatan tersebut.

Faedah kedua

Hadis di atas mengisyaratkan hikmah mengapa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu terlarang, yaitu:

Hikmah pertama, karena mereka telah mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Sehingga tidak ada lagi manfaat mencela mereka. Tidak sebagaimana jika mereka masih hidup di dunia, bisa saja mereka mendapatkan manfaat. Hal ini karena bisa jadi mereka sadar atau introspeksi diri ketika mendapatkan kritikan atau celaan.

Hikmah kedua, karena mencela orang yang sudah meninggal dunia bisa menyakiti kerabatnya yang masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa boleh mencela apabila tidak ada kerabat yang tersakiti. Misalnya, ketika jenazah tersebut memang tidak memiliki kerabat atau ketika kerabatnya tidak mengetahui hal itu. Hal ini karena mencela orang yang sudah meninggal dunia itu karena adanya hikmah yang pertama. Apabila muncul efek kedua (menyakiti kerabat), maka perbuatan itu menjadi terlarang karena dua sisi.

Hikmah ketiga, bahwa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu termasuk dalam ghibah yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang ghibah,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Ghibah adalah kamu menyebutkan kejelekan saudaramu mengenai yang dia tidak sukai (untuk didengarkan orang lain).” (HR. Muslim no. 2589)

Termasuk dalam hadis di atas adalah jika orang yang di-ghibah itu masih hidup atau sudah meninggal dunia. Imam Bukhari rahimahullah membuat satu judul bab dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (2: 202), “Melakukan ghibah terhadap orang yang sudah meninggal dunia.”

Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Mencela orang yang sudah meninggal dunia itu seperti melakukan ghibah terhadap orang yang masih hidup.” (Syarh Ibnu Bathal ‘ala Shahih Al-Bukhari, 3: 354)

Faedah ketiga

Terdapat dalam Shahih Bukhari, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ. ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ

Mereka (para sahabat) pernah melewati satu jenazah lalu mereka menyanjungnya dengan kebaikan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pasti baginya.’ Kemudian mereka melewati jenazah yang lain, lalu mereka menyebutnya dengan keburukan, maka beliau pun bersabda, ‘Pasti baginya.’

Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan pasti baginya?’

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan, berarti dia masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.’” (HR. Bukhari no. 1367)

Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya menyebutkan kebaikan ataupun keburukan orang yang sudah meninggal dunia ketika ada hajat (kebutuhan). Dan hal itu tidak termasuk dalam ghibah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan tersebut. Atau bisa jadi orang yang mereka cela tersebut sudah terkenal dengan kefasikan atau kejelekannya sehingga dikhawatirkan ada kaum muslimin yang ikut-ikutan mencontohnya. Sehingga celaan tersebut termasuk dalam peringatan kepada kaum muslimin yang masih hidup. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 28 Ramadan 1444/ 19 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 385-387).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84518-hadis-larangan-mencela-orang-yang-sudah-meninggal-dunia.html