Fenomena Kekerasan di Sekolah

Bullying (perundungan) menjadi sorot perhatian banyak masyarakat beberapa pekan terakhir. Pasalnya, beberapa peristiwa yang terjadi membuat kita bergeleng-geleng kepala karena heran dan geram. Bagaimana mungkin seorang anak sekolah dasar tega menusuk temannya dengan tusuk sate? Bagaimana mungkin seorang anak sekolah menengah pertama tega menyiksa temannya karena alasan sepele? Ditambah berita tentang seorang anak terjun dari lantai atas sekolah karena cekcok dengan temannya. Dan semua itu terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.

Sebenarnya, apa atau siapa yang salah? Sebelum lebih jauh menyalahkan banyak pihak, mari kita simak bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyatakan tentang kondisi zaman secara umum dalam sabdanya,

لا يأتي عليكم عامٌ ولا يومٌ إلَّا والذي بعده شرٌّ منْهُ ، حتى تَلْقَوْا ربَّكم

Tidaklah datang suatu masa di antara kalian yang kondisi masa tersebut lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (Shahih Al-Jami’, no. 7576)

Tentu saja ini tidak berlaku secara mutlak. Hanya saja, memang kenyataannya dari masa ke masa berita-berita keburukan seolah menjadi hal yang biasa kita dengar, bahkan dilakukan oleh sekelompok orang yang sebelumnya kita tidak terbiasa mendengar kejahatan bisa berasal dari tangan mereka. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjelaskan,

وهذا هو الواقع، فكلما تقدم الزمان، وتأخر عهد النبوة؛ قل العلم، وكثر الجهل، كما هو الحال اليوم في القرن الخامس عشر، والرابع عشر الماضي، فإن العلم قد قل كثيرًا، والجهل قد انتشر في غالب البلدان، فقل أن تجد بلدًا فيها العلماء الذين يكفون لحاجة البلاد، ويشار إليهم بالعلم، والفضل، والاستقامة، فالمصيبة عظيمة. 

Inilah yang terjadi. Semakin ke sini dan semakin jauh dengan masa kenabian, maka ilmu semakin sedikit dan merebaklah kebodohan. Sebagaimana terjadi di abad 14 dan 15 Hijriah yang menunjukkan betapa ahli ilmu semakin sedikit dan kebodohan kian menyebar di seantero negeri. Jarang sekali kau temui negeri yang ulama di dalamnya mencukupi kebutuhan negeri tersebut, yang menjadi rujukan ilmu, keutamaan, dan keteguhan. Sungguh musibah ini begitu berat.” (binbaz.org)

Namun, akankah kita diam saja dengan peristiwa ini? Tentu saja tidak. Bagaimana pun, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku bullying sama sekali. Baik verbal, fisik, sosial, dan emosional. Sebagaimana dalam beberapa dalil berikut ini.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang dari menyakiti dan mencela sesama (verbal and physical bullying)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seorang muslim mencela. Sebagaimana dalam sabda beliau,

سِبابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ

Mencela sesama muslim adalah bentuk kefasikan dan memeranginya adalah bentuk kekufuran.” (HR. Bukhari no. 6044)

Setiap pembicaraan yang mengarah kepada terjatuhnya kehormatan seorang muslim tanpa haknya atau perbuatan yang menjadikan seorang muslim tersakiti, maka keduanya merupakan bentuk keharaman yang secara tegas dilarang di dalam Islam.

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah ditertawakan karena betisnya yang kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama pun menghardik orang-orang yang tertawa sembari mengatakan,

والَّذي نَفْسي بيَدِه لَهُما أثقَلُ في المِيزانِ مِن أُحدٍ

Demi Allah, jika kedua kakinya diletakkan di timbangan hari kiamat, niscaya lebih berat dari gunung Uhud.” (HR. Al-Hakim no. 5479)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari menjatuhkan kehormatan (social bullying)

Dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari melakukan perbuatan yang berpotensi menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Seperti teguran beliau dari perbuatan ghibah,

إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ

Jika memang benar apa yang kalian katakan tentangnya, maka hal tersebut adalah ghibah. Dan jika tidak benar, maka kalian telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim no. 2589)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama juga melarang keras umatnya dari gemar membuat desas-desus atau namimah. Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallama,

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Para pengadu domba tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 105)

Sikap kita sebagai orang tua

Lantas, bagaimana sikap kita sebagai orang tua agar anak kita terhindar dari kejahatan bullying atau bahkan agar anak kita tidak terjatuh ke dalam perilaku yang buruk ini? Ada beberapa nilai yang orang tua harus tanamkan kepada buah hati mereka sejak dini.

Tanamkan tentang empati dan penghormatan

Kepekaan seseorang untuk memahami sekitarnya dan menyikapinya dengan penuh penghormatan adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَن لم يَرحَمِ الناسَ لا يَرْحَمْهُ اللهُ

Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 1922)

Begitu pun dalam sabda yang lainnya,

ليسَ منَّا من لم يرحَم صغيرَنا ويعرِفْ شرَفَ كبيرِنا

Orang-orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau menghormati yang lebih tua bukanlah termasuk golongan kami.” (Shahih At-Tirmidzi, no. 1920)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan seseorang untuk ngelamak (tidak sopan) kepada siapapun. Baik kepada yang lebih muda ataupun yang lebih tua. Dan yang terpenting untuk mengajarkan aspek empati ini adalah dengan teladan kedua orang tuanya. Seorang anak akan meniru bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan orang-orang terdekatnya. Bagaimana ayahnya bersikap terhadap ibunya, bagaimana ibunya ketika berbincang dengan ayahnya, dan sebagainya.

Tanamkan keberanian

Perlu juga mengajarkan kepada anak-anak kita agar mereka menjadi anak yang berani. Tidak harus dengan melawan bullying yang mereka terima (semoga Allah hindarkan buah hati kita dari segala macam keburukan), namun paling tidak berani mengadukan kepada orang tuanya atau orang-orang yang memiliki hak untuk menyelesaikan masalah adalah sebuah keberanian yang patut untuk terus dipupuk.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,

Banyak manusia yang mengidentikkan keberanian dengan kekuatan. Padahal keduanya jelas berbeda. Berani adalah ketegaran hati dalam menghadapi sesuatu meskipun tidak punya kekuatan untuk membalas.”

وَكَانَ الصّديق رَضِي الله عَنهُ أَشْجَع الْأمة بعد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَكَانَ عمر وَغَيره أقوى مِنْهُ، وَلَكِن برز على الصَّحَابَة كلهم بثبات قلبه فِي كل موطن من المواطن الَّتِي تزلزل الْجبَال، وَهُوَ فِي ذَلِك ثَابت الْقلب، رابط الجأش، يلوذ بِهِ شجعان الصَّحَابَة وأبطالهم، فيُثَبِّتهم ويشجعهم 

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berani setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, sementara Umar radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya lebih kuat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, para sahabat bersaksi bahwa keteguhan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dalam setiap kondisi yang bahkan gunung saja runtuh dengannya sementara beliau tetap tidak bergeming, yang membakar keberanian sahabat lainnya.” (Al-Furusiyah, hal. 500)

Maka, didiklah anak kita menjadi anak-anak yang berani. Bukan berani yang sembarangan, melainkan berani menyuarakan kebaikan dan melawan keburukan. Ajarkan mereka tidak takut menghadapi berbagai macam situasi termasuk bullying. Semoga Allah jaga anak-anak kita dari perilaku yang merusak ini.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88366-fenomena-kekerasan-di-sekolah.html

(Video) Sang Pemuja Setan Zebani Efe yang Dulu Memusuhi Islam Bertaubat dan Memeluk Islam

Seorang konten kreator asal Turki Evi Baycan, yang dijuluki “Pemuja Setan”, menjadi topik hangat setelah videonya muncul di media sosial mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan masuk Islam.

Baijan yang kerap dipanggil Efe, dikenal karena permusuhannya yang sengit terhadap Islam, mengunggah konten dengan slogan-slogan pembela setan dan iblis.

link video:

Ia pun tampak melepas anting yang menempel di mulutnya, membagikan momen kepergiannya umrah ke Baitullah melalui akun media sosialnya dengan tulisan, “Allah Maha Besar.”

Remaja berusia 18 tahun itu pernah mengaku jika dia sebenarnya adalah iblis yang berusia 456 tahun. “Saya adalah nabi para pemuja setan,” ujarnya menambahkan bahwa 15 persen penduduk Turki adalah pemuja setan.

Pada unggahan terakhirnya di saluran YouTube Yer6 Film ia menyebutkan telah beriman, menjadi seorang Muslim.

Tugas Iblis

Dalam unggahanya yang terbaru, Efe yang dikenal dengan rambut pink menyala terlihat telah mengubah warna rambutnya menjadi hitam.  Ia banyak mengunggah momen ibadah dua dua kota suci –Makkah dan Madinah– saat ketika menunaikan ibadah umrah.

Sebelum ini, Efe yang sering berdebat di media sosial atas nama pemuja setan atau pemuja Iblis mengaku bisa membaca pikiran orang dan tugasnya adalah meyakinkan orang untuk mengikuti jalannya.

Tiga bulan lalu Efe pernah diundang di sebuah Podcast bernama “Underground” dan menceritakan dengan bangga bercerita tentang aktivitasnya sebagai makhluk yang dibenci Allah Swt.

“Pada 6 Juni 2024. 15% penduduk Turki akan menjadi pemuja setan. Tiga tahun lalu aku bermimpi tentang hal itu,” katanya. “Aku berada dalam tubuh manusia, padahal sebenarnya aku bukan manusia. Aku punya dua pengawal jin yang mengikuti aku kemana-mana.”

Ia menambahkan waktu setahu yang dimaksudkan, akan ada sebuah pemberontakan dan perang terjadi. Ia bersama pasukannya  akan melakukan tugas dan mati.

“Ketika itu aku akan memulai kehidupan nyata. Inilah alasan mengapa aku dikirim ke dunia ini. Supaya orang bisa hidup bebas,” tambahnya.

Masuk Islam

Lahir pada tahun 2005 di Izmir, Turki, Zebani Efe adalah seorang Muslim dari kecil. Kedua orang tuanya bercerai ketia ia masih belia.

Dia pernah bercerita masa kecilnya penuh dengan masalah keluarga. Dia mengaku merasa sendirian.

Sebagai seorang remaja, Efe memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. Sayang hanya segelintir orang yang mau menanggapi.  

Ia mulai tertarik Islam sejak sering hadir dalam Podcast Yer6 Film, salah satu Channel YouTube yang berfokus dengan konten-konten dakwah.  Dalam sebuah obrolan dia sempat bercerita berupaya menghindari keberadaan Tuhan.

Dalam setiap debat tentang Islam, Efe selalu memberikan pertanyaan dan bukti yang telah dipersiapkan dengan baik. Tak jarang membuat pengundang kewalahan karena tidak mampu menjawab.

Tiga bulan setelah tampil di sebuah podcast, ia diundang kembali dengan membawa segudang pertanyaan-pertanyaan. Menariknya, sang sang ustadz dalam acara itu mampu menjawabnya secara bagus semua pertanyaanya.

Sang host menjelaskan bahwa dia terus berkomunikasi dengan Zebani Efe sejak penampilan terakhirnya. Rupanya, usaha Efe menghindari Tuhan tidak berhasil, sebaliknya ia malah mendapatkan hidayah.

Efe yang mendokumentasikan kedekatannya dengan Islam dan perjalanan umrahnya melalui video yang dibagikannya di akun TikTok. Perubahan ini mendapat ribuan komentar dan interaksi positif dari warganet.

link video:

@hacizebo

Allah Herkese Dokunmayı Nasip Etsin 🤲😊

♬ orijinal ses – islamic&culture

Transformasi pemuda ini menunjukkan bagaimana masyarakat dapat mengalami perubahan besar dalam hidup mereka dan keinginan untuk menemukan jalan yang benar selalu ada.

Perjalanan baru Efe ini diikuti dengan penuh minat oleh para pengguna media sosial. Seorang jurnalis Turki, Gökhan Kahraman mengomentari penampilan baru Efe, dengan mengatakan, “Islam membuat orang gagah,” ujarnya di media X,  25 September 2023.

Hülya Yurt, seorang spesialis bahasa dan sastra, mengomentari pertobatan Efe dengan mengatakan, “Tuhanlah yang mengubah hati dan mengatur hati, mengelolanya dan menempatkannya pada apa yang Dia inginkan, saya berdoa agar pertobatannya ini permanen,” ujar Yurt.

Blogger Turki, Özlem Kres juga ikut berkomentar; “Saya berharap Islam akan hidup dalam makna yang sebenarnya, dan hal ini tidak dilakukan hanya demi ketenaran,” ujarnya.*

HIDAYATULLAH

Perlindungan Hak Lansia Merupakan Inti Budaya Islam

Seruan penguatan perlindungan HAM lansia digaungkan di Qatar.

Seruan penguatan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi generasi lanjut tengah digaungkan di Qatar. Ketua Komite Nasional Hak Asasi Manusia (NHRC) dan Ketua Aliansi Global Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional (GANHRI) Maryam binti Abdullah Al Attiyah, menyebut hal ini masuk dalam kerangka peningkatan kesadaran akan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).

Dalam kesempatan Hari Lansia Internasional (IDOP), ia menyebut hal ini adalah kesempatan untuk meninjau praktik pemerintah dan lembaga, guna meningkatkan integrasi pendekatan yang mencakup HAM sepanjang hidup.

Di sisi lain, momen ini penting memastikan partisipasi yang efektif dan bermakna dari semua mitra, termasuk lembaga HAM nasional, masyarakat sipil dan lansia itu sendiri, serta berupaya memperkuat solidaritas dan kemitraan antar generasi.

Al Attiyah menjelaskan IDOP tahun ini berfokus pada peran khusus para lansia, pentingnya mereka menikmati hak-haknya dan mengatasi pelanggaran terhadap mereka, dengan memenuhi janji-janji UDHR. Melindungi HAM secara umum dan hak-hak orang lanjut usia pada khususnya, adalah salah satu aspek inti dari budaya Islam dan Arab.

Dilansir di Gulf Times, Rabu (4/10/2023), IDOP juga disebut sebagai peluang bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan mitranya, mempromosikan prinsip-prinsip kemandirian, kepedulian, aktualisasi diri dan martabat, serta mengintegrasikan lansia ke dalam masyarakat.

Negara harus memastikan kesejahteraan dan mendapatkan manfaat dari kontribusi besar mereka, semuanya dalam lingkup kerangka keyakinan terhadap HAM dan martabat serta nilai individu. Hal ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemajuan sosial dan meningkatkan taraf hidup kelompok rentan termasuk lansia.

Al Attiyah juga menyerukan untuk mengambil manfaat dari pengalaman global yang positif, dengan melakukan pertukaran dan belajar dari pengalaman tersebut, dengan cara yang sesuai dengan budaya masyarakat di seluruh dunia.

Dia lantas mencatat upaya yang telah dilakukan oleh Qatar, baik dalam undang-undang dan prosedur untuk mendukung dan mempromosikan hak-hak orang lanjut usia. Utamanya ia menyoroti perihal kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan keamanan ekonomi mereka.

Al Attiyah menyoroti peran Kementerian Pembangunan Sosial dan Keluarga (MSDF), yang berupaya menciptakan banyak layanan elektronik yang memfasilitasi layanan tanpa kehadiran langsung.

Dia memuji peluncuran platform Istamer oleh Kementerian Tenaga Kerja, untuk mempekerjakan pensiunan Qatar di sektor swasta. Langkah ini disebut berdasarkan komitmennya untuk berinvestasi pada keahlian yang berharga, sekaligus meningkatkan kehadiran kader nasional yang berkualitas.

Untuk diketahui, Istamer memperbolehkan pensiunan warga sipil atau militer bekerja di sektor swasta tanpa mempengaruhi pensiunnya. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor (1) Tahun 2022 tentang Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor (2) Tahun 2022 tentang Pensiun Militer, dalam langkah yang menjamin keamanan ekonomi bagi lansia dan meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka.

“Kedua UU tersebut memastikan peningkatan pensiun, dengan memastikan dana pensiun minimum untuk semua pensiunan Qatar di negara tersebut sejak tanggal penerbitan tidak kurang dari 15,000 riyal, dengan tambahan tunjangan perumahan khusus sebesar 4,000 riyal,” kata dia.

Terakhir, Al Attiyah menyerukan kelanjutan upaya ini terhadap orang-orang yang telah berbuat banyak untuk negara. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih di seluruh dunia diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Dari angka 761 juta pada tahun 2021, jumlahnya menjadi 1,6 miliar pada tahun 2050, yang mana jumlah penduduk berusia 80 tahun ke atas tumbuh lebih cepat lagi.

IHRAM

Hukum Wudhu Menggunakan Air Terkena Limbah

Bagaimana hukum wudhu menggunakan air terkena limbah? Dalam Islam, seseorang diharuskan suci dari hadas besar maupun hadas kecil disaat ingin melaksanakan shalat. Cara bersuci dari hadas tersebut adalah dengan menggunakan air yang suci. 

Namun, terkadang dijumpai beberapa tempat yang kebanyakan airnya telah berubah menjadi keruh karena tercampur dengan limbah, sehingga menyebabkan sulitnya mendapatkan air bersih. Lantas, bagaimana hukum wudhu dengan air terkena limbah?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberpa keterangan yang menjelaskan mengenai hukum wudhu dengan air yang kena limbah. Menurut Qadhi Abu Suja’ ada tujuh macam air yang termasuk dalam kategori air yang dapat digunakan untuk berwudhu, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es. 

Sebagaimana dalam keterangan beliau dalam kitab Matan Abi Suja’ halaman 25 berikut;

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد 

Artinya : “Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.“

Tujuh macam air itu disebut sebagai air mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli penciptaannya berubah maka ia tak lagi disebut air mutlak dan hukum penggunaannya pun berubah.

Meskipun begitu, bagi seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air limbah yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut kedalam air, sehingga merubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci. 

 Sebagaimana keterangan Imam Syafi’i, dalam kitab Al-Umm, juz 1, halaman 20 berikut,

وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ. وَإِنْ أَخَذَ مَاءً فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ 

Artinya: “Jika ada air kemasukan benda halal (suci) kemudian mengubah bau dan rasanya sedangkan antara benda yang membuat berubah dan air tidak melebur jadi satu, maka wudhu menggunakan air yang seperti ini hukumnya sah. Misalnya ada air kemasukan kayu atau tir kemudian baunya menyengat atau sejenisnya. 

 Jika ada orang mengambil air, lalu dicampur dengan susu, tepung atau madu sehingga airnya larut menjadi satu, maka wudhu dengan air seperti ini hukumnya tidak sah. Karena air larut bersama benda dan mengubah netralitas nama air, bisa menjadikan namanya berubah menjadi air tepung, air susu, dan air madu.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang tetap diperbolehkan bersuci dengan air yang terkena limbah, selama limbah tersebut tidak sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Namun, apabila ada benda najis atau benda hasil limbah sampai larut kedalam air, sehingga merubah warna, bau dan rasa air, maka tidak lagi dapat digunakan untuk bersuci.  

Demikianlah penjelasan mengenai hukum wudhu menggunakan air terkena limbah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apa yang Dimaksud Air Musta’mal?

Secara bahasa terkait pertanyaan apa yang dimaksud dengan air musta’mal adalah air yang telah digunakan. Maksudnya adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu di tubuh seseorang atau sisa air bekas mandi janabah. Berikut penjelasan panjang apa yang dimaksud air musta’mal?

Sedangkan, jika air itu dipakai untuk membersihkan benda yang terkena najis, sekalipun diantara para ulama ada yang menyebutnya juga dengan air musta’mal, hakikatnya adalah air mutanajis atau air yang terkontaminasi benda najis di mana masing-masing jenis air memiliki hukum yang berbeda.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah. Air dengan kondisi seperti itu, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan.

Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani mengatakan bahwa tujuan bersuci adalah untuk membersihkan badan. Maka, tidak masuk akal jika membersihkan badan menggunakan air yang sudah rusak dan busuk (musta’mal).

    لطَّهَارَةُ مَا شُرِعَتْ اِلَّا لِتَزَيُّدِ أَعْضَاءِ الْعَبْدِ نَظَافَةً وَحُسْنًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَالْمَاءُ الَّذِيْ خَرَّتْ فِيْهِ الْخَطَايَا لَا يَزِيْدُ الْأَعْضَاءَ اِلَّا تَقْذِيْرًا تَبْعًا لِتلْكَ الْخَطَايَا اَلَّتِي خَرَّتْ فِي الْمَاءِ   

Artinya: “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.” (Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2005], juz I, halaman 130).

Apa yang Dimaksud Air Musta’mal?

Menurut pendapat ulama Hanafi, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ dan mandi) atau untuk mendapatkan pahala seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah berwudhu untuk mendapatkan pahala atau untuk shalat jenazah, masuk ke dalam masjid, memegang mushaf al-Qur’an dan membacanya.

Dan air menjadi musta’mal apabila terpisah dari badan. Yang menjadi musta’mal ialah air yang menyentuh badan saja bukan semua air yang digunakan. Menurut pendapat mereka, air musta’mal adalah suci, tetapi tidak dapat menyucikan hadats dan tidak dapat untuk membersihkan najis.

Yaitu, apabila mandi atau berwudhu dengan menggunakan air itu maka hadatsnya tidak akan hilang. Tetapi menurut pendapat yang rajih dan mu’tamad, air tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan najis dari pakaian dan badan. 

Mazhab Hanafi menghitung air sebagai musta’mal sesaat air tersebut terlepas dari anggota tubuh saat digunakan untuk bersuci. Ketika air tersebut masih menempel di tubuh, air yang sedang digunakan itu belum terbilang sebagai mustakmal.

 وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلاً بِمُجَرَّدِ انْفِصَالِهِ عَنِ الْبَدَنِ 

Artinya: “Pandangan utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 359).

Menurut pendapat ulama Maliki, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ atau mandi) atau menghilangkan najis, baik mandi wajib seperti untuk memandikan jenazah atau bukan wajib seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah wudhu, mandi sunnah jumat, mandi untuk dua hari raya, siraman kedua atau ketiga ketika mengambil wudhu’, jika memang penggunaan itu tidak menyebabkan perubahan air yang dipakai.

Air yang dianggap musta’mal ketika digunakan untuk mengangkat hadats ialah air yang menetes jatuh dari anggota badan, yang melekat pada badan, yang terpisah sedikit dari badan, atau air (dalam satu tempat) yang dimasuki oleh anggota badan. Tetapi, jika air itu diciduk dengan tangan dan angggota badan itu dibasuh di luar tempat air tersebut, maka air itu tidak menjadi musta’mal.

Menurut pendapat Mazhab Maliki, air musta’mal adalah suci dan menyucikan. Dan menurut pendapat yang rajih, menggunakan air musta’mal untuk menghilangkan najis, atau membasuh wadah dan seumpamanya adalah tidak makruh. Tetapi, apabila digunakan untuk mengangkat hadats atau mandi sunnah apabila ada air lain adalah makruh, jika memang air musta’mal itu sedikit. Alasan ia dihukumi makruh adalah karena kurang bisa diterima oleh perasaan.

وَحُكْمُهُ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ لَكِنْ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوِ اغْتِسَالاَتٍ مَنْدُوبَةٍ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ يَسِيرًا 

Artinya: “Hukum air musta’mal bagi mereka (kalangan Maliki) adalah suci dan menyucikan, tetapi makruh digunakan untuk penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu sedikit.” (Lihat: Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 360).

Menurut pendapat ulama Syafi’i, air musta’mal ialah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats yang fardhu seperti siraman pertama ketika mengangkat hadats. Dan menurut pendapat yang paling ashah dalam qaul jadid, air yang digunakan untuk mengangkat hadats yang sunnah seperti siraman yang kedua dan ketiga adalah suci dan menyucikan.

Hukum air musta’mal menurut qaul jadid adalah suci, tetapi tidak menyucikan, maka tidak boleh berwudhu atau mandi untuk mengangkat hadats dengan menggunakan air itu, dan air itu juga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis.

وَلأِنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ – مَعَ قِلَّةِ مِيَاهِهِمْ – لَمْ يَجْمَعُوا الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَل لِلاِسْتِعْمَال ثَانِيًا بَل انْتَقَلُوا إِلَى التَّيَمُّمِ ، كَمَا لَمْ يَجْمَعُوهُ لِلشُّرْبِ لأِنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ 

Artinya: “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan air tidak menampung air musta’mal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum karena air musta’mal terbilang kotor.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 361).

Air musta’mal yang sedikit yang bercampur dengan air mutlak adalah dimaafkan. Sebab itu, jika air musta’mal dikumpulkan hingga sampai dua kullah, maka sifatnya yang menyucikan akan kembali lagi, ini adalah menurut pendapat yang paling ashah.

Madzhab Asy-Syafi’i mengatakan air musta’mal adalah air yang sedikit yang bisa dipakai untuk sesuatu yang harus dilakukan, baik secara hakekat ataupun gambaran, entah itu untuk menghilangkan hadats si pengguna atau membersihkan kotoran.

Penjelasan dari definisi ini, bahwa yang dimaksud dengan air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kullah. Sekiranya seseorang berwudhu dan mandi dari air yang sedikit, di mana dia mengambil air dengan memakai gayung untuk membersihkan dua tangannya setelah membersihkan wajahnya dengan tangannya, maka ia adalah air musta’mal.

Menurut pendapat ulama hambali, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats besar (junub) atau hadats kecil (wudhu’), atau menurut pendapat al-madzdzhab air siraman yang ketujuh ketika untuk menghilangkan najis, dan air itu tidak berubah salah satu sifatnya (warna, rasa, dan bau).

Madzhab Hambali mengatakan, bahwa air musta’mal, yaitu air yang jumlahnya sedikit yang bisa dipakai untuk membersihkan hadats, atau menghilangkan kotoran, yang terpisah tanpa berubah dari tempat pencuciannya sampai tujuh kali.

Adapun air yang terpisah sebelum cucian ketujuh adalah najis. Dan yang terpisah setelahnya adalah musta’mal. Jadi, air tidak dihukumi sebagai musta’mal kecuali setelah ia terpisah dari tempat pemakaiannya.

Contoh air musta’mal ialah air sedikit yang dimasuki oleh tangan atau digunakan untuk membasuh tangan orang bangun tidur malam, dan orang tersebut adalah Muslim, berakal, dan baligh, dan masuknya tangan ke dalam air itu sebelum tangan dibasuh tiga kali.

Syarat air menjadi musta’mal

Pertama, yaitu digunakan untuk bersuci yang wajib. Jika seseorang berwudhu untuk shalat nafilah (sunnah), atau menyentuh mushaf, atau yang semacamnya, maka air tersebut tidak menjadi musta’mal.

Kedua, hendaknya air yang pertama kali. Sekiranya seseorang membersihkan wajahnya di luar wadah sekali, kemudian meletakkan tangannya untuk mencuci pada kedua dan ketiga kali, maka airnya tidak menjadi musta’mal dengan yang demikian.

Ketiga, hendaknya sejak awal jumlah airnya sedikit. Jadi, kalo airnya ada dua kullah atau lebih, kemudian dipisah dalam satu wadah, maka ia bukan air mustakmal jika airnya diambil pakai tangan.

Yang sama seperti ini adalah air musta’mal yang sedikit dikumpulkan dalam satu wadah sehingga mencapai dua kullah. Maka, ia menjadi air yang banyak dimana tidak apa-apa menciduk air dengan tangan dari dalamnya.

Keempat, airnya terpisah dari anggota tubuh. Sekiranya masih ada air mengalir di tangannya dan tidak terpisah, maka ia bukan musta’mal. Dengan demikian, jika ada orang wudhu’ atau mandi dari air yang sedikit, kemudian dia berniat akan  menciduk dari air tersebut, maka airnya bukan musta’mal.

Niat menciduk ini tempatnya dalam wudhu adalah setelah membersihkan muka, di mana dia berniat saat akan membersihkan kedua tangannya. Adapun jika niatnya pada saat berkumur-kumur, atau ketika memasukkan air ke dalam hidung, atau waktu membersihkan wajahnya, maka ia tidak boleh. 

Tercampur dengan benda suci 

Untuk air yang bercampur dengan benda suci, para ulama membedakan, antara air yang masih tetap dalam ke muthlaqannya dalam arti tetap suci dan mensucikan. Dan air yang suci namun aspek kemutlakannya telah hilang, hingga secara hakikat tidak lagi disebut dengan air murni yang alami.

Apabila air tersebut tercampur dengan benda suci dan nama air itu masih melekat padanya, maka air itu hukumnya tetap suci dan mensucikan. Seperti air yang tercampur dengan tanah sehingga warnanya agak keruh. Meski kelihatannya kotor atau keruh, namun pada hakikatnya air itu tetap berada dalam kemutlakannya.

Kesucian dan status mensucikan jenis air ini, setidaknya disandarkan pada hadits dari Ibnu Abbas ra: Nabi Saw. bersabda mengenai orang yang terjatuh dari kendaraannya kemudian meninggal, “Mandikanlah ia dengan air dan bidara, dan kafankanlah dengan dua lapis kainnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Tercampur dengan benda najis

Air yang tercampur dengan benda najis disebut dengan air mutanajjis. Untuk menetapkan status hukum air yang tercampur benda najis, maka dapat dibedakan dari sisi perubahan airnya. Apakah air tersebut secara umum terkontaminasi oleh najis hingga sifat kenajisan lebih dominan.

Atau sebaliknya, sifat air lebih dominan hingga najis yang mengkontaminasinya dianggap tidak ada. Para ulama sepakat bahwa jika air tersebut terkontaminasi oleh benda najis hingga yang mendominasi adalah sifat kenajisan, maka air itu statusnya adalah tidak suci, yang tentunya juga tidak bisa dipakai untuk mensucikan, sebesar apapun jumlah volume air tersebut.

Untuk bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, para ulama membuat indikator yaitu rasa, warna, dan aroma. Namun, jika ketiga indikator di atas tidak berubah, namun diyakini telah tercampur benda najis, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat terkait kesuciannya.

Demikian penjelasan terkait apa yang dimaksud air musta’mal? Semoga memberikan pengetahuan pada kita bersama terkait definis apa yang dimaksud air musta’mal. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Bijak Syekh Harist al-Muhasibi tentang Kehidupan

Nasihat kehidupan dari ulama adalah petuah atau wejangan yang diberikan oleh ulama kepada umat manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Nasihat-nasihat tersebut biasanya didasarkan pada ajaran agama dan pengalaman hidup para ulama. Nah berikut ini nasihat bijak Syekh Harist al-Muhasibi.

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Beliau adalah salah satu pembesar ulama sufi yang hidup di abad 3 Hijriah. Lahir pada tahun 170 Hijriah, dan meninggal pada tahun 243 Hijriah.

Abu Nu’aim Al-Isfahani, dalam karyanya Hilyat Al-Awliya’ Wa Tabaqat Al-Asfiya‘ Juz 10, halaman 75, mengutip kalam hikmah Syekh Harist al-Muhaaibi. Adapun kutipannya sebagai berikut:

الظَّالِمُ نَادِمٌ وَإِنْ مَدَحَهُ النَّاسُ، وَالْمَظْلُومُ سَالِمٌ وَإِنْ ذَمَّهُ النَّاسُ، وَالْقَانِعُ غَنِيٌّ وَإِنْ جَاعَ، وَالْحَرِيصُ فَقِيرٌ وَإِنْ مَلَكَ

Artinya: “Orang yang zalim tetap menyesal meskipun dipuji oleh manusia, orang yang dizalimi tetap selamat meskipun dihina oleh manusia, orang yang merasa cukup tetap kaya meskipun lapar, dan orang yang tamak tetap fakir meskipun memiliki”.

Nasihat Bijak Syekh Harist al-Muhasibi

Kalam hikmah Syekh Harist al-Muhasibi di atas, memberi pesan moral kepada kita untuk tidak zalim kepada orang lain, dan juga tidak rakus atau tamak atas harta benda. Kalam hikmah Syekh Harist al-Muhasibi dapat dijelaskan satu persatu. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Pertama, Orang yang zalim tetap menyesal meskipun dipuji oleh manusia. Menzalimi orang lain pada akhirnya akan menyesal, walaupun awalnya merasa senang dan bangga karena dapat menindas orang yang lemah atau tidak berdaya. Dan semestinya kita tidak berlaku zalim kepada sesama, baik berupa tindakan ataupun ucapan, karena sekecil apapun tindak kezaliman pasti akan terbalaskan.

Kedua, orang yang dizalimi tetap selamat meskipun dihina oleh manusia. Orang yang sabar ketika dizalimi, atau mendapatkan hinaan karena difitnah. Pada akhirnya, akan selamat, karena kebenaran lambat laun akan terbuka. Ketika kita dizalimi bersabarlah, karena buah dari kesabaran itu yang akan menyelamatkan kita.

Ketiga, orang yang merasa cukup tetap kaya meskipun lapar. Orang yang memiliki sifat Qona’ah (merasa cukup) meninggalkan segala kesenangan nafsu, seperti, makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Makanan sekedar hanya untuk menghilangkan lapar, pakaian sekedar untuk menutup aurat, dan rumah sekedar untuk menolak panas dan hujan. Sehingga walaupun ia tidak mempunyai harta ia merasa kaya dalam artian ia merasa cukup dan mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.

Keempat, orang yang tamak tetap fakir meskipun memiliki. Ketamakan membuat seseorang cinta akan kemewahan harta, walaupun ia sudah bergelimang harta, dalam hatinya selalu merasa kurang terhadap apa yang ia miliki.

Demikian nasihat bijak kehidupan dari ulama Syekh Harist al-Muhasibi dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dengan mengikuti nasihat-nasihat tersebut, kita akan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia, dan lebih bermanfaat bagi orang lain.Walllahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala

Meskipun sumber daya kita dalam beribadah kepada Allah terbatas dalam hal waktu, tenaga maupun harta, ada cara-cara agar pahala yang kita dapatkan bisa sebesar-besarnya. Niat adalah modal untuk mengumpulkan dan memetik pahala di akhirat nanti. Semakin ikhlas seseorang dalam beramal, maka semakin besar pahala yang akan didapatkan.

Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

رُبّ عمل صغير تُعظمه النيۃ ورب عملٍ كبير تصغره النيۃ.

Berapa banyak amalan yang kecil berubah menjadi besar karena niat, dan berapa banyak amalan yang besar berubah menjadi kecil karena niat.”  (Lihat JamiAl-Ulum wa Al-Hikam fii Syarhi Khamsina Hadisan min JawamiAl-Kalim, hal. 13)

Ada beberapa cara untuk meningkatkan keikhlasan, di antaranya:

Pertama, Berdoa meminta keikhlasan

Agar kita dimudahkan untuk mengikhlaskan amalan ibadah yang dilakukan, maka perbanyaklah doa kepada Allah Ta’ala dengan bacaan doa sesuai kemampuan. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini, yaitu:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ

“Ya Allah, Sungguh Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu dalam keadaan tahu, dan Aku memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui.” (HR. Bukhâri dalam Al-Adab Al-Mufrad)

Menyekutan Allah (riya’) adalah lawan dari keikhlasan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dan berlindung dari perbuatan riya’.

Di antara doa yang dipanjatkan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,

اللهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِيْ كُلَّهُ صَالِحًا و اجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً

Allahummaj’al ‘amali kullahu shalihan, waj’alhu liwajhika khalishan

[Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku adalah amalan saleh dan jadikanlah setiap amalanku ikhlas hanya mengharapkan wajahmu.]” (HR. Ahmad)

Kedua, Menyembunyikan amalan

Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas. Suatu amalan yang dikerjakan secara sembunyi-sembunyi lebih besar pahalanya daripada yang dilakukan secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari di mana tidak ada naungan, kecuali hanya naungan-Nya semata: (salah satunya) Seseorang yang bersedekah lalu menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya …” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa saking seseorang itu menyembunyikan sedekahnya, bahkan tangan kirinya saja tidak mengetahui apa yang ia sedekahkan, apalagi orang lain. Oleh karena itu, pahala yang Allah berikan sangatlah besar.

Begitu pula dengan salat sunah yang dikerjakan secara sembunyi (di rumah) lebih utama daripada yang dikerjakan di masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصَلَاةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ المَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إلَّا الصَلَاةَ المَكْتُوْبَةَ

“Hendaknya kalian mengerjakan salat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat maktubah (fardu)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda beliau yang lain,

صلاة الرجل تطوعًا حيث لا يراه الناس تعدل صلاته على أعين الناس خمسًا وعشرين درجة

“Salat sunah yang dikerjakan seseorang di tempat yang tidak dilihat orang lain, senilai 25 kali derajat salat sunah yang dia kerjakan di tengah banyak orang.” (HR. Abu Ya’la. Lihat Shahih Al-Jami, no. 7269).

Ketiga, Meyakini bahwa sekecil apapun amalan, pasti Allah akan balas

Allah Ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya,

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ

“Maka, barangsiapa mengerjakan kebajikan seberat żarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.(QS. Al Zalzalah: 7)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya 1 kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10x sampai 700x kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis 1 keburukan. (HR. Muslim)

Maksud hadis “baginya dengan 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan, karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Hal ini juga menunjukkan betapa luasnya karunia dan rahmat Allah Ta’ala. Balasan yang banyak tersebut diberikan karena kekuatan iman seorang hamba dan kesempurnaan keikhlasan. Semakin ikhlas amalan seseorang, maka semakin dikalikan pula pahalanya, baik 10, 700, maupun tak terhingga. Karenanya, tak diragukan lagi, setiap kebaikan hendaknya didasari pada keimanan serta keikhlasan yang kuat semata-mata karena Allah Ta’ala. (Lihat Tafsir As-Sa’di ketika menafiskan surah Al-Baqarah ayat 261)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87555-kiat-kiat-ikhlaskan-niat.html

Doa yang Selalu Diucapkan Nabi Muhammad SAW Setiap Malam

Nabi Muhammad selalu membaca doa ini setiap malam.

Ada doa yang selalu diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada setiap malam. Doa ini diucapkan pada saat beliau hendak menutup hari dengan tidur malam setelah seharian menjalani aktivitas.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, dia berkata:

كانَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أرَادَ أنْ يَنَامَ قالَ: باسْمِكَ اللَّهُمَّ أمُوتُ وأَحْيَا، وإذَا اسْتَيْقَظَ مِن مَنَامِهِ قالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ الذي أحْيَانَا بَعْدَ ما أمَاتَنَا وإلَيْهِ النُّشُورُ.

“Bila Nabi SAW hendak tidur, beliau SAW membaca ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu Ya Allah, aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amaatana wa ilaihin-nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali)'” (HR Bukhari).

Untuk lebih jelasnya, berikut ini doa yang selalu diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada malam hari sebelum tidur, berdasarkan hadits tersebut:

 باسْمِكَ اللَّهُمَّ أمُوتُ وأَحْيَا

Latin: Bismika allahumma amuutu wa ahyaa

Terjemahan: Dengan nama-Mu Ya Allah, aku mati dan aku hidup.

Nabi Muhammad SAW selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, termasuk saat hendak tidur. Beliau mengakhiri harinya dengan mengucapkan doa sebagaimana tercantum dalam hadits tersebut.

Allahlah yang memberi kehidupan kepada setiap Muslim, dan Allah jugalah yang mematikan atas kehendak-Nya. Kematian yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah tidur, karena tidur adalah kematian terkecil. Akal dan gerak lenyap ketika manusia tidur. Ini adalah representasi dan analogi untuk kematian yang besar.

Hadits tersebut juga mencantumkan bacaan doa saat bangun dari tidur. Berdasarkan doa bangun tidur itu, dapat dipahami bahwa tidur adalah salah satu bentuk kematian, dan Allah mengembalikan ruh orang yang tertidur kepadanya ketika ia terbangun. Karenanya seorang Muslim memuji Allah karena telah mengembalikan ruh kepadanya.

Hikmah lain ialah berdzikir kepada Allah SWT dalam setiap keadaan. Mengakhiri hari setelah lelahnya menjalani aktivitas sehari-hari dengan bacaan doa mau tidur, dan bangun tidur dengan kembali mengingat Allah.

IHRAM

Ciri Kelompok Radikal Menurut Yusuf al-Qardhawi

Pertanyaan

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Yth redaksi Bincangsyariah, bagaimana ciri kelompok radikal? Pasalnya banyak sekali kelompok-kelompok yang melakukan tindak kekerasan agama atas nama Tuhan. Lantas bagaimana ciri-ciri kelompok radikal ini menurut ulama? Terima kasih.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Di Situasi pandemi seperti ini, masih ada kelompok radikal yang memanfaatkan untuk terus menyebarkan narasi-narasi gagasannya. Sungguh naïf memang di tengah suasana yang tercengang paceklik pandemi masih ada yang menyuarakan khilafah, menyebar teror dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, pada 3/7 lalu seperti dilansir dari Kompas, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya terus berupaya agar paham radikalisme tidak mendominasi ruang publik, terutama di media sosial.

Memaknai makna radikalisme memang bukan perkara yang sepele dan mudah, meskipun kita dengan mudah menyebut contohnya-contohnya. Bahkan sering kali radikalisme dimaknai berbeda diantara kelompok yang berkepentingan.

Salah satu sudut yang digunakan misalnya adalah sudut pandang keagamaan, dimana radikalisme diartikan sebagai gerakan-gerakan fanatisme keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik melalui jalan menggunakan kekerasan. Pada kali ini untuk mengetahui atau memaknai ciri kelompok radikalisme, sedikit panjang akan mengutip ciri kelompok radikalisme menurut pandangan Yusuf al-Qardhawi.

Ciri Kelompok Radikal Menurut Yusuf al-Qardhawi

Yusuf al-Qardhawi merupakan seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir yang kini tinggal di negara Qatar. Karya-karyanya begitu banyak dan fenomenal dalam ranah akademik. Salah satu karyanya adalah Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya. Dalam bukunya tersebut, ia menerangkan seperti apa ciri pandangan kelompok radikal dalam beragama,

1. Mengklaim Kebenaran Tunggah

Memposisikan dirinya sekan-akan utusan Tuhan. Maka sangat sulit untuk menerima pendapat orang lain. Gerakan radikalisme juga sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

Sehingga untuk mengatasinya diperlukan beberapa penanganan dari semua aparatur Negara, baik itu rakyat, tokoh agama, serta penegak hukum.  Sehingga dalam pemahaman yang semestinya adalah pemecahan masalah itu tanpa kekerasan, akan tetapi melalui berfikir krtitis dan toleransi.

2. Menganggap Ibadah Sunnah atau Hal yang Mubah Sebagai Kewajiban

Contohnya adalah memanjangkan jenggot, memakai celana hingga di atas mata kaki dan lain sebagainya. Kemdian menurut Qardhawi yang masih pada karyanya yang berjudul Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya (h. 127), bahwa radikalisme memiliki sikap berlebihan yang seseorang miliki dalam beragama, bahkan muncul ketidaksesuaian antara akidah dengan perilaku.

Misalnya antara yang seharusnya dengan realitas, antara agama dengan politik, antara ucapan dengan tindakan, antara yang diangankan dengan yang dialaksanakan, serta antara hukum yang disyariatkan oleh Allah dengan produk hukum manusia itu sendiri.

3. Mengesampingkan Metode Bertahap dalam Berdakwah dan Kasar dalam Berinteraksi

Padahal Islam sama sekali tidak megajarkan untuk bertindak kasar dan memaksa pendapat mereka wajib dianut dan ditiru. Sebab,  sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme. Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan bertoleransi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.

Berikut riwayat dari Rasulullah SAW tentang Allah sungguh menyukai agama yang toleran dalam hadis memang tidak ditemukan kata toleran, namun dalam hadis menggunakan padanan kata toleran yaitu kata at-tasamuh. Kata tersebut diantaranya ditemukan dalam riwayat hadis Imam al-Bukhari dalam kitab al-Jami’ as-Shahih yang populer dengan sebutan Shahih al-Bukhari, 

وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Rasulullah SAW bersabda: agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat mencari kebenaran secara toleran dan lapang (HR. al-Bukhari)

4. Mudah Mengkafirkan Orang Lain Jika Berbeda Pendapat

Seseorang yang tidak mempercayai pendapat mereka (kelompok radikal)  serta tidak mengikuti atas apa yang dia ajarkan baik itu muslim atau tidak, kemudian mereka dengan mudahnya mengatakan kafir.

Itulah beberapa ciri kelompok radikal menurut pandangan Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana kelompok radislime memiliki sikap  yang berlebihan. Kelompok seperti ini harus kita hindari, agar tercipta corak kehidupan yang aman dan damai serta toleran. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apa itu Cadar atau Niqab?

Mesir melarang penggunaan niqab.

Beberapa hari ini tersiar kabar bahwa Mesir telah mengeluarkan larangan penggunaan niqab atau penutup wajah di sekolah.

Menurut pernyataan Kementerian Pendidikan, seorang siswa harus memutuskan apakah mereka ingin menggunakan jilbab berdasarkan keinginan pribadinya tanpa tekanan atau paksaan dari orang lain selain orang tua.

Pernyataan tersebut juga menambahkan, orang tua harus diberitahu tentang pilihan anak perempuan mereka dan bahwa pihak berwenang akan memverifikasi pengetahuan wali murid tentang pilihan siswa mengenai penutup kepala.

Berpakaian sampai menutup aurat adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap individu muslim atau muslimah. Dan tentu saja, antara aurat laki-laki dan perempuan memiliki batasannya masing-masing.

Dalam buku Hukum Cadar Bagi Wanita karya Ahmad Hilmi dijelaskan laki-laki muslim, batas minimal menutup auratnya adalah antara atas pusar dan bawah lutut. Ini area yang wajib ditutup. Sedangkan perempuan muslimah secara umum batas yang tidak termasuk aurat adalah wajah dan telapak tangan.

Pada area tersebut, pakaian yang menutupinya harus longgar (tidak menampakkan lekuk tubuuh) dan tidak transparan. Jika itu sudah terpenuhi, maka pakaian dengan model apa pun secara umum dibolehkan.

Kemudian persoalan selanjutnya tentang wajah wanita. Jumhur ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat. Namun jika diyakini dapat menimbulkan fitnah, maka lebih baik ditutup.

Cadar atau dalam bahasa Arab disebut niqab atau burqu’, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Mandzur di dalam kitabnya Lisan Al-‘Arab adalah kain penutup yang biasa dipakai oleh wanita untuk menutup wajah bagian atas hidung) dan membiarkan bagian mata terbuka.

Masalah model, tentu antar daerah dan negara akan berbeda-beda. Apalagi jika sudah bicara selera, antara satu kepala dengan kepala yang lain sulit untuk sama.

Di Indonesia sendiri, perkembangan cadar sangat beragam. Hasil adopsi dari berbagai daerah dengan modifikasi. Selembar kain lebih kurang seukuran wajah dengan tali yang diikatkan melingkar kepala. Ada juga yang cukup diberi kancing untuk direkatkan di jilbab (khimar) utamanya. Ada juga yang dengan model jilbab dan cadar Saudi, cukup dengan selempar kain panjang yang sudah termasuk jilbab untuk penutup kepala dan rambut dan sisanya ditutupkan ke wajah sebagai cadar.

REPUBLIKA